Lima detik berlalu, sang pria masih berdiri diam dengan tatapan tertuju pada lantai. Ia dapat merasakan efek dari obat perangsang menjalar dalam tubuhnya, meninggalkan jejak panas dan energi yang begitu besar.
“Apa yang kau tunggu, Max? Haruskah perempuan yang bergerak lebih dulu?” tanya Amber dengan senyum licik.
Sedetik kemudian, pria itu mengeluarkan ponsel dari saku lalu mulai mengetik pesan. Alis wanita yang sudah tak sabar sontak berkerut tak senang.
“Apakah kau sedang meminta bantuan?”
“Aku mengirimkan perintah kepada sopirku untuk menunggu lebih lama.”
Mata Amber seketika membulat tak percaya, apalagi, saat pria yang diinginkannya mendekat dan meletakkan ponsel di sisi meja.
“Jadi, kau sudah berubah pikiran?” tanya wanita yang mulai dibanjiri oleh perasaan bahagia.
Sang pria pun mengangguk dan memberikan tatapan mengintimidasi.
“Ini yang kau inginkan, bukan?” Tangannya mulai membuka ikat pinggang, membuat hati A
Selang beberapa menit, pelupuk mata Gabriella hampir tertutup rapat. Malam itu terasa sangat tenang baginya. Tidak ada Max, tidak ada paksaan. Hanya ada Snowy dan kasur empuk di bawahnya. Tanpa terduga, pintu tiba-tiba terbuka lebar lalu dibanting dengan keras. Gabriella pun tersentak dan langsung terbelalak. “Max?” desahnya sebelum menelan ludah. Bola matanya bergetar hebat mengimbangi degup jantung yang mendadak cepat. “Kau sengaja tidak membukakan pintu untukku, hm?” tanya sang pria sambil melucuti kemejanya dengan ceroboh. Sorot mata tajam dan gemuruh napasnya membuat sang istri semakin ciut. “Aku sama sekali tidak tahu kau datang,” jawab Gabriella dengan alis berkerut dan kepala tertunduk. Tangannya telah mendekap Snowy lebih erat. “Jadi, kau tertidur nyenyak di saat suamimu menunggu di depan pintu?” Bibir Gabriella bergetar tanpa kata. Keberanian yang tadi ia pupuk telah layu, apalagi, ketika Max membanting celana panjangnya di l
“Pelan-pelan, Max! Pelan-pelan!” Pria yang sedang mencari titik fokus lagi-lagi mendengus kesal. “Kau ini mau membantu atau membuatku semakin frustrasi? Aku bahkan belum menemukan pintu masuknya.” “Itu karena ekspresimu terlihat menyeramkan. Kau seperti pembunuh berdarah dingin yang hendak menikam korbannya,” timpal Gabriella dengan alis melukiskan kegelisahan. “Kalau begitu, berbaliklah!” “Kau mau melakukannya dari belakang?” tanya wanita yang kini memunggungi suaminya. “Dari depan saja kau kesulitan, apalagi dari akh ...!” Hanya dalam sekejap, Gabriella telah menggigit bibir dan memejamkan mata erat-erat. Ia tidak lagi canggung untuk bersandar pada pundak kekar sang pria. “Kenapa kau memasukkan jarimu lagi?” erangnya di sela ringisan. “Aku harus mempelajari posisi baru. Kau tidak ingin aku memasuki lubang yang salah, bukan?” bisik Max membuat bulu kuduknya meremang. “Ya, tapi ... mau berapa lama kau melakukannya?”
Selang beberapa menit, Max kembali memeriksa keadaan sang istri. Wanita itu sedang meringkuk membelakanginya. Tubuh yang gemetar tampak jelas sedang berperang melawan hasrat. “Dia masih menahannya, hm? Hebat juga.” Tanpa merasa khawatir, sang CEO mengalihkan fokus ke ponsel. Pesan dari Sebastian langsung menyita perhatiannya. “Kenapa dia bersemangat sekali menanyakan proyek baru? Padahal, jelas-jelas sudah kukatakan bahwa rancangan gedung masih perlu disempurnakan. Kalau begini, proyek lain yang sedang berjalan bisa lolos dari pengawasan.” Tiba-tiba, Gabriella merintih seperti orang kesakitan. Sang pria sontak menyimpan ponsel dan memeriksa istrinya lebih saksama. “Apakah kau baik-baik saja?” Begitu ia menarik pundak sang istri, matanya terbelalak. Wajah Gabriella sangat pucat dan dipenuhi keringat. “Jangan sentuh aku!” pinta wanita yang tidak sanggup lagi bersuara kencang. Energinya telah banyak terserap oleh ledakan ha
“Pelan-pelan, Max! Aku bukan paku yang bisa menembus bata,” pinta Gabriella di sela desah napas. Punggungnya bisa membiru jika terus dihantamkan ke dinding. Tanpa banyak bicara, Max memindahkan tangannya melindungi sang istri. Lalu, hanya dengan satu sentakan, ia mampu membuat wanita itu terkesiap dan berhenti melayangkan protes. Respon yang menggemaskan itu sukses membuat sang pria tersenyum. “Kau menikmatinya, hm? Kalau begini, aku merasa dirugikan.” “Kenapa?” tanya wanita yang menatap suaminya dengan kernyitan dahi. “Kau sudah mendapatkannya berkali-kali, sedangkan aku belum sama sekali.” Gabriella sontak mendengus samar. “Sepertinya, kau harus menemui dokter. Bukankah aneh jika kau belum mendapatkannya hingga detik ini?” “Kaulah yang aneh. Perempuan seharusnya butuh waktu lebih lama, tapi kau cepat sekali.” Tiba-tiba, cengkeraman Gabriella menjadi lebih erat. Selang beberapa tarikan napas cepat, ia kembali mendapatkan apa y
Max mulai terbawa suasana. Ia tidak bisa lagi berdiri diam. Sesekali, tubuhnya tertarik ke depan, membuat perempuan yang sedang terdesak semakin kebingungan. “Baiklah! Aku akan menjiplak pola,” seru Gabriella akhirnya menyerah. “Apakah kau puas?” tanyanya kesal. “Hampir,” sahut pria yang tersenyum tipis di belakangnya. Setelah mendatarkan wajah, Max membantu sang istri kembali tegak dan merapikan pakaian. Tiba-tiba, terdengar suara pintu diketuk. Perhatian suami istri itu kembali teralihkan. “Tuan Roberto sudah tiba, Tuan,” seru seorang wanita dari balik pintu. Ekspresi sang CEO langsung berubah hangat. “Akhirnya, dia datang juga.” Sedetik kemudian, ia mendudukkan Gabriella ke kursi di sisi meja, lalu meletakkan kertas-kertas pola di hadapannya. “Jadilah anak yang baik! Jangan sampai rekanku terganggu karenamu!” Tanpa memedulikan sorot mata Gabriella yang meruncing, Max menghampiri pintu. “Masuklah!” Den
“Aku harus segera kembali. Jangan sampai nanti malam, dia memanfaatkan kesalahanku untuk pelayanan tanpa henti.” Setelah setengah jam mendekam di toilet, Gabriella akhirnya menghirup udara yang lebih segar. Malangnya, rasa sesak dalam dada tidak juga berkurang. Bayang-bayang tangan Roberto mengotori dirinya sesekali membuatnya bergidik ngeri. Sekalipun ia menggelengkan kepala dengan sangat cepat, kenangan itu enggan pergi. “Gabriella?” panggil suara familiar dari arah depan. Sang wanita spontan menegakkan wajah. Suaminya ternyata sedang berdiri dengan mata bulat dan tangan terkepal erat. “Apa yang terjadi? Kenapa bajumu basah?” Gabriella langsung menunduk, membiarkan rambutnya jatuh menutupi tanda menjijikkan yang gagal dihilangkan. Ia tidak ingin disebut lemah ataupun dituduh yang macam-macam. Hanya dalam sekejap, Max telah mencengkeram lengan istrinya. Sang wanita seketika terkesiap dan membalas tatapannya dengan sedikit gemetar.
“Maafkan aku,” ucap Max seraya menatap mata istrinya dalam-dalam. “Aku memang bersalah. Tidak seharusnya aku meninggalkanmu bersama laki-laki berengsek itu di ruanganku.” Bibir Gabriella kini bergetar hebat mengimbangi udara gersang dalam paru-parunya. Pernyataan maaf sang suami memang telah mengangkat sedikit beban dalam hati. Malangnya, hal itu tidak mampu mengubah fakta tentang perlakuan Roberto terhadapnya. “Dia sudah menyentuhku, Max. Dia sudah mengambil keuntungan dariku,” tutur Gabriella dengan suara tipis dan lirih. Kerut alisnya perlahan menggoreskan luka yang lebih banyak dalam hati Max, memaksa pria itu untuk bertekuk lutut pada penyesalan. “Maafkan aku. Aku berjanji tidak akan membiarkan laki-laki itu mendekatimu lagi.” “Itu semua salahmu, Max. Salahmu,” ujar sang wanita seraya memukul dada suaminya. Ia tidak tahu lagi kepada siapa kekesalannya harus ditujukan. Sadar bahwa istrinya sangat rapuh, Max akhirnya merengkuh wanita itu de
Gabriella terdiam menatap Max yang tertunduk di hadapannya. Serangan yang baru saja diluncurkan benar-benar di luar dugaan. Ia memang berencana untuk melawan, tetapi tidak sampai membumihanguskan kesabaran suaminya. “Kau sudah tiga kali meludahiku,” ucap Max dengan nada rendah yang mencekam. Udara dingin seketika menggerayangi tengkuk Gabriella. Telinganya telah menangkap kegeraman di sela helaan napas sang pria. Meskipun begitu, ia masih menggenggam kemasan pil KB seerat tekadnya untuk melawan. “Itu akibatnya kalau memaksakan kehendak terhadapku,” timpal sang wanita dengan suara cenderung datar. Sulit baginya untuk menyingkirkan keraguan dalam kata-kata. Mata Max perlahan kembali menyapa, memperlihatkan guratan kekesalan yang tak lagi tertahan. “Jadi, kau memang tidak menghargaiku?” “Aku tidak akan pernah tunduk padamu,” sahut Gabriella sambil mengangkat dagu. Ia harus terlihat garang. “Kau tidak berhak mengatur hidupku.” Cengkeraman
“Woah!” desah Cayden saat sang ayah menempatkannya di atas punggung seekor kuda poni. Dengan mata bulat, ia mengamati ketinggiannya dari tanah. Meski tidak seberapa, balita bertopi koboi itu tetap menunjukkan senyum semringah. “Bagaimana, Evans Kecil? Apakah kau senang?” tanya wanita yang memegang tali kekang si kuda. Tak berani banyak bergerak, Cayden pun mengangguk dalam sudut terbatas. “Ya, Greta. Ini mendebarkan!” sahutnya antusias. “Mendebarkan?” gumam Gabriella seraya mengerutkan sebelah alis. Sambil terus menimang keponakannya, wanita itu mengungkapkan keheranan. “Dari mana kau mempelajari kata itu, Pangeran Kecil?” “Papa sering menyebutnya,” jawab sang balita, sukses membuat sang ayah meringis. “Papa berkata kalau malam yang dilewati bersama Mama selalu mendebarkan.” Selagi Gabriella melotot ke arah sang suami, Greta tertawa terbahak-bahak. “Astaga, Max. Kurasa, kau harus lebih berhati-hati sekarang. Putramu yang jenius ini bisa menyer
“Kalau Kakek benar-benar menghindar, aku benar-benar akan berhenti dari perusahaan,” ujar Julian, sukses membekukan langkah Tuan Hunt. Pria tua itu kini berkedip-kedip mencerna perkataan yang ia kira salah dengar. “Posisiku sebagai CEO sedang terancam karena suatu hal. Aku berusaha merahasiakannya dari kalian semua. Bahkan Mia saja tidak kubiarkan tahu. Tapi ternyata, itu sama sekali tidak mudah. Pikiranku menjadi terombang-ambing. Dan karena beban yang terlampau berat, emosiku akhirnya meledak. Aku sangat menyesal hal itu harus terjadi di hadapanmu.” Mendengar nada yang terkesan jujur itu, Tuan Hunt perlahan memutar tumpuan. Dua detik kemudian, ia melihat butiran bening meluncur dari mata sang cucu. “Aku sudah berusaha kuat dan tegar, Kek. Kupikir, aku bisa mengatasi semua masalah. Tapi ternyata, sampai detik ini pun, aku belum menemukan solusinya. Karena itu pula, aku marah saat gagal menemukan Grace dan dirimu di pemakaman. Rasanya, aku ini laki-laki yang
“Ck, kenapa Kakek kabur seperti ini? Membuatku semakin merasa bersalah saja,” gerutu Julian di sela desah napas yang terengah-engah. Sambil terus menggenggam pesan dari Tuan Hunt, ia melangkah menyusuri jalan setapak yang dipagari barisan pepohonan. “Apa yang harus kulakukan jika Kakek tidak ada di sana? Ke mana aku harus mencarinya?” pikir pria yang tak mampu menghapus kerutan dari wajahnya. Beban yang menekan jantung terlampau berat untuk diabaikan. Selang beberapa saat berkutat dengan kebisingan dalam telinga, Julian akhirnya menggeleng cepat dan mengerjap kuat. “Tidak, tidak. Kakek pasti ada di sana. Aku akan membawanya pulang dan keadaan otomatis kembali menjadi seperti semula,” angguk pria itu, memupuk harapan. Tanpa menghiraukan keresahan yang terus berputar dalam otaknya, ia melaju lebih cepat. Begitu melewati gerbang pemakaman, langkah Julian spontan tertahan. Pelupuk mata yang semula berat kini terangkat maksimal. Apa yang ia harapkan lagi-l
“Papa,” panggil Cayden pelan. Sedetik kemudian, balita itu menyodorkan sepotong roti yang telah ia bersihkan dari selai. “Aku sudah kenyang,” lanjutnya dengan senyum penuh makna. Memahami maksud hati sang putra, Max sontak menaikkan alis. “Kau ingin Papa menghabiskan rotimu lagi?” Sembari memperlihatkan deretan gigi mungilnya, Cayden mengangguk. Selang satu embusan napas samar, sang ayah mulai menggetarkan udara dengan tawa. “Astaga, Gaby. Lihatlah kelakuan Pangeran Kecil! Aku bisa menggendut jika dia terus menyodorkan makanan kepadaku,” tutur pria itu seraya menunjukkan roti kedua yang ia terima dari sang putra. “Habiskan saja, Max. Kau membutuhkan tenaga lebih untuk membantu Pangeran Kecil merawat Hasty,” timpal wanita yang sedang membersihkan piring dengan spons. Mendengar tanggapan sang ibu, mata Cayden langsung membulat. “Apakah aku boleh ke kandang kuda sekarang? Aku sudah selesai sarapan, Mama.” “Ya, tapi kau harus mencuci wajah
Tiba-tiba, Julian menjatuhkan wajah ke tangkupan tangannya. Setelah mengembuskan napas berat, ia kembali menegakkan kepala dan menunjukkan ekspresi yang tak terdiskripsikan. “Kau tahu? Aku sama sekali tidak bermaksud menakuti ataupun menggertak. Aku hanya tidak ingin kejadian tadi terulang,” tegas pria itu dengan wajah mengernyit. “Ya, aku tahu,” timpal Mia dengan penekanan yang tak kalah dalam. “Tapi kau bisa melakukannya tanpa harus menyakiti perasaan Kakek, Julian. Masalah ini bisa dibicarakan secara baik-baik.” Sembari menggertakkan geraham, Julian menggeleng samar. Kebingungan mulai menggetarkan bola matanya. “Lalu apa yang harus kulakukan sekarang? Aku sudah telanjur membuat Kakek sedih.” “Meminta maaf?” timpal Mia seolah tak yakin dengan jawabannya. “Apakah itu saja cukup?” tanya sang pria, ragu. Ia mulai sadar bahwa kemarahannya tadi memang sudah melewati batas. Sembari menimbang-nimbang, sang wanita mengangguk-angguk. “Asalkan
“Greta, apakah kau sudah menyiapkan roti panggang yang lezat untuk kami?” tanya Cayden saat si pemilik rumah membuka pintu lebih lebar untuk menyambutnya.Melihat sang ayah masih sanggup berjalan, wanita dengan lengkung alis tinggi itu sontak mengembuskan napas lega. Setelah menggeleng-geleng sesaat, barulah ia membalas tatapan balita yang masih menggenggam tangan Tuan Hunt dan menunggu responnya.“Tentu saja sudah. Apakah kau lapar?” tanya Greta sembari memalsukan senyuman.“Bukan aku, tapi Kakek. Aku mendengar suara napasnya sangat lelah di sepanjang jalan. Kakek harus makan roti yang banyak,” sahut Cayden dengan ekspresinya yang khas—mata bulat dan bibir mengerucut.Sambil mengelus kepala putranya, Gabriella menekuk lutut. Setelah berhasil menyejajarkan pandangan, wanita itu memiringkan kepala. “Bagaimana kalau sekarang kau mengajak Kakek makan? Kau tahu di mana Greta meletakkan piring rotinya, bukan?&rdq
“Maaf, Julian. Tadi aku mengajak Grace menemui nenekmu sebentar. Sekarang, aku bermaksud untuk membawanya pulang. Kami tidak berkeliaran,” terang Tuan Hunt dengan ekspresi yang tak terdeskripsikan. Meski begitu, suara paraunya mampu menyentuh hati orang-orang, selain sang cucu. “Tapi jalan pulang ada di sebelah sana, Kek!” sambar Julian, masih dengan alis terangkat maksimal. Ia sama sekali tidak iba melihat punggung bungkuk yang semakin terbebani oleh rasa bersalah. “Apa yang sebenarnya ada dalam pikiranmu? Apakah kau tidak sadar bahwa kenekatanmu ini bisa mendatangkan masalah? Bukankah kita sudah sepakat untuk pergi bersama? Kenapa malah diam-diam membawa Grace pergi?” lanjutnya, mempertebal kerutan di dahi sang kakek. Merasakan kemarahan sang ayah, Putri Kecil mulai mengerutkan alis. Ia belum pernah mendengar suara selantang itu. Ketika matanya tertuju pada wajah murung Tuan Hunt, bayi itu pun mencebik. Sedetik kemudian, tangisnya mulai menjadi-jadi. Sambil
Setibanya di pemakaman, Julian spontan tercengang. Apa yang ia lihat benar-benar di luar ekspektasi. Tidak ada keberadaan pria tua ataupun bayi di antara batu-batu nisan. Sang kakek dan Grace sama sekali tidak meninggalkan jejak. “Tidak mungkin,” gumam Julian sembari mempercepat langkah. Tanpa memedulikan upaya awalnya untuk tetap tenang, pria itu melaju ke arah blok yang sempat disebutkan oleh Greta. Setelah mencari-cari beberapa saat, ia akhirnya menemukan nama sang nenek di salah satu batu. “Benar, inilah tempatnya. Mereka seharusnya di sini,” desah Julian, terdengar putus asa. Dengan kerut alis yang dalam, ia berputar-putar, berusaha menemukan jejak sang putri ataupun Kakek Hunt. Malangnya, sejauh apa pun mata memandang, dua orang itu tetap berada di luar radar. “Ck, kenapa bisa begini?” gerutunya sembari mencengkeram kepala. Mengendus kekesalan yang teramat pekat, Mia sontak meraih lengan suaminya. Ia tahu bahwa sang pria telah gagal meng
Sembari mengambil napas, Tuan Hunt menyeka pipi cucu buyutnya. Mata merah Grace memang tidak lagi menumpahkan kesedihan. Akan tetapi, pria tua itu masih merasa bersalah karena telah membuat sang bayi menangis. “Maafkan aku, Grace. Aku seharusnya berjalan lebih tenang agar kau tidak terbangun,” bisik sang kakek di sela desah napas yang tidak beraturan. Setelah wajahnya mengering, Grace menyandarkan kepala di pundak Tuan Hunt. Sambil berkedip lambat, ia mengerucutkan bibir. Kerut alisnya menyatakan bahwa dirinya masih ingin bergulung dengan selimut di tempat tidur. Bayi itu heran mengapa ia malah bersama sang kakek buyut, duduk di sebuah bangku panjang di tepi jalan setapak. “Padahal sewaktu masih muda, aku hanya memerlukan lima belas menit untuk tiba di pemakaman nenek buyutmu. Tapi sekarang, kenapa rasanya sangat melelahkan dan lama sekali?” gerutu Tuan Hunt seraya menyeka jidat dengan sebelah tangan. Selang satu embusan napas cepat, pria tua itu kemb