"Kamu pilih mama atau papa?"
Wanita umur 50 tahun itu keluar dari kamarnya, lalu menemukan Wendy, anak semata wayangnya yang menonton tivi setelah mandi. Ia belum lama pulang dari sekolahnya sore itu. Aktivitas sekolah yang padat membuat anak lelaki itu hanya diam mendengarkan mamanya bicara sambil menangis. Ia bingung. Entah apa yang bisa dilakukan anak kelas dua SMA itu pada orang dewasa yang menangis.
Wanita itu duduk di sofa hijau di samping anaknya itu. Mata wanita umur 50 tahun itu berkaca-kaca dan memerah. Wajahnya basah seperti sering menangis. Mama Wendy memang sudah menangis berhari-hari.
Seperti biasa, hanya ada mama dan Bi Ijah di dalam rumah ini. Papa sering tidak pulang ke rumah karena alasan urusan perusahaan. Rumah mereka pun ada dua, satu di Gandaria, Jakarta Selatan, satu lagi di dekat perusahaannya di Gading Putih, Bandung karena perusahaan papa juga ada satu di Bandung. Mereka juga punya satu apartemen di daerah Ancol yang
Rssa mengecek urin pertamanya setelah bangun tidur dengan test peck yang dibelinya di apotek. Setiap serapan air urin yang melaju ke atas detik demi detik dari alat kecil itu ada harapan besar di benak Rissa agar garisnya satu saja.Air pun terus diserap alat kecil persegi panjang itu. Lalu mencetak satu garis. Sebentar lagi ia akan berada di garis ke dua. Apakah garis ke dua itu putih atau merah, Rissa memilih agar putih saja. Air pun terserap ke garis ke dua, hasilnya bukan merah atau putih seperti bendera, tetapi hasilnya pink atau merah jambu.Rissa melihatnya seperti garis putih, tetapi dilihatnya lagi seperti merah jambu yang lemah, ia samar-samar, yang menandakan kadar hormon HCG masih sedikit di urin itu.Rissa tergeletak lemah di lantai kosannya. Ia tak menyangka kalau ia hamil. "Mana mungkin?!""Ceceeep!" ia berteriak sambil menangis tersedu memanggil nama Cecep. Menurut HTHP, Rissa sudah telat haid hari ke 36.Malam itu ia ingat ka
Varian covid-19 bertambah lagi. Mulai dari varian B.117, varian alfa hingga delta. Efektivitas vaksin covid-19 berkurang, dari 65 % menjadi 40 - 45 % saja. Varian delta yang dari India ini sangat mudah sekali menular, bahkan jika kita hanya berpapasan dengan pengidap, apalagi kalau seruangan dengan pengidap, baik itu seruangan ketika makan siang di kantin, ketika beli makanan di mall, serta kerumunan lainnya.Hiruk pikuk mall dan tempat hiburan yang menjadi gudang penularan tercepat itu membuat Richi tak ingin meninggalkan Bengkulu. Toh ia masih bisa bertahan hidup dengan menjadi dokter di Klinik Bunda. Tapi memang pengasilannya masih kurang jika ingin hidup lebih mewah dan hedon. Ah, Richi bukanlah tipe lelaki hedon. Ia ke Bengkulu pun hanya ingin mencari belahan jiwanya, memata-matai, lebih dari mencari karena jika tidak begitu, siapa pun pasti mau menikah dengannya. Sudah ganteng, kaya raya, keturunan baik-baik, bukan pria nakal, dan mandiri, seorang dokter pula. Jik
Rissa kewalahan membantu mengobati pasien covid di RSUD Gading Cempaka. Dokter Yusuf kali ini sering menjadi partnernya. Sehari bisa datang 10 pasien covid baru. Tapi jumlah itu tidaklah sebanyak pasien covid yang lalu lalang di rumah sakit se-Jabodetabek. Ia merasa sedikit lebih beruntung waktu itu tidak mendapatkan penugasan internship di Jakarta dan sekitarnya karena nyatanya teman-teman Rissa yang mendapatkan lokasi iship di Jakarta sudah sangat kewalahan. Boro-boro pulang ke rumah di Gandaria, kalau saja ia waktu itu dapat iship di Jakarta, mungkin Rissa juga tak pulang-pulang karena dinas di rumah sakit. Hanya bisa pulang sebulan sekali. Itu pun dinas harus selalu pakai hazmat yang sangat mengerikan itu. Selalu membuat badan basah kuyup sekujur tubuh, seperti mandi sauna setiap hari. Beda seperti iship di Bengkulu, karena pasir covid di RSUD ini tidak sebanyak di Jakarta, ia masih bisa menjauhi hazmat, si APD level tiga itu.Rissa sudah pulih dari sakit kepala dan mualn
Malang, 2011"Mitha, tolong kecilkan tivinya." kata Amak dengan suara tinggi padaku yang menonton serial kartun Chibi Maruko Chan di vcd yang aku beli sendiri."Iya, Amak." jawab Mitha. Sekarang Amak sangat mudah marah.Kota dingin ini membuatku ingin pulang ke rumah Eyang Kakung di Surabaya. Tapi Apak dan Amak menggelar dagangannya di sini. Gorden-gorden jahitan Amak dipajang di lapak kecil Pasar Tradisional Modern ini. Tapi kalau sudah malam begini biasanya Apak dan Amak sudah pulang.Pring!Prang!Preng!Prang!Kudengar ada suara piring melamin yang dilempar. Kulihat Amak melempar piring itu ke arah Apak, tetapi tidak kena. Apak menghindar dan mencoba menangkis lemparan piring dari Amak."Modalnyo 30.000, awak jual 35.000 sehelai. Ba a ko nak untuang, Pak?!" omel Amak pada Apaknya yang cuma mengambil untung 5000 perak dari penjualan satu gorden."Biar laku lah, Maimunah." jawab Apak yang memanggil nama Am
Sudah sebulan ini kudengar Amak selalu meminta diceraikan Apak."Ada apa, Amak? Apak setia dengan Amak. Pulang ke kampung Amak di Jawa Timur pun Apak lakukan." kata Apak pagi itu pada Amak yang menyiapkan koper di kamar. Aku mengintipnya dari balik gorden panjang.Amak diam saja. Tangannya cekatan memindahkan baju dari lemari ke kopernya. Dalam hatiku berkata, apakah Amak hari ini benar-benar akan meninggalkan kami?Tiba-tiba Amak angkat suara. Suara itu memecahkan gendang telinga."Wes lama aku hidup denganmu, Pak. Ora pernah aku sugih. Gak pernah kaya-kaya. Aku ora gelem hidup susah terus, Pak." jawab Amak yang akhirnya mengancing koper besarnya.Apak terdiam. Sepertinya Apak sudah pasrah. Amak menggendong adikku yang paling kecil, Gibran. Ia masih umur 3 tahun. Amak pun berdiri dari tempat duduknya. Sambil membawa koper dan menggendong Gibran."Saya tunggu surat cerainya, Pak! Gibran saya bawa karena masih sangat kecil."
Richi masih memakai jas putihnya. Ia tampak baru keluar dari lobby Klinik Bunda, tanda tugasnya sore itu telah usai. Tak perlu naik mobil untuk tiba di kosannya, hanya jalan kaki. Mobil yang dikirimkan sopirnya itu pun sering hanya tergeletak di parkiran samping kosannya tanpa sering dipanaskan.Ia menyusuri jalan setapak. Baru kali ini ia merasa merdeka. Jadi dokter yang simple. Cuma bercelana jeans, berkaos oblong dengan jas dokternya, dan bersendal jepit tapak biru yang baru ia beli di warung tetangga. Kini dia berjalan dari klinik itu menuju kosannya. Tampak rumah-rumah warga pribumi di sepanjang jalan setapak itu di kanan dan kirinya. Jalan setapak ini masih berbatu kerikil. Belum diaspal. Jadi, kalau siang terik dan panas biasanya debu-debu beterbangan ke atas awan. Rumah-rumah yang berjejer itu beberapa di antaranya berjualan di depan rumahnya. Dipikirnya, beruntung juga ngelapak di dekat bahkan di depan lokasi klinik yang ramai. Di antara rumah-rumah yang berjualan it
Pagi ini tak seindah biasanya. Alias lebih indah dari hari-hari indah biasanya bagi Mitha. Tentu saja karena sore kemarin ia bertemu dengan cinta pertamanya ketika ia masih kecil dulu.Subuh ini ia sudah bangun salat sunnah rawatib sebelum subuh, salat subuh, lanjut mengaji, lalu ia membaca dzikir pagi, memohon perlindungan Allah. Itulah yang dilakukannya setiap hari kalau di kosan. Guru ngajinya pas kuliah dulu yang mengajarkannya.Setelah merapikan alat salat dan kitab mengajinya, ia menuju kamar mandi. Ia mandi tidak sambil bernyanyi karena kata guru ngajinya dulu, WC adalah sarang setan atau rumah setan yang ditangguhkan Tuhan sampai hari kiamat nanti. Jadi, kalau nyanyi-nyanyi di kamar mandi, bisa jadi setannya tertawa. Makanya kadang ada cerita kalau kita bernyanyi di kamar mandi, terkadang kita mendengar ada yang melanjutkan nyanyian kita. Itu karena setannya ikut nyanyi, lho.Ah, kini Mitha telah selesai mandi. Mandi subuh
Pak Marwan duduk di pos satpam. Sore itu Mitha pulang dari dinas pagi di RSUD. Kini saatnya dia kembali dinas lagi sore ini di Klinik Bunda. Cari duit sebanyak-banyaknya buat sekolah FKG-nya Shinta, adiknya yang padahal sudah dapat beasiswa. Ia hanya takut kurang dana beasiswanya. Jadi bisa menolong adiknya kuliah.Mitha pun menunggu ojek online di dekat pos satpam itu. Seperti biasa, mata Mitha agak jeli. Ia menelusuri ruang kecil satpam itu. Dilihatnya ada jam dinding putih di dalam sana, ada satu kursi dan meja kecil. Cukuplah untuk menonton siaran tivi di Hp sambil menjaga pos."Lho, Pak Marwan, itu kok di meja satpam ada buku diary pink." kata Mitha.Sebenarnya Mitha barusan ingin bilang kalau itu buku diary pink punya Dokter Rissa. Tapi, karena di sepanjang jalan ia merasa Dokter Rissa sangat save dengan diary itu, Mitha penasaran. Pikirnya, sebaiknya Mitha saja yang mengembalikannya diary itu pada Dokter Rissa. Jangan Pak Satpam."Lho, ini diary ka
"Delapan tahun yang lalu Amak meninggalkan kami semua. Enam tahun yang lalu Amak datang lagi menemui kami bersama Gibran yang berusia lima tahun." Mitha melamun mengenang kenangan buruk itu."Artinya kini usia Gibran 11 tahun. Emm, sudah sekitar kelas 6 SD." Mitha membayangkan Gibran yang sudah hampir menginjak masa SMP, masa remaja muda. Masa yang secara ilmu psikologi sangat 'membutuhkan' sosok 'ayah', masa remaja muda umur 11, 12 tahun.Mitha masih duduk di sofa malas di rumah besar Rissa di Jakarta. Walaupun besar, ia tetap merasa kesepian. Selagi di Jakarta, Rissa banyak urusan di luar."Mumpung kamu lagi di Jakarta." kata Misce, sepupu Rissa yang rumahnya juga di Jakarta, sedangkan Wanda dan Tomi sudah balik ke Cianjur, sedangkan Rara baru saja mulai iship di Rumah Sakit Jakarta Muda karena tahun lalu ia ikut suaminya melanjutkan kuliahnya di Seoul, Korea Selatan."Ayo kak, Misce anterin milih baju pernikahan lu. Gue bakal ajak lu ke butik terkenal
Presiden Republik Indonesia baru saja memperpanjang masa PPKM pembatasan kegiatan masyarakat selama masa pandemi ini, terutama di Jakarta. Jalanan depan rumah Rissa tampak sepi. Mitha melihat pemandangan pagi ini dari kaca rumah di depan kamarnya di lantai dua. Tiba-tiba ia melihat seorang lelaki yang memang datang ke acara pertunangan Rissa dan Yusuf berada di depan pintu pagar depan rumah.Mitha hanya sendirian di kamar. Barusan Yusuf dan keluarganya pulang ke Bengkulu diantar Rissa dan keluarganya, Rissa, Mami, dan Papinya. Mitha tidak ikut, ia bilang biarlah ia menunggu di rumah saja. Oleh karena itu, ia hanya seorang diri di dalam kamar tamu di lantai dua di samping kamar Rissa itu. Ia mengetik alamat yang berada di kartu nama bernamakan Maemunah itu pada aplikasi peta di internet, Google Map. Lalu ia klik sekali untuk melihat seberapa jauh jarak alamat itu dari rumah Rissa."Jalan kaki cuma 2 menit. Naik motor cuma 30 detik, dan naik mobil hanya 35 detik."
Dokter Steven adalah seorang psikoterapis dengan spesialisasi dalam seks dan hubungan. Ia dokter pertama yang terekam dalam benak Yusuf saat memanaskan air untuk menyeduh kopinya sendiri. Ia adalah kakak kelas Yusuf saat di kampus dulu. Tapi terpaut lumayan jauh darinya, terpaut sekitar 5 tahun.Pagi itu pikirannya hanya tertuju pada kesembuhannya. Masokis yang dialaminya lebih karena diakibatkan trauma masa kecilnya. Trauma masa lampau membuatnya ingin mati saja. Ayahnya yang sangat suka menghardik ibunya dan dirinya saat masih kecil dulu dengan kasar membuat otaknya terngiang-ngiang dalam lamunannya."Jangan tendang ibu, pak." kata Yusuf.Yusuf kecil yang sedang memeluk kaki kiri bapaknya menangis tersedu-sedu. Ibunya ditendang bapaknya lantaran ketahuan selingkuh di rumahnya sendiri. Padahal ibunya tidak selingkuh. Itu hanya asumsi bapaknya saja. Hanyalah kesalahpahaman.Paman Danang yang dari Korea Selatan datang ke rumah sahabatnya itu membelik
Mempersiapkan pernikahan ditambah lagi mempersiapkan ujian iship dan ujian akhir profesi dokter membuat Rissa sangat kewalahan. Ditambah jumlah pasien di RSUD Gading Cempaka Bengkulu tidak pernah usai. Malah jumlahnya tambah meningkat tajam dan jenis klaster baru terjadi terus, dari klaster keluarga, klaster kantor, klaster sekolah, klaster restoran/tempat makan, klaster pernikahan, klaster obyek pariwisata, dan banyak lagi."Saturasi oksigennya hanya 70%, Dok." lapor Vivi pada Dokter Rissa yang masih mengenakan hazmatnya. Panas sekali rasanya. Rasanya Rissa ingin segera mencemplungkan dirinya di kolam renang sekarang juga."Oke," jawab Rissa pada Vivi. Peluh keringatnya sudah menetes-netes di kelopak matanya."Tolong siapkan ruangan satu lagi, tolong pasang catheter urin, sama pasang infus ya." kata Dokter Susan menimpali. Lalu ia berbisik pada Dokter Rissa."Ris, kamu ganti hazmat sana. Mandi aja. Kamu gak takut sama janin kamu?" kata Dokter Susan
Bunga-bunga melati dan mawar putih bermekaran di latar papan cream pelaminan kecil, mendominasi back ground lamaran pernikahan malam ini. Ditambah aksen pink pastel warna kesukaan Rissa sejak remaja. Lampu-lampu hias tergantung di antara bunga-bunga itu. Warnanya cerah kekuningan. Berkerlap-kerlip menambah semarak hiasan pada papan tinggi di belakangnya. Dua bangku bersandar berwarna putih bersih terdiam di depan pelaminan kecil itu. Berpasangan dengan hiasan pita emas di sandaran kursinya. Persis di samping standing roll berbentuk hati merah. Bertuliskan "Happy Engagement, Rissa & Yusuf" besar-besar berwarna emas. Terkesan akan kemewahan yang sempurna. PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) di Indonesia semenjak pandemi covid-19, khususnya di Jakarta membuat acara pertunangan antara Rissa dan Yusuf di dalam rumah besar itu hanya disaksikan oleh keluarga besar saja dan beberapa teman dekat Rissa dan Yusuf. "Hei Rissa, kamu cantik sekali memaka
Februari 2011Aku berpamitan dengan Apak. Liburan kuliahku selama dua minggu telah usai. Kini kami harus masuk kuliah semester genab."Pak, Mitha berangkat dulu ya." kataku pada Apak di depan pintu rumah sambil mencium punggung tangannya. Adi, Shinta, dan Puspa juga menyalamiku satu-satu. Jika melihat Adi, aku ingat kalau sebentar lagi dia tamat SMA dan mungkin harus kuliah."Iya, Mitha. Hati-hati di jalan ya. Kalau sudah sampai, tolong telepon bapak atau Adi." pesan Apak padaku.Orang yang punya Hp waktu itu hanyalah Adi dan Apak. Itu pun hand phone harga minimalis. Belum ada wasap atau wechat seperti sekarang. Masih pakai sms.Setelah pertemuan kami dengan Amak yang kini kami harus memanggilnya dengan sebutan mama, Apak sering murung. Kadang matanya berkaca-kaca sambil berkata, "Maemunah, maafkan saya yang belum bisa membahagiakan kamu selama ini." Apak telah dikhianati, tetapi beliau malah mengupat dirinya sendiri.Aku berdiri di depan go
Aku pertama kali bertemu dengannya satu tahun terakhir. Masih satu tahun kurang. Waktu itu aku sudah genab 17 tahun berumah tangga. Selama 17 tahun, aku memiliki lima anak: Mitha, Adi, Shinta, Puspa, dan Gibran, tetapi dalam keadaan ekonomi yang pas-pasan dan malah terkadang kurang.Jika kurang, aku bisa memetik daun singkong di kebun, bahkan di depan rumah saja. Daun singkong itu bisa dibuat sayur daun singkong, sayur santan daun singkong, sambal daun singkong yang daunnya dipotong-potong, dan buahnya bisa dibikin macam-macam olahan makanan, seperti tapai singkong (bahasa Sundanya peyeum), keripik singkong, singkong rebus, singkong bakar, dan singkong goreng, kini pun bisa dibuat dadu-dadu keripik singkong yang dijual ke seluruh Indonesia dan mancanegara.Kadang kalau singkong tidak ada, aku bisa mengambil buah pepaya muda. Kalau di sini bahasanya kates muda. Kates muda itu bisa kami buat isian pempek kates, dan isian pempek kates pun sering dijadikan lauk pauk.
"Bagaimana ibu?" tanya Yusuf pada ibunya pagi itu yang sedang menyeruput teh hangat di meja makan."Rissa maksud kamu?" tanya ibunya balik pada Yusuf yang masih belum menghabiskan salad buahnya."Iya, bu." jawab Yusuf."Ya, kalau kamu yakin, nikahi saja dia. Lagian biar ibu ada temannya. Ke mana-mana bisa sama dia yang orang dewasa. Masa sama anak kecil terus." jawab ibunya lagi yang seolah membuka kesempatan besar pada anak lelaki semata wayangnya ini. Ibunya tersenyum penuh."Baik, Bu. Sebentar lagi Yusuf akan melamar Rissa pada orang tuanya." kata Yusuf lagi."Bagaimana dengan Alya dan Anisa? Apa kamu sudah nanya sama kedua anak gadismu itu bahwa mereka bakal punya mama baru?" tanya neneknya dengan suara serius."Ya, bu. Yusuf akan tanya Alya dan Anisa dulu." jawab Yusuf mantap. Lalu ia tersenyum. Sudah empat tahun lebih ia menahan kejantanannya berdiri sendiri. Hal itu karena ia menyesali penyakitnya sendiri. Terkadang ada perasaan ingin
Pasien covid-19 terus bertambah. Ruang isolasi covid di RSUD Gading Cempaka full."Di mana lagi kita harus meletakkan pasien ini?" tanya Dokter Susan sebagai ketua tim covid.Semua perawat dan dokter terdiam. Tak tahu lagi mau ngomong apa. Atau bisa jadi sudah kewalahan alias tak peduli. Ah, bukan tak peduli, tetapi rasa capek itu luar biasa. Jika memakain hazmat, baru setengah jam saja rasanya sangat gerah, rasanya ingin membuka baju saat itu juga. Harus ada rasa sabar yang lebih."Bagaimana semuanya? Apakah ada yang mau komen?" tanya Dokter Susan lagi di ruang aula kecil tempat mereka rapat itu, juga bersama esselon rumah sakit yang juga bingung."IGD belakang bisa, dok?" kata Pak Budi si esselon 4."Maaf, Pak. IGD belakang kita khususkan untuk pejabat daerah, Pak. Gitu pesan Pak Amir (esselon 2)." jawab Dokter Susan.IGD belakang merupakan bangunan yang dibuat luas. Awalnya memang untuk memindahkan IGD depan ke belakang. Jadi pintu