Richi masih memakai jas putihnya. Ia tampak baru keluar dari lobby Klinik Bunda, tanda tugasnya sore itu telah usai. Tak perlu naik mobil untuk tiba di kosannya, hanya jalan kaki. Mobil yang dikirimkan sopirnya itu pun sering hanya tergeletak di parkiran samping kosannya tanpa sering dipanaskan.
Ia menyusuri jalan setapak. Baru kali ini ia merasa merdeka. Jadi dokter yang simple. Cuma bercelana jeans, berkaos oblong dengan jas dokternya, dan bersendal jepit tapak biru yang baru ia beli di warung tetangga. Kini dia berjalan dari klinik itu menuju kosannya. Tampak rumah-rumah warga pribumi di sepanjang jalan setapak itu di kanan dan kirinya. Jalan setapak ini masih berbatu kerikil. Belum diaspal. Jadi, kalau siang terik dan panas biasanya debu-debu beterbangan ke atas awan. Rumah-rumah yang berjejer itu beberapa di antaranya berjualan di depan rumahnya. Dipikirnya, beruntung juga ngelapak di dekat bahkan di depan lokasi klinik yang ramai. Di antara rumah-rumah yang berjualan it
Pagi ini tak seindah biasanya. Alias lebih indah dari hari-hari indah biasanya bagi Mitha. Tentu saja karena sore kemarin ia bertemu dengan cinta pertamanya ketika ia masih kecil dulu.Subuh ini ia sudah bangun salat sunnah rawatib sebelum subuh, salat subuh, lanjut mengaji, lalu ia membaca dzikir pagi, memohon perlindungan Allah. Itulah yang dilakukannya setiap hari kalau di kosan. Guru ngajinya pas kuliah dulu yang mengajarkannya.Setelah merapikan alat salat dan kitab mengajinya, ia menuju kamar mandi. Ia mandi tidak sambil bernyanyi karena kata guru ngajinya dulu, WC adalah sarang setan atau rumah setan yang ditangguhkan Tuhan sampai hari kiamat nanti. Jadi, kalau nyanyi-nyanyi di kamar mandi, bisa jadi setannya tertawa. Makanya kadang ada cerita kalau kita bernyanyi di kamar mandi, terkadang kita mendengar ada yang melanjutkan nyanyian kita. Itu karena setannya ikut nyanyi, lho.Ah, kini Mitha telah selesai mandi. Mandi subuh
Pak Marwan duduk di pos satpam. Sore itu Mitha pulang dari dinas pagi di RSUD. Kini saatnya dia kembali dinas lagi sore ini di Klinik Bunda. Cari duit sebanyak-banyaknya buat sekolah FKG-nya Shinta, adiknya yang padahal sudah dapat beasiswa. Ia hanya takut kurang dana beasiswanya. Jadi bisa menolong adiknya kuliah.Mitha pun menunggu ojek online di dekat pos satpam itu. Seperti biasa, mata Mitha agak jeli. Ia menelusuri ruang kecil satpam itu. Dilihatnya ada jam dinding putih di dalam sana, ada satu kursi dan meja kecil. Cukuplah untuk menonton siaran tivi di Hp sambil menjaga pos."Lho, Pak Marwan, itu kok di meja satpam ada buku diary pink." kata Mitha.Sebenarnya Mitha barusan ingin bilang kalau itu buku diary pink punya Dokter Rissa. Tapi, karena di sepanjang jalan ia merasa Dokter Rissa sangat save dengan diary itu, Mitha penasaran. Pikirnya, sebaiknya Mitha saja yang mengembalikannya diary itu pada Dokter Rissa. Jangan Pak Satpam."Lho, ini diary ka
"Varian Delta sudah masuk ke tanah Air. Lagi-lagi dimulai dari Jakarta dan Pulau Jawa. Menurut penelitian studi kasus dari Saito, dan kawan-kawan (2021), Mutasi Spike P681R, E484Q, dan L452R mempermudah varian delta masuk ke sel inang, sedangkan menurut studi kasus dari Mueksch (2021), mutasi spike T478K membuat virus mudah lolos dari antibodi. Varian delta ini viral loadnya 1000 x lebih tinggi dari pada varian Wuhan tahun 2019 lalu."Lagi-lagi berita di tivi mengejutkan dunia, terutama Indonesia. Dokter Rissa dan Dokter Yusuf saling pandang, entah berarti apa ketika sama-sama melihat berita itu di tivi IGD. Setelah visit pasien covid di ruangan isolasi barusan, mereka kembali duduk di meja kerja masing-masing. Meja kerja mereka bersebelahan."Waw, Indonesia hari ini menduduki peringkat pertama jumlah kasus baru terbesar se-Asia." kata Dokter Yusuf. Di sana juga ada Nurse Vivi dan Nurse Bonar yang juga bertugas. Juga ada Bidan Pipit."Iya, Dok." jawa
Sedikit-sedikit Rissa mengemil. Semua makanan yang dibawakan Dokter Yusuf habis tak bersisa. Bahkan kekurangan. "Duh, tapi saya harus mengendalikan nafsu makan saya yang begini. Kalau tidak, saya akan bertambah gendut, sedangkan saya masih menyembunyikan semuanya. Bagaimana kalau mami dan papi ke sini? Kan buyar." kata Rissa dalam hati."Rissa dan Yusuf memasuki kamar dokter. Biasanya Rissa tidur di kamar perawat, tetapi kali ini Dokter Yusuf yang mengalah. Ia bilang akan tidur di kamar perawat laki-laki, si Bonar. Rissa pun tidur sendirian di kamar itu. Terlihat Dokter Yusuf membereskan bawaannya di kamar itu untuk memindahkan barangnya itu ke kamar Bonar. Mereka pun kini hanya berdua di kamar itu. Lalu Yusuf pamit pada Rissa. Lalu ia berkata, "Rissa, besok kita libur kan? Besok saya jemput kamu boleh?" tanya Yusuf dengan penuh harapan.Rissa hanya mengangguk pelan sekali.***Pagi ini lebih dingin dari biasanya. Bumi sedang berada di titik yang paling j
Wanita berbaju merah dan bersepatu merah itu berjalan ke arah rumah Mitha sambil menggandeng seorang bocah laki-laki berumur sekitar lima tahun yang memakai kemeja merah dan celana hitam. Sepatunya berwarna merah Spiderman memegang tembak-tembakan plastik mainan."Sudah dua tahun saja saya tinggalkan tanah ini," serunya angkuh dalam hati. "Tapi, apakah Uda dan anak-anak masih tinggal di sini ya?" serunya lagi lirih.Mitha yang sibuk menguahkan cilok pedas itu dengan kuah cabe merah, merasa ketokan sepatu itu, tik tok, tik tok, tik tok, semakin mendekat ke arahnya."Rumah ini apa sudah berganti penghuni ya?" kata wanita itu lagi dalam hati. Ia kini melepas kaca mata hitamnya. Tas kecilnya masih berada di lengan kirinya yang kengsi (can see). Ia sedikit melotot melihat di depan rumah itu ada gerobak bertuliskan "Cilok Pedas".Mitha masih sibuk dengan pelanggannya yang satu lagi. Ia belum sempat melihat ke arah wnaita berbaju merah. Ia cekatan. Diambilnya be
Rissa teringat Yusuf ketika hendak tidur. Ia tak bisa tidur. Miring kanan atau pun kiri serba salah. Dielusnya perutnya. Lalu meneteslah air matanya. Tepat hari ini berdasarkan HPHT (Hari Pertama Haid Terakhir) usia kandungan Rissa masuk tepat delapan minggu, bahasa ringkasnya 8 weeks (8 w) atau dua bulan. Terkadang ia ingin aborsi saja. Tapi, terkadang naluri keibuannya terlahir kembali."Apa sih gunanya mempertahankan anak tanpa ayah ini? Ayahnya saja tidak berguna, tidak merasa, tidak bertanggung jawab!" pekik Rissa di kamarnya yang redup karena semua lampu dimatikannya, kecuali lampu tidurnya yang berwarna kuning.Pernah ia minum jamu. Padahal ibu hamil dilarang minum jamu. Takut aborsi. Atau mungkin bisa saja Rissa meresepkan pil aborsi itu sendiri sebelum Tuhan meniupkan ruh ke dalam janin ini. Tapi, Rissa malah berpikir, kalau dia mencoba aborsi, hal yang paling ditakutkannya adalah bukannya janin mati, tetapi bisa jadi janinnya lumpuh karena mencoba aborsi. Jad
Mitha mengantar Rissa keluar pagar. Rissa pun yang sudah cukup tenang pamit untuk pulang. Jam 11 siang ini Richi akan menjemput Rissa."Mitha gak main ke kosan Kakak?" tanya Rissa dari balik kaca mobil."Kapan-kapan deh Mitha pasti main ke kosan kakak ya. Kalau hari ini, sekitar lima belas menit lagi teman Mitha datang jemput, Kak Rissa." jawab Mitha jujur."Teman apa teman?" tanya Rissa lagi sambil tertawa ngeledek seolah sudah mengakhiri kesedihannya."Teman sejak kecil, Kak. Ketemu lagi sekarang. Kosannya dekat sini." kata Mitha lagi. "Itu kak. Cuma beda lima rumah." kata Mitha lagi yang menunjuk di mana kosan Richi."Oke. Makasih ya dek. Kak Rissa senang bisa mengenal Mitha." kata Rissa lagi kini menghidupkan mobilnya."Oke Kak. Hati-hati di jalan ya." kata Mitha ramah.Belum lima belas menit, setelah beberapa detik mobil Rissa melaju, mobil Richi datang menjemput."Alphard?" tanya Mitha dala
Rissa sedang di perjalanan menuju kosan Mitha. Ternyata jarak antar kosan hanyalah 15 menit. Ya, namanya juga tinggal di kota kecil, jarak antar lokasi tidak jauh dan tidak ada macet. Paling macet bila di dekat lampu merah saja karena kota Bengkulu sudah mulai banyak mobil orang-orang pendatang atau bisa juga mobil orang kaya baru. Wah, kalau mengatakan mobil, di Indonesia tak perlu kaya dulu baru bisa beli mobil. Cukup DP lima juta dan bayar kredit tiap bulan. Mobil sekeren apa pun bisa dibeli. Asal bisa nyicil per bulan atau kalau tidak, ya mobil ditarik lagi, disita.Kriiing....Kriiing....Kriiiiiiiiiing...!Rissa sedang misscall Mitha yang ada di dalam kamarnya. Lamunan Mitha terbuyar."Mith, kakak di depan nih." kata Rissa yang menyuruh Mitha membukakan pintu.Mitha yang lagi minum teh pagi-pagi tanpa ba bi bu lagi langsung membukakan pintu untuk tamunya."Hai, Kak." sapa Mitha yang tiba-tiba nongol di balik pagar depan.
"Delapan tahun yang lalu Amak meninggalkan kami semua. Enam tahun yang lalu Amak datang lagi menemui kami bersama Gibran yang berusia lima tahun." Mitha melamun mengenang kenangan buruk itu."Artinya kini usia Gibran 11 tahun. Emm, sudah sekitar kelas 6 SD." Mitha membayangkan Gibran yang sudah hampir menginjak masa SMP, masa remaja muda. Masa yang secara ilmu psikologi sangat 'membutuhkan' sosok 'ayah', masa remaja muda umur 11, 12 tahun.Mitha masih duduk di sofa malas di rumah besar Rissa di Jakarta. Walaupun besar, ia tetap merasa kesepian. Selagi di Jakarta, Rissa banyak urusan di luar."Mumpung kamu lagi di Jakarta." kata Misce, sepupu Rissa yang rumahnya juga di Jakarta, sedangkan Wanda dan Tomi sudah balik ke Cianjur, sedangkan Rara baru saja mulai iship di Rumah Sakit Jakarta Muda karena tahun lalu ia ikut suaminya melanjutkan kuliahnya di Seoul, Korea Selatan."Ayo kak, Misce anterin milih baju pernikahan lu. Gue bakal ajak lu ke butik terkenal
Presiden Republik Indonesia baru saja memperpanjang masa PPKM pembatasan kegiatan masyarakat selama masa pandemi ini, terutama di Jakarta. Jalanan depan rumah Rissa tampak sepi. Mitha melihat pemandangan pagi ini dari kaca rumah di depan kamarnya di lantai dua. Tiba-tiba ia melihat seorang lelaki yang memang datang ke acara pertunangan Rissa dan Yusuf berada di depan pintu pagar depan rumah.Mitha hanya sendirian di kamar. Barusan Yusuf dan keluarganya pulang ke Bengkulu diantar Rissa dan keluarganya, Rissa, Mami, dan Papinya. Mitha tidak ikut, ia bilang biarlah ia menunggu di rumah saja. Oleh karena itu, ia hanya seorang diri di dalam kamar tamu di lantai dua di samping kamar Rissa itu. Ia mengetik alamat yang berada di kartu nama bernamakan Maemunah itu pada aplikasi peta di internet, Google Map. Lalu ia klik sekali untuk melihat seberapa jauh jarak alamat itu dari rumah Rissa."Jalan kaki cuma 2 menit. Naik motor cuma 30 detik, dan naik mobil hanya 35 detik."
Dokter Steven adalah seorang psikoterapis dengan spesialisasi dalam seks dan hubungan. Ia dokter pertama yang terekam dalam benak Yusuf saat memanaskan air untuk menyeduh kopinya sendiri. Ia adalah kakak kelas Yusuf saat di kampus dulu. Tapi terpaut lumayan jauh darinya, terpaut sekitar 5 tahun.Pagi itu pikirannya hanya tertuju pada kesembuhannya. Masokis yang dialaminya lebih karena diakibatkan trauma masa kecilnya. Trauma masa lampau membuatnya ingin mati saja. Ayahnya yang sangat suka menghardik ibunya dan dirinya saat masih kecil dulu dengan kasar membuat otaknya terngiang-ngiang dalam lamunannya."Jangan tendang ibu, pak." kata Yusuf.Yusuf kecil yang sedang memeluk kaki kiri bapaknya menangis tersedu-sedu. Ibunya ditendang bapaknya lantaran ketahuan selingkuh di rumahnya sendiri. Padahal ibunya tidak selingkuh. Itu hanya asumsi bapaknya saja. Hanyalah kesalahpahaman.Paman Danang yang dari Korea Selatan datang ke rumah sahabatnya itu membelik
Mempersiapkan pernikahan ditambah lagi mempersiapkan ujian iship dan ujian akhir profesi dokter membuat Rissa sangat kewalahan. Ditambah jumlah pasien di RSUD Gading Cempaka Bengkulu tidak pernah usai. Malah jumlahnya tambah meningkat tajam dan jenis klaster baru terjadi terus, dari klaster keluarga, klaster kantor, klaster sekolah, klaster restoran/tempat makan, klaster pernikahan, klaster obyek pariwisata, dan banyak lagi."Saturasi oksigennya hanya 70%, Dok." lapor Vivi pada Dokter Rissa yang masih mengenakan hazmatnya. Panas sekali rasanya. Rasanya Rissa ingin segera mencemplungkan dirinya di kolam renang sekarang juga."Oke," jawab Rissa pada Vivi. Peluh keringatnya sudah menetes-netes di kelopak matanya."Tolong siapkan ruangan satu lagi, tolong pasang catheter urin, sama pasang infus ya." kata Dokter Susan menimpali. Lalu ia berbisik pada Dokter Rissa."Ris, kamu ganti hazmat sana. Mandi aja. Kamu gak takut sama janin kamu?" kata Dokter Susan
Bunga-bunga melati dan mawar putih bermekaran di latar papan cream pelaminan kecil, mendominasi back ground lamaran pernikahan malam ini. Ditambah aksen pink pastel warna kesukaan Rissa sejak remaja. Lampu-lampu hias tergantung di antara bunga-bunga itu. Warnanya cerah kekuningan. Berkerlap-kerlip menambah semarak hiasan pada papan tinggi di belakangnya. Dua bangku bersandar berwarna putih bersih terdiam di depan pelaminan kecil itu. Berpasangan dengan hiasan pita emas di sandaran kursinya. Persis di samping standing roll berbentuk hati merah. Bertuliskan "Happy Engagement, Rissa & Yusuf" besar-besar berwarna emas. Terkesan akan kemewahan yang sempurna. PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) di Indonesia semenjak pandemi covid-19, khususnya di Jakarta membuat acara pertunangan antara Rissa dan Yusuf di dalam rumah besar itu hanya disaksikan oleh keluarga besar saja dan beberapa teman dekat Rissa dan Yusuf. "Hei Rissa, kamu cantik sekali memaka
Februari 2011Aku berpamitan dengan Apak. Liburan kuliahku selama dua minggu telah usai. Kini kami harus masuk kuliah semester genab."Pak, Mitha berangkat dulu ya." kataku pada Apak di depan pintu rumah sambil mencium punggung tangannya. Adi, Shinta, dan Puspa juga menyalamiku satu-satu. Jika melihat Adi, aku ingat kalau sebentar lagi dia tamat SMA dan mungkin harus kuliah."Iya, Mitha. Hati-hati di jalan ya. Kalau sudah sampai, tolong telepon bapak atau Adi." pesan Apak padaku.Orang yang punya Hp waktu itu hanyalah Adi dan Apak. Itu pun hand phone harga minimalis. Belum ada wasap atau wechat seperti sekarang. Masih pakai sms.Setelah pertemuan kami dengan Amak yang kini kami harus memanggilnya dengan sebutan mama, Apak sering murung. Kadang matanya berkaca-kaca sambil berkata, "Maemunah, maafkan saya yang belum bisa membahagiakan kamu selama ini." Apak telah dikhianati, tetapi beliau malah mengupat dirinya sendiri.Aku berdiri di depan go
Aku pertama kali bertemu dengannya satu tahun terakhir. Masih satu tahun kurang. Waktu itu aku sudah genab 17 tahun berumah tangga. Selama 17 tahun, aku memiliki lima anak: Mitha, Adi, Shinta, Puspa, dan Gibran, tetapi dalam keadaan ekonomi yang pas-pasan dan malah terkadang kurang.Jika kurang, aku bisa memetik daun singkong di kebun, bahkan di depan rumah saja. Daun singkong itu bisa dibuat sayur daun singkong, sayur santan daun singkong, sambal daun singkong yang daunnya dipotong-potong, dan buahnya bisa dibikin macam-macam olahan makanan, seperti tapai singkong (bahasa Sundanya peyeum), keripik singkong, singkong rebus, singkong bakar, dan singkong goreng, kini pun bisa dibuat dadu-dadu keripik singkong yang dijual ke seluruh Indonesia dan mancanegara.Kadang kalau singkong tidak ada, aku bisa mengambil buah pepaya muda. Kalau di sini bahasanya kates muda. Kates muda itu bisa kami buat isian pempek kates, dan isian pempek kates pun sering dijadikan lauk pauk.
"Bagaimana ibu?" tanya Yusuf pada ibunya pagi itu yang sedang menyeruput teh hangat di meja makan."Rissa maksud kamu?" tanya ibunya balik pada Yusuf yang masih belum menghabiskan salad buahnya."Iya, bu." jawab Yusuf."Ya, kalau kamu yakin, nikahi saja dia. Lagian biar ibu ada temannya. Ke mana-mana bisa sama dia yang orang dewasa. Masa sama anak kecil terus." jawab ibunya lagi yang seolah membuka kesempatan besar pada anak lelaki semata wayangnya ini. Ibunya tersenyum penuh."Baik, Bu. Sebentar lagi Yusuf akan melamar Rissa pada orang tuanya." kata Yusuf lagi."Bagaimana dengan Alya dan Anisa? Apa kamu sudah nanya sama kedua anak gadismu itu bahwa mereka bakal punya mama baru?" tanya neneknya dengan suara serius."Ya, bu. Yusuf akan tanya Alya dan Anisa dulu." jawab Yusuf mantap. Lalu ia tersenyum. Sudah empat tahun lebih ia menahan kejantanannya berdiri sendiri. Hal itu karena ia menyesali penyakitnya sendiri. Terkadang ada perasaan ingin
Pasien covid-19 terus bertambah. Ruang isolasi covid di RSUD Gading Cempaka full."Di mana lagi kita harus meletakkan pasien ini?" tanya Dokter Susan sebagai ketua tim covid.Semua perawat dan dokter terdiam. Tak tahu lagi mau ngomong apa. Atau bisa jadi sudah kewalahan alias tak peduli. Ah, bukan tak peduli, tetapi rasa capek itu luar biasa. Jika memakain hazmat, baru setengah jam saja rasanya sangat gerah, rasanya ingin membuka baju saat itu juga. Harus ada rasa sabar yang lebih."Bagaimana semuanya? Apakah ada yang mau komen?" tanya Dokter Susan lagi di ruang aula kecil tempat mereka rapat itu, juga bersama esselon rumah sakit yang juga bingung."IGD belakang bisa, dok?" kata Pak Budi si esselon 4."Maaf, Pak. IGD belakang kita khususkan untuk pejabat daerah, Pak. Gitu pesan Pak Amir (esselon 2)." jawab Dokter Susan.IGD belakang merupakan bangunan yang dibuat luas. Awalnya memang untuk memindahkan IGD depan ke belakang. Jadi pintu