“Aku belum siap kalau kita harus …” Rindu betul-betul bingung ketika harus mengungkapkan penolakannya pada Dewa. Ia khawatir, kalau pria itu akan kembali marah dan akan berubah mengerikan seperti yang sudah-sudah. Namun, jika tidak dikatakan sekarang, Rindu khawatir tidak akan ada lagi kesempatan lain, dan pada akhirnya ia sendirilah yang dirugikan.
“Waktu … habis, ketemu sama tante Maria waktu itu, aku ngerasa … kalau sebenarnya aku nggak pantas jadi istri kamu,” ungkap Rindu dengan sangat hati-hati agar tidak menyinggung Dewa dan membuat pria itu marah.
“To-tolong jangan marah dulu, dan dengarkan aku sebentar.” Rindu memilih bangkit menjauh dari Dewa untuk menormalkan detak jantungnya. Duduk tegak pada sofa dan menyimpan semua rasa gugupnya sendiri. “Aku bukannya nggak mau nikah beneran di KUA, tapi … begini, aku ngerasa, kalau mentalku nggak sekuat yang ak
“Jangan bodoh.” Dewa masih berada di tempat yang sama, begitu pun dengan posisi duduknya. “Apa kamu pernah berpikir, kalau kamu tiba-tiba hamil? Yakin, keluargamu mau nerima kamu, yang tahu-tahu datang terus hamil tanpa ada ayahnya?” “Itu …” Rindu tidak bisa menebak-nebak masa depan yang ada. Namun, bukankah saat pertama kali berhubungan dengan Dewa, Rindu ternyata tidak hamil. “Belum tentu hamil juga, kan?” “Dan, bagaimana kalau hamil?” “Aku …” Rindu tidak bisa berpikir jernih, di antara semua tekanan yang menghimpitnya sekaligus seperti ini. “Apa kamu sadar, Rin. Sejauh apapun kamu melangkah, kamu nggak akan bisa lepas dariku.” “Itu …” telunjuk Rindu mengarah pada Dewa sembari berdiri untuk mengalihkan rasa gelisahnya. “Itu salah satu yang bikin aku tertekan. Kamu selalu ngawasi aku.” “Tapi kamu bisa bebas melakukan apapun yang kamu mau.” Rindu bergerak mondar mandir di depan sofa. Sekali lagi, semua yang dikatakan Dewa adalah benar, dan Rin
“Berhenti di situ, kalau kalian masih ingin pulang menemui keluarga di rumah hidup-hidup.” Dewa berjalan santai menuruni tangga, sembari mengarahkan telunjuknya pada dua orang bodyguard, yang hendak menaikkan kakinya ke arah tangga. “Berani naik ke lantai atas, siap-siap kehilangan salah satu anggota tubuh kalian,” tambah Dewa sambil melewati dua pria berbadan tambun, yang hanya bisa terdiam dengan ancaman Dewa. “Kalian tinggal pilih, mau tangan, atau kaki yang duluan hilang.” Dewa terus melangkahkan kakinya ke depan, karena ia tahu, seseorang telah menunggunya di luar sana. Dewa sudah memperingatkan Reno agar tidak menemuinya, karena masalah Rindu. Namun, kali ini Dewa ceroboh, karena tidak menduga kalau hal seperti ini akan terjadi. “Apa ada arisan sosialita sepagi ini?” Dewa menghempaskan tubuhnya pada sudut sofa panjang yang berseberangan dengan sang mama. Melirik sebentar, pada seorang bodyguard, yang berdiri di samping Maria. Sebenarnya
“Dengar baik-baik.” Dewa menunjuk ke empat bodyguard yang dibawa sang mama satu per satu, dengan mengacungkan berettanya. Keempat orang itu tengah berdiri tegap di carport, sementara Dewa berdiri santai di ujung teras, bersama Riko. “Ini pertama dan terakhir kalinya, kalian semua masuk ke sini, tanpa izin dari saya.”Dewa kembali menatap keempat pria bertubuh kekar itu, dengan pelan sembari mengingat wajah mereka. “Kalau salah satu dari kalian, masih ada mau yang cari masalah sama saya, mulai dari sekarang siapkan surat wasiat buat keluarga masing-masing dan uang pesangon yang cukup buat mereka hidup. Paham kalian?”“Sudah, sudah!” seru Maria sudah tidak bisa berkata-kata lagi. Maria tahu, kalau Dewa tidak akan menembakkan satu peluru pun, karena bodyguard yang dibawanya tidak melakukan apa-apa. “Buka pagar,
Kalau bukan sang papa yang meminta untuk datang ke rumah, Dewa mana mungkin mau menginjakkan kakinya untuk pergi ke sana. Karena Dewa tahu, Abraham memintanya datang pasti karena aduan Maria. “Papa, sebenarnya sudah nggak mau ikut campur dan angkat tangan.” Abraham benar-benar mengangkat kedua tangannya sejenak. Ia melirik pada sang istri dan putranya, yang saat ini duduk di hadapannya dengan gelengan. Kedua ibu dan anak itu duduk saling bersebrangan, dan belum bertegur sapa sedari tadi. “Tapi, karena Papa capek dengar Mamamu ngomel seharian ini. Jadi, mari kita selesaikan.” Tatapan Abraham tertuju pada putranya terlebih dahulu. “Gimana, Wà? Bisa-bisanya kamu ngancam Mamamu pake beretta?” “Tanya sama Mama, bisa-bisanya datang ke rumahku dan langsung masuk tanpa permisi?” Dewa bersandar santai dengan satu tangan b
Rindu belum bereaksi ketika Dewa mengatakan, bahwa ia sudah bisa pergi ke mana pun mulai hari ini. Tidak sampai dua minggu, tapi sepertinya Dewa sudah memutuskan untuk mengakhiri masa hukuman itu untuk Rindu. Bukannya senang, tapi Rindu semakin dibuat curiga oleh pria itu. Dewa pasti melakukan hal ini, karena Rindu memintanya untuk mengakhiri hubungan yang ada, Setelah Rindu mengatakan bahwa dirinya sangat tertekan dengan hubungan yang terjalin di antara mereka, Dewa mendadak langsung memberinya kelonggaran seperti saat ini. “Tapi tetap, kamu ke mana-mana harus pergi sama sopir,” tambah Dewa setelah berbicara panjang lebar seraya memakai dasinya. “Capeeek banget ngomong sama temboook.” Rindu yang masih bergelung di dalam selimut, langsung membalik tubuhnya karena sudah malas melihat Dewa. “Aku mau udahaaan.
“Mau fotokopi kartu keluarga buat apa?”Karena tidak ada siapa pun di rumah di siang hari seperti ini, maka Rindu bisa dengan bebas membuntuti sang ibu yang masih sibuk dengan pekerjaan rumah. Saat ini, Rindu sedang berada di belakang rumah, dan berdiri di samping Tiara yang tengah menjemur pakaian.“Buat ….” Rindu ikut menunduk dan mengambil satu baju untuk dijemur. Harusnya, ia sudah menyiapkan jawaban sebelumnya untuk berjaga-jaga. “Ambilin bentarlah, Bu. Biar aku foto aja. Ini cuciannya biar aku yang jemur. Lagian juga nggak bisa dibuat jaminan pinjam uang ke bank, kan?”“Hah, kamu itu, Rin!” Meskipun menghardik kesal, tapi Tiara berbalik pergi untuk mengambil kartu keluarga di kamarnya. Membiarkan Rindu yang sedari tadi belum melepas tasnya, menjemur pakaia
Rindu membuka mata beratnya, ketika merasakan tangan seseorang menepuk pipinya berulang kali hingga memanas. Samar suara beberapa pria tengah berbincang di belakangnya, memaksa Rindu mengangkat kepala yang masih terlampau berat.Manik Rindu menatap sayu, pada pria yang berbadan kekar di depannya. Sejurus kemudian, kepala Rindu berputar, untuk melihat di mana dirinya berada saat ini. Seperti berada di ruang tamu, atau mungkin ruang tengah sebuah rumah, dengan dekorasi modern minimalis bernuansa merah muda. Tertata rapi, juga bersih, dan membuat Rindu ingin memiliki sebuah rumah seperti yang dilihatnya saat ini. Hanya saja, satu hal yang baru Rindu sadari, kalau kedua tangannya saat ini sedang terikat di belakang, dan ia tengah duduk di sebuah kursi besi.“Minum?” tawar sang pria yang sudah menepuk
“Tante, Saya—”“Nyonya!”Jawaban yang hendak dimuntahkan Rindu terhenti, ketika salah satu bodyguard yang dibawa Maria, menyela. Total, sudah tiga orang pria yang bertubuh kekar Rindu lihat berada di ruangan tersebut, setelah pria yang satu ini masuk.Hanya saja, ada yang sedikit aneh menurut Rindu. Pria yang memakai kacamata hitam di kepalanya itu, membawa setumpuk kotak di tangannya. Dari model dan baunya, Rindu bisa menebak kalau lima tumpuk kotak yang sedang dibawa pria itu adalah pizza.“Pizzanya sudah datang,” ujar sang bodyguard lalu meletakkan tumpukan benda persegi tersebut di atas meja, yang berada tepat di belakang sofa yang diduduki Maria.“Ha?” Wajah Maria ben
Haluu Mba beb tersaiank … Moon maaf pengumumannya dipublish agak siang, karena saia dari pagi sudah riweuh beredar ke sana kemari. Kita akhiri kisah Dewa dan Rindu sampai di sini, yakk. Nggak usah ditungguin lahirannya, karena mereka udah bahagia, kok, ehehee ... Saia nggak bisa janjiin sequel, atau season duanya, karena entar ditagih mulu seperti Sang Pengacara, ehehhee … Jadi, yang udah lihat pengumuman di I*, pasti sudah tahu kapan urutan Sang Pengacara akan terbit. Jadi, langsung aja ya. Berikut ini daftar penerima koin GN untuk lima top fans pemberi gems terbanyak untuk Cinderella Hot Story. RF Rifani : 1.000 koin GN + pulsa 200rb Shifa Chibii : 750 koin GN + pulsa 150 rb Miss Ziza Ziza S : 500 koin GN + pulsa 100 rb Mulya Purnama : 350 koin GN + pulsa 50 rb Himatul Aliyah H : 200 koin Gn + pulsa 25 rb Untuk nama yang saia tulis di atas, bisa klaim koin GN dengan kirim screenshoot ID dan kirim melalui DM Igeh @kanie
“Gimana?” Dewa menggeleng tidak tega. Namun, tidak mungkin juga Dewa membohongi Rindu dalam keadaan seperti sekarang. Meskipun ia tahu, semua ini akan menyakitkan bagi sang istri, tapi, mau tidak mau Dewa harus mengatakan semuanya. “Tirta demam, jadi Ibu nggak bisa datang,” terang Dewa setelah mengakhiri pembicaraan singkatnya dengan Tiara di telepon. Itu pun, perbincangan mereka terganggu dengan tangis Tirta tanpa henti sebagai backsound-nya. Manik Rindu mengembun detik itu juga. Mencoba menarik napas panjang, serta mengedipkan kedua maniknya berulang kali agar tidak ada cairan yang menitik dari sudut mata. Namun, di antara kontraksi yang baru saja dialaminya, akhirnya buliran itu tidak sanggup Rindu bendung. Menitik begitu saja, karena ingatan tentang Tiara yang kala itu selalu berada di samping Lita saat di rumah sakit. “Heeei …” Dewa mendesah panik, frustasi, sekaligus merasa empati pada sang istri. “Ada aku di sini, bentar lagi mama sama papa juga sampai. Jadi, kamu masih puny
“Yaaang, perutku sakit lagi.”Padahal, Dewa sudah rapi dengan setelan kerjanya, dan telah siap untuk berangkat ke kantor. Namun, sebelum itu Dewa harus mengantarkan Rindu ke tempat Maria terlebih dahulu. Titah yang satu itu, sudah tidak bisa dibantah dan diganggu gugat oleh siapa pun.Dewa segera menghampiri Rindu yang masih duduk di sofa. Istrinya itu pun, sudah siap untuk pergi ke rumah Maria, dan hanya tinggal menunggu Dewa yang sedari tadi sibuk dengan beberapa berkasnya.“Sakit seperti kemarin.” Dewa berjongkok di depan Rindu lalu menempelkan satu sisi wajahnya di perut sang istri. Kedua tangan Dewa yang sudah lebih dulu berada pada perut Rindu, merasakan bagaimana kaku dan kerasnya bagian tubuh yang disentuhnya. “Kram lagi.”Rindu mengangguk menahan nyeri sembari mengatur napas. “Udah waktunya kali, Yang.”“Catat dulu aja seperti yang mama bilang waktu itu,” ujar Dewa menarik diri dan ikut mengatur napas. Jantungnya kembali berdetak kencang, karena prediksi hari perkiraan lahir
“Untung, kan, Mama bawa Rindu ke sini.” Baru saja masuk ke ruang keluarga, Dewa sudah kena cibir oleh sang mama. Inilah yang membuat Dewa pada akhirnya memutuskan untuk tinggal terpisah dengan keluarga. Apalagi, dahulu kala Dewa juga menikah muda dengan Dea. Jadi, selain ingin menghindari kecerewetan sang mama, Dewa juga ingin menikmati hidup bersama sang istri dengan bebas di luar sana. Walaupun, pada akhirnya mereka bercerai karena beberapa alasan. “Kamu kalau pulang sampai malam gini, terus Rindu ditinggal sendirian pas hamil besar begini, kan, kasihan,” lanjut Maria masih belum puas membeo. Ia menekan tombol remote teve, untuk menghentikan tayangang yang ditontonnya sejenak, “Dah! Malam ini nggak usah balik apartemen. Kalian berdua tidur di sini aja, daripada Rindu kecapekan terus cucu Mama kenapa-napa.” Dewa berhenti sebentar untuk berbicara dengan sang mama. “Aku sudah kabari Rindu kalau pulang telat.” “Bukan itu intinya,” sahut Maria tidak pernah ingin mengalah jika sudah be
Dewa terbangun seketika saat mendengar pintu kamarnya diketuk dengan tergesa. Menggeram kesal sejenak, karena tidak biasanya Sri akan membangunkannya secara tidak sopan seperti sekarang. Bahkan, Sri tidak pernah mengetuk pintu kamarnya sama sekali, ketika Dewa berada di apartemen.Dewa melihat Rindu yang masih tertidur nyenyak, dan begitu tenang. Setelah mengalami banyak drama ini dan itu, akhirnya mereka kelelahan sendiri dan tertidur jelang dini hari.Dewa kemudian bangkit dengan cepat, dan segera membuka pintu kamar. Namun, belum sempat Dewa membuka mulut untuk berbicara, wanita yang baru saja mengetuk pintu itu langsung masuk kamar begitu saja.“Mama!” desis Dewa hampir berbisik dan mencekal tangan Maria. Entah sudah pukul berapa saat ini, hingga Maria sudah berada di apartemen Dewa sepagi ini. Atau, jangan-jangan Dewa sudah kesiangan dan terlambat pergi ke kantor. “Rindu masih tidur.”“Perutnya masih sakit?”“Sudah nggak.” Melepas tangan Maria, Dewa lalu melangkah mundur untuk me
“Yang …” Rindu menepuk-nepuk pipi Dewa, yang sudah terlelap menuju alam mimpinya. “Bangun bentar, aku nggak bisa tidur.” Mendengar Dewa hanya menggumam, Rindu kembali menepuk pipi sang suami lebih keras lagi. Bahkan, tepukan Rindu meninggalkan bekas merah di pipi Dewa. “YANG!” Rindu mulai merengek, karena Dewa tidak juga membuka mata. Dan terjadi lagi. Meskipun masih diselimuti kantuk, tapi Dewa tidak bisa berbuat banyak. Daripada istrinya itu ngambek tidak berkesudahan, akhirnya Dewa membuka mata dengan perlahan, di tengah cahaya lampu yang sudah terang benderang. “Hm?” “Nggak bisa tidur, punggungku pegel.” Semakin mendekati hari perkiraan lahir, istrinya itu semakin banyak memuntahkan keluhan pada Dewa. Dari susah tidur, perut kram, bolak balik ke kamar mandi karena panggilan alam yang harus dituntaskan, dan masih ada beberapa hal lagi. Dewa mengusap wajah sebentar, seraya mengumpulkan nyawa yang masih tercecer entah ke mana. Menarik napas panjang sejenak, lalu mengulurkan satu
“Namanya Tirta.” Seketika wajah Rindu tertekuk, setelah mendengar nama putra Lita yang baru saja disebut oleh Tiara. Entah mengapa, pikiran Rindu segera bercocoklogi. Namat Tirta tersebut, diambil dari gabungan antara Tiara dan Lita. “Siapa yang ngasih nama?” tanya Rindu sudah tidak lagi berminat mengambil Tirta yang ada di gendongan Tiara. Rindu sadar jika sikapnya kali ini sedikit kekanakan. Namun, mau bagaimana lagi jika hormonnya memaksa untuk tidak lagi tertarik dengan bayi lucu nan tampan di depannya. Rindu yakin sekali, jika ayah dari bayi itu suatu saat akan menyesal karena tidak menginginkannya. “Lita,” jawab Tiara sibuk melihat bayi lucu itu dan menimangnya penuh kasih sayang. Rindu semakin yakin, jika anaknya nanti pasti akan diperlakukan berbeda dengan anak Lita. Sama seperti Tiara, yang memperlakukan Lita dan Rindu dengan begitu berbeda. “Ohh, Tirta siapa?” Rindu berusaha bersikap biasa, dan tidak menunjukkan sedikit pun serpihan luka yang menggores hati saat ini. “
Rindu masih mengatur napas, sambil mengambil ponsel yang tergeletak di samping bantal. Membukanya, tapi masih belum menerima kabar apapun dari Tiara mengenai Lita. Kembali, meletakkan ponselnya dengan asal di atas ranjang, Rindu lalu merapatkan tubuhnya dengan Dewa. “Kok lama, ya?” Rindu bertanya-tanya tentang proses kelahiran Lita. Membayangkan, rasa sakit yang dialami Lita dari kemarin, hingga pagi ini. Tidak lama lagi, Rindulah yang akan berada di posisi tersebut, dan pastinya ia harus bersiap-siap untuk itu. “Dari kemarin, sampai sekarang belum lahir-lahir.” “Coba kamu telpon ibu,” ujar Dewa kemudian memeluk tubuh polos Rindu setelah menyelesaikan kegiatan pagi mereka. “Nunggu dikabarin aja.” Rindu kemudian menguap, lalu memejamkan mata. Masih ingin menikmati sisa-sisa endorfin yang mengalir di dalam tubuh. “Aku capek, pengen rebahan dulu.” “Sarapan di kamar berarti?” Rindu mengangguk. “Nasi goreng kayak biasa, ya. Terus, aku lagi pengen minum cokelat hangat.” “Cuma itu?” ta
Rindu mengernyit ngilu, melihat wajah Lita yang tengah menahan nyeri saat kontraksi. Dari luar ruangan, Rindu bisa melihat bagaimana Tiara menyemangati Lita agar tetap bersabar dan bertahan ketika kontraksi itu kembali datang. Sebagai anak kandung, Rindu jelas merasakan adanya goresan di lubuk hati. Akankah Tiara ada di sisi Rindu jika waktunya melahirkan tiba, nanti? Rindu menggeleng, karena ia tahu jawabannya adalah tidak. Setelah bayi Lita lahir nanti, waktu Tiara pasti akan sepenuhnya untuk Lita dan bayi wanita itu. Melihat wajah sendu sang istri, Dewa segera merangkul Rindu dari belakang dengan satu tangan. Menjatuhkan satu kecupan singkat pada puncak kepala Rindu, lalu mengusapnya. “Nggak usah cemburu.” Dewa berujar pelan dan hanya bisa didengar oleh Rindu. “Lita cuma punya ibu, dan kamu punya aku, punya mama, papa … dan percaya sama aku kalau ibu juga tetap sayang sama kamu.” Rindu tidak merespons. Namun, Rindu tengah mencerna semua ucapan Dewa barusan. Setelah dipikirkan l