“Tante, Saya—”
“Nyonya!”
Jawaban yang hendak dimuntahkan Rindu terhenti, ketika salah satu bodyguard yang dibawa Maria, menyela. Total, sudah tiga orang pria yang bertubuh kekar Rindu lihat berada di ruangan tersebut, setelah pria yang satu ini masuk.
Hanya saja, ada yang sedikit aneh menurut Rindu. Pria yang memakai kacamata hitam di kepalanya itu, membawa setumpuk kotak di tangannya. Dari model dan baunya, Rindu bisa menebak kalau lima tumpuk kotak yang sedang dibawa pria itu adalah pizza.
“Pizzanya sudah datang,” ujar sang bodyguard lalu meletakkan tumpukan benda persegi tersebut di atas meja, yang berada tepat di belakang sofa yang diduduki Maria.
“Ha?” Wajah Maria ben
“Kamu nggak papa?” tanya Dewa pada Rindu saat mereka baru masuk dan duduk di dalam mobil. “Ke apartemen, Pak,” sela Dewa, sejenak memberi perintah pada sopirnya sebelum Rindu menjawab pertanyaannya.Saat mobil mulai melaju dengan perlahan, Rindu pun membuka suara, disertai gelengan kepala. “Aku nggak papa.”“Yakin?” tanya Dewa memastikan lagi, agar tidak terjadi sesuatu ketika Dewa kembali ke kantor nanti. “Atau, kita bisa pergi ke dokter dulu kalau memang ada yang sakit.”“Nggak ada yang sakit. Aku di sana tadi cuma ngobrol dan nggak kenapa-napa.” Rindu menggeleng sekali lagi, tapi raut wajahnya kali ini terkesan datar karena masih terngiang dengan ucapan Maria. Apa benar kalau Dewa sampai saat ini masih belum move on dari gadis yang bernama He
"Kalau kamu memang serius sama Rindu, bawa ke rumah." Dewa hanya membaca chat dari sang papa sebentar, tapi tidak membalasnya. Mengembalikan lagi benda canggihnya ke dalam saku jas, kemudian terus melangkah menuju kamarnya. Maria, pasti sudah mengadukan semuanya pada Abraham, tapi Dewa tidak akan mau peduli. Bukankah Maria yang lebih dulu menyulut masalah dengan membawa Rindu, jadi, yang dilakukan Dewa siang tadi hanyalah membela diri dan menjaga miliknya. Ya, Rindu adalah milikinya dan tidak ada seorang pun yang boleh menyentuh, apa yang sudah menjadi milik Dewa. Sebelum membuka pintu kamar, Dewa kembali merogoh saku jas untuk mengambil ponsel yang baru saja berdering singkat. “Aku baru sampai, dan kita ketemu besok siang,” Tanpa menunjukkan ekspresi apapun, Dewa membalas chat dari Reno yang baru saja menginjakkan kakinya di ibukota. Setelah selesai, Dewa langsung membuka pintu kamar dan melihat Rindu tengah duduk di sofa sembari memangku laptopnya. “Ganti baju, Rin,” titah Dewa
Setelah pernyataan tersirat Dewa pada Rindu tadi malam, tembok tidak kasat mata yang sempat dibangun oleh Rindu, kini mulai terkikis tipis secara perlahan. Rindu mungkin tidak bisa secara langsung mengenyahkan rasa takutnya, tapi di luar itu, ia sudah mulai berdamai dengan perasaan yang ada saat ini.Sikap manis Dewa, perlindungan Dewa, keroyalannya yang tanpa batas, semua itu mampu membuat Rindu akhirnya percaya, kalau hati pria itu sudah mulai tertaut padanya.“Aku usahakan pulang sore hari ini, terus kita makan malam di luar. Jadi, jangan makan duluan.”Rindu yang tengah duduk di pangkuan Dewa itu mengangguk. Menyuapkan nasi goreng ke mulutnya, setelah itu mengambil satu sendok lagi untuk ia suapkan ke mulut Dewa.“Nggak makan siang?” tanya Rindu setelah menelan sarapannya.“Aku ada janji makan siang sama Reno siang ini. Dia baru pulang dari KL tadi malam.” Sedari tadi, satu tangan Dewa sangat betah berada di atas paha Rindu. Hanya diam, dan tidak melakukan apa-apa, karena Dewa sa
Rindu yang tengah duduk di tepi tempat tidur segera berdiri, ketika melihat Dewa baru saja keluar dari walk in closet. Tersenyum canggung, lalu menggigit sudut bibir karena tatapan Dewa kepadanya. “Kenapa? Nggak suka? Aneh ya?” tanya Rindu sembari menarik kedua sisi rok dressnya ke atas. Rindu menghampiri meja riasnya, lalu berputar sembari melihat penampilannya sekali lagi melalui pantulan kaca. “Ini, lebih pendek dari gaun yang aku pake nikah kemarin, tapi sedikit lebih sempit. Apa ukurannya di press, ya, sama Mbak Kiara.” Siang tadi, Rindu mendapat kiriman empat buah gaun yang benar-benar berkelas, dengan jahitan yang begitu halus tanpa cela sama sekali. Rindu pun yakin, jika gaun yang dipakainya saat ini tidak akan menemukan kembarannya jika ia pergi berkeliling mall di ibukota. Karena yang Rindu tahu review yang bertebaran di dunia maya, butik Kiara hanya mengeluarkan satu corak, dengan satu model. Untuk itu, Rindu sangat percaya diri ketika ia mencoba seluruh pakaian tersebut s
Wajah Dewa sempat menegang, ketika mendengar Arman menyebutkan alamat rumah mendiang ayah Rindu. Dewa bahkan sempat meraup wajahnya, karena tidak percaya dengan yang baru saja ia dengar. Apa semua itu benar? Karena Dewa tahu pasti di mana tempat tersebut berada. Bahkan, ciri-ciri rumah yang disebutkan oleh Arman, sangat mirip dengan penggambaran yang masih tersisa di ingatan Dewa. “Tapi, Non, dengar-dengar daerah sana mau digusur,” ujar Arman kembali menjelaskan. “Mau dipake sama pemerintah.” Cocoklah sudah. Kini, Dewa hanya tinggal mendatangi Reno, dan melihat nama yang tertera pada sertifikat yang sudah diserahkannya pada Riko, dengan mata kepalanya sendiri. Dewa kembali mengingat, kalau Reno kerap mengatakan pernah melihat Rindu. Apakah mungkin, kalau Rindu adalah … Dewa menggeleng. Ingin menepis hal yang berkumpul di kepalanya, tapi tidak kunjung bisa. “Oh, gitu, ya, Pak?” tanya Rindu tapi tidak membutuhkan jawaban nyata dari Arman. Karena, nantinya Rindu akan datang sendir
Begitu mobil Dewa keluar dari area gedung apartemen, ia menghentikan roda empatnya di bahu jalan sebentar. Menghubungi Riko terlebih, untuk mempertanyakan sebuah kotak yang pernah Dewa berikan pada pria itu. Apakah benda tersebut sudah berada di tangan Reno, atau masih bersama Riko.“Rik, kotak kardus yang pernah aku suruh kasihkan ke Reno, apa masih sama kamu?” Telunjuk Dewa mengetuk-ngetuk kemudinya dengan cepat dan tidak sabar.“Sudah, Pak,” jawab Riko. “Tapi, karena waktu itu pak Reno masih di Malaysia, saya disuruh titipkan ke sekretarisnya.”“Oke, thanks.”Segera, setelah mengakhiri pembicaraannya dengan Riko, Dewa langsung menelepon Reno. Pantas saja, Reno kerap curiga dan ngotot, kalau pria itu pernah melihat wajah Rindu, tapi di mana?“Ren! Di mana?” sahut Dewa terburu, tapi mencoba bersikap setenang mungkin.“Di rumah, kenapa?”“Kamu sudah buka kotak kardus yang dikasih Riko? Yang isinya sertifikat rumah markas preman timur?”“Ah, itu!” Reno menggantung kalimat yang hendak d
Begitu mobil yang dibawa Dani berhenti di depan pintu lobi utama utama rumah sakit, Rindu segera keluar dari mobil, dan menghempas kasar pintu tersebut. Berlari menaiki tangga pelataran dengan tergesa, dan membawa semua rasa takut di dalam dada. Berharap, tidak ada hal serius yang menimpa Dewa di dalam sana.Namun, langkah kaki Rindu terhenti, ketika melihat seorang wanita yang cukup ia kenal sedang memasang wajah panik yang sama dengan dirinya. Wanita itu baru saja hendak beranjak dari meja resepsionis, ketika maniknya bersirobok tajam dengan Rindu.“Kamu!” tunjuk wanita itu, lalu menghampiri Rindu dengan tergesa. Wajah datar, dengan tatapan tajam itu, tidak lepas ia tujukan kepada Rindu. “Pergi dari sini dengan diam, atau saya suruh security seret kamu keluar dari sini.”Dengan wajah sembabnya, Rindu menggeleng sembari mundur satu langkah untuk menjaga jarak. Tatapan sayunya tertuju pada pria paruh baya, yang juga berjalan cepat menyusul di belakang wanita itu. Dari wajah tenang dan
Di situasi seperti sekarang, Rindu hanya bisa mencari aman. Ia memang pergi dari hadapan Reno setelah pria itu mengusirnya. Namun, Rindu menunggu di pelataran rumah sakit dan mengintip ke dalam lobi hingga tubuh Reno menghilang dari sana.Setelah itu, Rindu kembali masuk ke dalam rumah sakit, dan melangkah menuju tempat Dewa berada. Rindu hanya bisa memantau dari jauh, dan bersembunyi di lorong yang berbeda agar dirinya tidak tampak dari penglihatan ketiga orang yang ada di sana.Menunggu dengan sabar, meskipun hati dilanda kegelisahan yang menggulung dan mengobrak-abrik perasaan. Abraham benar, kalau Rindu tidak boleh membuat keributan di rumah sakit dengan Maria. Untuk itulah, Rindu akan tetap menjaga jarak dengan bersembunyi, dan akan mencuri waktu jika kedua orang tua Dewa nantinya akan kembali ke rumah.Entah operasi apa yang tengah dijalani Dewa di dalam sana, tapi Rindu sangat berharap semuanya akan baik-baik saja. Sehingga, mereka bisa menjalani hidup sebagai suami istri denga
Haluu Mba beb tersaiank … Moon maaf pengumumannya dipublish agak siang, karena saia dari pagi sudah riweuh beredar ke sana kemari. Kita akhiri kisah Dewa dan Rindu sampai di sini, yakk. Nggak usah ditungguin lahirannya, karena mereka udah bahagia, kok, ehehee ... Saia nggak bisa janjiin sequel, atau season duanya, karena entar ditagih mulu seperti Sang Pengacara, ehehhee … Jadi, yang udah lihat pengumuman di I*, pasti sudah tahu kapan urutan Sang Pengacara akan terbit. Jadi, langsung aja ya. Berikut ini daftar penerima koin GN untuk lima top fans pemberi gems terbanyak untuk Cinderella Hot Story. RF Rifani : 1.000 koin GN + pulsa 200rb Shifa Chibii : 750 koin GN + pulsa 150 rb Miss Ziza Ziza S : 500 koin GN + pulsa 100 rb Mulya Purnama : 350 koin GN + pulsa 50 rb Himatul Aliyah H : 200 koin Gn + pulsa 25 rb Untuk nama yang saia tulis di atas, bisa klaim koin GN dengan kirim screenshoot ID dan kirim melalui DM Igeh @kanie
“Gimana?” Dewa menggeleng tidak tega. Namun, tidak mungkin juga Dewa membohongi Rindu dalam keadaan seperti sekarang. Meskipun ia tahu, semua ini akan menyakitkan bagi sang istri, tapi, mau tidak mau Dewa harus mengatakan semuanya. “Tirta demam, jadi Ibu nggak bisa datang,” terang Dewa setelah mengakhiri pembicaraan singkatnya dengan Tiara di telepon. Itu pun, perbincangan mereka terganggu dengan tangis Tirta tanpa henti sebagai backsound-nya. Manik Rindu mengembun detik itu juga. Mencoba menarik napas panjang, serta mengedipkan kedua maniknya berulang kali agar tidak ada cairan yang menitik dari sudut mata. Namun, di antara kontraksi yang baru saja dialaminya, akhirnya buliran itu tidak sanggup Rindu bendung. Menitik begitu saja, karena ingatan tentang Tiara yang kala itu selalu berada di samping Lita saat di rumah sakit. “Heeei …” Dewa mendesah panik, frustasi, sekaligus merasa empati pada sang istri. “Ada aku di sini, bentar lagi mama sama papa juga sampai. Jadi, kamu masih puny
“Yaaang, perutku sakit lagi.”Padahal, Dewa sudah rapi dengan setelan kerjanya, dan telah siap untuk berangkat ke kantor. Namun, sebelum itu Dewa harus mengantarkan Rindu ke tempat Maria terlebih dahulu. Titah yang satu itu, sudah tidak bisa dibantah dan diganggu gugat oleh siapa pun.Dewa segera menghampiri Rindu yang masih duduk di sofa. Istrinya itu pun, sudah siap untuk pergi ke rumah Maria, dan hanya tinggal menunggu Dewa yang sedari tadi sibuk dengan beberapa berkasnya.“Sakit seperti kemarin.” Dewa berjongkok di depan Rindu lalu menempelkan satu sisi wajahnya di perut sang istri. Kedua tangan Dewa yang sudah lebih dulu berada pada perut Rindu, merasakan bagaimana kaku dan kerasnya bagian tubuh yang disentuhnya. “Kram lagi.”Rindu mengangguk menahan nyeri sembari mengatur napas. “Udah waktunya kali, Yang.”“Catat dulu aja seperti yang mama bilang waktu itu,” ujar Dewa menarik diri dan ikut mengatur napas. Jantungnya kembali berdetak kencang, karena prediksi hari perkiraan lahir
“Untung, kan, Mama bawa Rindu ke sini.” Baru saja masuk ke ruang keluarga, Dewa sudah kena cibir oleh sang mama. Inilah yang membuat Dewa pada akhirnya memutuskan untuk tinggal terpisah dengan keluarga. Apalagi, dahulu kala Dewa juga menikah muda dengan Dea. Jadi, selain ingin menghindari kecerewetan sang mama, Dewa juga ingin menikmati hidup bersama sang istri dengan bebas di luar sana. Walaupun, pada akhirnya mereka bercerai karena beberapa alasan. “Kamu kalau pulang sampai malam gini, terus Rindu ditinggal sendirian pas hamil besar begini, kan, kasihan,” lanjut Maria masih belum puas membeo. Ia menekan tombol remote teve, untuk menghentikan tayangang yang ditontonnya sejenak, “Dah! Malam ini nggak usah balik apartemen. Kalian berdua tidur di sini aja, daripada Rindu kecapekan terus cucu Mama kenapa-napa.” Dewa berhenti sebentar untuk berbicara dengan sang mama. “Aku sudah kabari Rindu kalau pulang telat.” “Bukan itu intinya,” sahut Maria tidak pernah ingin mengalah jika sudah be
Dewa terbangun seketika saat mendengar pintu kamarnya diketuk dengan tergesa. Menggeram kesal sejenak, karena tidak biasanya Sri akan membangunkannya secara tidak sopan seperti sekarang. Bahkan, Sri tidak pernah mengetuk pintu kamarnya sama sekali, ketika Dewa berada di apartemen.Dewa melihat Rindu yang masih tertidur nyenyak, dan begitu tenang. Setelah mengalami banyak drama ini dan itu, akhirnya mereka kelelahan sendiri dan tertidur jelang dini hari.Dewa kemudian bangkit dengan cepat, dan segera membuka pintu kamar. Namun, belum sempat Dewa membuka mulut untuk berbicara, wanita yang baru saja mengetuk pintu itu langsung masuk kamar begitu saja.“Mama!” desis Dewa hampir berbisik dan mencekal tangan Maria. Entah sudah pukul berapa saat ini, hingga Maria sudah berada di apartemen Dewa sepagi ini. Atau, jangan-jangan Dewa sudah kesiangan dan terlambat pergi ke kantor. “Rindu masih tidur.”“Perutnya masih sakit?”“Sudah nggak.” Melepas tangan Maria, Dewa lalu melangkah mundur untuk me
“Yang …” Rindu menepuk-nepuk pipi Dewa, yang sudah terlelap menuju alam mimpinya. “Bangun bentar, aku nggak bisa tidur.” Mendengar Dewa hanya menggumam, Rindu kembali menepuk pipi sang suami lebih keras lagi. Bahkan, tepukan Rindu meninggalkan bekas merah di pipi Dewa. “YANG!” Rindu mulai merengek, karena Dewa tidak juga membuka mata. Dan terjadi lagi. Meskipun masih diselimuti kantuk, tapi Dewa tidak bisa berbuat banyak. Daripada istrinya itu ngambek tidak berkesudahan, akhirnya Dewa membuka mata dengan perlahan, di tengah cahaya lampu yang sudah terang benderang. “Hm?” “Nggak bisa tidur, punggungku pegel.” Semakin mendekati hari perkiraan lahir, istrinya itu semakin banyak memuntahkan keluhan pada Dewa. Dari susah tidur, perut kram, bolak balik ke kamar mandi karena panggilan alam yang harus dituntaskan, dan masih ada beberapa hal lagi. Dewa mengusap wajah sebentar, seraya mengumpulkan nyawa yang masih tercecer entah ke mana. Menarik napas panjang sejenak, lalu mengulurkan satu
“Namanya Tirta.” Seketika wajah Rindu tertekuk, setelah mendengar nama putra Lita yang baru saja disebut oleh Tiara. Entah mengapa, pikiran Rindu segera bercocoklogi. Namat Tirta tersebut, diambil dari gabungan antara Tiara dan Lita. “Siapa yang ngasih nama?” tanya Rindu sudah tidak lagi berminat mengambil Tirta yang ada di gendongan Tiara. Rindu sadar jika sikapnya kali ini sedikit kekanakan. Namun, mau bagaimana lagi jika hormonnya memaksa untuk tidak lagi tertarik dengan bayi lucu nan tampan di depannya. Rindu yakin sekali, jika ayah dari bayi itu suatu saat akan menyesal karena tidak menginginkannya. “Lita,” jawab Tiara sibuk melihat bayi lucu itu dan menimangnya penuh kasih sayang. Rindu semakin yakin, jika anaknya nanti pasti akan diperlakukan berbeda dengan anak Lita. Sama seperti Tiara, yang memperlakukan Lita dan Rindu dengan begitu berbeda. “Ohh, Tirta siapa?” Rindu berusaha bersikap biasa, dan tidak menunjukkan sedikit pun serpihan luka yang menggores hati saat ini. “
Rindu masih mengatur napas, sambil mengambil ponsel yang tergeletak di samping bantal. Membukanya, tapi masih belum menerima kabar apapun dari Tiara mengenai Lita. Kembali, meletakkan ponselnya dengan asal di atas ranjang, Rindu lalu merapatkan tubuhnya dengan Dewa. “Kok lama, ya?” Rindu bertanya-tanya tentang proses kelahiran Lita. Membayangkan, rasa sakit yang dialami Lita dari kemarin, hingga pagi ini. Tidak lama lagi, Rindulah yang akan berada di posisi tersebut, dan pastinya ia harus bersiap-siap untuk itu. “Dari kemarin, sampai sekarang belum lahir-lahir.” “Coba kamu telpon ibu,” ujar Dewa kemudian memeluk tubuh polos Rindu setelah menyelesaikan kegiatan pagi mereka. “Nunggu dikabarin aja.” Rindu kemudian menguap, lalu memejamkan mata. Masih ingin menikmati sisa-sisa endorfin yang mengalir di dalam tubuh. “Aku capek, pengen rebahan dulu.” “Sarapan di kamar berarti?” Rindu mengangguk. “Nasi goreng kayak biasa, ya. Terus, aku lagi pengen minum cokelat hangat.” “Cuma itu?” ta
Rindu mengernyit ngilu, melihat wajah Lita yang tengah menahan nyeri saat kontraksi. Dari luar ruangan, Rindu bisa melihat bagaimana Tiara menyemangati Lita agar tetap bersabar dan bertahan ketika kontraksi itu kembali datang. Sebagai anak kandung, Rindu jelas merasakan adanya goresan di lubuk hati. Akankah Tiara ada di sisi Rindu jika waktunya melahirkan tiba, nanti? Rindu menggeleng, karena ia tahu jawabannya adalah tidak. Setelah bayi Lita lahir nanti, waktu Tiara pasti akan sepenuhnya untuk Lita dan bayi wanita itu. Melihat wajah sendu sang istri, Dewa segera merangkul Rindu dari belakang dengan satu tangan. Menjatuhkan satu kecupan singkat pada puncak kepala Rindu, lalu mengusapnya. “Nggak usah cemburu.” Dewa berujar pelan dan hanya bisa didengar oleh Rindu. “Lita cuma punya ibu, dan kamu punya aku, punya mama, papa … dan percaya sama aku kalau ibu juga tetap sayang sama kamu.” Rindu tidak merespons. Namun, Rindu tengah mencerna semua ucapan Dewa barusan. Setelah dipikirkan l