Rindu yang masih bermalas-malasan di tempat tidur, segera melompat menuju kamar mandi. Segera membersihkan diri dengan secepat kilat di dalam sana. Mulutnya tidak henti merutuki kebodohan yang baru saja terlontar ketika berbicara dengan Maria. Kenapa juga Rindu harus mengatakan kalau dirinya ada di apartemen Dewa saat ini. Wajar saja jika Maria sampai berujar begitu keras, hingga memekakkan indra pendengarannya, walau hanya berbicara di telepon. Alhasil, Rindu sendiri yang akan terkena imbas jika seperti ini. Maria pasti curiga, kalau dirinya dan Dewa sudah melakukan hal-hal yang tidak seharusnya. Namun, sejak awal hubungan mereka memang sudah salah, tapi keduanya segera memperbaiki hal tersebut dengan menikah. Walaupun, hanya segelintir orang saja yang mengetahui pernikahan tersebut. Seusai mandi, Rindu kembali menggeram frustrasi. Kenapa pula ia harus membasahi surainya kali ini. Rindu buru-buru mengambil pengering rambut, dan memakainya dengan segera. Akan tetapi, di tengah-tenga
“Positif?”Abraham yang masih duduk santai di sofa, hanya mengangkat tinggi kedua alisnya. Masih sedikit bingung dengan sang istri yang menjerit, tapi rautnya terlihat bahagia. Sedikit bisa menebak, tapi masih belum bisa percaya jika tidak mendengarnya sendiri.“Iyaaa! Sebentar lagi, di rumah kita bakal ada bayi!”“Di rumah kita … ada bayi sebentar lagi?” Akhirnya, setelah sekian lama menunggu dalam kesunyian, putranya yang kerap menjengkelkan itu bisa membuat Abraham sebahagia ini. Bayi yang dimaksud Maria pastilah cucu mereka, anak dari Dewa dan Rindu. Tidak mungkin, kan, Maria kembali mengandung di usia yang seperti sekarang.Terlebih lagi, Abraham sudah mengetahui sejak lama jika Dewa dan Rindu telah menikah. Dari siapa lagi Abraham tahu semuanya, kalau bukan dari laporan Reno yang bermuka dua itu. Teman pria Dewa itu, bak agen ganda. Bisa bersahabat, dan menjadi teman curhat Dewa, tapi selalu melaporkan apa yang terjadi dengan putranya itu.Sementara Abraham, memang tidak ingin i
“Jangan pamer, dan dijadikan status.”Abraham menyindir sang istri, ketika kedua tangan Maria dengan gesit mengabadikan hasil USG Rindu di dalam ponselnya. Sebelum Maria membuka mulut untuk melontarkan protes, Abraham kembali melanjutkan kalimatnya, “teman-teman Mama belum ada yang tahu kalau Dewa sudah nikah, jadi, simpan dulu di galeri.”Maria langsung menghela kesal karena diingatkan hal tersebut oleh Abraham. Tatapannya jelas langsung tertuju pada Dewa, yang duduk tepat berseberangan. Karena mereka berempat tadinya belum sempat sarapan sama sekali karena terlalu antusias, maka setelah pemeriksaan selesai, Maria mengajak untuk sarapan terlebih dahulu.“Ini semua, gara-gara kamu!” Jelas saja Maria akan melimpahkan semua kesalahan pada Dewa. “Harusnya, kalau sudah nikah itu ngomong! Ngga usah pake sembunyi sampai enam bulan! Untung bentar lagi mau resepsi, kalau enggak, bisa jadi bahan gosip kalau tahu Rindu hamil!”“Cucu Mama bisa stres, kalau dengar omanya marah-marah terus.” Dewa
Setelah berdiskusi, menimbang, lalu memutuskan, akhirnya Rindu dan Tiara setuju jika hanya diadakan acara makan malam dua keluarga. Tidak perlu acara resmi, mengingat ada perasaan Lita yang harus dijaga. Mereka hanya tidak ingin, jika hal tersebut semakin menambah pikiran Lita yang tengah mengandung. Untuk acara pernikahan Rindu, barulah Lita mau tidak mau harus menghadapi itu semua. Karena tidak mungkin keluarga sekelas Abraham, akan mengadakan resepsi pernikahan yang sederhana. Jadi, mau bagaimanapun kecemburuan yang ada di hati Lita nantinya, semua itu harus dipendamnya dalam-dalam. Pertemuan yang diadakan di sebuah restoran mewah kali ini pun, hanya dihadiri oleh Radit dan Tiara. Sementara, kedua saudara tiri Rindu yang lain tetap berada di rumah agar situasi yang ada nantinya bisa berjalan sesuai rencana. Dewa juga sudah mempersiapkan sebuah mobil untuk mengantar jemput orangtua Rindu, agar mereka pun merasa nyaman di dalam perjalanan. “Ingat, Ma, nggak perlu singgung-singgung
Siang itu, Rindu tidak ingin lagi terlambat datang, ketika sudah memiliki janji untuk menemui pihak wedding organizer. Ia tidak ingin, kejadian lalu kembali terulang dan mereka akhirnya harus mencari wedding organizer yang baru.Namun, kedatangannya kali ini ternyata terlalu dini. Meja yang ditujunya masih kosong, dan Dewa pun belum menunjukkan batang hidungnya sama sekali. Padahal, sedari 15 menit yang lalu pria itu sudah mengirimkan chat dengan satu kata, ‘otw’.Lagi-lagi, Rindu harus menahan emosinya sejenak, karena tidak bisa menumpahkan semua itu pada Dewa. Tunggu saja sampai pria itu datang, maka Rindu kembali akan memarahinya.Rindu pun duduk seorang diri dan memesan minuman terlebih dahulu. Sembari menunggu, Rindu membuka ponsel dan kembali mendapati beberapa chat dari sang mama mertua. Dengan helaan panjang, Rindu akhirnya membuka chat tersebut dan membacanya satu per satu.“Jangan lupa, acaranya nggak usah lama-lama, nanti kamu kecapean.”“Nggak pake konsep mingle party, nan
Dewa mencoba tuksedo pengantin yang akan dikenakannya pada hari H dengan kasar. Ada perasaan kesal, yang hanya bisa ia lampiaskan jika tidak bersama Rindu. Semakin mendekati resepsi, hubungannya dengan Rindu justru semakin merenggang. Sikap Rindu yang selalu saja emosi jika bersamanya, semakin membuat Dewa pusing kepala.“Yakin masih mau nikah?” Reno menahan tawa melihat wajah Dewa yang hanya tertekuk masam sedari tadi.“Nggak yakin kepalamu!” maki Dewa lalu menatap tampilan dirinya di depan kaca. Jas yang membalut tubuhnya sudah menempel dengan sangat sempurna, tanpa cela sedikit pun. “Hari H-nya itu lusa. Kalau mau macam-macam, bisa nggak ketemu anak seumur hidup, kalau dia sudah lahir.”“Sebelum ketemu anakmu yang belum lahir itu, kamu sudah Papa pecat duluan jadi anak.” Abraham masuk ke ruang ganti pria dengan santai, bersama satu orang pegawai butik yang membawakan pakaiannya. “Dicoret dari kartu keluarga, juga warisan.”Dewa langsung menunjuk Reno yang akhirnya bisa tergelak pua
Jelang resepsi, Dewa merasakan aura Rindu semakin tidak mengenakkan saja. Bahkan, hanya untuk meminta jatahnya saja Dewa sampai tidak berani melakukannya. Mereka hanya tidur satu ranjang, tapi tidak saling berpelukan hangat seperti sebelum-sebelumnya.Apa salah Dewa sebenarnya, sehingga semua hal yang dilakukannya tidak pernah ada benarnya di mata Rindu.“Ehm! Yang.” Dewa berharap, mood Rindu baik-baik saja kali ini. Semua persiapan pernikahan, hampir 100 persen sempurna, nyaris tanpa cela. Jadi, Dewa rasa semua ketegangan yang ada di hati dan pikiran Rindu mungkin saja sudah mereda.“Hm.” Rindu yang baru keluar dari kamar mandi langsung menuju tempat tidur. Duduk sejenak di tepi ranjang untuk membuka ikat rambutnya.“Ke hotel jam berapa besok?”Rindu menoleh tajam pada Dewa. “Kan, sudah tahu jadwalnya. Kenapa masih tanya?”Dengan terpaksa Dewa melebarkan senyum di wajahnya. Kalau dirinya ikut berkeras, semuanya bisa ambyar seketika. “Biar ada obrolan. Karena belakangan ini, kamu kala
Dewa berkali-kali menarik napas panjang, kemudian membuangnya dengan perlahan. Mengatur detak jantung, yang sedari tadi tidak bisa diajak berkompromi sama sama sekali. Ini bukan pertama kalinya Dewa mengucapkan ijab kabul, tapi, rasa gugup itu ternyata masih bisa menyerangnya seperti sekarang. Dewa bahkan tidak bisa duduk diam, dan sedari tadi hanya mondar mandir menunggu jadwal acara tiba.“Bisa duduk, kan, Wà.” Abraham memijat pelipisnya karena sudah pusing melihat putranya yang tidak bisa diam. “Acaranya masih setengah jam lagi, jadi duduk!”Dewa berhenti, menatap Reno yang sedari tadi hanya bermain ponsel. “Ren, suruh orang EO majuin acaranya.”“Hee?” Reno mengangkat wajah untuk melihat Dewa sejenak. Hanya mengerjab sebentar, lalu ia kembali menatap layar ponselnya. “Mereka bukan preman yang bisa kamu suruh ini itu seenaknya. Semua sudah terencana, terjadwal, tersusun, dan terorganisir. Mana bisa langsung kamu acak-acak begitu. Singamu ngamuk, baru tahu rasa.”“Singa?” celetuk Abr
Haluu Mba beb tersaiank … Moon maaf pengumumannya dipublish agak siang, karena saia dari pagi sudah riweuh beredar ke sana kemari. Kita akhiri kisah Dewa dan Rindu sampai di sini, yakk. Nggak usah ditungguin lahirannya, karena mereka udah bahagia, kok, ehehee ... Saia nggak bisa janjiin sequel, atau season duanya, karena entar ditagih mulu seperti Sang Pengacara, ehehhee … Jadi, yang udah lihat pengumuman di I*, pasti sudah tahu kapan urutan Sang Pengacara akan terbit. Jadi, langsung aja ya. Berikut ini daftar penerima koin GN untuk lima top fans pemberi gems terbanyak untuk Cinderella Hot Story. RF Rifani : 1.000 koin GN + pulsa 200rb Shifa Chibii : 750 koin GN + pulsa 150 rb Miss Ziza Ziza S : 500 koin GN + pulsa 100 rb Mulya Purnama : 350 koin GN + pulsa 50 rb Himatul Aliyah H : 200 koin Gn + pulsa 25 rb Untuk nama yang saia tulis di atas, bisa klaim koin GN dengan kirim screenshoot ID dan kirim melalui DM Igeh @kanie
“Gimana?” Dewa menggeleng tidak tega. Namun, tidak mungkin juga Dewa membohongi Rindu dalam keadaan seperti sekarang. Meskipun ia tahu, semua ini akan menyakitkan bagi sang istri, tapi, mau tidak mau Dewa harus mengatakan semuanya. “Tirta demam, jadi Ibu nggak bisa datang,” terang Dewa setelah mengakhiri pembicaraan singkatnya dengan Tiara di telepon. Itu pun, perbincangan mereka terganggu dengan tangis Tirta tanpa henti sebagai backsound-nya. Manik Rindu mengembun detik itu juga. Mencoba menarik napas panjang, serta mengedipkan kedua maniknya berulang kali agar tidak ada cairan yang menitik dari sudut mata. Namun, di antara kontraksi yang baru saja dialaminya, akhirnya buliran itu tidak sanggup Rindu bendung. Menitik begitu saja, karena ingatan tentang Tiara yang kala itu selalu berada di samping Lita saat di rumah sakit. “Heeei …” Dewa mendesah panik, frustasi, sekaligus merasa empati pada sang istri. “Ada aku di sini, bentar lagi mama sama papa juga sampai. Jadi, kamu masih puny
“Yaaang, perutku sakit lagi.”Padahal, Dewa sudah rapi dengan setelan kerjanya, dan telah siap untuk berangkat ke kantor. Namun, sebelum itu Dewa harus mengantarkan Rindu ke tempat Maria terlebih dahulu. Titah yang satu itu, sudah tidak bisa dibantah dan diganggu gugat oleh siapa pun.Dewa segera menghampiri Rindu yang masih duduk di sofa. Istrinya itu pun, sudah siap untuk pergi ke rumah Maria, dan hanya tinggal menunggu Dewa yang sedari tadi sibuk dengan beberapa berkasnya.“Sakit seperti kemarin.” Dewa berjongkok di depan Rindu lalu menempelkan satu sisi wajahnya di perut sang istri. Kedua tangan Dewa yang sudah lebih dulu berada pada perut Rindu, merasakan bagaimana kaku dan kerasnya bagian tubuh yang disentuhnya. “Kram lagi.”Rindu mengangguk menahan nyeri sembari mengatur napas. “Udah waktunya kali, Yang.”“Catat dulu aja seperti yang mama bilang waktu itu,” ujar Dewa menarik diri dan ikut mengatur napas. Jantungnya kembali berdetak kencang, karena prediksi hari perkiraan lahir
“Untung, kan, Mama bawa Rindu ke sini.” Baru saja masuk ke ruang keluarga, Dewa sudah kena cibir oleh sang mama. Inilah yang membuat Dewa pada akhirnya memutuskan untuk tinggal terpisah dengan keluarga. Apalagi, dahulu kala Dewa juga menikah muda dengan Dea. Jadi, selain ingin menghindari kecerewetan sang mama, Dewa juga ingin menikmati hidup bersama sang istri dengan bebas di luar sana. Walaupun, pada akhirnya mereka bercerai karena beberapa alasan. “Kamu kalau pulang sampai malam gini, terus Rindu ditinggal sendirian pas hamil besar begini, kan, kasihan,” lanjut Maria masih belum puas membeo. Ia menekan tombol remote teve, untuk menghentikan tayangang yang ditontonnya sejenak, “Dah! Malam ini nggak usah balik apartemen. Kalian berdua tidur di sini aja, daripada Rindu kecapekan terus cucu Mama kenapa-napa.” Dewa berhenti sebentar untuk berbicara dengan sang mama. “Aku sudah kabari Rindu kalau pulang telat.” “Bukan itu intinya,” sahut Maria tidak pernah ingin mengalah jika sudah be
Dewa terbangun seketika saat mendengar pintu kamarnya diketuk dengan tergesa. Menggeram kesal sejenak, karena tidak biasanya Sri akan membangunkannya secara tidak sopan seperti sekarang. Bahkan, Sri tidak pernah mengetuk pintu kamarnya sama sekali, ketika Dewa berada di apartemen.Dewa melihat Rindu yang masih tertidur nyenyak, dan begitu tenang. Setelah mengalami banyak drama ini dan itu, akhirnya mereka kelelahan sendiri dan tertidur jelang dini hari.Dewa kemudian bangkit dengan cepat, dan segera membuka pintu kamar. Namun, belum sempat Dewa membuka mulut untuk berbicara, wanita yang baru saja mengetuk pintu itu langsung masuk kamar begitu saja.“Mama!” desis Dewa hampir berbisik dan mencekal tangan Maria. Entah sudah pukul berapa saat ini, hingga Maria sudah berada di apartemen Dewa sepagi ini. Atau, jangan-jangan Dewa sudah kesiangan dan terlambat pergi ke kantor. “Rindu masih tidur.”“Perutnya masih sakit?”“Sudah nggak.” Melepas tangan Maria, Dewa lalu melangkah mundur untuk me
“Yang …” Rindu menepuk-nepuk pipi Dewa, yang sudah terlelap menuju alam mimpinya. “Bangun bentar, aku nggak bisa tidur.” Mendengar Dewa hanya menggumam, Rindu kembali menepuk pipi sang suami lebih keras lagi. Bahkan, tepukan Rindu meninggalkan bekas merah di pipi Dewa. “YANG!” Rindu mulai merengek, karena Dewa tidak juga membuka mata. Dan terjadi lagi. Meskipun masih diselimuti kantuk, tapi Dewa tidak bisa berbuat banyak. Daripada istrinya itu ngambek tidak berkesudahan, akhirnya Dewa membuka mata dengan perlahan, di tengah cahaya lampu yang sudah terang benderang. “Hm?” “Nggak bisa tidur, punggungku pegel.” Semakin mendekati hari perkiraan lahir, istrinya itu semakin banyak memuntahkan keluhan pada Dewa. Dari susah tidur, perut kram, bolak balik ke kamar mandi karena panggilan alam yang harus dituntaskan, dan masih ada beberapa hal lagi. Dewa mengusap wajah sebentar, seraya mengumpulkan nyawa yang masih tercecer entah ke mana. Menarik napas panjang sejenak, lalu mengulurkan satu
“Namanya Tirta.” Seketika wajah Rindu tertekuk, setelah mendengar nama putra Lita yang baru saja disebut oleh Tiara. Entah mengapa, pikiran Rindu segera bercocoklogi. Namat Tirta tersebut, diambil dari gabungan antara Tiara dan Lita. “Siapa yang ngasih nama?” tanya Rindu sudah tidak lagi berminat mengambil Tirta yang ada di gendongan Tiara. Rindu sadar jika sikapnya kali ini sedikit kekanakan. Namun, mau bagaimana lagi jika hormonnya memaksa untuk tidak lagi tertarik dengan bayi lucu nan tampan di depannya. Rindu yakin sekali, jika ayah dari bayi itu suatu saat akan menyesal karena tidak menginginkannya. “Lita,” jawab Tiara sibuk melihat bayi lucu itu dan menimangnya penuh kasih sayang. Rindu semakin yakin, jika anaknya nanti pasti akan diperlakukan berbeda dengan anak Lita. Sama seperti Tiara, yang memperlakukan Lita dan Rindu dengan begitu berbeda. “Ohh, Tirta siapa?” Rindu berusaha bersikap biasa, dan tidak menunjukkan sedikit pun serpihan luka yang menggores hati saat ini. “
Rindu masih mengatur napas, sambil mengambil ponsel yang tergeletak di samping bantal. Membukanya, tapi masih belum menerima kabar apapun dari Tiara mengenai Lita. Kembali, meletakkan ponselnya dengan asal di atas ranjang, Rindu lalu merapatkan tubuhnya dengan Dewa. “Kok lama, ya?” Rindu bertanya-tanya tentang proses kelahiran Lita. Membayangkan, rasa sakit yang dialami Lita dari kemarin, hingga pagi ini. Tidak lama lagi, Rindulah yang akan berada di posisi tersebut, dan pastinya ia harus bersiap-siap untuk itu. “Dari kemarin, sampai sekarang belum lahir-lahir.” “Coba kamu telpon ibu,” ujar Dewa kemudian memeluk tubuh polos Rindu setelah menyelesaikan kegiatan pagi mereka. “Nunggu dikabarin aja.” Rindu kemudian menguap, lalu memejamkan mata. Masih ingin menikmati sisa-sisa endorfin yang mengalir di dalam tubuh. “Aku capek, pengen rebahan dulu.” “Sarapan di kamar berarti?” Rindu mengangguk. “Nasi goreng kayak biasa, ya. Terus, aku lagi pengen minum cokelat hangat.” “Cuma itu?” ta
Rindu mengernyit ngilu, melihat wajah Lita yang tengah menahan nyeri saat kontraksi. Dari luar ruangan, Rindu bisa melihat bagaimana Tiara menyemangati Lita agar tetap bersabar dan bertahan ketika kontraksi itu kembali datang. Sebagai anak kandung, Rindu jelas merasakan adanya goresan di lubuk hati. Akankah Tiara ada di sisi Rindu jika waktunya melahirkan tiba, nanti? Rindu menggeleng, karena ia tahu jawabannya adalah tidak. Setelah bayi Lita lahir nanti, waktu Tiara pasti akan sepenuhnya untuk Lita dan bayi wanita itu. Melihat wajah sendu sang istri, Dewa segera merangkul Rindu dari belakang dengan satu tangan. Menjatuhkan satu kecupan singkat pada puncak kepala Rindu, lalu mengusapnya. “Nggak usah cemburu.” Dewa berujar pelan dan hanya bisa didengar oleh Rindu. “Lita cuma punya ibu, dan kamu punya aku, punya mama, papa … dan percaya sama aku kalau ibu juga tetap sayang sama kamu.” Rindu tidak merespons. Namun, Rindu tengah mencerna semua ucapan Dewa barusan. Setelah dipikirkan l