Lidah Rindu begitu kelu. Tidak ada kalimat yang mampu terucap, ketika dirinya dan Dewa sudah keluar dari resto. Pria itu langsung membawa Rindu menuju lift, untuk segera kembali ke kamar. Apa yang disaksikannya tadi, sungguh membuat jantung Rindu tidak henti-hentinya memberi dentuman hebat, sampai seluruh tubuhnya menegang beku di samping Dewa.
Tatapan yang diberikan Maria, sangatlah menusuk, kendati gestur tubuhnya wanita itu benar-benar terlihat santai. Wanita paruh baya itu, terlihat sangat paham dengan situasi yang ada. Sehingga, Maria tahu kapan harus bertahan, dan kapan harus menyerang.
Setelah Dewa menutup pintu kamar, ia langsung memeluk tubuh Rindu dari belakang. Menunduk di telinga Rindu kemudian berkata, “Masih ragu?”
“Tante Maria … pasti tambah marah.”
Seperti biasa, setiap harinya Dewa akan selalu bangun lebih dahulu daripada Rindu. Melihat gadis itu tertidur pulas karena kelelahan, Dewa pun tidak ingin mengganggunya sama sekali. Ia lantas langsung beranjak pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri.Setelahnya, Dewa mengambil ponsel yang masih berada di dalam saku jas, yang sudah tergeletak di lantai. Dewa mengaktifkannya dan beberapa saat kemudian, ia melihat banyak sekali rentetan misscall, serta chat dari Maria. Di antara daftar nama Maria yang memenuhi ponselnya, ada terselip nama Reno di sana. Untuk itu, Dewa yang masih menggunakan bathrobe seusai mandi, keluar menuju private pool dan menutup rapat pintunya. Ia tidak ingin, jika Rindu tiba-tiba mendengar percakapan yang akan dilakukannya dengan Reno.“Ada apa, Ren?” tanya Dewa begitu Reno mengangkat telepon darinya.
Sejak mobil yang ditumpanginya berhenti di depan klinik yang pernah Rindu datangi, tubuhnya seketika langsung menegang. Rindu kira, mereka berdua akan datang ke dokter umum untuk berkonsultasi lalu medical check up secara general. Namun Rindu salah, mereka berdua saat ini tengah mendatangi dokter kandungan.Rindu menduga, ini pasti ada kaitannya dengan jadwal bulanan yang baru saja di dapatnya kemarin.Apa itu artinya, Dewa memang menginginkan seorang anak dari Rindu?Semua ini sangatlah membingungkan untuk Rindu. Bagaimana bisa Rindu memiliki seorang anak dari pria yang bahkan tidak mencintainya sama sekali. Hubungan mereka saat ini hanya seperti simbiosis mutualisme. Dewa membutuhkan tubuhnya untuk menyalurkan semua hasrat pria itu, sementara Rindu membutuhkan uang Dewa untuk mewujudkan semua mimpinya.
Rindu menghempas bokongnya di sofa panjang yang ada di depan teve. Sejurus kemudian, Rindu mengambil remote teve, lalu merebahkan diri sambil menyalakan benda berlayar datar tersebut. Tidak ada acara yang menarik menurutnya, setelah Rindu berkali-kali mengganti channel teve berulang kali. Sehingga Rindu membiarkan saja teve itu menyala dan menontonnya.“Bu Rindu, makan siangnya sudah siap.”Sudah dua hari ini, Dewa mempekerjakan seorang wanita paruh baya untuk mengurus rumah dan memasak setiap harinya. Dari sarapan, makan siang, sampai makan malam pun, Rindu tidak diperkenankan mempersiapkan sendiri. Wanita yang bernama Sri itu, juga menyiapkan beberapa camilan sehat untuk dikonsumsi oleh Rindu.Sudah dua hari ini pula, lebih tepatnya sejak Dewa mengetahui bahwa Rindu memakai pil kontrasepsi untuk menceg
Kiara menghela pendek ketika melihat Dewa baru datang ke kafe milik Esa. Pria itu telat satu jam dari waktu yang sudah dijanjikannya kepada Kiara. Tadinya, Dewa berjanji akan datang menemui Kiara jam lima sore, tapi pria itu baru datang ketika jarum jam yang ada di dinding restoran hampir menunjukkan pukul enam.Esa saja, sudah mengajak Kiara pulang dari setengah jam yang lalu, karena Dewa juga tidak bisa dihubungi sama sekali. Namun, Kiara meminta waktu sampai pukul enam tepat, barulah mereka dan kedua anaknya akan pergi pulang ke rumah untuk beristirahat.“Untung teman, lo, Wà!” ujar Esa bernada kesal, karena jam pulang mereka ke rumah sampai terlambat, gara-gara menunggu Dewa. Hubungan keduanya memang sempat merenggang beberapa tahun lalu, karena masalah Kiara. Namun, sedikit demi sedikit semua perselisihan tersebut sudah terkikis, kendati
Seperti biasa, kalau seluruh makanan sudah tersaji di meja, Sri pasti akan menemui Rindu untuk memberi tahu kalau majikannya itu sudah bisa menyantap makanannya. Sri mengetuk pintu kamar terlebih dahulu, lalu membukanya ketika terdengar suara Rindu dari dalam. “Makan malam sudah siap, Bu,” ujar Sri memberi tahu dari bibir pintu. Wajah Rindu mengernyit ketika melihat Sri berpakaian rapi dan tidak seperti biasanya. Bahkan, wajah wanita paruh baya itu kini dipoles dengan sedikit hiasan mata, juga lipstrik berwarna merah, khas ibu-ibu yang ada perkampungan tempat tinggal Rindu dulu. “Bu Sri mau pergi?” tanya Rindu sudah berjalan menuju pintu untuk keluar kamar dan pergi ke meja makan. Sri mengangguk. “Pak Dewa malam ini pulang, jadi saya diminta pergi, karena Bu Rindu sudah ada temannya,” terang Sri lalu menggeser tubuhnya dan beranjak dari bibir pintu. “Di kulkas, ada ayam ungkep, Bu. Harusnya saya goreng besok pagi buat sarapan, tapi karena ada Bapak, s
“Sertifikat?”Sambil terus menggamit jemari Rindu dengan erat, keduanya berjalan keluar lobi apartemen dan terlihat mesra. Dewa sudah tidak segan menunjukkan kepada semua orang, kalau Rindu adalah wanita yang saat ini tengah menjalin kasih dengannya. Untuk apa lagi disembunyikan kalau sang mama sudah tahu semuanya. Jadi, lebih baik ia jalani saja semua ini dengan santai dan tidak perlu lagi menunggu waktu yang tepat.“Senin, siang,” lanjut Dewa masih berbicara dengan Reno melalui ponsel pintarnya. “Nanti aku suruh Riko ambil ke rumah, karena aku ada di apartemen dua hari ini dan nggak akan pulang ke rumah.”Seraya terus berjalan keluar dari kompleks gedung apartemen dan menyusuri trotoar, Rindu hanya bisa menyimak obrolan Dewa dengan lawan bicaranya di telepon. Mengingat rumah Dew
Ketika langit mulai bergemuruh dan titik hujan mulai luruh, Dewa bergegas mempercepat suapannya. Ia tidak ingin sampai Rindu kehujanan, hingga membuat gadis itu sakit nantinya. Mereka pernah kehujanan satu kali, di hari Rindu menyerahkan tubuhnya pada Dewa, dan hari itu, benar-benar hari yang tidak akan terlupakan oleh Dewa sama sekali.Sebuah penyatuan, yang akhirnya membuat Dewa selalu memikirkan Rindu dan tidak menginginkan tubuh polos itu dijamah oleh siapa pun, kecuali dirinya sendiri.“Ayo, Rin,” ajak Dewa setelah menghabiskan satu porsi sate kambing. Dengan tergesa pula, Dewa berdiri sambil mengeluarkan dompet dari saku celana, lalu mengeluarkan lima lembar uang kertas berwarna merah. “Nanti kamu kehujanan lagi.”Sebenarnya, Rindu masih ingin berada bersama Arman untuk mendengar semua
Sejak sore hari, langit sudah berubah gelap dan mulai meneteskan tangisnya ketika malam akan menjelang. Jika begini, Rindu yakin kalau Arman tidak akan berjualan di ujung jalan seperti tadi malam, Untuk itu, Rindu harus kembali bersabar untuk bisa menemui pria itu dan bertanya tentang semua hal.Seharian penuh berada di apartemen bersama Dewa, sungguh membuat tubuh Rindu terasa sangat lelah. Rindu rasa, esok ia benar-benar membutuhkan seorang tukang pijat agar tubuhnya merasa segar kembali.“Mau makan di bawah, atau delivery?” tawar Dewa yang baru keluar dari kamar mandi sambil mengusap surai basahnya dengan handuk kecil. Sementara Rindu, masih tergeletak dengan tubuh polosnya di atas tempat tidur dan masih meringkuk di dalam selimut.Rindu berguling, untuk bertelungkup untuk meregangkan punggungnya. Ia
Haluu Mba beb tersaiank … Moon maaf pengumumannya dipublish agak siang, karena saia dari pagi sudah riweuh beredar ke sana kemari. Kita akhiri kisah Dewa dan Rindu sampai di sini, yakk. Nggak usah ditungguin lahirannya, karena mereka udah bahagia, kok, ehehee ... Saia nggak bisa janjiin sequel, atau season duanya, karena entar ditagih mulu seperti Sang Pengacara, ehehhee … Jadi, yang udah lihat pengumuman di I*, pasti sudah tahu kapan urutan Sang Pengacara akan terbit. Jadi, langsung aja ya. Berikut ini daftar penerima koin GN untuk lima top fans pemberi gems terbanyak untuk Cinderella Hot Story. RF Rifani : 1.000 koin GN + pulsa 200rb Shifa Chibii : 750 koin GN + pulsa 150 rb Miss Ziza Ziza S : 500 koin GN + pulsa 100 rb Mulya Purnama : 350 koin GN + pulsa 50 rb Himatul Aliyah H : 200 koin Gn + pulsa 25 rb Untuk nama yang saia tulis di atas, bisa klaim koin GN dengan kirim screenshoot ID dan kirim melalui DM Igeh @kanie
“Gimana?” Dewa menggeleng tidak tega. Namun, tidak mungkin juga Dewa membohongi Rindu dalam keadaan seperti sekarang. Meskipun ia tahu, semua ini akan menyakitkan bagi sang istri, tapi, mau tidak mau Dewa harus mengatakan semuanya. “Tirta demam, jadi Ibu nggak bisa datang,” terang Dewa setelah mengakhiri pembicaraan singkatnya dengan Tiara di telepon. Itu pun, perbincangan mereka terganggu dengan tangis Tirta tanpa henti sebagai backsound-nya. Manik Rindu mengembun detik itu juga. Mencoba menarik napas panjang, serta mengedipkan kedua maniknya berulang kali agar tidak ada cairan yang menitik dari sudut mata. Namun, di antara kontraksi yang baru saja dialaminya, akhirnya buliran itu tidak sanggup Rindu bendung. Menitik begitu saja, karena ingatan tentang Tiara yang kala itu selalu berada di samping Lita saat di rumah sakit. “Heeei …” Dewa mendesah panik, frustasi, sekaligus merasa empati pada sang istri. “Ada aku di sini, bentar lagi mama sama papa juga sampai. Jadi, kamu masih puny
“Yaaang, perutku sakit lagi.”Padahal, Dewa sudah rapi dengan setelan kerjanya, dan telah siap untuk berangkat ke kantor. Namun, sebelum itu Dewa harus mengantarkan Rindu ke tempat Maria terlebih dahulu. Titah yang satu itu, sudah tidak bisa dibantah dan diganggu gugat oleh siapa pun.Dewa segera menghampiri Rindu yang masih duduk di sofa. Istrinya itu pun, sudah siap untuk pergi ke rumah Maria, dan hanya tinggal menunggu Dewa yang sedari tadi sibuk dengan beberapa berkasnya.“Sakit seperti kemarin.” Dewa berjongkok di depan Rindu lalu menempelkan satu sisi wajahnya di perut sang istri. Kedua tangan Dewa yang sudah lebih dulu berada pada perut Rindu, merasakan bagaimana kaku dan kerasnya bagian tubuh yang disentuhnya. “Kram lagi.”Rindu mengangguk menahan nyeri sembari mengatur napas. “Udah waktunya kali, Yang.”“Catat dulu aja seperti yang mama bilang waktu itu,” ujar Dewa menarik diri dan ikut mengatur napas. Jantungnya kembali berdetak kencang, karena prediksi hari perkiraan lahir
“Untung, kan, Mama bawa Rindu ke sini.” Baru saja masuk ke ruang keluarga, Dewa sudah kena cibir oleh sang mama. Inilah yang membuat Dewa pada akhirnya memutuskan untuk tinggal terpisah dengan keluarga. Apalagi, dahulu kala Dewa juga menikah muda dengan Dea. Jadi, selain ingin menghindari kecerewetan sang mama, Dewa juga ingin menikmati hidup bersama sang istri dengan bebas di luar sana. Walaupun, pada akhirnya mereka bercerai karena beberapa alasan. “Kamu kalau pulang sampai malam gini, terus Rindu ditinggal sendirian pas hamil besar begini, kan, kasihan,” lanjut Maria masih belum puas membeo. Ia menekan tombol remote teve, untuk menghentikan tayangang yang ditontonnya sejenak, “Dah! Malam ini nggak usah balik apartemen. Kalian berdua tidur di sini aja, daripada Rindu kecapekan terus cucu Mama kenapa-napa.” Dewa berhenti sebentar untuk berbicara dengan sang mama. “Aku sudah kabari Rindu kalau pulang telat.” “Bukan itu intinya,” sahut Maria tidak pernah ingin mengalah jika sudah be
Dewa terbangun seketika saat mendengar pintu kamarnya diketuk dengan tergesa. Menggeram kesal sejenak, karena tidak biasanya Sri akan membangunkannya secara tidak sopan seperti sekarang. Bahkan, Sri tidak pernah mengetuk pintu kamarnya sama sekali, ketika Dewa berada di apartemen.Dewa melihat Rindu yang masih tertidur nyenyak, dan begitu tenang. Setelah mengalami banyak drama ini dan itu, akhirnya mereka kelelahan sendiri dan tertidur jelang dini hari.Dewa kemudian bangkit dengan cepat, dan segera membuka pintu kamar. Namun, belum sempat Dewa membuka mulut untuk berbicara, wanita yang baru saja mengetuk pintu itu langsung masuk kamar begitu saja.“Mama!” desis Dewa hampir berbisik dan mencekal tangan Maria. Entah sudah pukul berapa saat ini, hingga Maria sudah berada di apartemen Dewa sepagi ini. Atau, jangan-jangan Dewa sudah kesiangan dan terlambat pergi ke kantor. “Rindu masih tidur.”“Perutnya masih sakit?”“Sudah nggak.” Melepas tangan Maria, Dewa lalu melangkah mundur untuk me
“Yang …” Rindu menepuk-nepuk pipi Dewa, yang sudah terlelap menuju alam mimpinya. “Bangun bentar, aku nggak bisa tidur.” Mendengar Dewa hanya menggumam, Rindu kembali menepuk pipi sang suami lebih keras lagi. Bahkan, tepukan Rindu meninggalkan bekas merah di pipi Dewa. “YANG!” Rindu mulai merengek, karena Dewa tidak juga membuka mata. Dan terjadi lagi. Meskipun masih diselimuti kantuk, tapi Dewa tidak bisa berbuat banyak. Daripada istrinya itu ngambek tidak berkesudahan, akhirnya Dewa membuka mata dengan perlahan, di tengah cahaya lampu yang sudah terang benderang. “Hm?” “Nggak bisa tidur, punggungku pegel.” Semakin mendekati hari perkiraan lahir, istrinya itu semakin banyak memuntahkan keluhan pada Dewa. Dari susah tidur, perut kram, bolak balik ke kamar mandi karena panggilan alam yang harus dituntaskan, dan masih ada beberapa hal lagi. Dewa mengusap wajah sebentar, seraya mengumpulkan nyawa yang masih tercecer entah ke mana. Menarik napas panjang sejenak, lalu mengulurkan satu
“Namanya Tirta.” Seketika wajah Rindu tertekuk, setelah mendengar nama putra Lita yang baru saja disebut oleh Tiara. Entah mengapa, pikiran Rindu segera bercocoklogi. Namat Tirta tersebut, diambil dari gabungan antara Tiara dan Lita. “Siapa yang ngasih nama?” tanya Rindu sudah tidak lagi berminat mengambil Tirta yang ada di gendongan Tiara. Rindu sadar jika sikapnya kali ini sedikit kekanakan. Namun, mau bagaimana lagi jika hormonnya memaksa untuk tidak lagi tertarik dengan bayi lucu nan tampan di depannya. Rindu yakin sekali, jika ayah dari bayi itu suatu saat akan menyesal karena tidak menginginkannya. “Lita,” jawab Tiara sibuk melihat bayi lucu itu dan menimangnya penuh kasih sayang. Rindu semakin yakin, jika anaknya nanti pasti akan diperlakukan berbeda dengan anak Lita. Sama seperti Tiara, yang memperlakukan Lita dan Rindu dengan begitu berbeda. “Ohh, Tirta siapa?” Rindu berusaha bersikap biasa, dan tidak menunjukkan sedikit pun serpihan luka yang menggores hati saat ini. “
Rindu masih mengatur napas, sambil mengambil ponsel yang tergeletak di samping bantal. Membukanya, tapi masih belum menerima kabar apapun dari Tiara mengenai Lita. Kembali, meletakkan ponselnya dengan asal di atas ranjang, Rindu lalu merapatkan tubuhnya dengan Dewa. “Kok lama, ya?” Rindu bertanya-tanya tentang proses kelahiran Lita. Membayangkan, rasa sakit yang dialami Lita dari kemarin, hingga pagi ini. Tidak lama lagi, Rindulah yang akan berada di posisi tersebut, dan pastinya ia harus bersiap-siap untuk itu. “Dari kemarin, sampai sekarang belum lahir-lahir.” “Coba kamu telpon ibu,” ujar Dewa kemudian memeluk tubuh polos Rindu setelah menyelesaikan kegiatan pagi mereka. “Nunggu dikabarin aja.” Rindu kemudian menguap, lalu memejamkan mata. Masih ingin menikmati sisa-sisa endorfin yang mengalir di dalam tubuh. “Aku capek, pengen rebahan dulu.” “Sarapan di kamar berarti?” Rindu mengangguk. “Nasi goreng kayak biasa, ya. Terus, aku lagi pengen minum cokelat hangat.” “Cuma itu?” ta
Rindu mengernyit ngilu, melihat wajah Lita yang tengah menahan nyeri saat kontraksi. Dari luar ruangan, Rindu bisa melihat bagaimana Tiara menyemangati Lita agar tetap bersabar dan bertahan ketika kontraksi itu kembali datang. Sebagai anak kandung, Rindu jelas merasakan adanya goresan di lubuk hati. Akankah Tiara ada di sisi Rindu jika waktunya melahirkan tiba, nanti? Rindu menggeleng, karena ia tahu jawabannya adalah tidak. Setelah bayi Lita lahir nanti, waktu Tiara pasti akan sepenuhnya untuk Lita dan bayi wanita itu. Melihat wajah sendu sang istri, Dewa segera merangkul Rindu dari belakang dengan satu tangan. Menjatuhkan satu kecupan singkat pada puncak kepala Rindu, lalu mengusapnya. “Nggak usah cemburu.” Dewa berujar pelan dan hanya bisa didengar oleh Rindu. “Lita cuma punya ibu, dan kamu punya aku, punya mama, papa … dan percaya sama aku kalau ibu juga tetap sayang sama kamu.” Rindu tidak merespons. Namun, Rindu tengah mencerna semua ucapan Dewa barusan. Setelah dipikirkan l