Rindu membawa motor maticnya untuk menyusuri komplek perumahan elite. Bahkan, Rindu harus menunjukkan kartu identitasnya ketika hendak melewati portal. Pergi ke mana lagi kalau bukan ke rumah Dewa untuk mengembalikan jas pria itu.
Ternyata biaya yang dikeluarkan Rindu dengan membawa jas itu ke laundry tidaklah murah. Kali ini, ia sudah salah langkah karena sudah sengaja menumpahkan cappucino ke jas yang dipakai Dewa.
Ya, Rindu sudah mengatur semua hal malam itu. Menunggu pria bermata sipit itu keluar dari ruangan pemimpin redaksi, barulah Rindu menjalankan semua rencananya untuk menabrakkan diri dengan Dewa.
Lantas, malam itu, Dewa benar-benar menurunkannya di dekat persimpangan yang diminta Rindu. Pria itu bahkan tidak berbàsa-basi untuk mempertanyakan rumah Rindu sama sekali.
Ck, apa impian Rindu saat ini terlalu tinggi? Berharap pada seseorang yang sudah jelas-jelas memiliki perbedaan jauh dengan dirinya.
Seperti langit, dan kerak bumi. Mungkin kiasan itu, memang pantas ditujukan untuk Dewa dan dirinya.
Kemudian, RIndu berhenti di depan sebuah pagar rumah yang terlihat berbeda dengan rumah di sekitarnya. Rindu merogoh ponsel di dalam tas dan memastikan sekali lagi kalau alamat yang diberikan oleh Dewa, benar adanya.
Rindu berdecak ragu. Karena jika dilihat lagi, bangunan rumah yang ditunjukkan oleh Dewa tidak semegah bangunan yang lainnya. Rindu menebak, rumah yang ditempati Dewa saat ini masih dengan desain asli perumahan tersebut, tanpa ada perubahan sama sekali.
Seorang wanita paruh baya lalu keluar, ketika Rindu sudah menekan bel sebanyak dua kali.
“Pak Dewanya ada, Bu?” tanya Rindu dengan sopan. “Saya Rindu, disuruh ke sini sama beliau.”
“Oh, disuruh pak Dewa.” Wanita paruh baya itu lalu menggeser tubuhnya tanpa membuka pintu pagar lebih lebar lagi. Menatap sebuah jas yang berbalut cover baju berbahan plastik transparan sejenak, lalu mempersilakan Rindu untuk masuk ke dalam.
“Pak Dewa lagi ada tamu, Mbaknya ikut saya aja dulu. Tunggu di dalam.”
Rindu mengangguk dan mengikuti wanita tersebut memasuki rumah dan masuk melalui pintu garasi. Meninggalkan motornya begitu saja di depan pagar. Di rumah dengan pengawasan yang ketat seperti ini, Rindu yakin kalau roda duanya itu pasti aman-aman saja berada di depan.
Kedua alis rindu pun tersentak pelan dengan dagu yang mengetat. Menatap beberapa koleksi mobil mewah ketika ia berada di dalam garasi. Rindu memang tidak mengerti dengan berbagai jenis mobil yang ada di dalam sana. Namun, satu yang pasti kalau semua roda empat yang berada di garasi, harganya pasti sangatlah mahal.
“Tamunya, kira-kira lama nggak, Bu?” tanya Rindu setelah dipersilakan duduk di teras samping, di belakang garasi.
“Kurang tahu,” sahut wanita itu. “Biar saya sampaikan sebentar sama pak Dewa, Mbaknya tunggu sebentar, ya.”
Rindu mengangguk mengiyakan, lalu meletakkan jas yang sedari tadi dibawanya di atas sebuah meja persegi, yang berada di samping tempat duduknya.
Tidak berselang lama, wanita paruh baya yang diyakini Rindu adalah asisten rumah tangga Dewa pun kembali menghampirinya.
“Mbak Rindu, diminta masuk sama pak Dewa,” kata sang asisten rumah tangga sembari menghampiri Rindu. “Jasnya biar saya yang bawa. Mbaknya masuk, belok kanan jalan aja terus sampe ke ruang tamu,” lanjutnya sembari menunjukkan arah jalan kepada Rindu.
“Makasih, Bu.”
Rindu pun berjalan masuk ke dalam rumah dan mengikuti instruksi yang sudah diberikan kepadanya. Berhenti dan menatap bingung ketika sudah berada di ruang tamu.
Ada seorang wanita cantik yang duduk pada sofa yang bersebelahan dengan Dewa.
“Sudah datang, Beb?” Dewa menepuk sisi sofa yang berada di sampingnya. Meminta Rindu untuk duduk di sebelahnya tanpa berucap kata. “Tunggu sebentar, ya, habis ini kita jalan.”
Mata Dewa menatap Rindu tanpa berkedip. Berharap, Rindu mengerti akan pintanya dan langsung duduk di samping Dewa.
Jelas saja, Rindu mengerti akan maksud Dewa. Wajah bingung itu lalu berubah semringah seketika. Menghampiri Dewa dan langsung duduk tanpa jarak sama sekali.
"Kenalkan, Nes. Ini pacar saya, Rindu," ungkap Dewa tanpa ingin berlama-lama. "Kenalin, Beb, ini rekan kerjaku di Senayan," lanjutnya seraya menatap wajah Rindu dengan senyum manis yang tidak mampu terbantahkan.
Wanita yang bernama Ines itu, sudah memasang wajah datarnya ketika mendengar Dewa memanggil Rindu dengan sebutan 'beb'. Seluruh moodnya seolah porak poranda dalam satu kerjapan mata.
Mau tidak mau, Ines menyambut uluran tangan yang sudah dijulurkan oleh Rindu terlebih dahulu.
"Rindu," ucapnya memperkenalkan diri.
"Ines." Wanita itu langsung menyampirkan tas di bahu dan bersiap hendak berpamitan. "Kalau gitu, saya pulang dulu, ya, Mas Dewa. Nggak enak kalau ganggu."
Dewa tersenyum ramah dengan anggukan. Berdiri untuk mengantarkan Ines sampai ke luar pagar. "Makasih rendangnya, ya, Nes!" seru Dewa berhenti di pintu pagar dan melambai ke arah Ines. Melihat wanita itu memasuki mobilnya yang terparkir di luar rumah, lalu Dewa kembali masuk ke dalam untuk menemui Rindu.
"Jadi, kita pacaran, nih ceritanya, Beb?" Rindu memasang senyum lebar, serta menaik turunkan alisnya untuk menggoda Dewa.
“Umur kamu berapa?” tanya Dewa lalu menghempas tubuhnya di sofa yang tadinya Ines duduki.
“Dua puluh!” Rindu mengacungkan dua jarinya dan meletakkannya di samping mata. Terus memasang senyum lebar kepada pria manis bermata sipit itu. “Udah siap lahir batin kalau mau dinikahi.”
Jika tidak salah ingat usia Hening juga masih sekitar dua puluh tahunan ketika dijodohkan dengannya dahulu kala. Atau, malah lebih muda?
Ah, Dewa sudah tidak ingin mengingat masa lalunya tersebut. Meskipun hubungannya dengan Hening saat ini masih baik-baik saja, tapi tetap, perasaan luka itu masih saja menyisa.
“Saya nggak mau nikahin perempuan yang masih labil,” jawab Dewa lalu berdiri dari tempatnya. Cukup sekali ia berhubungan dengan gadis muda, dan Dewa sudah jera menjalaninya. “Kamu sudah boleh pulang, Rin.”
“Air susu, dibalas air tuba.” Rindu juga ikut berdiri. “Sudah ditolong, langsung diusir,” decaknya lalu memangkas jarak dengan Dewa.
“Padahal, saya tiap bulan sudah nyumbang buat bayar gaji sama tunjangan Bapak sebagai wakil rakyat di Senayan, lho. Gaji saya tiap bulan sudah dipotong pajak buat bayarin bapak ibu, yang katanya wakil rakyat! Tapi, cuma begini balasan Bapak sama saya,” lanjut Rindu berujar santai. Kalau tidak begini, ia tidak akan mungkin mendapat perhatian Dewa.
Dewa mengambil napas dalam-dalam sembari menggaruk sisi kepalanya. Dari awal bertemu, gadis itu selalu saja menyindir Dewa dengan profesinya saat ini. Sebenarnya, ada masalah apa, sih, gadis itu dengan anggota dewan yang berada di Senayan, pikir Dewa.
“Sudahlah, kamu mau apa?” tanya Dewa tidak ingin melanjutkan perdebatan yang ada.
“Makan!” jawab RIndu dengan gamblang.
“Cuma mau makan?” tanya Dewa ingin memancing Rindu. Sebenarnya, apa yang diinginkan gadis cantik itu darinya sehingga tampak selalu ‘memburu’ Dewa. “Nggak pengen yang lain?”
“Iya, cuma makan. Tapi makan di luar, yang deket-deket sini aja, Pak.”
“Makan di emperan kaki lima mau?” tantang Dewa lalu melipat kedua tangan di depan dada. Andai Rindu menolak, maka fixlah sudah kalau gadis itu mengejar Dewa karena sebuah materi.
“Jangankan di emperan, Pak. di tengah jalan juga saya jabanin asal berdua sama Bapak.”
Tangan kanan Dewa reflek menepuk dahi Rindu karena geregetan. “Otak kamu itu, perlu di servis!”
“Servis di tempat Bapak, boleh?”
“Saya nggak buka tempat servis otak!”
“Kalau buka hati buat saya, bisa?”
“Langsung aja, Rin, maumu apa?” “Mau makan.” Rindu memotong bakso jumbonya dalam potongan besar dan langsung melahapnya. Mengunyah dengan menggumam nikmat dan menunjukkan semua itu tanpa rasa sungkan di depan Dewa. “Dimakan, Pak. Kalau udah dingin nggak enak.”Dewa menarik napas dan langsung membuangnya dalam waktu singkat. Berdecak kecil lalu ikut melahap bakso, yang tempatnya tidak jauh dari komplek perumahannya. Mencoba mengabaikan keberadaan Rindu, karena gadis itu sedikit mengingatkannya pada Hening. Sedikit kasar dan apa adanya. Hanya saja, otak Rindu sepertinya lebih berisi daripada Hening. “Bapak kenapa belum nikah-nikah? Padahal sudah tua.”Dewa sontak terbatuk dan hampir saja tersedak dengan pentol baksonya. Segera mengambil teh hangat dan meminumnya dengan perlahan. “Umurku baru 30, dan aku sudah pernah nikah!” “Ciyee, pake aku kamu nih sekarang.” Rindu sengaja menaik turunkan kedua alisnya untuk menggoda Dewa. Ditambah, senyum meledek yang membuat Dewa semakin geram dan
“CK!” Wajah Rindu memberengut dengan bibir tertarik maju. “Bapak, sih, bawa motor kayak siput! Basah semua, kan, jadinya!” Rindu buru-buru membuka tas rajutnya dan mengeluarkan semua isinya di atas meja teras. Hasilnya … semua basah tidak bersisa. Pandangannya segera tertuju pada ponsel yang terlihat kuyup. “Hape!” Meraih ponselnya lalu mencoba menekan semua tombol yang berada di samping. “Pak! Hape saya mati, Pak!” Tubuh Rindu langsung merosot lemah, lalu duduk di kursi teras. Masih mencoba menekan tombol yang ada hingga berkali-kali. “Gara-gara Bapak, kan!” “Masuk dulu,” titah Dewa setelah membuka pintu rumah, dengan tubuh yang lebih basah dari Rindu. “Kamu mandi, terus ganti baju.” Masih dengan wajah yang tertekuk masam, Rindu mengangkat kepala dan menatap k
“Harusnya, kamu bilang kalau masih perawan, Rin.” Mata Dewa terpejam, menikmati aliran dopamin yang baru saja terlepas begitu nikmat. Masih tersengal, karena sebuah rasa puas yang yang tidak bisa diungkap dengan kata. Sekaligus merutuk, karena pikiran dan tubuhnya tidak bisa menolak pesona Rindu sama sekali. Terlebih, ketika Dewa mengetahui bahwa dirinyalah, pria pertama yang menyentuh gadis itu. “Udah nggak lagi,” hela Rindu yang masih mengatur napas dan merasakan sebuah rasa nyeri pada bagian inti tubuhnya. Akan tetapi hal itu sepadan dengan sensasi nikmat yang ia rasakan untuk pertama kalinya. Bagi Rindu, semua ini seperti bermain judi. Menyerahkan diri pada Dewa tanpa adanya sebuah ikatan, adalah sebuah hal yang benar-benar gila. Namun, ini adalah salah satu jalan untuk mendapatkan keinginannya. Meskipu
Hampir semalaman Dewa tidak bisa melelapkan pikirannya. Hingga pagi menjelang, barulah kedua mata itu terpejam. Namun, hanya selang beberapa jam, Dewa kembali terbangun dan memilih untuk mandi lalu ingin berbicara serius dengan Rindu. Setelah semua aktivitas paginya selesai di dalam kamar. Dewa keluar dan langsung menuju kamar yang ditempati oleh Rindu. Sebelumnya, Dewa melihat jarum jam yang sudah menunjukkan pukul lima pagi. Gadis itu pasti sudah terbangun, atau, mungkin masih tertidur lelap. Dewa mengetuk pintu kamar tamu sebanyak dua kali dengan perlahan. Tidak mendengar jawaban, ia pun berinisiatif untuk membuka pintu. Namun, sosok Rindu sudah tidak ada di dalam sana. Dewa masuk lebih dalam dan langsung menuju ke kamar mandi. Namun, kosong dengan pintu yang terbuka dengan lebar. Berbalik, dan berhenti sejenak. Ia baru menyadari kalau sprei yang membungkus tempat tidur, kini sudah tidak ada di atas sana. Bergegas keluar dan menuruni tangga,
“Dari mana aja semalam, Rin?” tanya Radit, bapak tiri Rindu yang tiba-tiba muncul dan sudah berada di samping gadis itu. “Hapemu nggak bisa dihubungi.” Rindu yang sudah berada di depan pintu kamar, reflek memundurkan langkah untuk menjaga jarak. Bagi Rindu, tatapan pria paruh baya yang menikah dengan ibunya tujuh tahun yang lalu itu, selalu saja membuatnya bergidik jijik. Radit bukan melihat Rindu seperti seorang ayah yang memandang putrinya, tapi, pria itu melihat Rindu sebagaimana pria melihat wanita. Rindu sebenarnya heran, jika Radit bisa memiliki pemikiran seperti itu. Pasalnya, pria itu juga memiliki seorang putri bernama Lita, dari mendiang istrinya terdahulu. Bahkan usia Lita kini hanya terpaut satu tahun lebih tua daripada Rindu. Selain anak perempuan, Randi juga membawa satu orang anak laki-laki y
“Dari mana aja semalam?” Untuk kedua kalinya, pagi ini Rindu mendengar pertanyaan yang sama. Namun, kali ini pertanyaan tersebut meluncur dari mulut sang ibu yang baru saja kembali dari pasar. Rindu yang tengah berjongkok dan sedang mengelap roda dua miliknya yang sudah dicuci itu, kemudian mendongak. Mendapati sang ibu sudah berdiri di sebelah motor yang baru dicucinya. “Tempat teman.” Manik Rindu beralih sebentar pada Fandy yang sedang memarkirkan motornya di belakang sang ibu, yang tengah menghadap Rindu. Fandy menoleh sebentar padanya kemudian melangkah pergi ke dalam rumah, dengan membawa banyak barang belanjaan tanpa mengucap satu patah kata pun. “Hapemu ke mana? Gak bisa di telepon semalaman.” Tiara, ibu Rindu itu kembali mengajukan pertanyaan. Rindu kembali menoleh pada Tiara. “Mati, kehujanan kemarin.” Tiara menatap putrinya curiga. Merasa kalau Rindu menyembunyikan sesuatu darinya. “Temanmu perempuan?” Rindu menahan napas men
Jelang siang, tamu yang ditunggu-tunggu oleh Radit akhirnya datang juga ke rumah. Satu keluarga yang terdiri dari sepasang suami istri paruh baya dengan anak lelakinya itu, mengobrol panjang lebar di ruang tamu dengan gelak tawa yang bisa Rindu dengar sampai ke dapur. Jelas saja Rindu bisa mendengarnya, karena rumah mereka memang tidaklah begitu besar.Hanya ada ruang tamu, ruang keluarga yang jadi satu dengan meja makan, dan dua kamar di sebelahnya. Serta dapur yang ukurannya juga tidak seberapa, karena ada tambahan tangga untuk jalan menuju kamar Fandy yang ada di atas.Sesuai instruksi dari Tiara, mendekati makan siang, Rindu harus menata makanan yang sudah dirinya dan sang ibu masak di meja makan. Sementara Lita, saudara tiri Rindu itu lebih memilih berada di dalam kamar, untuk bersantai dengan menggulirkan sosial medianya sambil rebahan.Setelah melakukan semua yang diminta oleh sang ibu, Rindu kembali ke kamarnya dan merebahkan diri di samping Lita. Belum
Setelah briefing pagi di ruang divisi iklan selesai, Rindu tidak langsung keluar dari tempat tersebut. Rindu merebahkan separuh tubuhnya pada meja meeting yang berada di tengah ruang iklan, sembari menatap ponselnya yang tidak bisa lagi menyala. “Dilembiru napa, Rin, daripada dilihatin mulu,” ucap salah satu rekan kerjanya yang bernama Eca. Rindu melirik malas, tanpa bergerak sedikit pun. “Elo yang mau beliin?” “Ogahlah, lo, kan, punya duit. Masa’ gue yang beliin,” sewot Eca meletakkan tas selempangnya di meja lalu mengambil lipstik dan sebuah kaca kecil dari dalam sana. Rindu hanya diam dan memperhatikan Eca menyapu lipstik berwarna peach tersebut ke bibir tebalnya. “Makanya cari cowok, Rin. Biar beban hidup, lo, sedikit berkurang,” ujar Eca menasehati dengan sok bijak. “Kalau mau apa-apa, lo, tinggal minta aja sama cowok, lo. Beres!” Hal seperti inilah yang membuat otak polos Rindu lama-lama terkontaminasi. Eca selalu saj
Haluu Mba beb tersaiank … Moon maaf pengumumannya dipublish agak siang, karena saia dari pagi sudah riweuh beredar ke sana kemari. Kita akhiri kisah Dewa dan Rindu sampai di sini, yakk. Nggak usah ditungguin lahirannya, karena mereka udah bahagia, kok, ehehee ... Saia nggak bisa janjiin sequel, atau season duanya, karena entar ditagih mulu seperti Sang Pengacara, ehehhee … Jadi, yang udah lihat pengumuman di I*, pasti sudah tahu kapan urutan Sang Pengacara akan terbit. Jadi, langsung aja ya. Berikut ini daftar penerima koin GN untuk lima top fans pemberi gems terbanyak untuk Cinderella Hot Story. RF Rifani : 1.000 koin GN + pulsa 200rb Shifa Chibii : 750 koin GN + pulsa 150 rb Miss Ziza Ziza S : 500 koin GN + pulsa 100 rb Mulya Purnama : 350 koin GN + pulsa 50 rb Himatul Aliyah H : 200 koin Gn + pulsa 25 rb Untuk nama yang saia tulis di atas, bisa klaim koin GN dengan kirim screenshoot ID dan kirim melalui DM Igeh @kanie
“Gimana?” Dewa menggeleng tidak tega. Namun, tidak mungkin juga Dewa membohongi Rindu dalam keadaan seperti sekarang. Meskipun ia tahu, semua ini akan menyakitkan bagi sang istri, tapi, mau tidak mau Dewa harus mengatakan semuanya. “Tirta demam, jadi Ibu nggak bisa datang,” terang Dewa setelah mengakhiri pembicaraan singkatnya dengan Tiara di telepon. Itu pun, perbincangan mereka terganggu dengan tangis Tirta tanpa henti sebagai backsound-nya. Manik Rindu mengembun detik itu juga. Mencoba menarik napas panjang, serta mengedipkan kedua maniknya berulang kali agar tidak ada cairan yang menitik dari sudut mata. Namun, di antara kontraksi yang baru saja dialaminya, akhirnya buliran itu tidak sanggup Rindu bendung. Menitik begitu saja, karena ingatan tentang Tiara yang kala itu selalu berada di samping Lita saat di rumah sakit. “Heeei …” Dewa mendesah panik, frustasi, sekaligus merasa empati pada sang istri. “Ada aku di sini, bentar lagi mama sama papa juga sampai. Jadi, kamu masih puny
“Yaaang, perutku sakit lagi.”Padahal, Dewa sudah rapi dengan setelan kerjanya, dan telah siap untuk berangkat ke kantor. Namun, sebelum itu Dewa harus mengantarkan Rindu ke tempat Maria terlebih dahulu. Titah yang satu itu, sudah tidak bisa dibantah dan diganggu gugat oleh siapa pun.Dewa segera menghampiri Rindu yang masih duduk di sofa. Istrinya itu pun, sudah siap untuk pergi ke rumah Maria, dan hanya tinggal menunggu Dewa yang sedari tadi sibuk dengan beberapa berkasnya.“Sakit seperti kemarin.” Dewa berjongkok di depan Rindu lalu menempelkan satu sisi wajahnya di perut sang istri. Kedua tangan Dewa yang sudah lebih dulu berada pada perut Rindu, merasakan bagaimana kaku dan kerasnya bagian tubuh yang disentuhnya. “Kram lagi.”Rindu mengangguk menahan nyeri sembari mengatur napas. “Udah waktunya kali, Yang.”“Catat dulu aja seperti yang mama bilang waktu itu,” ujar Dewa menarik diri dan ikut mengatur napas. Jantungnya kembali berdetak kencang, karena prediksi hari perkiraan lahir
“Untung, kan, Mama bawa Rindu ke sini.” Baru saja masuk ke ruang keluarga, Dewa sudah kena cibir oleh sang mama. Inilah yang membuat Dewa pada akhirnya memutuskan untuk tinggal terpisah dengan keluarga. Apalagi, dahulu kala Dewa juga menikah muda dengan Dea. Jadi, selain ingin menghindari kecerewetan sang mama, Dewa juga ingin menikmati hidup bersama sang istri dengan bebas di luar sana. Walaupun, pada akhirnya mereka bercerai karena beberapa alasan. “Kamu kalau pulang sampai malam gini, terus Rindu ditinggal sendirian pas hamil besar begini, kan, kasihan,” lanjut Maria masih belum puas membeo. Ia menekan tombol remote teve, untuk menghentikan tayangang yang ditontonnya sejenak, “Dah! Malam ini nggak usah balik apartemen. Kalian berdua tidur di sini aja, daripada Rindu kecapekan terus cucu Mama kenapa-napa.” Dewa berhenti sebentar untuk berbicara dengan sang mama. “Aku sudah kabari Rindu kalau pulang telat.” “Bukan itu intinya,” sahut Maria tidak pernah ingin mengalah jika sudah be
Dewa terbangun seketika saat mendengar pintu kamarnya diketuk dengan tergesa. Menggeram kesal sejenak, karena tidak biasanya Sri akan membangunkannya secara tidak sopan seperti sekarang. Bahkan, Sri tidak pernah mengetuk pintu kamarnya sama sekali, ketika Dewa berada di apartemen.Dewa melihat Rindu yang masih tertidur nyenyak, dan begitu tenang. Setelah mengalami banyak drama ini dan itu, akhirnya mereka kelelahan sendiri dan tertidur jelang dini hari.Dewa kemudian bangkit dengan cepat, dan segera membuka pintu kamar. Namun, belum sempat Dewa membuka mulut untuk berbicara, wanita yang baru saja mengetuk pintu itu langsung masuk kamar begitu saja.“Mama!” desis Dewa hampir berbisik dan mencekal tangan Maria. Entah sudah pukul berapa saat ini, hingga Maria sudah berada di apartemen Dewa sepagi ini. Atau, jangan-jangan Dewa sudah kesiangan dan terlambat pergi ke kantor. “Rindu masih tidur.”“Perutnya masih sakit?”“Sudah nggak.” Melepas tangan Maria, Dewa lalu melangkah mundur untuk me
“Yang …” Rindu menepuk-nepuk pipi Dewa, yang sudah terlelap menuju alam mimpinya. “Bangun bentar, aku nggak bisa tidur.” Mendengar Dewa hanya menggumam, Rindu kembali menepuk pipi sang suami lebih keras lagi. Bahkan, tepukan Rindu meninggalkan bekas merah di pipi Dewa. “YANG!” Rindu mulai merengek, karena Dewa tidak juga membuka mata. Dan terjadi lagi. Meskipun masih diselimuti kantuk, tapi Dewa tidak bisa berbuat banyak. Daripada istrinya itu ngambek tidak berkesudahan, akhirnya Dewa membuka mata dengan perlahan, di tengah cahaya lampu yang sudah terang benderang. “Hm?” “Nggak bisa tidur, punggungku pegel.” Semakin mendekati hari perkiraan lahir, istrinya itu semakin banyak memuntahkan keluhan pada Dewa. Dari susah tidur, perut kram, bolak balik ke kamar mandi karena panggilan alam yang harus dituntaskan, dan masih ada beberapa hal lagi. Dewa mengusap wajah sebentar, seraya mengumpulkan nyawa yang masih tercecer entah ke mana. Menarik napas panjang sejenak, lalu mengulurkan satu
“Namanya Tirta.” Seketika wajah Rindu tertekuk, setelah mendengar nama putra Lita yang baru saja disebut oleh Tiara. Entah mengapa, pikiran Rindu segera bercocoklogi. Namat Tirta tersebut, diambil dari gabungan antara Tiara dan Lita. “Siapa yang ngasih nama?” tanya Rindu sudah tidak lagi berminat mengambil Tirta yang ada di gendongan Tiara. Rindu sadar jika sikapnya kali ini sedikit kekanakan. Namun, mau bagaimana lagi jika hormonnya memaksa untuk tidak lagi tertarik dengan bayi lucu nan tampan di depannya. Rindu yakin sekali, jika ayah dari bayi itu suatu saat akan menyesal karena tidak menginginkannya. “Lita,” jawab Tiara sibuk melihat bayi lucu itu dan menimangnya penuh kasih sayang. Rindu semakin yakin, jika anaknya nanti pasti akan diperlakukan berbeda dengan anak Lita. Sama seperti Tiara, yang memperlakukan Lita dan Rindu dengan begitu berbeda. “Ohh, Tirta siapa?” Rindu berusaha bersikap biasa, dan tidak menunjukkan sedikit pun serpihan luka yang menggores hati saat ini. “
Rindu masih mengatur napas, sambil mengambil ponsel yang tergeletak di samping bantal. Membukanya, tapi masih belum menerima kabar apapun dari Tiara mengenai Lita. Kembali, meletakkan ponselnya dengan asal di atas ranjang, Rindu lalu merapatkan tubuhnya dengan Dewa. “Kok lama, ya?” Rindu bertanya-tanya tentang proses kelahiran Lita. Membayangkan, rasa sakit yang dialami Lita dari kemarin, hingga pagi ini. Tidak lama lagi, Rindulah yang akan berada di posisi tersebut, dan pastinya ia harus bersiap-siap untuk itu. “Dari kemarin, sampai sekarang belum lahir-lahir.” “Coba kamu telpon ibu,” ujar Dewa kemudian memeluk tubuh polos Rindu setelah menyelesaikan kegiatan pagi mereka. “Nunggu dikabarin aja.” Rindu kemudian menguap, lalu memejamkan mata. Masih ingin menikmati sisa-sisa endorfin yang mengalir di dalam tubuh. “Aku capek, pengen rebahan dulu.” “Sarapan di kamar berarti?” Rindu mengangguk. “Nasi goreng kayak biasa, ya. Terus, aku lagi pengen minum cokelat hangat.” “Cuma itu?” ta
Rindu mengernyit ngilu, melihat wajah Lita yang tengah menahan nyeri saat kontraksi. Dari luar ruangan, Rindu bisa melihat bagaimana Tiara menyemangati Lita agar tetap bersabar dan bertahan ketika kontraksi itu kembali datang. Sebagai anak kandung, Rindu jelas merasakan adanya goresan di lubuk hati. Akankah Tiara ada di sisi Rindu jika waktunya melahirkan tiba, nanti? Rindu menggeleng, karena ia tahu jawabannya adalah tidak. Setelah bayi Lita lahir nanti, waktu Tiara pasti akan sepenuhnya untuk Lita dan bayi wanita itu. Melihat wajah sendu sang istri, Dewa segera merangkul Rindu dari belakang dengan satu tangan. Menjatuhkan satu kecupan singkat pada puncak kepala Rindu, lalu mengusapnya. “Nggak usah cemburu.” Dewa berujar pelan dan hanya bisa didengar oleh Rindu. “Lita cuma punya ibu, dan kamu punya aku, punya mama, papa … dan percaya sama aku kalau ibu juga tetap sayang sama kamu.” Rindu tidak merespons. Namun, Rindu tengah mencerna semua ucapan Dewa barusan. Setelah dipikirkan l