Sudah lima bulan sejak pernikahan Nora dan Tian dilangsungkan, setiap pagi Nora selalu menyiapkan makanan untuk sarapan Tian, meskipun Tian hanya menyentuh sedikit dari masakannya, namun Nora tetap menyediakan berbagai santapan pagi hari, bila tidak habis biasanya Nora menyuruh pelayan dan sopir untuk menghabiskannya.
“Bu, apa tidak sebaiknya masak seperlunya saja?” tanya bi Tiyem, asisten rumah tangganya.
“Gak apa-apa bi, bisa saja hari ini bapak sedang mau sarapan banyak,” jawab Nora tak mengindahkan pertanyaan bi Tiyem.
Setiap pagi bi Tiyem selalu mengingatkan hal yang sama pada Nora, namun Nora tetap saja meyajikan Tian sarapan yang bermacam pilihan, meskipun Nora yakin Tian hanya akan menyentuh Kopi dan memakan roti bakar, itupun hanya satu gigitan saja.
Tian sudah bersiap untuk berangkat ke kantor, dia duduk di meja makan dan memandang semua makanan di meja, dia mengambil cangkir kopi yang sudah di sediakan di depannya, lalu berdiri, dia pamit pada Nora, mencium keningnya, lalu berjalan keluar rumah, pak Yono sopirnya sudah menunggu di depan teras.
“Apa kamu tidak pernah mau untuk mencicipi salah satu masakan di meja, atau mau aku bungkuskan untuk bekal?” tanya Nora yang mencoba menghentikan Tian.
“Nggak usah, kamu makan saja ya, aku gak terbiasa makan berat pagi hari Nora,” jawab Tian sambil tersenyum, lalu masuk ke mobil dan meninggalkan Nora yang masih berdiri memandangnya.
Nora memandang makanan di meja, tidak satupun yang di sentuh Tian, begitupun hari-hari sebelumnya, Nora ingin Tian merasakan masakannya, bukan Nora tidak bisa memasak, namun Nora tahu selera Tian berbeda dengan masakan yang suka dimasaknya di kampung, untuk memenuhi selera Tian, Nora mengambil kursus memasak, namun itupun tidak membuat Tian menyentuh masakannya sama sekali.
Tian yang setiap hari pulang larut, membuat Nora merasa kesepian, terlebih dia belum juga mengandung hasil dari pernikahannya, bagaimana bisa Nora mengandung anak bila selama lima bulan mereka menikah tak sekalipun Tian menyentuhnya atau meminta dilayani olehnya,
Nora membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur, hatinya di selimuti perasaan rindu oleh keluarganya di kampung, Nora tidak tahu bahwa pernikahannya tidak seindah yang dia pikirkan dulu, Nora selalu merasa Tian tidak pernah mencintainya, namun Nora selalu memaklumi karena mereka menikah dari perjodohan orang tua.
Namun Nora dengan mudahnya mencintai Tian, bukan karena Tian berasal dari keluarga kaya raya, namun perlakuan Tian kepadanya sangat baik hingga Nora tidak punya alasan untuk membencinya, meskipun Nora merasa Tian tidak pernah menganggapnya sebagai istri.
“Tring..tring..tring,” suara handphone Nora berbunyi, dia bangkit untuk mengambil handphonenya, dia melihat pesan masuk di layar handphone, dari Tyas, adik iparnya.
“Ka, ada dirumah?” tanya Tyas.
“Ada yas, kenapa? mau mampir ke sini?” balas Nora.
“Temani aku ke salon yuk ka?” lanjut Tyas.
“Aku siap-siap dulu ya, nanti biar aku aja yang jemput sama pak Yono, sebentar lagi pak Yono pulang kok habis mengantar mas Tian ke kantor,” jawab Nora.
“Aku saja yang jemput ka, sudah mau sampai juga kok,” balas Tyas.
Nora langsung mengiyakan ajakan Tyas, dia bergegas mandi dan bersiap, Tyas melajukan mobilnya ke salah satu mall, mereka biasa ke salon langganan di sana, karena sering di ajak tyas, penampilan Nora sekarangpun sudah banyak berubah, Tyas adalah adik ipar yang sangat baik untuknya, meskipun pertemanan Tyas jauh dari dunia Nora.
“Kak Nora sudah banyak berubah dari pertama aku lihat loh,” kata Tyas memulai percakapan di mobil.
“Oh ya, berubah gimana,” jawab Nora.
“Kalau ka Tian masih gak bisa lihat ka Nora yang seperti ini, nanti dia yang rugi sendiri loh,” balas Tyas.
Nora tersenyum, namun dalam hatinya Nora membenarkan bahwa sampai saat ini Tian tidak pernah melihatnya bahkan menyentuhnya.
“Kak Nora itu cantiknya alami, pake make up tipis aja udah cantik banget, gak kaya wanita-wanita kebanyakan di sini, makeupnya tebal baru keliatan cantik hahahha,” kata Tyas menambahkan.
Mereka sampai di salah satu mall besar di tengah kota,Tyas dan Nora berjalan menuju salon langganan mereka, saat berjalan Tyas melihat toko yang menjual keperluan wanita, lalu menarik tangan Nora ke sana.
“Kak mampir kesini dulu yuk,” kata Tyas.
“Loh gak jadi ke salon?” jawab Nora.
“Kesini dulu, kita beli lingerie untuk kak Nora,” jawab Tyas enteng.
“Lingerie? untuk apa?” balas Nora.
“Ya untuk kak Nora pakai nanti malam,” jawan Tyas.
Mereka memilih dua pakaian lingerie, Nora yang melihatnya jadi malu sendiri, Nora tidak mau memilih lingerie yang terlalu terbuka, dia hanya memilih baju lingerie yang kelihatan masih normal-normal saja, namun tidak meninggaklan kesan seksinya, Tyas menyuruh Nora untuk memakainnya nanti malam.
Tyas tahu bahwa kakaknya tidak akan pernah menyentuh Nora meskipun mereka sudah menikah, karena Tyas tahu Tian adalah laki-laki yang gemar gonta ganti wanita, dan Nora tidak tahu itu. Tyas merasa kasihan pada Nora, terkadang kebaikan dan kepolosan Nora membuat Tyas kesalah setengah mati dengan kakaknya Tian, apalagi saat Tyas mendengar dari teman-temannya bahwa mereka melihat Tian sedang berada di berbagai macam tempat dengan wanita lain.
Tyas sengaja mengajak Nora untuk pergi ke mall, membeli lingerie dan ke salon seharian, Tyas diam-diam mengambil handphone Nora dan mengirimkan pesan kepada Tian untuk tidak pulang terlalu larut, namun tidak pernah ada balasan dari Tian, tapi Tyas yakin kalau Tian membacanya.
Setelah seharian pergi dengan Tyas, Nora merasakan letih yang amat sangat, Nora masih tidak habis piker bagaimana Tyas bisa keliling mall seharian tanpa merasakan capek, Nora berjalan ke kamar mandi, dalam benaknya dia mengingat membeli baju lingerie, namun Nora hanya tersenyum, sekalipun dia memakai baju seperti itu akankah Tian akan menyentuhnya meskipun hanya satu malam saja, Nora merasa membuang-buang waktu untuk baju lingerie itu.
Selesai mandi, Nora memutuskan untuk mencoba salah satu baju lingerie yang tadi dia beli, lingerie warna hitam, dengan belahan dada yang cukup terbuka, baju yang hanya sampai di atas lututnya terlihat pas di tubuh Nora, namun rasa letih Nora yang membuat matanya mengantuk memaksanya untuk merebahkan tubuhnya di tempat tidur, dia memejamkan mata untuk sebentar saja.
Nora merasakan sedikit sentuhan di lehernya, namun matanya masih belum mau membuka, Nora merasakan lagi sentuhan yang cukup dalam di tubuhnya membuatnya sedikit terjaga, namun dia melihat wajah Tian yang berada di atas tubuhnya, menciumi lehernya dan menatap matanya, namun Nora masih setengah sadar untuk menadari apakah itu mimpi atau kenyataan.
Nora merasakan ganggaman tangan Tian di pergelangan tangannya, Nora membiarkan Tian mencumbui satu persatu bagian tubuhnya, meskipun ini hanya mimpi Nora sudah cukup bahagia, mungkin hatinya sudah haus akan dekapan Tian.
Nora merasakan Tian membuka satu persatu baju yang dia kenakan, dia melihat Tian pun membuka baju yang dikenakannya satu persatu, dan membiarkan kulit mereka bersentuhan dengan intim, untuk pertama kali Nora merasakan semuanya terasa nyata, apakah Tian benar-benar sedang berada di pelukannya mala mini.
Tian yang baru pulang kerja melihat Nora terbaring dengan baju lingerienya berdiri terdiam, Tian mengacuhkan pandagannya, namun rasa penat Tian membawa Tian mendekat ke tubuh Nora yang sedang terlelap, Tian memandangi wajah Nora dan tersadar, sejak kapan wanita ini menjadi cantik seperti ini, lalu tangan Tian mengusap pipi dan leher Nora, dia melihat Nora menggeliat membuat Tian ingin menyentuhnya.
Entah karena apa, Tian mulai mencumbui tubuh Nora, dia membuka baju Nora satu persatu, Tian tahu ini untuk pertama kalinya dia menyentuh istrinya setelah lima bulan menikah, entah apa yang membuat Tian merasa malam ini Nora seakan menariknya untuk merasakan tubuh wanita kampung ini, Tian tidak henti-hentinya mencium aroma wangi tubuh Nora.
Malam ini Nora mendapatkan apa yang sudah lama dia inginkan, untuk pertama kali dia menyerahkan sesuatu yang berharga pada Tian, dan itu seharusnya sudah Tian ambil lima bulan yang lalu, Nora merasakan sentuhan Tian yang membuatnya seperti pergi ke alam mimpi, namun bagi Tian Nora tidak lain seperti wanita yang pernah tidur dengannya, namum bagi Nora sentuhan tangan dan bibir Tian di bibir dan tubuhnya adalah hal yang tidak akan Nora lupakan.
Nora bersiap untuk pergi ke rumah keluarga Winata setelah menemani Tian sarapan dan berangkat kerja, meskipun tidak ada sepatah kata pun keluar dari bibir Tian, Nora yakin Tian sadar yang apa yang telah mereka lakukan semalam, Nora pun masih tidak percaya sampai saat ini, saat dia terbangun, Tian sudah berada disampingnya dan sama-sama tidak ada satu helai pun benang yang menempel di tubuh mereka, Nora terbangun dan terduduk di tempat tidurnya, dia diam terpaku, membereskan rambut dan menatap Tian yang masih tertidur. Nora dengan cepat bangkit dari tempat tidurnya, dan sedikit berlari ke kamar mandi tanpa mengetahui bahwa Tian mengintip dari tempat tidurnya, Tian pun tidak percaya yang telah dia lakukan semalam pada Nora, bukankah dia hanya menganggap Nora sebagai alat untuk mendapatkan warisan ayahnya, namun entah mengapa semalam dia melihat Nora begitu cantik, dan tidak bisa menghentikan tubuhnya untuk tidak menyentuh Nora.
Nora terbangun, dia melihat jam di sebelah tempat tidurnya, sudah jam delapan pagi, dia melirik ke samping kanannya, tempat Tian biasa tidur namun tidak ada tanda-tanda orang tertidur di sana, Nora melihat lantai kamarnya berserakan dengan barang-barang yang baru dia beli kemarin, Nora ingin beranjak dari tempat tidur, namun kepalanya masih terasa berat dan pusing, dia tidak tahu berapa kali dia menangis semalam hingga terbangun jam delapan pagi, Nora berusaha untuk bangkit dan mendinginkan kepala, Tian tidak pulang ke rumah, batin Nora. Setelah membereskan mandi dan membereskan kamarnya, Nora bersiap untuk keluar rumah, dia memutuskan untuk jalan-jalan membeli perlengkapan lukis yang banyak, lebih baik dia menyibukan diri dari pada harus menunggu Tian yang hanya menganggapnya sebagai alat, Nora menahan rasa sakit di dadanya agar air matanya tidak tumpah lagi bila mengingat kata-kata itu. Nora meminta supirnya mengantarkan dia ke t
“Kenapa kamu bisa bersama Tomi,” suara Tian meninggi setelah menarik dan melempar Nora ke atas tempat tidur, Nora tersungkur dan memegang pergelangan tangannya yang kesakitan karena genggaman Tian. “Hanya kebetulan bertemu, aku sedang membeli alat lukis di dekat situ, lalu mas Tomi mengajakku minum kopi,” jawab Nora. “Kebetulan bertemu? memang kalian sudah pernah bertemu sebelumnya?” tanya Tian yang terlihat marah. “Kami bertemu pertama kali saat aku datang ke kantormu kemarin,” jawab Nora sambil menundukan wajahnya, dia tak berani melihat wajah Tian, dia tahu Tian marah besar padanya “Apa? aku bilang sama kamu dan tolong dengarkan baik-baik, aku mohon kamu jangan pernah muncul di kantorku atau di hadapan teman-temanku lagi,” balas Tian. Nora yang mendengar apa yang diucapkan Tian tersentak
Nora masih memandangi foto-foto yang dikirimkan pengirim tanpa nama tersebut, dia perhatikan satu persatu, wajah Tian yang tak pernah dia lihat sebahagia itu saat bersamanya. Banyak pertanyaan yang terlintas di kepala Nora, apakah wanita yang bersama Tian di foto ini adalah Citra, orang yang mengirimkan foto itu padanya. Jam menunjukan pukul sepuluh malam, Nora tida bisa memejamkan matanya, gambaran foto itu terus datang saat dia memejamkan matanya, Nora sudah berjanji tidak ingin menangis lagi, untuk bertanya pada Tian, Nora tidak punya keberanian setelah mereka bertengkar semalam, tapi Nora tidak akan tenang sebelum tahu kenyataannya. “Apakah aku harus menemui mas Tomi ataukah Tyas,” gumam Nora dalam hati. Nora mengambil handphone yang berada di meja samping tempat tidurnya, dia mulai mengirikan pesan kepada seseorang, Nora memutuskan untuk bertemu besok pagi setelah Tian berangkat kerja, dan pesan Nora
Nora mematung di depan kanvas lukisnya, tangannya memegang kuas yang yang catnya sudah mengering, hampir satu jam lamanya Nora hanya memandang kanvas kosong, tidak seperti biasanya, bila di depan kanvas Nora dengan gamblang melukis dan memainkan kuasnya sehingga menjadi lukisan yang indah, hati Nora bimbang, dia merasa seperti perempuan bodoh yang hanya menurut dan akhirnya harga dirinya terinjak-injak. Foto-foto Tian dengan wanita lain masih terbayang dalam benak Nora, bahkan dia istrinya tidak pernah berpose seperti itu dengan suaminya sendiri, selama berbulan-bulan dia menikah baru kemarin Tian benar-benar menyentuhnya, itu pun mungkin bukan karena Tian mencintai dirinya. Nora meletakan kuasnya, dia berjalan ke kamar, membuka lemari bajunya, namun wajahnya terlihat ragu, Nora ingin pulang sejenak ke kampungnya, bertemu ayah dan ibunya, menangis dan bercerita dengan puas dengan adiknya hingga beban di pundaknya berkurang meskipun sedik
“Tian, aku mau bicara,” isi pesan singkat Tomi di handphone membuat Tian bertanya, tidak seperti biasa Tomi mengirimkan pesan hanya untuk bicara padanya, sepertinya kali ini dia ingin berbicara serius, batinnya dalam hati. Lima belas menit kemudian Tomi sudah berada di depan ruangan Tian, dia membuka pintu dan melihat Tian sudah duduk dan meracik kopi untuk mereka berdua, Tomi duduk di sofa sambil melihat ke arah Tian, setelah Nora menceritakan kejadian di museum tadi, Tomi langsung pergi menemui Tian. “Katanya mau bicara, kok malah diam aja sekarang,” tanya Tian pada Tomi. “Tapi sebelumnya aku tidak ada maksud apa-apa, aku hanya mau bertanya sesuatu padamu Ian, dan ini demi masa depan dan warisanmu itu,” jawab Tomi. “Ha ha ha sejak kapan jadi serius begini sob, kita sudah lama kenal, jangan tegang begini lah,” balas Tian yang memandang wajah Tomi, ad
Jam menunjukan pukul sepuluh pagi, kamar Nora masih terlihat gelap, dan Nora masih terbaring di tempat tidurnya, matanya tak mau terpejam hingga jam empat subuh, kata-kata wanita kemarin siang yang menemuinya masih terbayang di kepala Nora. dia tidak membayangkan Tian menghamili wanita itu, apakah mereka sudah menikah siri di belakang Nora, sesaat Nora merasa sebagai istri yang tak berguna, bagaimana tidak, harusnya dia yang mengandung anak Tian bukan wanita lain, rasa sesak kembali memenuhi dada Nora. Nora mencoba bangkit dari tempat tidur, dia menyandarkan punggungnya dan mengambil handphone yang dia letakan di dalam laci, Nora sengaja menyimpannya di sana, selepas pulang dari museum dia tidak ingin berbicara dengan siapapun, dia melihat layar handphone, tiga puluh dua panggilan tak terjawab dari Tian dan Tomi, Nora kembali meletakan handphonenya, dia tak menggubris semua panggilan yang masuk. Nora mencoba membuat dirinya sibuk untuk m
Almeera memandangi layar handphonenya, dia mencoba menghubungi Tian berulang kali, tidak ada jawaban, panggilannya tak di jawab dan pesannya tak di balas, Almeera gelisah, tidak pernah Tian melakukan hal ini padanya, setiap telephone dan pesannya selama ini tidak pernah menunggu lama, Tian pasti langsung membalasnya, namun saat ini tak ada balasan apapun dari Tian, Almeeran tidak bisa menunggu lagi, dia bergegas mengambil tasnya dan bergegas untuk pergi menemui Tian. “Tring…tring…tring,” bunyi pesan masuk di handphonenya membuat Almeera mengehntikan langkah kakinya, dia membuka pesan, berharap Tian yang membalas salah satu chatnya. “Nora sakit, dia pingsan kemarin malam, maaf sayang aku tidak sempat membalas pesanmu,” kata Tian di pesan itu. Raut wajah Almeera berubah kesal, semalaman perasaannya tidak tenang menunggu Tian, dia tidak pernah absen untuk datang ke apartemennya, namu
Almeera terbangun dari tidurnya, kepalanya terasa sangat berat, entah berapa gelas wine yang dia minum semalam, tapi seingatnya semalam dia minum di sofa ruang tengah apartemennya bukan di kamar, saat menyadari itu Almeera langsung terduduk di tempat tidur sambil memegang kepalanya, dia mencoba mengingat-ingat tentang semalam, apakah dia sendiri yang berjalan ke kamar. “Tenryata kau sudah bangun,” suara laki-laki membuat Almeera terperanjat, dia melihat Luki berdiri di depan pintu kamar tidurnya sambil menyilangkan tangan di dada. “Kau, sejak kapan kau ada disini?” tanya Almeera sambil menahan sakit kepalanya. “Semalam,” jawab Luki singkat. “Kau yang membawaku ke kamar?” tanya Almeera lagi, Luki hanya mengangguk. “Tenang saja, aku tidak berbuat sesuatu terhadapmu,” kata Luki sambil memandang Almeera. Almeera mencoba membuar dirinya sadar penuh, tapi kepalanya benar-benar berat, “Ah sial, kepalaku sakit sekali,” kata Almeera setengah berbisik. “Kau menghabiskan dua bot
Almeera berdiri di balkon apartemennya sambil sesekali meneguk wine dan memikirkan rencana untuk membuat Tian tetap bersamanya, dia mulai merasakan Tian terganggu dengan kedatangan Nora kembali ke Jakarta. “Seharusnya aku sudah mempertimbangkan hal ini, bagaimana aku bisa lengah,” kata Almeera dalam hati, dia masih memikirkan cara untuk mempertahankan hubungannya dengan Tian. “Bagaimanapun juga Tian tidak boleh kembali pada wanita kampungan itu,” kata Almeera lagi dalam hati. Dia masuk ke dalam apartemen mengambil ponselnya dan menghubungi salah satu nomor kenalannya, entah apa yang di pikirkan Almeera tapi saat ini dia hanya butuh teman bicara, mungkin saja orang ini bisa memberikanku solusi. “Halo?” jawaban dari seberang sana saat panggilan Almeera di respon “Hai..apa kabar?” jawab Almeera, orang itu terdiam cukup lama. “Hmm..kabarku baik, bagaimana denganmu, apakah sudah sangat menikmati peranmu sebagai nyonya winata junior?” kata orang itu lagi. “Nadamu sepert
Almeera mengendarai mobilnya menuju kantor Tian, pagi-pagi sekali dia sudah siap untuk melaksanakan rencananya, semalaman Almeera berpikir tentang Tian, dia yakin Tian bukanlah pria yang bodoh, tapi Almeera bisa membuat seorang Tian bertekuk lutut kepadanya, lagi pula Tian memang pria yang sangat tampan, wangi parfumnya sangat berkelas, penampilannya sangat maskulin, sekilas pikiran Almeera melayang nakal. “Sudah kuputuskan, dia akan jadi milikku,” kata Almeera dalam hati sambil menginjak gas, hari ini Almeera akan membuat Tian mengahbiskan waktu dengannya. “Tok..tok..tok,” Sekretaris Tian mengetuk dan membuka pintu ruangan Tian yang saat itu baru selesai meeting dengan klien. “Pak. Nona Almeera sudah menunggu di depan,” kata sekretarisnya, Tian terdiam sebentar. “Bagaimana pak, apa saya perbolehkan nona Almeera masuk ke ruangan bapak?” tanya sekretarisnya lagi. “Suruh dia masuk saja, lalu siang nanti tolong reservasikan restoran untuk makan siang,” jawab Tian. “Baik pa
“Hey..kau tidak berangkat ke kantor,” suara Tomi membuat tidur Tian terganggu, dia melihat arloji di tangannya, jam menunjukan pukul delapan pagi, Tian langsung terbangun dari sofa dan mencari kunci mobil yang semalam ditinggalkan supirnya. “Kenapa lo gak bangunin gue lebih pagi,” jawab Tian setengah terhuyung dan melihat Tomi sudah rapih dengan baju kerjanya sambil menyeruput kopi. “Sudah, kau tak bangun,” kata Tomi sambil mengambil jasnya lalu mengambil kunci mobil. Tomi dan Tian sama-sama pergi keluar apartemen, hanya yang satu sangat terlihat rapih dan yang satu terlihat baru bangun tidur dengan wajah bantal. Mereka masuk ke mobil masing-masing, Tian akan langsung ke kantornya, dia sudah mengirimkan pesaan kepada sekretarisnya untuk menyiapkan baju kerjanya di ruangannya, dan menahan siapapun yang ingin masuk ke dalam ruangannya. “Sampai nanti,” kata Tomi sambil meninggalkan Tian dengan mobilnya, Tian hanya menganggukan kepala. Sesampainya di kantor, Tian bergegas masu
“Al, lo udah siap tampil?” kata salah seorang kru di backstage tempat para model bersiap untuk penampilan fashion show tahun ini. “Yang lo lihat gimana, masa gue udah dandan kaya gini masih dibilang belom siap,” jawab Almeera sambil melirik ke arah kru. “Beruntung lo hari ini, direktur utama Winata Grup gak bisa hadir,” kata kru itu lagi. “Loh kok beruntung, lo kan tau gue lagi berusaha promosiin diri gue untuk jadi model tetap perusahaan mereka, kalo direktur utamanya gak datang, rencana gue bubar dong,” kata Almeera sambil mengernyitkan dahi. “Direktur Utamanya emang gak datang, tapi dia di wakilin sama anaknya, Bastian Abimana,” kata kru itu lagi sambil tertawa seakan mengisyaratkan sesuatu. “Oh, baguslah meskipun bukan bapaknya, seenggaknya kesempatan gue gak hilang kan,” kata Almeera lagi. “Lo kenapa sih, kok ketawanya begitu?” tanya Almeera. “Duh tuan putri, harusnya lo bisa berpikir jauh ke depan, kalo lo mau promosiin diri lo, sekalian gaet anaknya dong, dua
Mobil Tomi berjalan masuk ke dalam pekarangan rumahnya, dia melihat Nora dan Bian tertidur di sampingnya, Nora tertidur sangat lelap saat itu karena malam tadi dia tidak bisa memejamkan mata hingga dini hari. “Sayang kita sudah sampai,” kata Tomi perlahan membangunkan Nora. Nora perlahan membuka matanya, dia melihat ke sekeliling, rumah yang indah dan halaman yang asri. “Ini rumah kita, kita akan tinggal disini sementara,” kata Tomi yang lekas turun dari mobilnya, dan menyuruh supirnya untuk menurunkan barang-barang bawaan mereka. Nora mengikuti Tomi turun dari mobil sambil menggendong Bian, dia belum pernah melihat rumah yang akan mereka tempati selama di Jakarta. “Apakah kau membelinya?” tanya Nora pada Tomi. “Tidak, ini adalah rumahku, aku hanya sedikit merenovasinya sebelum berangkat ke Australia,” jawab Tomi. Nora mengikuti Tomi masuk ke dalam rumah, meskipun rumah ini lama tidak di tempati oleh Tomi namun rumah ini terlihat sangat bersih dan tidak berbau khas ru
Tian terus menerus menatap ke arah Nora dan Tomi, meskipun dia tahu ada Almeera di sebesarng sana yang juga ikut memperhatikannya, namun Tian tidak dapat melepaskan pandangannya dari Nora, terlebih anak itu yang sedang Nora gendong yang membuat rasa penasaran Tian makin memuncak. Semalaman Tian tidak bisa tertidur, dia memilih untuk turun kebawah bersama para tamu yang datang melayat ke rumahnya, dia tidak tahu apa yang sedang terjadi pada dirinya, setelah perpisahannya dengan Nora dua tahun lalu, Tian masih merasa bersalah jauh di dalam hatinya, dia tahu saat itu dia sudah mempunyai perasaan sedikit pada Nora, namun kehamilan Almeera membuatnya teralihkan dari Nora. “Apakah saat itu Nora sedang mengandung anakku?” kata Tian dalam hati. “Apakah dia anakku?” kata Tian lagi, seakan-akan pertanyaan di kepalanya tidak ada putusnya. Tian berjalan di samping ibunya, mengantar jenazah Tuan Winata, keadaan rumah sangat ramai, para pelayat yang terdiri dari kolega-kolega bisnis per
Malam itu Nora tidak bisa memejamkan matanya, dia melihat ke samping tempat tidur, sudah pukul satu dini hari, dia masih mengingat perkataan Almeera tadi, dia tahu Almeera tidak main-main dengan perkataannya. “Kau belum tidur?” tiba-tiba suara Tomi mengagetkan Nora. “Ada yang sedang kau pikirkan sayang?” kata Tomi lagi. Tomi memandang wajah Nora, dia melihat ada kegelisahan di wajahnya, Tomi tahu ada sesuatu yang membuat Nora tidak nyaman saat itu. “Tidak, aku hanya tidak bisa tertidur saja, mungkin karena malam pertama di tempat yang baru,” jawab Nora mencari alasan. Tomi hanya mengangguk, namun dia tidak eprcaya apa yang Nora katakan, dia tahu Nora bukanlah orang yang susah beradaptasi, saat pindah ke Australia, Nora tidak mempunyai masalah bergaul atau kesulitan tidur, dia tahu istrinya seperti itu bila ada sesuatu yang di pikirkannya. “Tidurlah, besok pagi kita akan pergi setelah pemakaman Om Winata, lagipula di bawah masih banyak tamu, mungkin aku akan tidur 2-3 ja
“Brakkk,” Almeera membanting pintu kamarnya, wajahnya terlihat gusar campur marah, dia berjalan mondar mandir di dalam kamar, berpikir keras sambil menggigit ibu jarinya. “Sialan, kenapa perempuan itu datang kesini,” kata Almeera pelan, dia berkali-kali melirik ke arah pintu kamar. “Beraninya dia datang kesini membawa anak Tian,” katanya lagi. “Aku harus memikirkan cara agar dia tidak merebut posisiku lagi,” kata Almeera sambil duduk di tepi tempat tidur. Saat Almeera sedang berpikir keras, pintu kamar terbuka dan Tian berjalan masuk ke dalam kamar, wajahnya terlihat tidak biasa, keningnya berkerut dan sepertinya dia tidak sadar ada Almeera di sana “Kau dari mana?” suara Almeera mengagetkan Tian. “Bertemu para tamu, tapi sebagian dari mereka sudah pulang,” jawab Tian sambil menyandarkan badannya di sofa lalu memejamkan mata. “Tamu dari mana?” kata Almeera sambil memancing. “Apa maksudmu?” tanya Tian. Almeera terdiam, dia duduk di samping tempat tidur, dia ingin