Ratusan tetes air bertubi-tubi menghantam sekujur tubuh Gami. Kunciran yang semula belum kering sekarang malah kuyup. Kaus oblong yang semula longgar sekarang menempel ketat di kulitnya. Dia berlari sambil memayungi kepala dengan sebelah tangan. Menghampiri Wira yang menolong seorang korban.
“Udah ditelepon?” tanya Wira sambil memapah seorang pria paruh baya yang kesulitan berjalan.
Gami mengangguk. “Polisi sama ambulance udah on the way.”
“Ya, udah. Sekarang coba kamu cek mobil putih itu.” Wira menunjuk mobil yang terjungkal dengan gerakan dagunya. “Kayaknya mereka masih hidup,” tambahnya.
Mereka? Apakah Wira sudah memeriksa mobil itu dan mengetahui bahwa jumlah penumpangnya lebih dari satu?
Pertanyaan yang bekelebat dalam kepala Gami hanya akan terjawab sesudah dia memeriksa sendiri. Kakinya bergerak ragu mendekati mobil yang terjungkal itu.
Meskipun takut, Gami merasa harus turun tangan membantu Wira. Apalagi belum ada satu pun pengguna jalan yang melintas sehingga tidak ada orang selain mereka yang bisa menolong korban-korban itu.
Ah, bicara tentang pengendara lain, Gami baru sadar bahwa sejak tadi belum ada satu pun orang yang berlalu. Bukankah sekarang masih jam tujuh malam? Harusnya masih banyak pengendara yang berlalu lalang meskipun hujan menyerang. Terlebih ini malam Minggu. Malam di mana pasangan muda-mudi turun ke jalan bersama pasangan.
Keanehan pun tidak hanya terjadi sebatas itu. Tol ini memiliki dua jalur, tapi dari arah utara maupun selatan tidak menunjukkan tanda-tanda akan ada kendaraan yang lewat. Tidak ada sorot lampu yang bersinar dari kejauhan. Tempat kejadian perkara hanya diterangi lampu jalan yang temaram.
Gami mendekati mobil putih yang terjungkal itu secara perlahan. Kepulan asap dan bau kabel terbakar menerkam indera penciumannya. Kaca jendelanya sudah menjadi remah dan berserakan di aspal. Beberapa bagian masih menancap dan runcing. Membuatnya meringis ketika membayangkan kulitnya tergores.
Terpangkasnya jarak membuat Gami menangkap jelas keberadaan tangan putih yang terjulur di balik jendela. Tangan itu penuh goresan luka. Darah segar yang seharusnya masih mengalir telah disapu oleh guyuran air hujan. Selain luka, Gami juga menangkap adanya jejak kebiruan di pergelangan korban.
Baru melihat dari jarak satu meter saja Gami sudah meringis. Dia mengusap batang tangannya sendiri seolah rasa sakit yang dirasakan pemilik tangan menular padanya.
“Mudah-mudahan aja dia masih hidup.”
Gami merapalkan kalimat itu ketika membungkukkan badan perlahan. Kepalanya melongok, mengintip keadaan korban. Seketika napasnya tertahan. Matanya membelalak maksimal. Jantungnya pun berdetak kencang mendapati luka mengerikan yang memenuhi wajah pengantin.
Ya, rupanya pemilik tangan itu adalah pengantin wanita yang masih mengenakan gaun putih. Sayangnya, kesucian warna gaun itu sudah ternodai oleh banyaknya cairan merah.
“Astaga! Ini ....”
Gami membekap mulut serapat-rapatnya agar tidak mengeluarkan kata. Jantungnya mencelus mendapati sebilah pisau menancap di pinggang kanan pengantin. Pisau bergagang emas itu tampaknya menancap sangat dalam. Refleks pandangannya beralih pada pengantin pria yang menjadi pengemudi. Kondisinya tak kalah mengenaskan. Gami langsung tersimpuh di aspal melihat pisau bergagang serupa menancap di dada kiri pengantin pria.
“Gami!”
Wira yang baru saja memindahkan korban luka-luka ke bawah pohon untuk bernaung mendadak memekik melihat Gami bersimpuh di aspal. Jika aspal itu bersih dari serpihan kaca, Wira tidak akan sekaget dan sekhawatir itu.
Wira bergegas menghampiri. Awalnya, dia berniat akan langsung mengomeli Gami karena duduk sembarangan. Namun, begitu mendapati pemandangan yang sama dengan yang dilihat Gami, dia mengalami shock serupa. Bedanya, Wira dapat dengan cepat mengendalikan diri. Bahkan membantu Gami berdiri.
“Kita ke mobil aja, ya. Korban ini biar polisi yang menangani,” kata Wira sambil memapah Gami pergi.
Langkah Gami mengeras seolah tidak ingin beranjak dari tempat itu. Dengan bibir bergetar--campuran antara rasa takut dan dingin--dia bertanya, “Mereka ... masih hidup, ‘kan, Mas?”
Sebenarnya Wira juga penasaran, apakah pasangan itu masih bernapas atau telah berpulang ke pangkuan Tuhan. Namun, dia enggan memeriksa lebih lanjut. Dia takut salah bertindak.
“Periksa, dong, Mas. Siapa tau masih hidup.” Gami membujuk dengan tatapan penuh permohonan. Membuat Wira tidak tega menolak.
Berhubung rasa penasarannya juga semakin kuat, Wira tidak membutuhkan desakan yang ke dua kalinya. Dia mendekat perlahan. Tangannya terulur ragu ketika menyentuh titik nadi di leher pengantin itu.
“Hati-hati, Mas!” Gami mengingatkan. Takut jika mempelai itu masih hidup, lalu menusuk Wira dengan pisau yang sama.
Wira mendongak menatap Gami. Kemudian mengangguk dan berkata, “Masih.”
“Terus? Kita harus gimana, Mas?”
“Kamu mau bantuin saya?”
Gami mengangguk tanpa keraguan. Jika itu Wira, bantuan apa pun yang diminta, dia tidak akan sangsi mewujudkannya.
“Tolong kamu tahan tangan ini, ya. Saya mau buka pintunya. Kasian kalau tangannya tergores lagi.”
Tepat ketika Gami mengangguk, bunyi sirine—entah mobil polisi atau ambulance—mulai samar-samar terdengar. Namun, bunyi itu tidak mengurungkan niat keduanya untuk mengeluarkan pengantin itu dari mobil yang terbalik. Keduanya bekerja sama dengan apik dalam melakukan upaya penyelamatan.
Ketika pengantin itu berhasil dikeluarkan, terjadilah satu keanehan. Hujan yang tadinya begitu deras menerpa mendadak berhenti tanpa menyisakan gerimis kecil. Hal itu sangat menguntungkan pengantin wanita yang kini telah dibaringkan di aspal. Tubuh dan wajahnya tidak perlu menerima serangan air lagi.
“Mbak! Bisa dengar saya?” Wira mencoba berkomunikasi dan mengguncang pelan bahu si pengantin. Berharap korban bisa memberikan sedikit respons.
Sementara itu, perhatian Gami terdistraksi oleh keberadaan cincin silver bermata hitam. Cincin itu tergeletak di bagian dalam atap mobil. Terselip di antara remahan kaca depan yang juga pecah.
Gami mendapatkan satu dorongan yang membuatnya memungut cincin itu. Dia mengamati desainnya yang simpel. Tidak ada ukiran di sepanjang lingkaran yang kurus. Satu-satunya hiasan yang mempercantik cincin itu adalah permata hitam yang menyembul di tengahnya.
Anehnya, Gami merasakan satu getaran di hati ketika ibu jarinya mengusap permata itu. Walaupun desainnya sangat simpel, cincin itu terlihat sangat elegan.
“Cantik,” pujinya sambil mengusap permata hitam yang justru berkilau setelah tertimpa butiran hujan.
“Tapi ... kenapa cincin nikah pakai permata hitam begini, sih?”
Menurut Gami, cincin pernikahan akan lebih baik jika bermata mutiara atau berlian putih yang berkilauan. Kalau permatanya hitam pekat seperti ini, bukankah malah menimbulkan kesan mistis dan suram?
Kemudian muncullah pertanyaan lain dalam kepalanya. Apakah pasangan itu sudah resmi menikah? Jika sudah, kenapa keduanya sama-sama belum mengenakan cincin di jari manis? Jika belum, apakah cincin permata hitam itu adalah cincin pernikahan? Lantas, ke mana cincin yang satu lagi?
“Kamu ngapain, Gami?”
Pertanyaan Wira membuat Gami terkinjat. Di saat yang sama, tiga buah mobil patroli dan dua ambulance tiba. Beberapa pria berseragam berbeda berlari menghampiri mereka. Kemunculan orang-orang itu membuat Gami panik dan refleks mengantongi cincin itu.
“Kenapa aku jadi panik gini, sih?” gumamnya pada diri sendiri. “Kenapa cincinnya enggak ditaruh ke tempat asalnya aja? Kenapa harus kukantongi?”
Gami mendecakkan lidah, menyesali respons cepat yang justru mengundang dirinya masuk ke lubang penuh bahaya. Jika polisi mengendus keberadaan cincin itu dalam kantongnya, bukankah dia terancam mendapat tuduhan sebagai pencuri?
“Apa yang barusan kamu kantongi?” tanya Wira saat mendekati Gami. Dia sudah menyerahkan pengantin itu kepada petugas medis dan polisi.
Awalnya Gami terkejut mendengar pertanyaan Wira karena pikirannya melayang ke mana-mana. Namun, begitu mulutnya menganga, siap mengatakan yang sejujurnya, muncullah seorang polisi yang membuat rahangnya kembali terkatup. Entah kenapa hati kecilnya melarang untuk tidak memberi tahu siapa pun selain Wira.
Gami mengira bahwa polisi itu akan menghampiri mereka. Setidaknya, mereka pasti akan mengajukan beberapa pertanyaan terkait kronologi kejadian. Ternyata, polisi itu hanya melibas tanpa bertanya apa pun, membuat Gami terheran-heran.
“Aneh banget enggak, sih?” Wira seolah berbicara sendiri, padahal dia berdiri di sisi Gami. Kepalanya teleng ke kanan, menatap heran pada orang-orang yang kini bergotong royong mengevakuasi korban. “Tadi kayaknya enggak ada satu pun manusia selain kita. Sekarang ....”
Wira sengaja tidak melanjutkan kalimatnya. Dia yakin bahwa Gami juga merasakan hal serupa dan mengerti maksud ucapannya.
Sesuai perkiraan, Gami mengangguk setuju. “Apa mungkin karena hujannya udah reda, ya, Mas? Tadi, ‘kan, lebat banget, jadi orang-orang pada malas turun ke jalan.”
Sekarang giliran Wira yang mengangguk. Namun, kerutan samar di keningnya menandakan adanya keraguan. Batinnya bertanya, benarkah hanya karena hujan?
Sayangnya, situasi ini tertolak oleh logikanya. Bagaimana mungkin puluhan manusia berbondong-bondong menghampiri mereka dalam sekejap. Seingatnya, mobil yang datang hanyalah ambulance dan polisi. Namun, sekarang tiba-tiba puluhan kendaraan yang terdiri dari motor roda dua dan empat berkumpul dari utara dan selatan. Mungkinkah ini efek kelengahannya sehingga tidak menyadari kedatangan kendaraan lain?
Ya, Wira memang sempat lengah saat petugas medis menanyakan kondisi korban. Dia juga sempat memerhatikan Gami yang termangu setelah mengantongi sebuah benda. Mungkinkah dalam kelengahan yang terbilang singkat itu sudah banyak kendaraan yang menyerbu TKP?
“Menurut Mas Wira, pengantin itu udah nikah atau belum?” Gami mengutarakan pertanyaan yang sejak tadi bercokol di kepala. Ketika itu dia memerhatikan warga yang tengah mengevakuasi mempelai pria.
“Kalau belum, ngapain mereka satu mobil? Tanpa pendamping pula.” Wira menanggapi.
“Setahu saya, pengantin yang normal itu baru semobil kalau udah sah. Selesai resepsi on the way hotel atau rumah baru. Kalau belum sah, masing-masing bakal diantar sama keluarga atau pendamping,” paparnya.
“Tapi enggak tahu, sih, kalau pengantin abnormal. Bisa jadi mereka pakai konsep berbeda dan enggak mau ngikutin adat,” tambahnya. “Memangnya kenapa? Ada yang aneh?”
Gami mengangguk. “Mereka sama-sama enggak pakai cincin, Mas.”
“Hah? Kok, bisa?”
Rupanya hanya Gami yang menyadari hal kecil itu.
BAB 4 : BOCAH BUCINSepasang tungkai kurus berbalut kain denim tampak bergerak-gerak dengan ritme cepat. Alas flat shoes-nya bertabuh dengan keramik, menciptakan suara genderang ringan, tapi acap. Kedua tangan yang berpangku di paha saling mengusap, pertanda bahwa wanita itu dirundung gelisah.Berbanding terbalik, pria di sebelahnya duduk dengan kaki menyilang dan tangan bersedekap. Tidak ada gerakan berlebihan. Bahasa tubuhnya menunjukkan ketenangan.Sayangnya, ketenangan itu hanya berlangsung sesaat. Dua gelombang vertikal muncul di keningnya yang memar. Gelombang itu menjadi pertanda bahwa dia terganggu dengan keributan kecil di sebelah. Dia pun menoleh dan bertanya dengan nada jengah, “Kenapa, sih?”Seolah sudah menunggu diajak bicara, wanita itu langsung menyerongkan badannya, setengah menghadap Wira. Dengan rasa penasaran yang tinggi dia bertanya, “Pasangan pengantin itu bisa selamat enggak, ya?”Wira menggedikkan bahu
Keheningan membungkus suasana dalam mobil. Bayangan keluarga pengantin yang bertumbangan di lantai terputar ulang dalam ingatan Gami dan Wira. Isak pilu dan teriakan histeris masih meramaikan pendengaran meskipun kenyataannya tidak ada siapa-siapa di sekitar keduanya.Ya, pasangan tragis itu meninggal di meja operasi. Keluarga yang tidak siap melepas kepergian keduanya, lantas meluapkan perasaan dengan tangisan dan amukan.“Tragis banget, ya, Mas,” ucap Gami dengan sorot mata kosong ke depan.Wira hanya menanggapi dengan gumaman. Bibirnya enggan bergerak. Lebih tepatnya, dia tidak tahu harus berkomentar apa. Duka yang dirasakan keluarga telah menular ke dalam hatinya.“Semoga kita enggak kayak gitu, ya, Mas.”Kali ini Wira menoleh dengan sebelah alis terangkat. Dia tidak mempermasalahkan doa yang dipanjatkan Gami. Hanya saja, kata ‘kita’ cukup mengganggunya. Bukan terganggu dalam artian tidak suka, tapi lebih sep
Telapak kaki yang basah baru saja menapaki keset tipis yang kusam. Seluruh batang betisnya dipenuhi butiran air. Tubuh bagian atas dan setengah pahanya hanya ditutupi kain jarik yang warnanya sudah pudar, sepudar isi dompetnya menjelang akhir bulan.“Bedak sekarat. Body lotion mau habis. Sabun udah kombinasi sama air. Tck! Lengkap sudah derita akhir bulan,” keluh wanita itu ketika duduk bersimpuh di depan meja berkaki pendek. Selain cermin bulat yang dibingkai plastik hijau, meja itu juga menampung beberapa peralatan make up sekadarnya.Ketika wanita itu menggosok rambut dengan handuk yang masih melilit kepala, ingatannya tersangkut pada satu benda yang disembunyikan di bawah bantal. Dia bangkit dan mengambil benda kecil itu. Cincin permata hitam. Dia tersenyum mengamati kilau permata itu.“Kalau dilihat-lihat lagi, cincin ini ternyata cantik juga, ya. Kenapa tadi malam aku malah merasanya kayak horor banget?” gumamnya pada diri sendiri.
Wira menyorot tajam pada wanita asing di hadapannya. Siapa dia? Kenapa pagi-pagi ada di rumahnya? Kenapa menggunakan toilet khusus karyawannya? Kenapa hanya mengenakan kain jarik sedada? Kenapa memanggilnya ‘Mas’ seolah sudah akrab lama dengannya?Apakah dia penyusup? Jika benar, siapa yang sedang dia kuntit? Dira atau dirinya?Otaknya membentak menyuruh berteriak. Namun, nuraninya berontak dengan alasan kasihan.“Mas ... enggak kenal saya?”Pertanyaan macam apa itu? Jelas Wira tidak mengenalnya. Bertemu saja baru pertama kalinya.Wira ingin sekali membalasnya sarkas. Namun, sisi lembut hatinya melarang. Dia memilih bungkam. Membebaskan wanita itu berspekulasi sesuka hati.“Saya ... kakaknya Gami, Mas. Gita.”Benarkah? Wira baru tahu kalau Gami memiliki saudara, padahal sudah setahun wanita itu bekerja di rumahnya.Ah! Wira baru sadar bahwa selama ini jarang menanyakan hal-hal yang menyangkut
Gami masih mengagumi kecantikan sendiri ketika ketukan pintu berbunyi. Dia refleks meniarapkan cermin dengan keras sampai terdengar bunyi rengat. Namun, dia mengabaikan bunyi itu dan bergegas menggapai pintu.Ternyata, sang pengetuk pintu masihlah orang yang sama. Pria tampan dengan perawakan tinggi yang rambut gondrongnya sering dikuncir rapi.“Kenapa balik lagi, Mas? Udah kangen, ya, sama saya?” godanya sambil tersipu malu. Bahkan menghantamkan dahi sendiri ke papan pintu.Gandi yang semula berekspresi biasa saja berubah ‘ilfeel’ dalam sekejap. “Please, jangan ngarang, ya, Mbak. Saya ke sini mau cari Gami.”Mbak? Gami?Astaga! Gami lupa bahwa dia masih mengenakan cincin. Itu artinya, jati dirinya masih sebagai Gita. Pantas saja Gandi terlihat ‘ilfeel’. Bagaimana mungkin wanita cantik yang baru berkenalan dengannya sudah menggodanya sedemikian menjijikkan?Ah! Belum apa-apa dia sudah menghancu
Hidung kucing kampung berwajah lonjong tengah bergerak-gerak. Mengendus aroma asap yang bergoyang-goyang di atas genangan pekat.“Usro mau kopi juga?” tanya si pemilik kopi sambil mengangkat kucingnya dari nakas.“Tolong bawain ke balkon, ya, Gami,” pintanya sambil melangkah menuju tempat yang diinginkan. Juga mengelus lembus kepala anabulbetina yang meraung-raung entah karena apa.“Katanya Mas Wira ketemu sama kakak saya, ya?” pancing Gami yang mengekor sambil membawa cangkir kopi. Dia penasaran, apa yang dipikirkan Wira setelah bertemu Gita yang mulus dan jelita. Apakah tanda-tanda jatuh cinta sudah ada?“Itu yang mau saya omongin ke kamu,” kata Wira. Duduk bersila di kursi kayu. Membenahi tata letak pantat Usro agar nyaman duduk di pangkuannya.“Kamu lupa aturan di rumah ini?” lanjutnya dengan pertanyaan retoris. “Enggak boleh bawa siapa pun menginap di sini tanpa izin saya
Memble. Masam. Kusut. Kehilangan semangat hidup. Begitulah keadaan Gami usai mengobrol dengan Wira.“Kalau seorang Gita aja enggak bisa bikin Mas Wira terkesan, terus seleranya yang kayak gimana?” erangnya frustrasi sampai tega memberantakkan rambut sendiri. Kuncirannya pun kini tak lagi berbentuk.“Buat apa, sih, punya wajah cantik kalau enggak bisa bikin orang lain nyaman?” tirunya sambil bertandak. Meledek ucapan Wira yang menurutnya telah membunuh asa--asa untuk terlahir kembali sebagai Gita.“Sebenarnya kamu, tuh, maunya cewek yang kaya mana, Mas Wira?” tanyanya gemas seolah lawan bicaranya duduk di hadapan.“Saya harus berubah jadi apa supaya bisa mendapatkan hati kamu? Jadi guling biar bisa dipeluk tiap malam? Mungkin jadi baju biarbisa nempel terus sama kamu? Atau ... jadi jok mobil biar bisa nyium pantat kamu? Saya mau, kok, jadi benda mati apa aja asalkan bisa terus sama kamu. Masalahnya, saya haru
“Wira itu paling enggak suka sama cewek yang keganjenan kayak kamu.”Bibir Gami maju lima senti. Manyun. Kecewa karena usahanya untuk meraih perhatian Wira selama ini justru menjadi nilai minus.“Masa, sih, Bang?” Berharap Dira akan berkata ‘bercanda’.“Yeee, dibilangin enggak percaya. Ngapain nanya kalau begitu?”Sekarang Dira ikut memutar badan, sepenuhnya menghadap Gami. Berhubung masih dalam keadaan jongkok, pria itu melipat kedua tangan dan menopangkan di atas lutut.“Kalau mau mendekati Wira itu harus dengan cara yang elegan. You know elegant? Jangan flirting terus! Kamu harus jaga image! Aturannya begini: cewek itu dikejar, bukan mengejar; cewek itu dicintai, bukan mencintai; cewek itu ditembak, bukan menembak.”“Tapi, ya, Bang, kalau saya enggak gerak duluan, Mas Wira enggak akan--”“Itulah kesalahan kamu,” potong Dira. “Kamu pikir semua
"Okay." Gita manggut-manggut."Apanya yang okay?" Wira menatap bingung."Kita pacaran."Hening. Lebih tepatnya, keheningan itu hanya menyelimuti mereka berdua. Sementara itu, orang-orang di sekitar mereka tetap berbincang dan tertawa. Meriuhkan suasana menjelang makan siang.Gita memutuskan untuk menerima Wira. Selain karena tidak ingin kehilangan kesempatan yang sudah ditunggu-tunggu, Gita juga yakin bahwa alasan-alasan yang diutarakan Wira hanya bualan.Pria itu pasti sudah jatuh cinta dengannya. Itulah sebabnya dia repot-repot mengaku kepada Gami, meminta Gami mengawasinya, menerima usulan Gami untuk bertemu dengannya, lalu sekarang mengajaknya berpacaran. Menurutnya, tidak ada alasan paling valid dan logis selain cinta."Berapa nomor kamu?" tanya Wira sembari mengeluarkan HP dari saku celana jeans.'Mampus!' Gita melebarkan mata. 'Ini maksudnya nomor Gita, 'kan? Sial! Aku belum nyiapin!'Gita menelan ludah. Ot
"Kita mau ke mana, Mas?"Gita bingung ketika mobil meluncur ke jalan raya. Meninggalkan tempat janjian yang seharusnya."Saya udah enggak mood makan di situ," jawab Wira datar.Pria itu sedang menyalip mobil box dengan kecepatan di atas rata-rata. Kebetulan jalanan memang sedang lengang karena bukan jam makan siang. Saat ini masih jam 10 lewat."Kenapa?" tanya Gita sambil mengulum senyum.Sebenarnya dia tahu jawabannya. Dia yakin alasan Wira tidak mood lagi makan di kafe itu karena kejadian sebelumnya--kejadian di mana dirinya nyaris tertabrak motor.Mungkin--tapi ini hanya sebatas dugaan Gita saja--Wira trauma dengan tempat itu. Ah, bisa juga Wira benar-benar mengira bahwa Gita shock setelah nyaris berurusan dengan marabahaya.Apakah benar Gita merasa shock seperti yang dikatakan Wira kepada pemotor tadi? Hohoho! Tentu saja ... tidak. Alih-alih shock, Gita malah terpegun menyaksikan ketampanan paras Wira dari angle yang berbeda.
Setelah kemarin malam Wira mengiakan tawarannya, hari ini Gami tersenyum sepanjang hari. Bahkan ketika berubah menjadi Gita pun deretan giginya yang rapi, tapi kekuningan itu masih saja terkena angin.Maksudnya, dia terus tersenyum lebar. Tak peduli deretan giginya mengering terkena angin."Kayaknya lagi bahagia banget, ya, Mbak?" tanya sopir taksi online sambil tersenyum penuh ledekan. Dia melirik Gita yang duduk di kursi belakang melalui pantulan cermin yang menggantung di dashboard atas.Sepengamatan si sopir, sejak masuk mobil hingga seperempat perjalanan, penumpangnya yang menawan itu terus saja semringah. Bahkan kadang menyenandungkan lagu riang."Mau ketemu cowok terkasih, ya?" tebaknya. Hapal dengan jenis senyuman orang kasmaran.Gita terkekeh. "Tau aja si Bapak. Keliatan banget, ya?""Waaah, jadi benar, ya, udah ada yang punya? Padahal tadi cuma iseng nebak. Kalau gini, berarti saya enggak bisa ...."Sopir itu sengaja menggan
"Saya minta maaf."Gami merapatkan kedua pangkal alisnya. "Buat apa?" tanyanya tak mengerti, apa yang membuat Wira merasa perlu meminta maaf."Ya, karena saya udah menodai kakak kamu. Saya tau minta maaf aja enggak cukup, tapi ... semuanya udah terjadi. Saya enggak bisa apa-apa."Kerutan di kening Gami terurai. Tadinya dia ingin tersenyum lebar dan berkata, "Enggak apa-apa kali, Mas. Toh, kalian udah sama-sama dewasa. Umur kalian juga udah saatnya menikah. Jadi, ya, wajar kalian penasaran pengin nyoba begituan."Namun, setelah berpikir ulang, Gami urung menyalurkan kalimat demikian. Menurutnya, respons seperti itu sangat tidak wajar mengingat selama ini dirinya begitu gentol mengejar Wira. Respons paling wajar yang terlintas di kepalanya adalah mendengus kesal atau memaki sesekali.Sayangnya, Gami telanjur bersikap lembek di awal. Jadi, rasanya akan semakin aneh jika dia mengamuk dan memaki.'Jadi sekarang aku musti gimana?'Soal mene
"Ngomong, Mas!" pinta Gami sambil menarik tatakan kayu berisi chicken cheese burger ke hadapannya."Nanti aja! Makan dulu!" Wira sudah lebih dulu memotong dan menyuap chicken steak-nya. Makan dengan gerakan dan kunyahan yang cepat."Sambil menyelam minum air. Sambil makan, 'kan, bisa cerita.""Saya enggak mau dimuncratin kunyahan burger.""Emangnya semengejutkan apa, sih, cerita yang mau Mas omongin sampai udah bisa prediksi kalau saya bakalan muncrat?"Bungkam. Pria itu lebih tertarik mengunyah makanannya dalam keadaan bibir mengatup daripada harus menanggapi pertanyaan Gami.Semakin ke sini, menguatlah kecurigaan Gami. Hampir 90% keyakinannya mengarah pada topik 'kesalahan' sepuluh hari yang lalu.Anehnya, Gami tidak merasa se-excited sebelumnya. Dia malah was-was melihat gelagat Wira yang mengkhawatirkan."Apa, sih, Mas?" Gami mencoba kembali mendesak. Namun, nada desakan serta ekspresi wajahnya dibuat sesantai mungkin. Bahk
"Harusnya Mas Wira ngomong dulu kalau mau ngajakin nge-date." Gami mengulum senyum sambil melepaskan sabuk pengaman."Tau kayak gini, 'kan, saya pakai baju bagus," tambahnya. Kemudian terkikik sendiri.Gami sadar ini bukan kencan. Dia hanya menggoda Wira karena sejak tadi, pria itu menyetir dalam keadaan tegang. Kekakuan wajahnya mungkin sudah mengalahkan kanebo kering.Saat ini mobil telah menepi di parkiran kafe. Sebelumnya, Wira mengajak Gami pergi karena ingin membicarakan sesuatu. Namun, dia tidak mengatakan ke mana tujuannya dan apa topik yang akan dibahas.Gami pikir mereka akan pergi ke petshop. Makanya dia hanya memakai pakaian ala kadarnya. Bahkan tidak berdandan. Dia hanya merapikan kuciran, menabur bedak bayi ke wajah, lalu mengusap tissue parfum ke leher dan baju.Seandainya dia tahu akan merapat ke kafe dan berbaur bersama pemuda-pemudi gaul, dia tidak akan ragu memakai kaus dan jeans baru yang baru dibeli melalui marketplace.
“Loh? Kok, bikin kopi sendiri, sih, Mas?”Gami baru saja masuk dapur setelah membersihkan rumah kucing. Tadinya dia ingin membuatkan Wira kopi, seperti kebiasannya setiap pagi. Sayang, dia kalah cepat dengan Wira yang ternyata sudah menyeduh kopinya sendiri.Pria itu hanya tersenyum tipis dan singkat. Tidak sedetik pun menatap Gami. Tangannya sibuk memutar sendok, mengaduk seduhan kopinya.Gami menghampiri dalam keadaan manyun. “Yaaaah, kalau Mas Wira udah bikin kopi, saya bikin apa, dong?”“Bikin aja buat diri kamu sendiri,” sahut Wira kalem. Kemudian menjauh meninggalkan dapur.Sikap Wira membuat kening Gami berkerut. Kepalanya teleng ke kiri dan kanan. “Kayaknya ada yang aneh sama Mas Wira, tapi apa, ya?”Tidak ingin menyimpan pertanyaan lebih lama lagi, Gami pun beranjak mengejar Wira. Mengintilinya sampai ke ruang keluarga."Mas Wira kapan sampai?" tanyanya basa basi, meskipun seben
“Bang!”Gami mencolek lengan Dira. Berdiri di sebelah kursi pria itu. Bibirnya manyun lima senti.“Apa?”Dira bertanya tak acuh. Melirik pun tidak. Keasyikan melahap makaroni schotel buatan Adisti.“Si Mas Ganteng kapan pulang?” Tentu saja orang yang dimaksud adalah Wira. “Ini udah seminggu, loh, Bang. Kenapa dia enggak balik-balik?”Beberapa hari ini Gami uring-uringan karena Wira tak kunjung pulang. Padahal Dira sudah pulang empat hari yang lalu.“Ini pasti gara-gara Abang bawa pulang mobilnya, ‘kan? Jadinya Mas Wira susah pulang,” tuduhnya serta merta.Ini bukan kali pertama Gami menuduh seperti itu. Makanya tidak heran kalau Dira hanya menanggapi dengan decakan lidah. Jengah.“Berapa kali, sih, musti saya bilangin? Dia itu enggak pulang gara-gara kecantol sama tetangga sebelah yang baru pindahan.”“Keji sekali dustamu, Rhoma! Bisa-bis
“Heh! Ngapain di sini?” tanya Adisti yang berdiri di ambang pintu. Tangannya bertahan di gagang seolah sewaktu-waktu pintu itu siap ditutup kembali atau didorong lebih melebar lagi.“Mau tidur, lah. Emangnya mau ngapain lagi?”Gami menjawab sambil memeluk guling. Mengulum senyum. Memejamkan mata. Menghidu aroma yang menguar dari sarung guling itu.‘Aromanya Mas Wira banget, nih.’Saat ini, Gami membaringi ranjang Wira. Nostalgia dengan momen panas yang terjadi pada subuh dan pagi tadi. Ingin mengingat dan membayangkan lagi, bagaimana sensasi degupan jantung saat berada di bawah tindihan Wira. Memandang dan menikmati ketampanan wajah Wira dari sudut terdekat.“Jangan ‘ngadi-ngadi’, deh, ya! Bangun! Balik ke kamar kamu sana!” pinta Adisti dengan tegas.“Enggak mau! Saya mau tidur di sini.”Gami bersikukuh. Semakin erat memeluk guling. Membuat Adisti berdecak kesal.