Aku melangkah gontai meninggalkan kantor pegadaian. Lemas, kenyataan yang baru saja kulihat bak halilintar yang menyambar. Kemudian membuatku terkapar,mati dengan rasa penasaran dalam hati.
"Sudah, Fat?"Aku mengangguk, tapi kaki masih saja terpatri. Panggilan Afifah bak angin lalu. Dalam benakku hanya terisi sebuah cincin palsu hadiah ulang tahun pernikahan dua bulan lalu."Kamu kenapa, Fat?"Sebuah sentuhan menyentakku. Aku terperanjat hampir terjatuh di tanah. Gerakan refleks tepat waktu membuatku terselamatkan dari perasaan malu yang membelenggu seumur hidup."Ngalamun wae! Kenapa sih, Fat?"Aku menghela napas, membiarkan rasa marah menghilang. Namun ternyata tak bisa. Aku, Fatimah Zahra, wanita yang paling benci dengan sebuah kebohongan. Sekali pun itu hal sepele.Apa susahnya berkata jika cincin itu bukan emas. Aku tak akan mempermasalahkan, bagiku lebih baik cincin plastik tapi jujur. Karena kejujuran adalah kunci dalam sebuah hubungan. Harga mati yang tidak bisa ditawar."Fatimah! Busyet... Itu telinga apa pegangan panci? Dari tadi ditanya diam terus," omel Afifah."Kita pulang saja, Fah. Aku pusing."Aku melangkah hendak naik di jok belakang. Namun tarikan tangan Afifah menghentikan gerakanku."Cerita, ada masalah apa? Harus pakai kwitansi atau surat cincin emas?""Bukan.""Lalu kenapa?"Aku diam, apa harus kukatakan sekarang? Aku butuh solusi dari orang lain. Tapi bukannya memalukan?"Kamu gak percaya sama aku?""Cincinnya palsu, Fah.""Apa!"Hening, sepanjang jalan kami hanya diam. Aku tenggelam dalam rasa bimbang, tak tahu harus bagaimana? Pikiran selalu dipenuhi oleh cincin palsu."Kamu yakin Toni gak selingkuh, Fat?" tanya Afifah saat berhenti di depan rumah.Selingkuh. Kata itu memang sempat terbersit di kepala. Namun segera kutepis, mungkin Mas Toni memiliki alasan lain. Tapi apa, aku pun tak tahu."Diam, kan? Toni pasti selingkuh, dia selalu mengirim uang sedikit, sudah lama tidak pulang. Bahkan menitipkan ibunya pada kamu. Anak dan suami macam apa dia, Fat?""Mungkin dia sedang ada keperluan lain.""Keperluan untuk gundiknya sampai istrinya dibelikan cincin palsu. Sesekali kamu harus ke sana, Fat. Memastikan omongan aku benar atau tidak."Aku diam, tak tahu harus menjawab apa. Sejujurnya perkataan Afifah yang kini memenuhi pikiranku. Curiga tengah bersemayam, bahkan mulai mengakar.Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Jujur rasa percayaku hilang, meninggalkan kecurigaan di hati."Tapi aku gak punya uang, Fah. Jangankah untuk ke Jakarta, untuk makan saja gak punya." Aku menunduk, menahan sesak yang hampir meledak."Aku akan bantu jaga Bu Aminah, Fat. Kamu jangan pikirkan itu.""Akan aku pikirkan, Fah."Aku melangkah gontai masuk ke rumah. Kali ini kata apa yang harus aku ucapkan untuk menjawab pertanyaan ibu.Pintu kubuka dengan hati-hati, berharap ibu sudah terlelap dengan perut kosong. Namun dugaanku salah. Ibu sudah menunggu di ruang tamu. Duduk di kursi dengan pandangan lurus ke depan."Kamu sudah pulang, Nduk? Sudah dapat berasnya?"Aku menelan ludah dengan susah payah. Bagaimana aku bisa mengatakan jika tak memiliki apa pun? Sementara Ibu sudah menunggu sejak tadi. Berharap membawa beras. Namun nyatanya hanya angin yang mengikuti langkahku."Fatimah be...."TIN... TIN....Suara klakson motor menghentikan ucapanku."Fatimah keluar dulu, Bu."Aku segera keluar, melihat seseorang yang membuat keributan.Afifah duduk di atas motor sambil tersenyum. Bukankah ia sudah pulang? Kenapa datang lagi?"Aku sudah bilang akan memikirkannya, Fah. Sabar. Belum juga lima menit sudah ditagih jawabannya." Aku mendengus kesal.Afifah beranjak, mendekat sambil membawa kantung plastik berwarna hitam."Ini buat sarapan merangkap makan siang. Kasihan ibu Aminah kelaparan dari tadi." Afifah memberikan kantung plastik itu padaku.Seketika kupeluk tubuh wanita itu. Bulir demi bulir jatuh membasahi pipi. Entah bagaimana nasib kami tanpa dia, sahabatku."Makasih, Fah. Aku gak tahu gimana cara membalas semua kebaikan kamu," ucapku dengan linangan air mata membasahi pipi."Pergi temui Toni, Fat. Biar aku juga tenang."Aku mengangguk, meski belum memiliki uang sepeser pun."Sudah masuk sana, kasihan Ibu kamu. Aku pulang dulu," ucapnya lalu pergi.Suara motor menjauh meninggalkan halaman rumah kami. Aku bernapas lega, setidaknya satu hari ini kami tidak akan kelaparan. Entah besok, sepertinya aku harus bekerja. Namun bagaimana nasib Ibu?Segera aku masuk ke rumah, mengambil piring dan segelas air putih."Makan dulu, Bu." Aku meletakkan piring plastik di pangkuan ibu."Makasih, ya, Nduk.""Iya, Bu."Ibu memasukkan nasi dengan lauk oseng tempe ke mulutnya. Dalam sekejap nasi dalam piring itu telah habis. Meski ada sedikit butiran nasi di sana sini. Maklum ibu tak bisa melihat. Beliau juga tidak mau disuapi."Kamu sudah selesai makan, Nduk?""Sudah, Bu. Ibu mau diantar ke kamar?"Wanita itu mengangguk, tangannya meraba kursi, mencari tongkat kayu yang ia letakkan tak jauh dari tempatnya duduk. Tongkat itu adalah alat bantu agar ibu bisa berjalan tanpa menabrak sesuatu.Aku segera berdiri, menggandeng tangan ibu dan menuntunnya menuju kamar. Aku bak mata baginya, kepergianku akan membuat hidupnya semakin gelap. Apa aku sanggup meninggalkan ibu untuk bekerja?"Ibu duduk di ranjang?""Kamu saja, ibu mau cari sesuatu.""Mau Fatimah bantu, Bu?""Kamu gak tahu. Sudah duduk saja, Nduk. Jangan pergi ke mana-mana, ya?"Aku duduk di atas kasur kapuk yang mulai terasa keras. Mata ini fokus menatap depan, melihat setiap gerakan tangan wanita itu. Ibu meraba di bawah tumpukan baju yang sudah berantakan itu. Baru beberapa hari yang lalu kutata rapi. Namun sekarang sudah tidak berbentuk lagi.Lelah saat mengerjakan rutinitas yang sama dan berulang. Namun sudah menjadi kewajibanku sebagai istri dan menantu."Nduk," panggil Ibu."Di sini, Bu."Wanita itu berjalan perlahan sambil membawa sebuah kotak berwarna coklat. Kotak perhiasan dengan model lama."Fat." Ibu meraba kasur, tersenyum saat menemukan tangan kananku."Ada apa, Bu."Ibu membuka kotak dengan tangan kananya. Sebuah kalung emas ia keluarkan dari sana."Ini untuk kamu, Nduk.""Ini punya Ibu. Disimpan saja, Bu. Fatimah tidak berhak menerimanya."Wanita itu menggelengkan kepala, memaksaku untuk menerima kalung emas itu."Pergilah ke Jakarta dengan ini, Nduk. Ibu sudah mendengar percakapan kalian. Tolong maafkan Toni."DEGJantungku dipacu lebih cepat, rasa bersalah seketika menelusup dalam hati. Bodoh, kenapa aku lupa jika ada ibu di dalam rumah."I-ibu mendengar ucapan kami barusan?""Iya, maka pergilah ke sana, Nduk. Pastikan jika ucapan orang-orang itu tidak benar. Tapi jika itu benar...."Ibu tak melanjutkan kata-katanya, dadanya bergetar, tangisnya pecah."Maafkan Toni, Nduk karena memberi cincin palsu untukmu."Aku mengangguk, memeluk tubuh ibu erat. Tunggu, Mas aku akan datang."Ibu yakin bisa aku tinggal beberapa hari? Jauh lho, Bu," ucapku sedikit ragu. Jujur, aku tak tega meninggalkan ibu dengan keterbatasan yang ia miliki. Meski Afifah berjanji akan merawatnya. Namun ini begitu berat. "Ibu gak apa-apa, Nduk. Tenang saja to, ada Nak Afifah yang menjaga ibu selama kamu pergi." Ibu mengelus punggung tangan ini. Memberi keyakinan jika beliau akan baik-baik saja. "Ibu aman sama aku, Fat. Jangan khawatir," ucap Afifah meyakinkan diriku. Aki menghela napas lalu mengangguk meski sebuah keraguan bersemayam dalam hati. Namun aku tepis kuat perasaan itu. Mencoba meyakinkan diri bahwa semua akan baik-baik saja. "Aku pamit, Bu." Aku cium punggung tangannya dengan takzim. Lalu menaiki motor Mas Sapto, lelaki yang bekerja sebagai ojek itu akan mengantarkanku ke stasiun. Kendaraan roda dua melaju menuju stasiun. Sepanjang jalan aku diam, merasakan angin malam yang menusuk tulang. Sore tadi sempat hujan hingga malam ini terasa begitu dingin. Ponsel yang ada di d
"Ini alasan kamu berbohong padaku, kan!"Suamiku diam, ia memilih menundukkan kepala. Merasa bersalah atau malu karena sudah tertangkap basah. "A-aku bisa jelaskan, Fat, ini gak seperti yang kamu pikirkan." Mas Toni mendekat, tapi aku mundur beberapa langkah. Jijik saat tangannya hendak menyentuhku. Tak bisa kubayangkan tangan itu yang ia gunakan untuk membelai wanita lain. Bahkan mungkin lebih dari itu. "Jangan sentuh aku, Mas! Aku muak sama kamu!" teriakku lantang. Teriakan yang sempat terlontar membuat beberapa pasang mata menatap ke arah kami. Bisik-bisik tak enak seketika menyeruak. Kami bak sebuah tontonan yang disaksikan banyak orang. Namun aku tak peduli. Biar saja seluruh dunia tahu bagaimana kelakuannya di belakangku. "Fatimah, dengarkan dulu ... Aku bisa jelaskan semuanya.""Ini, kan alasan kamu menelantarkan ibu dan memberi cincin palsu padaku. Kamu keterlaluan, Mas!""Bu-bukan begitu, Fat.""Aku benci sama kamu, Mas. Aku mau kita pisah!" Dadaku bergemuruh, tangan me
"A-apa benar yang kamu katakan, Nduk?" tanya Ibu dengan mata berkaca-kaca. Tidak lama bulir demi bulir jatuh membasahi pipinya. Ibu terisak mendengar kenyataan pahit yang baru saja aku sampaikan. "Benar, Bu. Mas Toni sudah menjatuhkan talak satu pada Fatimah.""Apa, kamu ditalak, Fat?" Afifah sudah berdiri di dekat pintu. Sorot tanda tanya tergambar jelas di sana. Sahabatku itu mendekat, rantang yang ia bawa diletakkan di atas meja."Benar kamu ditalak, Fat?" tanyanya lagi. Wanita itu seolah tak percaya dengan kalimat yang baru saja aku ucapkan. Aku menghela napas, menghilangkan sesak yang memenuhi rongga dada. Setelah cukup tenang aku mulai menceritakan semuanya. Tak ada satu pun yang aku tutup-tutupi, termasuk wanita semok yang keluar bersama Mas Toni. Bayangan kejadian itu bak batu besar yang menghimpitku. Sesak, seakan tak ada pasokan oksigen yang memenuhi rongga dada."Ya Allah, Nduk. Tolong maafkan Toni, tolong jangan berpisah, Nduk."Aku terdiam, menoleh ke arah Alisa. Sa
"Ibu," panggilku lagi. Namun ibu hanya diam membisu, perlahan tubuhnya luruh dengan punggung menempel di dinding. Bulir demi bulir jatuh membasahi pipi yang mulai keriput itu. Sudut hatiku teriris melihat tangisnya. Ibu memang hanya mertua yang tinggal bersamaku dalam atap yang sama. Namun beliau sangat menyayangiku. Tak pernah sekali pun beliau membentakku. Ibu bukan mertua jahat seperti yang digambarkan dalam sinetron atau sebuah novel. Itu yang membuatku berat meninggalkannya seorang diri di rumah ini. "Maafkan Fatimah, Bu." Aku peluk tubuh rentanya. Wanita itu semakin terisak dalam dekapanku. "Pergilah, Nduk. Ibu akan baik-baik saja. Afifah benar, kamu pantas bahagia dan kebahagiaanmu bukan di sini," ucapnya dengan suara bergetar. Aku membisu, hanya air mata yang menggambarkan isi hatiku saat ini. "Ayo bangun,Bu," ucapku seraya membantunya berdiri. Perlahan aku tuntun ibu, kubantu ia duduk di kursi kayu ruang tamu. Aku pun menjatuhkan bobot di sampingnya. Diam, kami sama-s
"Masih belum jelas, Ton?" Afifah menatapnya tajam. "Fatimah tidak bisa merawat Bu Aminah karena itu bukan tanggung jawab dia, Toni. Kamu sudah menceraikan Fatimah, mengurus Bu Aminah menjadi tugasmu bukan Fatimah," ucap Afifah kesal. Perkataan Afifah memang benar. Namun aku takut kejujuran sahabatku itu akan menyinggung juga menyakiti hati ibu. "Kalau ibu di sini bagaimana aku kerjanya?"Aku membuang napas kasar. Sebenarnya Bu Aminah itu ibu siapa? Kenapa dia begitu berat merawat ibu kandungnya sendiri? "Kalau ibu kamu di sana bagaimana Fatimah cari suaminya?" jawan Afifah kesal. "Kamu mau nikah lagi, Fat?" tanyanya seraya menatapku. Ekspresi tak rela tergambar jelas di matanya? Ah, dia lupa bahwa kalimat talak sudah keluar dari mulutnya. Atau jangan-jangan dia sedang amnesia? "Aku akan mengurus perceraian kita ke pengadilan. Kali ini aku harap kamu jangan mempersulitnya. Ingat, kamu sudah menalakku di sini."Mas Toni diam, tapi matanya kembali berkaca-kaca. Entah sandiwara sepe
"Benar itu, Fat?" Ibu menatapku tajam. Aku menghela napas, mengangguk pelan. Aku tahu ini akan terjadi, dicecar dengan pertanyaan yang tidak ada habisnya. Apa lagi perceraian ini terjadi seketika, tanpa isu. Pada kenyataannya semua yang terlihat baik belum tentu tak memiliki masalah. Mungkin masalah itu tersimpan rapat hingga tak ada seorang pun yang mengetahuinya. Seperti yang terjadi denganku. Ibu menjatuhkan bobot, dia tatap lekat netra ini. Mencari sebuah jawaban lewat sebuah tatapan. "Kenapa Toni menceraikanmu? Kamu selingkuh?" Ada yang berdenyut mendengar kata terakhir itu. "Apa aku terlihat memiliki kekasih lain, Bu?" Ibu diam. "Lihat saja penampilanku, tubuh kurus, muka kucel, dekil, dan kulit hitam. Mana ada lelaki yang mau dengan wanita sepertiku? Jika aku memiliki kekasih, mungkin penampilanku jauh lebih baik dari ini. Bahkan memiliki barang-barang mewah, tidak ponsel butut seperti ini." Aku letakkan ponsel jadul di atas meja. Ponsel keluaran lama. Sekali lempar, anji
"Fat, kamu denger aku, kan?""Denger, mau kamu apa lagi, Mas?" tanyaku kesal. "Bisa, kan kamu rawat ibu lagi? Kalau bisa aku antar ibu ke rumah."Aku membuang napas kasar, kesal. Tak habis pikir dengan ucapan yang barus saja keluar dari mulut lelaki itu. Ibu merupakan wanita yang berjuang mempertaruhkan nyawa untuk dia tapi Mas Toni justru mengabaikannya. Anak macam apa dia? "Fat... Fatimah! Kami denger aku, kan?""Maaf, Mas. Aku gak bisa, ibu bukan lagi tanggung jawabku. Aku punya kehidupan sendiri.""Tapi, Fat...."Ponsel kumatikan, lalu kuletakkan di atas kasur. Kesal menanggapi lelaki tak tahu diri seperti dia. Aku kembali ke belakang, membantu ibu menyiapkan sarapan. Lauk dan nasi sudah ditata di atas meja. Hanya sebuah meja yang menempel di tembok. Tak ada kursi seperti rumah orang-orang. Maklum saja, kami keluarga sederhana. "Makan duku, Fat.""Gak nafsu makan, Bu.""Kenapa?" Ibu menatapku penuh selidik. "Kepikiran Toni? Lelaki seperti itu gak pantas kamu pikirkan. Buang
Aku menghela napas, menahan amarah yang hampir saja meledak. Segera aku berdiri sambil membawa tas hitam model lama. Menepis rasa kesal, kuberikan seulas senyum padanya. Aku sadar apa posisiku saat ini, karyawan baru. Sejatinya mengalah bukan berarti kalah. Namun hanya tak ingin memperpanjang masalah. Aku ingin memberi kesan baik di hari pertamaku kerja. "Iya, itu hp saya," ucapku seraya menengadahkan tangan, meminta benda yang menjadi milikku. "Harusnya benda ini dibuang, bukan dipertahankan. Ketinggalan jaman," ucapnya sambil memberikan ponsel jadul milikku. Wanita yang baru saja aku lihat itu membalikkan badan, melangkah penuh keangkuhan menuju lift. Satu persatu orang yang sempat menjadi penonton pun pergi. Meninggalkan aku dengan tatapan ini. Seburuk itukah orang tak mampu di mata mereka? Tidak ambil pusing, aku kembali melanjutkan langkah menuju lantai dua. "Ara." Aku menoleh ke belakang hingga tak sengaja mata kami saling beradu. Lekas aku alihkan pandangan. "Pak Aziz."
Sudah tiga bulan setelah insiden di rumah sakit dulu. Kini aku dan Rio semakin dekat. Hubungan kami pun sudah melangkah ke jenjang serius. Pernikahan sudah ada di depan mata. Aku berdiri, menatap bangunan yang sebentar lagi akan menjadi restoranku. Semua tak luput dari dukungan dan kerja keras Rio. Bersyukur Tuhan mengirimkan dia untuk menjadi imamku, terlepas dari sifat konyol yang ia miliki. Terlepas dari itu semua, Rio adalah lelaki yang berpikiran dewasa. Dia mencintaiku apa adanya. Tak sekali pun dia membahas masa lalu. Entah saat berdua atau ketika bersama orang lain. Dia pandai menutup aib masa lalu yang sudah kututup rapat. "Sudah berapa persen, Ra?" tanya Rio. Lelaki itu sudah berdiri di belakangku. "80 persen, Rio. Tinggal dikit lagi restoran bisa dibuka. Seperti yang sudah kita rencanakan.""Bukan itu, Ra."Aku menoleh, menatapnya dengan sorot mata penuh tanda tanya. Namun sebuah lengkungan indah justru tercipta di sana, di wajah penuh kharisma itu. "Lantas apa, Rio?"
Aku masih membisu, menatap Rio dan wanita itu bergantian. Entah kenapa ada yang berdenyut di hati ini. Cemburu. Ya, rasa itu hadir tanpa diminta tapi mampu menyesakkan dada. "Ada perlu apa, Ra?" tanya Rio lagi. Kembali kutatap perempuan yang bergelayut manja di lengan Rio. Tak dapatkah mereka melakukan di dalam, bukan di hadapanku. Pantas saja Rio tak mau menemuiku, dia saja asyik pacaran. "Tidak jadi. Aku permisi, Rio!"Aku pun beranjak pergi, percuma datang kemari jika akhirnya hanya kecewa yang aku dapatkan. Ternyata cinta yang tawarkan telah luntur. Tak membara seperti saat ia mengatakannya. Ah, lelaki sama saja. "Zahra!" teriak Rio. Aku menoleh, namun kembali kulangkahkan kaki menuju tempat motorku terparkir rapi. Lebih baik segera pergi dari sini. Karena aku tak sanggup membayangkan kemesraan Rio dan wanita itu. Mereka begitu serasi. Tuhan kenapa aku tak rela? Motor segera kulajukan perlahan meninggalkan halaman restoran Rio. Sempat kulihat Rio dari pantulan kaca spion. Di
"Rio!" teriakku, tapi dia terus saja berlari. Aku beranjak meninggalkan Mas Aziz. Mengambil buket bunga mawar yang tergeletak di lantai. Aku ciumi bunga itu. Sesak, hingga air mata berlomba-lomba turun membasahi pipiku. Tak berapa lama terdengar suara mobil menjauh. Rio telah pergi dengan rasa kecewa yang bersemayam dalam hati. Entah mengapa ada sesak yang singgah dalam hati ini. "Kamu gak papa, Ra?" tanya Mas Aziz yang sudah berdiri di sampingku. Dia tatap diriku penuh tanda tanya. "Gak papa, Mas. Apa sudah selesai? Aku ingin pulang."Lelaki itu mengangguk, kemudian mengajakku berjalan menuju mobilnya. Aku hanya diam seraya mengikuti gerakan kakinya. Tak ada sepatah kata yang keluar dari mulutku. Aku tenggelam dalam rasa bersalah. Perlahan kendaraan roda empat Mas Aziz melaju, meninggalkan kantor polisi. Hening, aku justru asyik menatap buket bunga berwarna putih ini. Mengabaikan Mas Aziz yang beberapa kali menatap padaku. Entah rasa apa yang mulai singgah di hatiku. Tak bisa k
Pov RioTerdiam, aku tidak salah dengar, kan? Aziz bilang rekaman CCTV? Dia tidak sedang mempermainkan aku, kan? "Hallo, Rio... Kamu masih di situ, kan?""Eh, iya.""Besok kita ke kantor polisi, Rio. Aku tunggu di sana.""Siapa dalangnya?""Besok di kantor polisi."Aku membuang napas kasar, kesal dengan jawaban lelaki itu. Apa susahnya bilang sekarang? Takut aku menghajar orang itu. Ah, bukan hanya kuhajar, tapi akan kuseret ke dalam penjara. Enak saja dia menyakiti wanitaku. Diam, kutatap gelapnya langit tanpa cahaya bulan. Sama sepertiku yang terasa hampa tanpa pesan dari Zahra. Ah, beginikah rasanya cinta tanpa balasan. Menyiksa. Angin malam terasa menusuk tulang. Namun kaki enggan diajak melangkah, masuk ke dalam. Lagi dan lagi bayang Zahra menyita perhatian. Sedang apa dia? Ah, pasti sangat ketakutan. Sungguh aku tak sanggup membayangkannya. Bagiku tangis Zahra adalah luka yang tak bisa disembuhkan. Suara nyamuk mengusik ketenangan lamunanku. Serangga kecil itu terus terbang
POV Rio"Ini laporan yang Pak Rio minta," ucap Rika seraya memberikan laporan keuangan yang baru saja kuminta. "Makasih, Rik."Seulas senyum kuberikan pada wanita itu. Sebagai seorang pemimpin mengucapkan terima kasih dan memberikan senyum adalah kewajiban. Karena bagiku karyawan bukan bawahan melainkan rekan kerja untuk memajukan suatu usaha. Papa mengajarkan untuk selalu menghargai orang lain. Bahkan tak membedakan orang karena status sosial. Itu yang membuatku memiliki banyak teman. "Ada yang bisa saya bantu lagi, Pak?" tanya Rika lagi. "Tolong buatkan kopi, Rik. Jangan terlalu manis."Rika menganggukkan kepala. Segera ia berjalan meninggalkan ruangan ini. Hingga akhirnya ia menghilang dari balik pintu. Aku mengambil laporan yang ada di atas meja. Aku baca setiap kata dan angka yang tertulis di kertas berwarna putih itu. Tanpa terasa sudut bibir tertarik ke atas. Laba restoran meningkat banyak bulan ini. Semua tak luput dari bantuan Zahra. Dia berkomentar ini dan itu, mengkri
"Are you okay, Ra?" tanya Rio saat aku diam membisu. "Gak papa, capek aja, Rio. Ngomong-ngomong makasih karena sudah membelaku tadi."Lelaki itu tersenyum hingga nampak gigi putih. "Aku akan menjadi benteng untuk kamu, Ra.""Emang aku sedang perang apa?" Aku mengerucutkan bibir. Rio hanya tersenyum, kemudian kembali melajukan mobilnya menuju rumah. Tak banyak percakapan di antara kami. Aku justru tenggelam dalam rasa sakit yang tiada bertepi. "Aku kecewa sama kamu, Ra!"Kalimat itu terus saya terngiang. Hingga menciptakan rasa kesal dalam dada. Percuma hati ini kembali kubuka, tapi nyatanya hanya menciptakan lara. Perlahan aku atur napas, berusaha menghilangkan rasa sesak yang memenuhi rongga dada. Ternyata keputusan meninggalkan Mas Aziz yang terbaik. Percuma menjalin suatu hubungan tanpa dasar kepercayaan. "Mau turun atau pulang bersamaku, Ra?" Aku tersentak, menoleh sekitar. Benar saja, kami sudah berhenti di depan rumah. Rio pasti tahu aku tengah melamun. Hingga masih duduk
"Kenapa, Ra?" tanya Rio penasaran. "Gawat, Rio!""Kenapa?""Orang kantor keracunan setelah makan nasi box dariku.""Apa?"Aku duduk, memijit kepala yang terasa mau meledak. Bagaimana mungkin mereka bisa keracunan jika aku memasaknya dengan benar. Lagi pula aku selalu menjaga kebersihan tiap kali memasak. Ya Allah... Cobaan apa lagi ini? "Kamu masaknya dah benar kan, Ra? Gak ada yang salah, kan?" Rio menatapku lekat. "Bener, Rio. Aku memasaknya dengan higienis. Tapi kenapa bisa keracunan?""Tidak ada yang kadaluwarsa, kan?"Aku menggeleng. Selama ini aku selalu memastikan tanggal kadaluwarsa bahan makanan sebelum memasaknya. Semua sudah kujaga agar tak merugikan customer. Namun kenapa kali ini bisa terjadi? "Gimana dong, Ri? Aku takut."Rio segera menggenggam tangan kanan ini Netranya menatap lekat padaku. Sikap yang mengatakan semua akan baik-baik saja. Dia kembali menguatkan saat aku rapuh. Bahkan menepis ketakutan yang singgah dan menguasai hati. "Aku yakin semua akan baik-bai
"Mas Toni!"Lelaki itu melotot, gula yang ada di tangan ia hempaskan, jatuh berserakan. Dengan cepat ia berlari, meninggalkan aku. Dia ketakutan. Mas Toni berlari tunggang langgang hingga menabrak wanita bertubuh gempal yang sedang membuka pintu. Kepala Mas Toni membentur pintu, tapi dengan cepat ia berdiri, lari keluar toko. Dia meloloskan diri. "Dasar lelaki gak punya mata!" hardik lelaki itu, namun percuma mantan suamiku sudah pergi. "Mbak gak papa," tanya penjaga mini market tersebut. "Gak papa, Mbak."Aku pun segera memberesi barang belanjaan yang berserakan. Satu persatu kumasukkan kembali ke dalam keranjang. Hanya gula yang masih berceceran di mana-mana. "Nanti biar saya sapu, Mbak. Mbak lanjutan atau saja, atau mungkin langsung ke kasir," ucap penjaga toko tersebut. "Makasih, ya, Mbak." Wanita itu mengangguk lalu melangkah pergi, mungkin mengambil sapu untuk meMemalukan saat banyak pasang mata mengawasi gerak-gerikku. Semua gara-gara Mas Toni. Aku menjadi bahan tontonan
"A--aku tak bisa, Rio."Senyum yang sempat hadir seketika redup, bahkan nyaris hilang. Tangan yang menggenggamku pun ikut terlepas. Rio kecewa. Sebenarnya ini yang aku takutkan. Melukai orang yang begitu baik seperti dia. Namun sebuah hati tak bisa dipaksa, bukan? Rio menghembuskan napas kasar, menatap lurus ke depan. Lautan dengan ombak melambai, mencari perhatian. Lelaki di sampingku diam, entah menikmati atau tenggelam dalam rasa kecewa. Di sini aku ikut membisu, bingung harus memulai dari mana. Seolah kata-kata itu hilang, dihempas oleh ombak di lautan. Ah, apa yang harus aku lakukan? Ikut diam atau bagaimana? Tuhan, aku membenci keadaan ini. "Kamu marah, Rio?" tanyaku pelan, hampir saja tak terdengar. Kalah dengan suara alam. "Apa aku bisa marah sama kamu, Ra?"Kembali aku terdiam. Sejauh ini Rio tak pernah marah denganku. Dia seseorang yang selalu ada ketika aku terpuruk. Inilah yang membuatku merasa bersalah karena telah menolaknya. "Aku tahu sudah ada nama Aziz di hati