Share

Kepergok

last update Terakhir Diperbarui: 2023-05-31 19:29:24

"Ibu yakin bisa aku tinggal beberapa hari? Jauh lho, Bu," ucapku sedikit ragu.

Jujur, aku tak tega meninggalkan ibu dengan keterbatasan yang ia miliki. Meski Afifah berjanji akan merawatnya. Namun ini begitu berat.

"Ibu gak apa-apa, Nduk. Tenang saja to, ada Nak Afifah yang menjaga ibu selama kamu pergi." Ibu mengelus punggung tangan ini. Memberi keyakinan jika beliau akan baik-baik saja.

"Ibu aman sama aku, Fat. Jangan khawatir," ucap Afifah meyakinkan diriku.

Aki menghela napas lalu mengangguk meski sebuah keraguan bersemayam dalam hati. Namun aku tepis kuat perasaan itu. Mencoba meyakinkan diri bahwa semua akan baik-baik saja.

"Aku pamit, Bu."

Aku cium punggung tangannya dengan takzim. Lalu menaiki motor Mas Sapto, lelaki yang bekerja sebagai ojek itu akan mengantarkanku ke stasiun.

Kendaraan roda dua melaju menuju stasiun. Sepanjang jalan aku diam, merasakan angin malam yang menusuk tulang. Sore tadi sempat hujan hingga malam ini terasa begitu dingin.

Ponsel yang ada di dalam tas berdering. Aku buka perlahan tas itu. Kali ini aku berharap Mas Toni yang menghubungi. Namun ternyata aku salah. Nama Afifah tergambar jelas di layar ponsel. Kemudian nada dering itu berhenti sebelum aku sempat mengangkat panggilannya.

Aku kembali memasukkan ponsel model lawas itu ke dalam tas. Ponsel yang hanya bisa digunakan untuk menelepon dan mengirim pesan saja.

Sebelum berangkat aku sempat menghubungi Mas Toni. Namun lagi-lagi nomornya tidak aktif. Entah sudah beberapa hari dia tak dapat dihubungi. Apa benar, Mas Toni memiliki wanita idaman lain? Hingga ia tega memberi cincin palsu untuk hadiah ulang tahun pernikahan kami.

Dadaku bergemuruh, rasa sesak memenuhi rongga dada. Aku tak sanggup membayangkan jika semua yang dikatakan Afifah menjadi sebuah kenyataan. Pahit dan perih.

"Sudah sampai, Mbak Fatimah," ucap Mas Sapto membuyarkan lamunanku. Bayang Mas Toni seketika hilang, diganti stasiun yang ramai dengan orang.

"Makasih, ya, Mas." Aku berikan uang padanya. Lelaki itu mengangguk lalu melajukan motor meninggalkan stasiun.

Aku memegangi tiket lalu memasuki kereta. Kereta itu sudah dipenuhi orang-orang. Sama sepertiku, mereka hendak pergi ke ibu kota. Mungkin mengubah nasib sama seperti Mas Toni.

Aku duduk tepat di dekat kaca, menatap luar untuk menghibur hati yang tengah bingung ini.

"Permisi, Mbak. Boleh duduk di sini."

Aku menoleh,menatap lelaki berjaket hitam duduk di sampingku. Topi, kacamata dan masker yang serba hitam membuatku sedikit ketakutan. Namun terpaksa menganggukkan kepala karena tak ingin menimbulkan keributan. Toh kursi yang ia duduki bukan milikku.

"Mbak sendirian?"

Aku hanya mengangguk lalu kembali menatap jendela. Takut berbicara dengan orang yang baru aku kenal, apa lagi berpenampilan seperti itu. Jangan-jangan dia sindikat penculikan yang ramai diberitakan di televisi. Ih... Mengerikan.

"Mbak mau ke mana?" tanyanya lagi.

Aku diam, pura-pura tidur agar tidak ditodong dengan pertanyaan-pertanyaan tak penting itu.

Sepanjang malam aku terjaga meski kantuk datang mendera. Itu karena rasa takut yang tak juga hilang.

Setelah penantian panjang aku sampai di stasiun. Aku gegas keluar, menerobos lelaki berjaket hitam itu. Berlari sudah seperti dikejar penjahat.

Aku menoleh ke belakang mengawasi keberadaan lelaki misterius itu. Merasa aman, aku kembali melangkah.

Berbekal alamat yang Mas Toni berikan aku pun segera ke sana. Pernah tinggal di kota ini membuatku tak terlalu bingung harus melangkah ke mana.

Setelah satu jam aku sampai di alamat yang Mas Toni berikan. Semoga ini benar-benar alamatnya. Bukan alamat palsu seperti sebuah lagi yang pernah viral di jamannya.

Kontrakan ini begitu ramai, jalannya sempit tapi masih dipenuhi jemuran para penghuninya. Ini salah satu alasan kebakaran di Jakarta sulit dipadamkan. Akses ke rumah yang tak bisa dilewati kendaraan roda empat.

Aku tak tahu di mana rumah kontrakan Mas Toni. Dia lupa menyebutkan dengan detail. Aku pun tak bertanya karena dulu begitu percaya. Namun nyatanya dia mengkhianati kepercayaanku.

Di saat kebingungan melanda, kulihat seorang ibu yang tengah sibuk menjemur pakaiannya. Akan kutanyakan alamat Mas Toni padanya.

"Permisi, Bu."

Wanita itu menoleh, menyelisik penampilanku dari ujung kepala hingga kaki. Tatapan itu membuatku risih dan tak nyaman.

"Ada apa, ya? Di sini kontrakannya penuh. Cari tempat lain saja. Gak lihat noh! Penuh, kan?"

Wanita itu menjawab tanpa mendengar pertanyaanku. Hingga ia salah menafsirkan kalimat yang hendak aku tanyakan.

"Maaf, saya bukan mau mencari kontrakan tapi mau menanyakan alamat."

"O, ngomong dari tadi. Jangan diem kek patung gitu."

Aku menghela napas, membiarkan rasa kesal pergi bersamaan dengan hembusan karbondioksida. Bagaimana aku mau bertanya jika ia berkata tanpa jeda. Ah, menyebalkan.

"Rumah Pak Toni sebelah mana, ya, Bu?"

"Toni pacarnya Yeni itu? Toni yang mandor bangunan itu, kan?"

DEG!

Jantungku seketika berhenti. Kalimat itu bagai halilintar yang menyambar hingga membuatku nyaris terkapar.

Kakiku lemas seakan tak bertulang. Namun kupaksakan untuk tetap berdiri tegak.

"Kalau yang Toni kuli bangunan ada gak, Bu?" tanyaku memastikan.

Nama Toni banyak, mungkin di sini lebih dari satu Toni.

"Nama Toni ya cuman itu, Mbak. Toni pacarnya Yeni. Rumahnya noh, yang paling ujung," ucapnya seraya menunjuk rumah paling ujung itu.

"O, makasih Bu."

"Iye."

Kaki kupaksakan untuk terus melangkah. Setiap langkah menimbulkan sesak yang begitu besar. Aku terus berdoa semoga lelaki itu bukan Toni suamiku. Namun jika itu benar, bagaimana? Apa aku kuat menerima kenyataan ini?

Aku sudah berdiri di depan rumah bercat biru. Rumah paling ujung seperti yang ibu tadi katakan. Ragu, aku langkahkan kaki mendekat ke rumah itu.

Pintu rumah itu masih tertutup rapat. Entah pemiliknya di rumah atau tidak. Namun tak ada salahnya mengetuk pintu.

Tok! Tok! Tok!

Aku ketuk pintu rumah itu tiga kali. Sengaja tak mengucapkan salam agar Mas Toni tak mengetahui keberadaanku di sini. Agar lelaki itu tidak bersembunyi atau kabur dari sini.

"Sebentar!" teriak seseorang dari dalam.

Dadaku bergetar mendengar suara itu. Dia benar-benar Mas Toni, suamiku.

"Siapa, Mas?"

Aku mengepalkan tangan mendengar suara wanita di balik pintu ini. Dadaku bergemuruh, amarah hampir meledak. Apa benar jika Mas Toni memiliki wanita lain? Apa dia orangnya?

Tok! Tok!

Aku kembali mengetuk pintu, kali ini jauh lebih keras dari tadi. Aku ingin tahu siapa wanita itu?

"Buruan buka dulu, Mas. Nanti kita lanjutkan lagi."

"Iya, aku pakai baju dulu."

Lemas saat aku mendengar percakapan mereka. Mas Toni pasti sedang berbuat hal yang tidak-tidak hingga harus memakai baju segala.

Astagfirullah... Kamu benar-benar gila, Mas.

Tak lama pintu dibuka lebar. Mas Toni keluar hanya memakai celana pendek, dadanya mengkilat penuh dengan keringat.

"Fatimah," panggilnya dengan suara terbata.

"Siapa, Mas?"

Wanita bertubuh semok itu berjalan mendekat lalu berdiri di samping suamiku.

"Ini kelakuan kamu di sini, Mas?"

"Bu... Bukan begitu, Fat. A... Aku...."

Bab terkait

  • Cincin Palsu Dari Suamiku   Cerai

    "Ini alasan kamu berbohong padaku, kan!"Suamiku diam, ia memilih menundukkan kepala. Merasa bersalah atau malu karena sudah tertangkap basah. "A-aku bisa jelaskan, Fat, ini gak seperti yang kamu pikirkan." Mas Toni mendekat, tapi aku mundur beberapa langkah. Jijik saat tangannya hendak menyentuhku. Tak bisa kubayangkan tangan itu yang ia gunakan untuk membelai wanita lain. Bahkan mungkin lebih dari itu. "Jangan sentuh aku, Mas! Aku muak sama kamu!" teriakku lantang. Teriakan yang sempat terlontar membuat beberapa pasang mata menatap ke arah kami. Bisik-bisik tak enak seketika menyeruak. Kami bak sebuah tontonan yang disaksikan banyak orang. Namun aku tak peduli. Biar saja seluruh dunia tahu bagaimana kelakuannya di belakangku. "Fatimah, dengarkan dulu ... Aku bisa jelaskan semuanya.""Ini, kan alasan kamu menelantarkan ibu dan memberi cincin palsu padaku. Kamu keterlaluan, Mas!""Bu-bukan begitu, Fat.""Aku benci sama kamu, Mas. Aku mau kita pisah!" Dadaku bergemuruh, tangan me

    Terakhir Diperbarui : 2023-05-31
  • Cincin Palsu Dari Suamiku   Pergilah, Nduk!

    "A-apa benar yang kamu katakan, Nduk?" tanya Ibu dengan mata berkaca-kaca. Tidak lama bulir demi bulir jatuh membasahi pipinya. Ibu terisak mendengar kenyataan pahit yang baru saja aku sampaikan. "Benar, Bu. Mas Toni sudah menjatuhkan talak satu pada Fatimah.""Apa, kamu ditalak, Fat?" Afifah sudah berdiri di dekat pintu. Sorot tanda tanya tergambar jelas di sana. Sahabatku itu mendekat, rantang yang ia bawa diletakkan di atas meja."Benar kamu ditalak, Fat?" tanyanya lagi. Wanita itu seolah tak percaya dengan kalimat yang baru saja aku ucapkan. Aku menghela napas, menghilangkan sesak yang memenuhi rongga dada. Setelah cukup tenang aku mulai menceritakan semuanya. Tak ada satu pun yang aku tutup-tutupi, termasuk wanita semok yang keluar bersama Mas Toni. Bayangan kejadian itu bak batu besar yang menghimpitku. Sesak, seakan tak ada pasokan oksigen yang memenuhi rongga dada."Ya Allah, Nduk. Tolong maafkan Toni, tolong jangan berpisah, Nduk."Aku terdiam, menoleh ke arah Alisa. Sa

    Terakhir Diperbarui : 2023-05-31
  • Cincin Palsu Dari Suamiku   Mengantar Ibu

    "Ibu," panggilku lagi. Namun ibu hanya diam membisu, perlahan tubuhnya luruh dengan punggung menempel di dinding. Bulir demi bulir jatuh membasahi pipi yang mulai keriput itu. Sudut hatiku teriris melihat tangisnya. Ibu memang hanya mertua yang tinggal bersamaku dalam atap yang sama. Namun beliau sangat menyayangiku. Tak pernah sekali pun beliau membentakku. Ibu bukan mertua jahat seperti yang digambarkan dalam sinetron atau sebuah novel. Itu yang membuatku berat meninggalkannya seorang diri di rumah ini. "Maafkan Fatimah, Bu." Aku peluk tubuh rentanya. Wanita itu semakin terisak dalam dekapanku. "Pergilah, Nduk. Ibu akan baik-baik saja. Afifah benar, kamu pantas bahagia dan kebahagiaanmu bukan di sini," ucapnya dengan suara bergetar. Aku membisu, hanya air mata yang menggambarkan isi hatiku saat ini. "Ayo bangun,Bu," ucapku seraya membantunya berdiri. Perlahan aku tuntun ibu, kubantu ia duduk di kursi kayu ruang tamu. Aku pun menjatuhkan bobot di sampingnya. Diam, kami sama-s

    Terakhir Diperbarui : 2023-07-10
  • Cincin Palsu Dari Suamiku   Pulang ke Rumah

    "Masih belum jelas, Ton?" Afifah menatapnya tajam. "Fatimah tidak bisa merawat Bu Aminah karena itu bukan tanggung jawab dia, Toni. Kamu sudah menceraikan Fatimah, mengurus Bu Aminah menjadi tugasmu bukan Fatimah," ucap Afifah kesal. Perkataan Afifah memang benar. Namun aku takut kejujuran sahabatku itu akan menyinggung juga menyakiti hati ibu. "Kalau ibu di sini bagaimana aku kerjanya?"Aku membuang napas kasar. Sebenarnya Bu Aminah itu ibu siapa? Kenapa dia begitu berat merawat ibu kandungnya sendiri? "Kalau ibu kamu di sana bagaimana Fatimah cari suaminya?" jawan Afifah kesal. "Kamu mau nikah lagi, Fat?" tanyanya seraya menatapku. Ekspresi tak rela tergambar jelas di matanya? Ah, dia lupa bahwa kalimat talak sudah keluar dari mulutnya. Atau jangan-jangan dia sedang amnesia? "Aku akan mengurus perceraian kita ke pengadilan. Kali ini aku harap kamu jangan mempersulitnya. Ingat, kamu sudah menalakku di sini."Mas Toni diam, tapi matanya kembali berkaca-kaca. Entah sandiwara sepe

    Terakhir Diperbarui : 2023-07-11
  • Cincin Palsu Dari Suamiku   Telepon dari Toni

    "Benar itu, Fat?" Ibu menatapku tajam. Aku menghela napas, mengangguk pelan. Aku tahu ini akan terjadi, dicecar dengan pertanyaan yang tidak ada habisnya. Apa lagi perceraian ini terjadi seketika, tanpa isu. Pada kenyataannya semua yang terlihat baik belum tentu tak memiliki masalah. Mungkin masalah itu tersimpan rapat hingga tak ada seorang pun yang mengetahuinya. Seperti yang terjadi denganku. Ibu menjatuhkan bobot, dia tatap lekat netra ini. Mencari sebuah jawaban lewat sebuah tatapan. "Kenapa Toni menceraikanmu? Kamu selingkuh?" Ada yang berdenyut mendengar kata terakhir itu. "Apa aku terlihat memiliki kekasih lain, Bu?" Ibu diam. "Lihat saja penampilanku, tubuh kurus, muka kucel, dekil, dan kulit hitam. Mana ada lelaki yang mau dengan wanita sepertiku? Jika aku memiliki kekasih, mungkin penampilanku jauh lebih baik dari ini. Bahkan memiliki barang-barang mewah, tidak ponsel butut seperti ini." Aku letakkan ponsel jadul di atas meja. Ponsel keluaran lama. Sekali lempar, anji

    Terakhir Diperbarui : 2023-07-12
  • Cincin Palsu Dari Suamiku   Hari Pertama

    "Fat, kamu denger aku, kan?""Denger, mau kamu apa lagi, Mas?" tanyaku kesal. "Bisa, kan kamu rawat ibu lagi? Kalau bisa aku antar ibu ke rumah."Aku membuang napas kasar, kesal. Tak habis pikir dengan ucapan yang barus saja keluar dari mulut lelaki itu. Ibu merupakan wanita yang berjuang mempertaruhkan nyawa untuk dia tapi Mas Toni justru mengabaikannya. Anak macam apa dia? "Fat... Fatimah! Kami denger aku, kan?""Maaf, Mas. Aku gak bisa, ibu bukan lagi tanggung jawabku. Aku punya kehidupan sendiri.""Tapi, Fat...."Ponsel kumatikan, lalu kuletakkan di atas kasur. Kesal menanggapi lelaki tak tahu diri seperti dia. Aku kembali ke belakang, membantu ibu menyiapkan sarapan. Lauk dan nasi sudah ditata di atas meja. Hanya sebuah meja yang menempel di tembok. Tak ada kursi seperti rumah orang-orang. Maklum saja, kami keluarga sederhana. "Makan duku, Fat.""Gak nafsu makan, Bu.""Kenapa?" Ibu menatapku penuh selidik. "Kepikiran Toni? Lelaki seperti itu gak pantas kamu pikirkan. Buang

    Terakhir Diperbarui : 2023-07-13
  • Cincin Palsu Dari Suamiku   Tamu Tak Diharapkan

    Aku menghela napas, menahan amarah yang hampir saja meledak. Segera aku berdiri sambil membawa tas hitam model lama. Menepis rasa kesal, kuberikan seulas senyum padanya. Aku sadar apa posisiku saat ini, karyawan baru. Sejatinya mengalah bukan berarti kalah. Namun hanya tak ingin memperpanjang masalah. Aku ingin memberi kesan baik di hari pertamaku kerja. "Iya, itu hp saya," ucapku seraya menengadahkan tangan, meminta benda yang menjadi milikku. "Harusnya benda ini dibuang, bukan dipertahankan. Ketinggalan jaman," ucapnya sambil memberikan ponsel jadul milikku. Wanita yang baru saja aku lihat itu membalikkan badan, melangkah penuh keangkuhan menuju lift. Satu persatu orang yang sempat menjadi penonton pun pergi. Meninggalkan aku dengan tatapan ini. Seburuk itukah orang tak mampu di mata mereka? Tidak ambil pusing, aku kembali melanjutkan langkah menuju lantai dua. "Ara." Aku menoleh ke belakang hingga tak sengaja mata kami saling beradu. Lekas aku alihkan pandangan. "Pak Aziz."

    Terakhir Diperbarui : 2023-07-14
  • Cincin Palsu Dari Suamiku   Insiden di Jalan

    "Mandi dulu, Fat," ucap ibu seraya menarik tanganku masuk ke dalam. "Kenapa mereka ada di sini, Bu?" tanyaku saat berada di depan pintu kamar mandi. "Mereka baru sampai lima belas menit yang lalu. Ibu belum tanya apa mau mereka."Aku menghela napas, sepertinya masalahku dengan lelaki itu belum benar-benar selesai. Entah sampai kapan ini akan berakhir. Tuhan, aku sudah lelah. "Buruan mandinya, Ibu sudah enek melihat wajah Toni. Kenapa juga dia datang ke sini. Dasar lelaki gak punya urat malu!" maki ibu seraya mengepalkan tangan. Tak lama wanitaku kembali melangkah ke ruang tamu. Dinginnya air mampu menusuk tulang. Cepat-cepat aku selesaikan ritual mandi. Karena aku sudah kedinginan. Semua orang sudah menunggu kedatanganku. Apa lagi ibu dan Mas Toni. Laki itu tak henti-hentinya menatap diri ini,hingga membuatku risih. "Fatimah sudah datang, apa yang ingin kamu katakan, Ton?" tanya bapak sambil menatap tajam ke mantan suamiku. Mas Toni diam, kegugupan tergambar jelas dari wajahnya

    Terakhir Diperbarui : 2023-07-15

Bab terbaru

  • Cincin Palsu Dari Suamiku   Ending

    Sudah tiga bulan setelah insiden di rumah sakit dulu. Kini aku dan Rio semakin dekat. Hubungan kami pun sudah melangkah ke jenjang serius. Pernikahan sudah ada di depan mata. Aku berdiri, menatap bangunan yang sebentar lagi akan menjadi restoranku. Semua tak luput dari dukungan dan kerja keras Rio. Bersyukur Tuhan mengirimkan dia untuk menjadi imamku, terlepas dari sifat konyol yang ia miliki. Terlepas dari itu semua, Rio adalah lelaki yang berpikiran dewasa. Dia mencintaiku apa adanya. Tak sekali pun dia membahas masa lalu. Entah saat berdua atau ketika bersama orang lain. Dia pandai menutup aib masa lalu yang sudah kututup rapat. "Sudah berapa persen, Ra?" tanya Rio. Lelaki itu sudah berdiri di belakangku. "80 persen, Rio. Tinggal dikit lagi restoran bisa dibuka. Seperti yang sudah kita rencanakan.""Bukan itu, Ra."Aku menoleh, menatapnya dengan sorot mata penuh tanda tanya. Namun sebuah lengkungan indah justru tercipta di sana, di wajah penuh kharisma itu. "Lantas apa, Rio?"

  • Cincin Palsu Dari Suamiku   Ungkapan Hati

    Aku masih membisu, menatap Rio dan wanita itu bergantian. Entah kenapa ada yang berdenyut di hati ini. Cemburu. Ya, rasa itu hadir tanpa diminta tapi mampu menyesakkan dada. "Ada perlu apa, Ra?" tanya Rio lagi. Kembali kutatap perempuan yang bergelayut manja di lengan Rio. Tak dapatkah mereka melakukan di dalam, bukan di hadapanku. Pantas saja Rio tak mau menemuiku, dia saja asyik pacaran. "Tidak jadi. Aku permisi, Rio!"Aku pun beranjak pergi, percuma datang kemari jika akhirnya hanya kecewa yang aku dapatkan. Ternyata cinta yang tawarkan telah luntur. Tak membara seperti saat ia mengatakannya. Ah, lelaki sama saja. "Zahra!" teriak Rio. Aku menoleh, namun kembali kulangkahkan kaki menuju tempat motorku terparkir rapi. Lebih baik segera pergi dari sini. Karena aku tak sanggup membayangkan kemesraan Rio dan wanita itu. Mereka begitu serasi. Tuhan kenapa aku tak rela? Motor segera kulajukan perlahan meninggalkan halaman restoran Rio. Sempat kulihat Rio dari pantulan kaca spion. Di

  • Cincin Palsu Dari Suamiku   Menemui Rio

    "Rio!" teriakku, tapi dia terus saja berlari. Aku beranjak meninggalkan Mas Aziz. Mengambil buket bunga mawar yang tergeletak di lantai. Aku ciumi bunga itu. Sesak, hingga air mata berlomba-lomba turun membasahi pipiku. Tak berapa lama terdengar suara mobil menjauh. Rio telah pergi dengan rasa kecewa yang bersemayam dalam hati. Entah mengapa ada sesak yang singgah dalam hati ini. "Kamu gak papa, Ra?" tanya Mas Aziz yang sudah berdiri di sampingku. Dia tatap diriku penuh tanda tanya. "Gak papa, Mas. Apa sudah selesai? Aku ingin pulang."Lelaki itu mengangguk, kemudian mengajakku berjalan menuju mobilnya. Aku hanya diam seraya mengikuti gerakan kakinya. Tak ada sepatah kata yang keluar dari mulutku. Aku tenggelam dalam rasa bersalah. Perlahan kendaraan roda empat Mas Aziz melaju, meninggalkan kantor polisi. Hening, aku justru asyik menatap buket bunga berwarna putih ini. Mengabaikan Mas Aziz yang beberapa kali menatap padaku. Entah rasa apa yang mulai singgah di hatiku. Tak bisa k

  • Cincin Palsu Dari Suamiku   Kecewa

    Pov RioTerdiam, aku tidak salah dengar, kan? Aziz bilang rekaman CCTV? Dia tidak sedang mempermainkan aku, kan? "Hallo, Rio... Kamu masih di situ, kan?""Eh, iya.""Besok kita ke kantor polisi, Rio. Aku tunggu di sana.""Siapa dalangnya?""Besok di kantor polisi."Aku membuang napas kasar, kesal dengan jawaban lelaki itu. Apa susahnya bilang sekarang? Takut aku menghajar orang itu. Ah, bukan hanya kuhajar, tapi akan kuseret ke dalam penjara. Enak saja dia menyakiti wanitaku. Diam, kutatap gelapnya langit tanpa cahaya bulan. Sama sepertiku yang terasa hampa tanpa pesan dari Zahra. Ah, beginikah rasanya cinta tanpa balasan. Menyiksa. Angin malam terasa menusuk tulang. Namun kaki enggan diajak melangkah, masuk ke dalam. Lagi dan lagi bayang Zahra menyita perhatian. Sedang apa dia? Ah, pasti sangat ketakutan. Sungguh aku tak sanggup membayangkannya. Bagiku tangis Zahra adalah luka yang tak bisa disembuhkan. Suara nyamuk mengusik ketenangan lamunanku. Serangga kecil itu terus terbang

  • Cincin Palsu Dari Suamiku   Bukti

    POV Rio"Ini laporan yang Pak Rio minta," ucap Rika seraya memberikan laporan keuangan yang baru saja kuminta. "Makasih, Rik."Seulas senyum kuberikan pada wanita itu. Sebagai seorang pemimpin mengucapkan terima kasih dan memberikan senyum adalah kewajiban. Karena bagiku karyawan bukan bawahan melainkan rekan kerja untuk memajukan suatu usaha. Papa mengajarkan untuk selalu menghargai orang lain. Bahkan tak membedakan orang karena status sosial. Itu yang membuatku memiliki banyak teman. "Ada yang bisa saya bantu lagi, Pak?" tanya Rika lagi. "Tolong buatkan kopi, Rik. Jangan terlalu manis."Rika menganggukkan kepala. Segera ia berjalan meninggalkan ruangan ini. Hingga akhirnya ia menghilang dari balik pintu. Aku mengambil laporan yang ada di atas meja. Aku baca setiap kata dan angka yang tertulis di kertas berwarna putih itu. Tanpa terasa sudut bibir tertarik ke atas. Laba restoran meningkat banyak bulan ini. Semua tak luput dari bantuan Zahra. Dia berkomentar ini dan itu, mengkri

  • Cincin Palsu Dari Suamiku   Penangkapan Fatimah

    "Are you okay, Ra?" tanya Rio saat aku diam membisu. "Gak papa, capek aja, Rio. Ngomong-ngomong makasih karena sudah membelaku tadi."Lelaki itu tersenyum hingga nampak gigi putih. "Aku akan menjadi benteng untuk kamu, Ra.""Emang aku sedang perang apa?" Aku mengerucutkan bibir. Rio hanya tersenyum, kemudian kembali melajukan mobilnya menuju rumah. Tak banyak percakapan di antara kami. Aku justru tenggelam dalam rasa sakit yang tiada bertepi. "Aku kecewa sama kamu, Ra!"Kalimat itu terus saya terngiang. Hingga menciptakan rasa kesal dalam dada. Percuma hati ini kembali kubuka, tapi nyatanya hanya menciptakan lara. Perlahan aku atur napas, berusaha menghilangkan rasa sesak yang memenuhi rongga dada. Ternyata keputusan meninggalkan Mas Aziz yang terbaik. Percuma menjalin suatu hubungan tanpa dasar kepercayaan. "Mau turun atau pulang bersamaku, Ra?" Aku tersentak, menoleh sekitar. Benar saja, kami sudah berhenti di depan rumah. Rio pasti tahu aku tengah melamun. Hingga masih duduk

  • Cincin Palsu Dari Suamiku   Cemburu

    "Kenapa, Ra?" tanya Rio penasaran. "Gawat, Rio!""Kenapa?""Orang kantor keracunan setelah makan nasi box dariku.""Apa?"Aku duduk, memijit kepala yang terasa mau meledak. Bagaimana mungkin mereka bisa keracunan jika aku memasaknya dengan benar. Lagi pula aku selalu menjaga kebersihan tiap kali memasak. Ya Allah... Cobaan apa lagi ini? "Kamu masaknya dah benar kan, Ra? Gak ada yang salah, kan?" Rio menatapku lekat. "Bener, Rio. Aku memasaknya dengan higienis. Tapi kenapa bisa keracunan?""Tidak ada yang kadaluwarsa, kan?"Aku menggeleng. Selama ini aku selalu memastikan tanggal kadaluwarsa bahan makanan sebelum memasaknya. Semua sudah kujaga agar tak merugikan customer. Namun kenapa kali ini bisa terjadi? "Gimana dong, Ri? Aku takut."Rio segera menggenggam tangan kanan ini Netranya menatap lekat padaku. Sikap yang mengatakan semua akan baik-baik saja. Dia kembali menguatkan saat aku rapuh. Bahkan menepis ketakutan yang singgah dan menguasai hati. "Aku yakin semua akan baik-bai

  • Cincin Palsu Dari Suamiku   Keracunan

    "Mas Toni!"Lelaki itu melotot, gula yang ada di tangan ia hempaskan, jatuh berserakan. Dengan cepat ia berlari, meninggalkan aku. Dia ketakutan. Mas Toni berlari tunggang langgang hingga menabrak wanita bertubuh gempal yang sedang membuka pintu. Kepala Mas Toni membentur pintu, tapi dengan cepat ia berdiri, lari keluar toko. Dia meloloskan diri. "Dasar lelaki gak punya mata!" hardik lelaki itu, namun percuma mantan suamiku sudah pergi. "Mbak gak papa," tanya penjaga mini market tersebut. "Gak papa, Mbak."Aku pun segera memberesi barang belanjaan yang berserakan. Satu persatu kumasukkan kembali ke dalam keranjang. Hanya gula yang masih berceceran di mana-mana. "Nanti biar saya sapu, Mbak. Mbak lanjutan atau saja, atau mungkin langsung ke kasir," ucap penjaga toko tersebut. "Makasih, ya, Mbak." Wanita itu mengangguk lalu melangkah pergi, mungkin mengambil sapu untuk meMemalukan saat banyak pasang mata mengawasi gerak-gerikku. Semua gara-gara Mas Toni. Aku menjadi bahan tontonan

  • Cincin Palsu Dari Suamiku   Bertemu

    "A--aku tak bisa, Rio."Senyum yang sempat hadir seketika redup, bahkan nyaris hilang. Tangan yang menggenggamku pun ikut terlepas. Rio kecewa. Sebenarnya ini yang aku takutkan. Melukai orang yang begitu baik seperti dia. Namun sebuah hati tak bisa dipaksa, bukan? Rio menghembuskan napas kasar, menatap lurus ke depan. Lautan dengan ombak melambai, mencari perhatian. Lelaki di sampingku diam, entah menikmati atau tenggelam dalam rasa kecewa. Di sini aku ikut membisu, bingung harus memulai dari mana. Seolah kata-kata itu hilang, dihempas oleh ombak di lautan. Ah, apa yang harus aku lakukan? Ikut diam atau bagaimana? Tuhan, aku membenci keadaan ini. "Kamu marah, Rio?" tanyaku pelan, hampir saja tak terdengar. Kalah dengan suara alam. "Apa aku bisa marah sama kamu, Ra?"Kembali aku terdiam. Sejauh ini Rio tak pernah marah denganku. Dia seseorang yang selalu ada ketika aku terpuruk. Inilah yang membuatku merasa bersalah karena telah menolaknya. "Aku tahu sudah ada nama Aziz di hati

DMCA.com Protection Status