Suara hentakan langkah kaki Aksa mengudara memecah keheningan di ruang makan mengundang tiga kepala untuk kompak menoleh dan menyambut Aksa yang menyeret langkah kakinya dengan sangat terpaksa. Ekspresi Aksa saat ini mirip dengan ekspresi Ayana yang menyambutnya dengan mode ngegas."Ya ampun, Aksa. Kamu, kok, lama banget datangnya. Lihat, tuh, calon istri kamu sudah kelaparan," tegur sang nyonya besar begitu Aksa mendudukkan tubuhnya di kursi yang sialnya berhadapan langsung dengan Ayana. Aksa yang dari tadi sudah kehilangan selera makan semakin merasakan mual di perutnya mendengar perkataan mamanya. Baru saja mamanya mengucapkan kata 'calon istri'. Kata-kata tabu yang tidak pernah terbesit dalam kepala Aksa.Aksa melemparkan tatapan penuh aura permusuhan ke arah Ayana yang cemberut. "Kapan, sih, makhluk nyebelin ini pulang ke rumahnya?" tanya Aksa tidak sabar ingin segera mengusir Ayana dari rumahnya.
"Apa?" tanya Aksa ketus kepada Ayana. Ia merasa sangat terganggu dengan keberadaan Ayana yang duduk di sofa sambil memperhatikan gerak gerik Aksa dengan wajah bosan seolah sedang dipaksa menonton acara yang sangat membosankan. Beberapa kali Ayana menguap dan mengubah posisinya dari duduk sampai terkapar di sofa panjang. Aksa sampai menggelengkan kepalanya tidak percaya melihat tingkah polah Ayana yang tidak menjaga image sama sekali."Nggak ada anggun-anggunnya jadi perempuan," desis Aksa."Kak Aksa jadi pergi liburan ke desa Panaan bareng Saga? Bukannya tadi Kak Aksa janji mau nemani aku belajar naik motor, ya, waktu di meja makan tadi?" tanya Ayana. Kepalanya bersandar di bantalan sofa dengan mata bergerak ke sana ke mari mengikuti Aksa yang sibuk berbenah. Aksa dan Saga yang sudah berbaikan memang berencana untuk pergi berlibur ke daerah pedesaan yang masih asri."Kapan aku bilang mau meneman
"Mau sampai kapan, sih, kamu kayak gitu? Ini udah siang, loh!" Aksa mengerang frustasi. Dua jam waktunya berlalu sia-sia hanya untuk mendengar rengekan Ayana. Gadis itu bahkan sampai detik ini masih dengan nyamannya duduk berjongkok di sudut kamar Aksa menolak untuk diusir."Kalau udah siang begini, aku sampai sananya kapan?" keluh Aksa lemas. "Dan berhenti memegang tanganku begini. Aku mau pergi." Aksa berteriak sembari menyentakkan tangannya, berusaha melepaskan tautan tangan Ayana yang berkamuflase seperti jerat gurita. Kepala Aksa semakin berdenyut nyeri. Suara chat dan panggilan masuk dari ponselnya bergantian sahut menyahut sedangkan dirinya masih berjibaku dengan jerat tangan Ayana."Yan," Kala ikut bersuara, berusaha untuk menjadi penengah yang baik. "Jangan merengek begitu. Yuk! Makan siang dulu, yuk!" ajak Kala lembut seperti seorang bapak yang sedang mencoba membujuk sang anak untuk makan.
"Huweeeks."Ayana yang masih sibuk mengunyah keripik singkong pedas terpaksa menolehkan kepalanya ke belakang ketika mendengar Aksa untuk yang kesekian kalinya muntah. Padahal Stelli pewangi jeruk sudah sengaja dibuang dari dalam mobil karena Aksa yang dari tadi mengomel, menyalahkan aroma jeruk yang membuatnya mendadak mabok darat."Kapan sampainya, sih?" gerutu Aksa jengkel.Dari tadi Om sopir selalu bilang sebentar lagi sampai, tidak lama lagi sampai, hanya tinggal menyeberang sungai, tapi nyatanya perjalanan itu terasa semakin lama dan membuat perut Aksa seperti diaduk-aduk. Posisi duduknya benar-benar tidak nyaman."Sudah tahu perjalanannya bakalan ngabisin 6 jam, kenapa juga kamu ngotot pingin bepergian naik mobil? Seisi mobil udah bau muntahan ini," timpal Kala agak jengkel karena harus menghirup aroma tidak sedap sepanjang jalan tadi. Ia bahkan sampai m
"Sebenarnya mau sampai kapan kamu itu bakalan menguji kesabaranku?" tanya Aksa jengah. Dalam sekejap mabok daratnya hilang, ia yang tadinya lemas tak berdaya sekarang bahkan sudah punya kekuatan full untuk mengomel. Ucapkan terima kasih pada Ayana. Siapa lagi orang yang bisa membuat Aksa konsisten mengedumel dari pagi ke malam, selain Ayana. Aksa tidak bisa membayangkan apa jadinya kalau ia benar-benar sampai menikah dengan Ayana. Mungkin tiap malam ia harus mengkonsumsi obat penenang supaya tidak mendadak kena bipolar."Yan? Bisa nggak kamu lepasin tanganku?" Saga akhirnya ikut bersuara. Ayana yang ngambek tiba-tiba mengambil posisi duduk berjongkok di sudut ruangan. Sebenarnya tidak masalah kalau Ayana memang mau bersemedi di pojokan, tapi masalahnya Ayana mempraktekkan ilmu jerat guritanya. Ia memegangi tangan Saga, bahkan sampai Aksa tarik-tarikan untuk membantu melepaskan Saga dari cengkraman tangan Ayana, Ayana masih juga tidak mau mengalah.
"Saga," panggil Karin dengan suara lemah lembut. Entah bagaimana ceritanya sampai Karin bisa duduk di antara Saga dan Aksa. Kedua sejoli terhalang aturan agama itu terpaksa duduk berjauhan dipisahkan oleh Karin yang sekonyong-konyong ikut bergabung di meja makan."Silahkan makan ini. Ini enak, lho!" Karin dengan antusias mencoba menyuapi Saga dengan ikan bakar yang sudah ia pisahkan dari tulangnya. Secara mendadak, Karin memiliki keahlian bak ibu rumah tangga yang telaten memisahkan daging ikan dengan tulangnya agar keluarganya bisa makan dengan tenang tanpa harus takut tersedak tulang ikan."Makasih, Karin. Tapi, aku bisa makan sendiri," tolak Saga lengkap dengan senyuman manis di bibirnya, walaupun Saga sempat bingung pagi-pagi begini kenapa sudah disuguhi ikan bakar.Aksa yang merasa tersisihkan hanya bisa mengedumel dan memasang raut wajah kesal. Ingin marah dan mengusir Karin pergi, tapi sa
Aksa menggeram pelan sembari menggelengkan kepala. Makhluk hidup yang namanya Ayana itu seperti tidak pernah kehabisan akal untuk menyusahkan Aksa. Ya, ini juga salahnya kenapa tadi ia mau saja menuruti ajakan Ayana untuk berjalan-jalan. Memang diam di penginapan adalah pilihan paling tepat daripada jalan-jalan yang pada akhirnya terkendala karena Ayana nyaris semaput kedinginan. Anak satu itu benar-benar tidak tahan dengan udara dingin."Haduuuh. Dingin banget ini. Rasanya aku mau beku." Ayana mengeluh dengan suara bergetar. Ia yang tadinya berdiri tangguh kini berjongkok sambil memeluk lutut. Udara pagi di pedesaan ternyata jauh lebih dingin daripada di kota. Tulang Ayana mendadak terasa ngilu. Ia merasa seperti orang berusia lanjut yang terkena reumatik."Kamu ini benar-benar!!! Bukannya tadi kamu yang ngebet pengen jalan-jalan ke luar?" omel Aksa. Ia bahkan sudah berbaik hati meski dengan tidak ikhlas, meminjamkan sweat
"Tadi aku larinya ke arah mana, sih?" gerutu Ayana kesal. Tadi ia hanya asal berlari dan tahu-tahu ia sudah berada di tempat di mana pohon-pohonnya terlihat sama semua. Maksud dan tujuan Ayana berlari tadi untuk menghindarkan matanya melihat Aksa dan Saga bermesraan berdua, tapi tak disangka adegan berlarinya yang tak tentu arah justru membuatnya tersesat. Ayana lupa kalau ia punya penyakit buta arah yang bahkan tak bisa tertolong meski melihat peta ataupun google map."Malas banget kalau harus melihat Mas Aksa dan Saga mesra-mesraan berdua. Apa di sini nggak ada cowok keren yang bisa aku incar?" Ayana kembali menggerutu lalu berjongkok mengistirahatkan kakinya. Padahal ia belum lama berlari, tapi betisnya sudah terasa pegal dan berat seperti digantungi makhluk halus. Menjadi seorang atlet memang bukan bakat untuk kaum mageran sepertinya."Ini daun kering juga kenapa jatuh mulu, sih? Bikin kotor aja!" gerutu Ayana sebal kar
"Canggung banget," ucap Yusa buka suara. Beberapa menit sudah berlalu, tapi baik Aksa ataupun Saga, tidak ada satupun dari kedua orang itu yang membuka mulut. Padahal kedua orang itulah yang mengajak Yusa, lebih tepatnya lagi memaksa untuk bertemu di atas atap. Bukannya berbicara, mereka bertiga malah saling melempar tatapan tidak nyaman satu sama lain. "Kalian berdua masih nggak tahu apa yang mau dibicarakan? Kalau memang nggak ada yang mau dibicarakan, kenapa mengajakku ketemu di sini? Kan, buang-buang waktu. Mana panas lagi. Mending aku menemani Ayana di ruang kesehatan," kata Yusa pelan. Ia yang sudah merasa bosan ingin secepatnya angkat kaki meninggalkan tempat itu."Kenapa kamu bisa ada di sini?" tanya Aksa to the point, mencegah Yusa yang tidak sabar ingin menyelonong pergi."Kenapa aku ada di sini?" ulang Yusa dengan ekspresi mencemooh. "Ini kampus, Aksa. Tentu saja aku ada di sini untuk belajar. Memangnya aku mau apa lagi? Nggak mungkin mau jual
"Kalian itu ngapain, sih?" tanya Aksa bingung melihat kelakuan Ayana dan Karin di depan pintu kelas. Karin dengan gigihnya berusaha menyeret Ayana untuk masuk kelas, begitupun dengan Ayana yang tidak kalah gigih bertahan di daun pintu. Saking gigihnya, Ayana nyaris menggigit pintu. Bosan berlagak seperti kelinci yang suka loncat ke sana ke mari, sepertinya Ayana ingin berubah menjadi tikus yang menggerogoti kayu."Kak Aksa, lihat 'nih kelakuan tunangan Kakak. Dia nggak mau menuntut ilmu dengan baik dan benar," lapor Karin dengan tangan masih menarik tali tas punggung Ayana."Kamu itu kenapa? Masa stress hanya gara-gara aku nggak mau ke kampus bareng?" tanya Aksa pada Ayana."Mas Aksa, Mas Aksa bisa merasakan atau ngelihat hantu nggak?" tanya Ayana tidak nyambung, membuat Aksa semakin yakin kalau Ayana benar-benar mabok akibat kebanyakan makan daging sapi. Sepertinya otak Ayana ketutupan lemak sampai-sampai hari ini Ayana semakin menggila dan bersikap tidak
"Pagi-pagi anak itu sudah membuatku sakit kepala," sungut Aksa.Ia berjalan dengan tergesa sambil menyugar kasar rambutnya sendiri. Setelah kemaren ia nyaris mati kebosanan menunggu lama bunda Ayana berbelanja daging, pagi-pagi buta Ayana kembali berbuat ulah dengan menelponnya. Sepertinya gadis itu mabok kebanyakan makan daging sapi sampai-sampai tidak ada angin tidak ada hujan merengek minta berangkat ke kampus bareng. Sejak kapan coba mereka punya hubungan semesra itu?"Ayo, kita ke kampus bareng!"Begitu Aksa mengangkat panggilan telpon dari Ayana, suara cempreng itulah yang menerobos gendang telinga Aksa. Tidak ada ucapan salam ataupun basa basi. Bahkan sekedar say halo pun tidak diucapkan Ayana, apalagi ucapan Assalamualaikum yang jauh lebih panjang. Aksa yang masih mengantuk bahkan langsung sadar dari alam bawah sadarnya. Matany
"Akhirnya aku sehat dan bisa bersih-bersih rumah," ujar Ayana berbicara sendiri.Ia menyapu lantai ruang tamu dengan begitu bersemangat. Setelah mendapat pelatihan memasak dari Tante Anna yang tidak juga membuahkan hasil, Ayana berinisiatif untuk latihan beberes rumah yang baik dan benar. Meskipun kemungkinan untuknya menjadi istri Aksa sangatlah kecil, Ayana tetap bersemangat berlatih menjadi ibu rumah tangga. Karena itu dengan senang hati Ayana mengambil alih pekerjaan asisten rumah tangganya untuk bersih-bersih teras."Tapi, kenapa lantai yang kusapu nggak bersih-bersih juga, ya?" tanya Ayana bingung."Arah sapuanmu salah, Yan!" tegur seseorang.Ayana sontak menoleh ke arah suara yang menegurnya. Kakak sulungnya berdiri sambil menutup hidung dengan sapu tangan, menghindari debu yang beterbangan agar tidak masuk ke dalam hidungnya
Sreeet.Aksa merobek bungkus obat pereda demam yang baru saja ia beli di apotek sambil menggeleng-gelengkan kepalanya tidak percaya. Begitu bangun dari pingsannya, Ayana tiba-tiba terserang demam sehingga membuat Aksa terpaksa singgah ke apotek dalam perjalanan pulang.Apa di tubuh Yusa tertempel jin sehingga bisa membuat seseorang yang dipeluknya terserang demam tinggi? Aksa bertanya-tanya dalam hati.“Kenapa kamu malah terkena demam begini? Segitu senangnya, ya, dapat pernyataan cinta dari cowok tadi?” tanya Aksa, tentu saja dengan maksud untuk menyindir Ayana yang duduk di sampingnya. Ayana yang masih menggigil mengabaikan Aksa dan sibuk menenggak air untuk mengenyahkan rasa pahit yang tertinggal di lidahnya.Aksa ingin fokus dengan setir kemudi di depannya, tapi suara gigi Ayana yang bergemeletukan membuat Aksa terpaksa menolehkan kepalanya k
"Lebih baik kita pulang sekarang," ajak Aksa."Lho, kenapa? Mas Aksa bahkan belum berbincang-bincang dengan Saga," tanya Ayana bingung. Disuguhkan minum pun belum, tapi Aksa sudah mengajak untuk pulang. Padahal tadi butuh waktu hampir dua jam mereka berdua berdebat karena Ayana yang ngotot ingin ikut dan Aksa yang juga bersikeras menolak membawa Ayana berkunjung ke rumah Saga. Masa belum apa-apa mereka sudah mau pulang? Kepala Ayana saja masih pusing karena pingsan tadi."Nggak ada gunanya juga aku bertemu Saga kalau ada kamu dan orang menyebalkan itu di sini," ujar Aksa dongkol.Ayana menggelengkan kepalanya. "Kenapa Mas Aksa selalu menganggap semua orang menyebalkan? Nggak boleh, lho, berburuk sangka kayak gitu mulu" tukas Ayana menasehati Aksa.Aksa mendengus. Ingin balas melemparkan nasehat pada Ayana yang dinilainya selalu berpikir kelewat positif terhadap orang
"Ngik!" Ayana yang baru sadar dari pingsannya sontak menutup hidungnya sendiri, berusaha menyamarkan suara nafasnya yang tak ubahnya seperti babi yang menguik. Ia kaget sendiri mendengar suara bunyi nafasnya yang mendadak terdengar seperti orang terserang asma. Dengan gugup, Ayana melirik seseorang yang duduk di tepi tempat tidur dan langsung menghembuskan nafas lega begitu tahu kalau orang yang menunggunya adalah Aksa, bukan orang lain. Ia tidak perlu malu karena Aksalah yang mendengar bunyi nafasnya yang terdengar seperti suara babi, bukan pria tampan yang tadi tiba-tiba memeluknya. "Bodoh," ejek Aksa. "Kenapa kamu malah pingsan?" "Mas Aksa?" "Dan wajahmu itu terus-terusan memerah. Jangan bilang kalau kamu tergoda dengan tampangnya itu!" sindir Aksa dengan wajah tidak percaya. &nb
"Bersaing?" desis Saga sinis. "Sayang sekali, selera kita berdua beda. Jadi lupakan saja!""Kamu benar-benar membuatku ingin tertawa," ledek Yusa dengan senyum terkulum. "Padahal aku punya banyak cewek can..."Lagi-lagi Saga berdecak dan menganggap perkataan Yusa tak lebih dari angin lalu. Angin lalu yang lebih baik jika diabaikan. Saga meraih ponselnya yang tergeletak di meja dan berjalan ke arah pintu menuju ruang tamu."Ga!!!" Yusa berteriak. "Kamu mau pergi ke luar?""Ya. Aku ada janji dengan seseorang," jawab Saga acuh."Kamu mau meninggalkan aku? Padahal hari ini aku mau mengajakmu ke cafe favoritnya ayah dan ibu," kata Yusa dengan nada memelas."Jangan harap aku mau!" tandas Saga cuek. Lagipula ibu yang Yusa maksud adalah ibunya, bukan ibu Saga. Lalu untuk apa ia peduli? Saga mendesah pelan. Ia dan Yusa
"Shit!"Saga mengumpat pelan sembari meremas rambutnya sendiri. Sedari tadi ia terus saja merasa gelisah. Ah, lebih tepatnya semenjak kejadian ia melihat Aksa menyentuh rambut Ayana di taman ria kemaren, Saga mulai merasakan kegelisahan yang sangat mengganggu. Ia seperti sedang diusik dan sialnya Saga tidak tahu di antara dua orang itu siapa yang sudah mengusik ketenangannya. Aksa atau Ayana?Saga memejamkan matanya, berusaha mengenyahkan adegan yang menggentayangi otaknya. Adegan yang membuatnya marah, kesal dan juga gelisah."Entah kenapa rasanya aku jadi kesal," desis Saga dengan mata terpejam. Ia bersandar di sofa yang seharusnya terasa nyaman, tapi sayangnya rasa nyaman itu tidak terasa sama sekali."Kamu mencemburui seseorang?"Saga menghela nafas panjang mendengar suara bisikan yang singgah di telinganya. Itu bukan suara ibun