"Saga," panggil Karin dengan suara lemah lembut. Entah bagaimana ceritanya sampai Karin bisa duduk di antara Saga dan Aksa. Kedua sejoli terhalang aturan agama itu terpaksa duduk berjauhan dipisahkan oleh Karin yang sekonyong-konyong ikut bergabung di meja makan."Silahkan makan ini. Ini enak, lho!" Karin dengan antusias mencoba menyuapi Saga dengan ikan bakar yang sudah ia pisahkan dari tulangnya. Secara mendadak, Karin memiliki keahlian bak ibu rumah tangga yang telaten memisahkan daging ikan dengan tulangnya agar keluarganya bisa makan dengan tenang tanpa harus takut tersedak tulang ikan."Makasih, Karin. Tapi, aku bisa makan sendiri," tolak Saga lengkap dengan senyuman manis di bibirnya, walaupun Saga sempat bingung pagi-pagi begini kenapa sudah disuguhi ikan bakar.Aksa yang merasa tersisihkan hanya bisa mengedumel dan memasang raut wajah kesal. Ingin marah dan mengusir Karin pergi, tapi sa
Aksa menggeram pelan sembari menggelengkan kepala. Makhluk hidup yang namanya Ayana itu seperti tidak pernah kehabisan akal untuk menyusahkan Aksa. Ya, ini juga salahnya kenapa tadi ia mau saja menuruti ajakan Ayana untuk berjalan-jalan. Memang diam di penginapan adalah pilihan paling tepat daripada jalan-jalan yang pada akhirnya terkendala karena Ayana nyaris semaput kedinginan. Anak satu itu benar-benar tidak tahan dengan udara dingin."Haduuuh. Dingin banget ini. Rasanya aku mau beku." Ayana mengeluh dengan suara bergetar. Ia yang tadinya berdiri tangguh kini berjongkok sambil memeluk lutut. Udara pagi di pedesaan ternyata jauh lebih dingin daripada di kota. Tulang Ayana mendadak terasa ngilu. Ia merasa seperti orang berusia lanjut yang terkena reumatik."Kamu ini benar-benar!!! Bukannya tadi kamu yang ngebet pengen jalan-jalan ke luar?" omel Aksa. Ia bahkan sudah berbaik hati meski dengan tidak ikhlas, meminjamkan sweat
"Tadi aku larinya ke arah mana, sih?" gerutu Ayana kesal. Tadi ia hanya asal berlari dan tahu-tahu ia sudah berada di tempat di mana pohon-pohonnya terlihat sama semua. Maksud dan tujuan Ayana berlari tadi untuk menghindarkan matanya melihat Aksa dan Saga bermesraan berdua, tapi tak disangka adegan berlarinya yang tak tentu arah justru membuatnya tersesat. Ayana lupa kalau ia punya penyakit buta arah yang bahkan tak bisa tertolong meski melihat peta ataupun google map."Malas banget kalau harus melihat Mas Aksa dan Saga mesra-mesraan berdua. Apa di sini nggak ada cowok keren yang bisa aku incar?" Ayana kembali menggerutu lalu berjongkok mengistirahatkan kakinya. Padahal ia belum lama berlari, tapi betisnya sudah terasa pegal dan berat seperti digantungi makhluk halus. Menjadi seorang atlet memang bukan bakat untuk kaum mageran sepertinya."Ini daun kering juga kenapa jatuh mulu, sih? Bikin kotor aja!" gerutu Ayana sebal kar
Suara derap kaki Ayana terdengar membahana di sepanjang koridor. Sambil bersenandung riang, Ayana melenggang menuju kamar Aksa. Hari ini suasana hatinya sedang sangat baik dan ia berencana ingin jalan-jalan mengelilingi desa sembari melihat sungai bersama Aksa."Mas Aksa, kita jalan-jalan, yok!" ajak Ayana penuh semangat.Tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu apalagi mengucap salam meminta izin, Ayana langsung membuka pintu kamar yang ternyata tidak dikunci. Ayana terdiam beberapa saat. Senyum lebar di bibirnya dalam sekejap berubah menjadi senyuman kaku yang sangat aneh. Moodnya yang tadi dalam keadaan baik sekarang anjlok secara drastis.Ayana memegangi kepalanya yang seperti dipukul dengan palu. Penglihatannya mengabur, tapi ia masih bisa melihat dengan jelas apa yang ada di depan matanya. Di kamar itu bukan cuma ada Aksa, tapi juga Saga. Kedua orang itu tidur dengan nyaman sambil berpelukan.
"Anak itu membuatku kesal saja," gerutu Aksa.Pencariannya di penjuru penginapan tidak membuahkan hasil. Pagi-pagi begini ia sudah olahraga kaki berlarian ke sana ke mari hanya untuk menemukan batang hidung Ayana. Tapi, sepertinya Ayana memang dianugerahi kemampuan bermain petak umpet yang mumpuni sehingga susah sekali menemukan Ayana. Anak itu seperti terselip di tempat yang tak terlihat."Dia nggak ada di penginapan, Sa. Aku rasa dia lari ke luar."Perkataan Saga semakin membuat Aksa gusar. Kabut pagi masih begitu tebal, embun masih ada di mana-mana dan itu artinya berkeliaran di luar sana pastinya tidak akan menyenangkan. Bahkan berada di dalam penginapan saja hawa dingin masih terasa menusuk tulang.Aksa mendengus. "Kenapa dia suka sekali melarikan diri waktu lagi kesal, sih? Dingin, tahu, kalau harus mencarinya di luar sana.""
"Brrrrr. Dingiiiiin," ucap Ayana dengan suara bergetar sambil memeluk pohon. Sebenarnya tindakan itu sama sekali tidak ada gunanya dan tidak mengurangi rasa dingin sama sekali. Walaupun pohon termasuk dalam golongan makhluk hidup, tetap saja pohon itu tidak bisa memberikan kehangatan ketika dipeluk.Tubuh Ayana semakin menggigil setiap kali angin berhembus. Udara sejuk yang seharusnya menyenangkan sekarang justru terasa menyiksa. Ya, ini salahnya karena tadi lupa memakai jaket."Bukan," ucap Ayana pada dirinya sendiri. "Yang salah Mas Aksa. Kenapa, sih, selalu saja bikin aku kesal dingin-dingin begini?"Ayana terdiam beberapa saat, lalu menggerutu pelan. "Tapi, aku juga salah. Kenapa juga aku harus suka sama orang-orang begitu? Seharusnya aku menyukai orang yang juga suka aku. Bukannya malah suka sama dua laki-laki yang saling menyukai." Ayana mendesis sedih.Suara g
"Air sungainya dingin juga, ya?" ucap Ayana. Ia berjalan bertelanjang kaki menyusuri bebatuan yang ada di sungai. Sesekali menendang air hingga air itu memercik ke mana-mana, termasuk membasahi Aksa yang merasa seperti orang bodoh karena mau saja mengawasi Ayana."Sudah, cukup!" kata Aksa tegas. Tangannya menarik lengan Ayana agar beranjak dari sungai. "Sudah tahu airnya dingin, masih juga ngebet main lama-lama di situ. Nanti masuk angin, kena rematik, kaki kram, aku juga yang repot," omel Aksa. Sebelum terjadi hal-hal merepotkan lainnya, Aksa harus mencegah hal itu terjadi. Cukup sekali dua kali, ia merawat orang demam. Jangan sampai ada adegan kesekian kalinya untuk peristiwa yang sama."Aku nggak suka dingin, tapi cita-citaku pengen ke Jepang waktu musim dingin," celetuk Ayana yang sedang dalam mode tenang. Ayana dengan patuhnya mengikuti Aksa di belakang meninggalkan sungai berbatu dan berair jernih yang masih menyisaka
“Ng? Sepertinya tadi sayup-sayup aku mendengar suara teriakan Kala,” kata Saga ragu. Ia menoleh ke belakang, ke arah mobil yang tadi dinaiki Ayana dan Kala. Entah tadi yang ia dengar memang benar suara Kala atau hanya suara hembusan angin.“Biarkan saja. Paling Kala lagi disiksa makhluk menyebalkan itu,” timpal Aksa datar. Sudut bibirnya terangkat naik. Aksa tersenyum sinis, mensyukuri nasib sial Kala yang harus satu mobil dengan Ayana. Aksa yakin pasti saat ini kepala Kala auto mumet meladeni Ayana yang punya sifat Subhanallah menguji kesabaran.Karin yang tadi juga mendengar suara teriakan Kala ikut menoleh ke belakang. Karin memicingkan matanya. Sepertinya tadi ia melihat ada kepala menyembul keluar dari dalam mobil. Siang bolong begini mana mungkin ada penampakan. Lagipula orang-orang di dalam mobil tidak ada satupun yang hamil yang memungkinkan untuk diikuti oleh hantu kepala.