Zahra mendekati tunangannya yang tengah membaca koran pagi. Matanya mengarah pada cangkir teh di meja yang sudah berkurang setengah. Tandanya sebentar lagi Martin akan berangkat kerja.
“Ada yang mau aku omongin. Bisa fokus dulu ke aku?” ucapnya manja.Martin melipat korannya. Matanya beralih fokus pada tunangannya. Zahra memberanikan diri menatap mata elang itu.“Aku bosan di rumah.”“Lalu?”“Aku butuh hiburan.”“Seperti?”“Boleh nggak aku ikut Ray dan Riyan syuting ke Bogor?”“Berapa lama?”“Mungkin 2 sampai 3 hari. Kalau misal lebih dari 3 hari, aku langsung pulang. Nanti aku hubungi supir untuk minta jemput.”Zahra memperhatikan wajah Martin yang cenderung akan menolak permintaannya.“Boleh, ya? Please, Sayang.”Martin membelai lembut pipi Zahra. “Ok, aku ijinkan. Tapi hanya 2 hari.”“Iya, nggak apa-apa. Itu juga sudah cukup buat aku. Makasih, Sayang.”ZahArdi dan Rachel naik ke kasur Reihan dengan boneka beruang besar. Mereka memanggil-manggil Papa mereka dengan heboh. Reihan keluar dari kamar mandi.“Kalau beruangnya ikut bobo di sini, Papa bobo di mana?”“Beruangnya di pinggir jagain kita.” Ardi meletakan boneka beruangnya di pinggir tempat tidur. Begitu juga dengan Rachel.Reihan merebahkan diri di tengah-tengah mereka. Dia menaikkank selimut.“Papa, sebentar lagi kita liburan sekolah. Piknik, yuk.” Usul Rachel. “Mau ke mana?”“Ke mana, ya? Nurut Papa ke mana?”“Papa juga bingung. Nanya Om Ray aja nanti.”Terdengar ketukan di pintu. Ray masuk untuk meminjam charger ponsel. Reihan menunjuk laci bufet.“Ray, anak-anak bentar lagi liburan sekolah. Enaknya liburan ke mana?”“Nanti aku pikirin dulu tempat yang asyik buat piknik kita.”“Papa, boleh telepon Tante Maya? Mau ngucapin selamat bobo.”Reihan mengambil ponselnya dan me
Reihan menatap satu persatu orang-orang di hadapannya. Permintaan kompak dari mereka untuk ikut liburan ke Malang membuatnya sedikit heran.“Kalian serius mau ikut ke Malang buat liburan?” Mereka mengangguk kompak. “Ini liburan anak kecil, nggak ada seru-serunya.”“Aku nggak bisa dipisahkan dari Ray.” Ujar Riyan. “Butuh refreshing juga, masa kerja mulu.”“Shafira butuh refreshing juga? WO siapa yang tanggung jawab?”“Kak, setahun ini aku nggak liburan ke mana-mana. Fokus cari cuan. Mumpung kalian mau liburan, ikut dong. Untuk kerjaan, karyawan-karyawan aku bisa diandalkan. Mereka sudah tahu jobdesk masing-masing.”“Adam kenapa ikut juga? Bukannya kamu lagi banyak kerjaan. Kemarin bilang kasus numpuk.”“Yang pengacara di kantor bukan cuma aku. Masa iya aku yang ngerjain semua. Maksudnya kasus numpuk itu keseluruhan kasus di kantor. Kayak yang Riyan bilang, butuh refreshing. Penat banget nanganin kasus.”“Helen ngapain iku
Reihan tak percaya melihat Zahra yang datang ke bandara dengan enam bodyguard yang membawa enam koper besar. Mereka mau liburan bukan pindah rumah.“Ray kasih tahu mendadak. Jadi aku bawa barang-barangku seadanya aja.”Definisi seadanya ala Zahra yang membuat Reihan hanya mampu tersenyum tipis. Dia tidak bisa membayangkan berapa koper yang akan dibawa bila tidak diberitahu mendadak.Sampai di Malang mereka naik mobil menuju rumah Nenek Nani. Dua anaknya banyak bertanya ini itu sepanjang jalan. Mata mereka tetap terjaga walau Reihan menyarankan mereka untuk tidur sebentar melepas lelah. Iringan mobil berhenti di depan pagar bambu bercat kuning gading. Rumah besar dengan halaman yang luas. Samping kiri halaman ditumbuhi banyak bunga mawar dan melati. Di samping kanan halaman ditanami singkong dan cabai. Nenek Nani dan beberapa pembantu menyambut mereka. Mereka saling berkenalan satu sama lain.“Nenek kamu tinggal sama pembantu-pembantu aja
Hari itu, Reihan tidak banyak bicara namun pandangan matanya tak pernah lepas dari Maya. Dia juga sengaja selalu berada di dekat wanita itu. Hatinya melonjak senang ketika mereka selfie dengan anak-anak, Maya menumpukan jari-jemari yang saling bertaut di bahu kirinya. Reihan memutuskan untuk menunjukkan perhatiannya pada wanita itu.“Lebih cantik kalau rambutnya pendek.” Reihan memperhatikan Maya yang sedang menyisir rambut panjangnya.Maya memasukkan sisir ke dalam tasnya. “Dari kemarin pengin banget potong rambut. Gerah juga rambut panjang.”Reihan merasa canggung ketika Maya menatapnya. Maya menempelkan jari telunjuk di bibir tanda agar diam. Wajah itu mendekat membuat jantung Reihan berdetak cepat. Jari-jemari Maya sampai di kepalanya.“Ada apa?” tanya Reihan pelan.“Ada ubanmu yang kelihatan.” Maya berhasil memegang sehelai uban incarannya.Reihan menggeser duduknya dengan cepat. Maya menggeram gemas uban incarannya berhasil
Reihan dan Maya tersenyum bahagia melihat mereka yang menyambut di rumah Maya. Reihan mendekat pada adiknya. Dia peluk Ray dengan penuh sayang. Air matanya tanpa sadar mengalir. “Makasih, ya, kamu memang bakat jadi sutradara. Akting kalian luar biasa.” Melepaskan pelukannya.“Selamat, ya, Kak Rei, aku yakin nggak bakal ada surat panggilan lagi dari sekolah.”Maya memeluk Nani dan mengucapkan terima kasih. Mereka menangis bahagia untuk beberapa saat.“Jadi aku dan Ardi sudah boleh manggil Tante Maya dengan sebutan Mama?”Mereka mengiyakan. Ardi dan Rachel memeluk Maya dan memanggilnya mama.Di pendopo rumah Nenek Nani, mereka saling bertukar cerita. Reihan terkejut saat tahu Maya sudah punya rasa padanya sejak masih jadi guru Ray.“Aku nggak sengaja baca curahan hati di kertas kuning yang terselip di buku grammar bahasa inggris.” Ray berusaha mengingat isinya. “Kamu ya kamu, peremuk rasaku, Reihan Yudhistira.” Maya menut
Reihan menatap bahagia wanita dalam balutan pakaian adat Jawa Timur yang sekarang sudah sah menjadi istrinya. Anugerah indah Tuhan untuk hidupnya. Dia sangat bersyukur akan hal itu.“Hati Tante dan Om sudah lega kamu akhirnya menikah, Rei.” Silva menghapus air mata bahagianya dengan sapu tangan. “Kalian harus saling menjaga keutuhan rumah tangga. Kalau ada masalah bicarakan baik-baik, jangan emosi yang diduluin.”“Iya tante. Makasih ya selama ini sudah bantu urusin aku, Ray, dan anak-anak.”“Sudah wajibnya tante untuk bantu keponakan baik dan nurut kayak kamu. Tante dan Om juga sayang banget sama kalian.”Reihan memeluk Tante Silva dan Om Fadil bersamaan. Air mata bahagia mengalir tanpa sadar. Maya membantu menghapusnya.“Aku terharu lihat mereka. Hati juga ikut senang. Semoga rumah tangga mereka samawa.” Zahra tersenyum senang.“Ra, nyuri kembang pengantin, yuk.” Ajak Shafira. “Biar cepat nyusul nikah juga.”“Fir, kalau
Ardi mengaduh sakit ketika jatuh di paving dekat taman restoran yang ada di halaman depan. Tubuhnya tiba-tiba terangkat dalam gendongan seorang pria. Pria itu mendudukkannya di ayunan.“Sakit, Sayang?”“Iya, Om.” Ardi meringis menahan sakit di lututnya.Pria itu membersihkan luka Ardi dengan sapu tangan dan meniupinya agar rasa sakit berkurang. Dia mengambil plester luka dan membalutnya. “Bisa jalan?”“Bisa, tapi nggak bisa cepat.”“Mau Om gendong?”“Nggak usah, Om. Makasih, ya, Om sudah nolongin aku.”“Sama-sama, Sayang. Kamu mau coklat?” Dikeluarkannya coklat dari saku jas.“Nggak boleh makan coklat sama Mama. Aku lagi diet. Harus lebih banyak makan sayur.” Terdengar suara Papanya memanggil namanya. “Papa,” seru Ardi sambil melambaikan tangan.Reihan berjalan cepat menghampiri Ardi. Matanya melebar ketika sadar pria yang berdiri di hadapannya.“Papa, aku jatuh. Om ini nolongin aku.”
Dahi Maya mengernyit melihat nomor yang tertera di layar ponselnya. Nomor itu tidak ada dalam daftar kontaknya. Tak mau ambil pusing Maya menghapus nomor asing itu dari ponselnya.“Bu Maya, masuk, yuk.” Ajak Ibu Ratih. “Daripada nunggu di sini, mending di dalam ruang guru.”“Iya, Bu, terima kasih. Nggak apa-apa saya nunggu di sini. Oiya, kalau boleh tahu siapa yang ulang tahun?”“Riska, tadinya mau pas istirahat tapi waktunya pendek. Jadi dialihkan setelah jam pulang sekolah.”“Mama,” seru Ardi dan Rachel bersama. Maya melambaikan tangan.“Acaranya sudah selesai?”“Sudah, Ma.” Jawab Rachel. “Badutnya lucu banget, bisa sulap juga. Aku dikasih jam tangan ini, bagus, kan, Ma?”“Iya, Sayang. Warnanya pink, kesukaan kamu. Ardi dapat apa?”“Aku dapat kotak pensil bertingkat, Ma.”Maya mengacungkan jempolnya. “Kalian cium tangan dulu sama Ibu Ratih.” Mereka berpamitan pada Bu Ratih.“Ma, Om Ray pergi
Zahra dan Helen membujuk Shafira untuk makan tapi selalu ditolak. Padahal tubuhnya demam. Ray menarik tubuh Shafira agar bangun. Gadis itu menangis di pelukan Ray.“Dia nggak balas pesan aku. Telepon juga nggak diangkat. Aku nggak mau putus. Aku cinta mati sama dia.”Ray tahu pasti cinta Shafira yang dalam untuk pria itu. Shafira bahkan rela menyamar menjadi pelayan cafe di tempat temannya agar bisa lebih dekat dengan Doni.Ray menghapus sisa-sisa air mata Shafira. “Sekarang makan dulu, minum obat, kalau kamu nurut aku bawa nemuin dia.”“Dia pasti nggak mau ketemu aku lagi. Aku sudah bohongi dia. Dia paling benci pembohong.”“Seenggaknya kamu bisa jelasin ke dia alasan kamu bohong. Kalau dia ngerti syukur, kalaupun dia tetap nggak mau lanjutkan hubungan, relakan.” Shafira menangis lagi. “Sini Aa Ray suapin anak manja.” Ray mengambil piring berisi makanan dari Helen. “Keahlianmu maling kembang pengantin nggak diragukan lagi, Doni nggak mun
Ardi dan Rachel kompak menepukkan spon bedak ke pipi Gunawan karena kalah main ular tangga. Reihan tersenyum melihatnya. Dia bersyukur Ardi sudah bisa dekat dengan ayah kandungnya. Walau masih memanggil dengan sebutan Om. Mereka sepakat akan memberitahu Ardi bila sudah cukup umur.“Aduh, Om payah. Masa main ular tangga kalah terus. Mukanya jadi kayak donat gula.” Ardi geleng-geleng lalu menghela napas. Gunawan tersenyum malu.“Masa sudah gede kalah sama anak kecil.” Rachel menepuk dahinya.“Iya, deh, yang lagi merasa hebat.”Ardi mengajak Rachel bermain bola besar kesukaan mereka. Gunawan mengawasi dari kejauhan. Hatinya bahagia bisa sedekat ini dengan anaknya.“Waktunya minum obat.” Reihan mengingatkan. Dia meletakkan nampan berisi obat dan air putih.Gunawan meminum obatnya tanpa protes. Maya memotret dengan ponselnya dan mengirimkan ke Dokter Hilda.“Kalian sekarang jadi sekutunya Hilda. Nyebelin banget.”“Ki
Ray tersenyum geli melihat Zahra yang mengenakan kemeja birunya. Kemejanya seolah menenggelamkan tubuh langsing gadis itu. Zahra naik ke ranjang dan menyandarkan punggungnya pada dada bidang Ray.“Ray, rasanya nyaman banget seperti ini.” Dikecupnya berulang kali punggung tangan kanan Ray.Ray singkap rambut panjang Zahra dan mengecup mesra lehernya. Didekapnya lembut tubuh itu. Zahra menikmati leher jenjangnya dimesrai.“Mau jalan ke mana?”“Nggak tahu, deh. Bingung.”Zahra berbalik. Dia duduk di pangkuan Ray. Dua tangannya meraba dada bidang Ray yang polos. Dia mengecupinya lalu naik ke leher. Dia tertawa senang ketika tubuhnya ditindih. Bibirnya menyambut penuh gairah bibir Ray.“Rambut kamu sudah panjang, Sayang. Besok aku temani ke salon.”“Boleh. Sekalian kencan pertama kita.”Zahra mengangguk setuju. Dia tertawa geli ketika Ray menggelitik perutnya.“Ray, ah, geli, Ray,”Zahra berhasil me
Maya menyambut senang adik iparnya yang datang bersama Riyan dan Diana. Dia mencubit gemas pipi Ray saking kangennya.“Tolong, ya, tangan dikondisikan.” Ujar Reihan melirik sebal.“Ray gemesin kayak boneka.”Reihan ikut mencubit gemas pipi adiknya. Diana tertawa geli melihat itu. Riyan memberikan parcel buah pir untuk Maya.“Tante makasih banyak. Tahu aja kalau lagi pengin yang seger.”“Ibu hamil pasti penginnya makan yang seger. Malah dulu tante pas hamil Riyan pengin makan bakso yang pedes banget tapi nggak boleh. Kasihan bayinya.”“Iya, Tan. Aku kangen banget makan sambel ikan asin jambal yang super pedes. Tapi nunggu sampai lahiran aja.”Diana dan Riyan hanya sebentar bertamu lalu pamit karena mau jalan-jalan. Ray mengantar mereka hingga keluar gerbang. Setelah mobil Riyan pergi, dia melihat mobil lain berhenti di depan pagar. Dia tak jadi mengunci pintu gerbang. Xavier keluar dari mobil.“Ray,” sapa Pak Xav
Zahra terkesiap ketika bahunya ditepuk oleh Martin. Dia tersenyum.“Pagi-pagi sudah ngelamun.”Zahra tak punya kalimat apapun untuk menjawab Martin. Sudah berhari-hari pikirannya dipenuhi oleh Ray dan ciumannya. Dia akui menyesal tidak membalas ciuman Ray. Saat menjenguk Ardi di rumah sakit tempo lalu, dia sengaja tidak menyapa pria itu. Dia masih bingung bagaimana harus bersikap.“Kamu mau ikut main golf nggak?”“Nggak. Mau di rumah aja.”“Pagi,” sapa Pak Thomas. Dia duduk di seberang mereka. “Zahra, kapan Pak Gunawan operasi transplantasi?”“Lusa, kenapa, Pa?”“Kalau mau jenguk kabari Papa. Sore ini Papa dan Martin harus balik ke Singapura.”“Kalian gitu banget sama aku, ditinggalin terus. Lama-lama aku minggat juga.” Zahra meletakkan garpu dan sendoknya di piring, tak jadi sarapan.Pak Thomas saling pandang dengan Martin. Belum sempat mereka menjelaskan, Zahra sudah beranjak menuju kamarnya di atas.
Reihan dan Maya menyiapkan berbagai hidangan lezat untuk menyambut para tamu. Mereka mengadakan syukuran karena masalah pelik yang ada berakhir dengan damai. Pihak Gunawan mencabut perkara hak asuh Ardi dan mengikhlaskan Ardi dirawat oleh pihak Reihan. Gunawan tidak mau Ardi memiliki moment buruk dalam hidup seperti dirinya. Reihan membebaskan Gunawan untuk menemui Ardi kapanpun dia mau. Kesepakatan tersebut disambut baik oleh kedua belah pihak.Reihan menggandeng Ardi untuk menemui Gunawan. Anak itu masih takut dan bersembunyi di belakang tubuhnya. Reihan membujuk lembut untuk mau berjabat tangan dengan Gunawan.“Jangan dipaksa, Rei.” Suara Gunawan bergetar sedih. Akibat ulahnya anak kandungnya sendiri takut hanya untuk sekedar melihatnya.“Sayang, Om Gunawan orang baik. Beliau ingin jadi teman Ardi dan Rachel.” Maya menyatukan tangan Ardi dan Rachel. “Kalian mau, kan, jadi temannya Om Gunawan?”“Om Gunawan bawa banyak mainan buat kita. Baik bang
Reihan prihatin melihat Gunawan yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Banyak peralatan medis yang terpasang di tubuhnya. Pria yang dia kenal kejam dan mampu melakukan apapun karena kekayaan dan kekuasaan yang dipunya, sekarang hanyalah pria tak berdaya.“Terima kasih sudah mau menjenguk Pak Gunawan.” Xavier berdiri di sebelahnya. “Beliau sudah melewati masa kritis.” Memandang sedih bosnya. “Oiya, bagaimana keadaan Ardi?”“Dia masih belum bisa bicara. Tapi kami sudah konsultasi dengan ahli terapi bicara dan Psikolog anak. Dia sedang menjalani terapi.”“Semoga Ardi lekas bisa berbicara kembali.”“Kalau begitu, saya pamit. Bila Gunawan sudah siuman segera hubungi saya.”Sampai di rumah, Reihan mendapati Ardi sedang menggambar. Dia mengecup pipi anaknya dengan gemas. Ardi menggambar anggota keluarga mereka. Rachel yang jahil memprotes gambar Ardi.“Aku cantik, masa di gambar jelek gini.” Rachel membaca kalimat yang Ardi tulis.
Reihan lumayan terkejut dengan kedatangan Nani dan Adam yang mendadak. Wajah mereka nampak khawatir.“Ada apa? Tumben nggak kasih kabar dulu kalau mau datang.”“Aku mau kalian jujur,” Nani menatap serius mereka. “Apa dia ganggu kalian?”“Dia siapa?” tanya Maya.“Mas Gunawan.”Reihan dan Maya saling pandang khawatir. Mereka mengangguk pelan.“Dari mana kamu tahu dia mulai mengusikku?” Reihan memikirkan berbagai kemungkinan yang terjadi.“Ada yang mau aku sampaikan. Jujur aku nggak enak banget ngomong ini sama kalian.” Adam menghela napas lelah. “Tapi tetap harus aku sampaikan.” Adam membuka map yang sedari tadi dipegangnya. “Dia menunjuk papaku sebagai kuasa hukumnya untuk merebut hak asuh Ardi.”Reihan dan Maya membaca berkas tersebut. Mereka pernah memikirkan hal ini dan siap menghadapi Gunawan untuk memperjuangkan Ardi. Namun mereka tak menyangka bila yang harus mereka hadapi Papa Adam.“Papa sebenarn
Ray memberikan air mineral dingin dalam kemasan botol pada Zahra. Shafira datang dengan semangkuk es krim.“Rasanya pengin berendam di kolam es buah.” Shafira menyuap es krimnya. “Bawel banget emaknya. Pengin aku lakban.”Zahra mengelus punggung Shafira untuk menenangkan. “Sabar, orang sabar disayang Doni.”Shafira tersenyum simpul. “Untung anaknya pengertian. Aku jadi nggak enak sendiri, anaknya minta maaf terus.”“Memang masalahnya apa?” Ray duduk di sebelah Shafira.“Makanannya. Dia bilang nggak enak. Salah sendiri pilih menu nggak jelas. Aku sudah saranin ikut menu favorit, emaknya nggak mau. Makanan setengahnya jeroan semua. Gulai otak sapi, sambal goreng hati sapi, soto babat sapi, sate ampela hati ayam, haduh nggak jelas banget. Nggak semua orang bisa makan menu begitu, apalagi yang sudah tua. Aku sampai lihat bapak-bapak sudah sepuh, cuma makan nasi sama kerupuk udang doang. Aku malu banget sebagai penyelenggara WOnya. Baru kali i