Reihan tak percaya melihat Zahra yang datang ke bandara dengan enam bodyguard yang membawa enam koper besar. Mereka mau liburan bukan pindah rumah.
“Ray kasih tahu mendadak. Jadi aku bawa barang-barangku seadanya aja.”Definisi seadanya ala Zahra yang membuat Reihan hanya mampu tersenyum tipis. Dia tidak bisa membayangkan berapa koper yang akan dibawa bila tidak diberitahu mendadak.Sampai di Malang mereka naik mobil menuju rumah Nenek Nani. Dua anaknya banyak bertanya ini itu sepanjang jalan. Mata mereka tetap terjaga walau Reihan menyarankan mereka untuk tidur sebentar melepas lelah.Iringan mobil berhenti di depan pagar bambu bercat kuning gading. Rumah besar dengan halaman yang luas. Samping kiri halaman ditumbuhi banyak bunga mawar dan melati. Di samping kanan halaman ditanami singkong dan cabai. Nenek Nani dan beberapa pembantu menyambut mereka. Mereka saling berkenalan satu sama lain.“Nenek kamu tinggal sama pembantu-pembantu ajaHari itu, Reihan tidak banyak bicara namun pandangan matanya tak pernah lepas dari Maya. Dia juga sengaja selalu berada di dekat wanita itu. Hatinya melonjak senang ketika mereka selfie dengan anak-anak, Maya menumpukan jari-jemari yang saling bertaut di bahu kirinya. Reihan memutuskan untuk menunjukkan perhatiannya pada wanita itu.“Lebih cantik kalau rambutnya pendek.” Reihan memperhatikan Maya yang sedang menyisir rambut panjangnya.Maya memasukkan sisir ke dalam tasnya. “Dari kemarin pengin banget potong rambut. Gerah juga rambut panjang.”Reihan merasa canggung ketika Maya menatapnya. Maya menempelkan jari telunjuk di bibir tanda agar diam. Wajah itu mendekat membuat jantung Reihan berdetak cepat. Jari-jemari Maya sampai di kepalanya.“Ada apa?” tanya Reihan pelan.“Ada ubanmu yang kelihatan.” Maya berhasil memegang sehelai uban incarannya.Reihan menggeser duduknya dengan cepat. Maya menggeram gemas uban incarannya berhasil
Reihan dan Maya tersenyum bahagia melihat mereka yang menyambut di rumah Maya. Reihan mendekat pada adiknya. Dia peluk Ray dengan penuh sayang. Air matanya tanpa sadar mengalir. “Makasih, ya, kamu memang bakat jadi sutradara. Akting kalian luar biasa.” Melepaskan pelukannya.“Selamat, ya, Kak Rei, aku yakin nggak bakal ada surat panggilan lagi dari sekolah.”Maya memeluk Nani dan mengucapkan terima kasih. Mereka menangis bahagia untuk beberapa saat.“Jadi aku dan Ardi sudah boleh manggil Tante Maya dengan sebutan Mama?”Mereka mengiyakan. Ardi dan Rachel memeluk Maya dan memanggilnya mama.Di pendopo rumah Nenek Nani, mereka saling bertukar cerita. Reihan terkejut saat tahu Maya sudah punya rasa padanya sejak masih jadi guru Ray.“Aku nggak sengaja baca curahan hati di kertas kuning yang terselip di buku grammar bahasa inggris.” Ray berusaha mengingat isinya. “Kamu ya kamu, peremuk rasaku, Reihan Yudhistira.” Maya menut
Reihan menatap bahagia wanita dalam balutan pakaian adat Jawa Timur yang sekarang sudah sah menjadi istrinya. Anugerah indah Tuhan untuk hidupnya. Dia sangat bersyukur akan hal itu.“Hati Tante dan Om sudah lega kamu akhirnya menikah, Rei.” Silva menghapus air mata bahagianya dengan sapu tangan. “Kalian harus saling menjaga keutuhan rumah tangga. Kalau ada masalah bicarakan baik-baik, jangan emosi yang diduluin.”“Iya tante. Makasih ya selama ini sudah bantu urusin aku, Ray, dan anak-anak.”“Sudah wajibnya tante untuk bantu keponakan baik dan nurut kayak kamu. Tante dan Om juga sayang banget sama kalian.”Reihan memeluk Tante Silva dan Om Fadil bersamaan. Air mata bahagia mengalir tanpa sadar. Maya membantu menghapusnya.“Aku terharu lihat mereka. Hati juga ikut senang. Semoga rumah tangga mereka samawa.” Zahra tersenyum senang.“Ra, nyuri kembang pengantin, yuk.” Ajak Shafira. “Biar cepat nyusul nikah juga.”“Fir, kalau
Ardi mengaduh sakit ketika jatuh di paving dekat taman restoran yang ada di halaman depan. Tubuhnya tiba-tiba terangkat dalam gendongan seorang pria. Pria itu mendudukkannya di ayunan.“Sakit, Sayang?”“Iya, Om.” Ardi meringis menahan sakit di lututnya.Pria itu membersihkan luka Ardi dengan sapu tangan dan meniupinya agar rasa sakit berkurang. Dia mengambil plester luka dan membalutnya. “Bisa jalan?”“Bisa, tapi nggak bisa cepat.”“Mau Om gendong?”“Nggak usah, Om. Makasih, ya, Om sudah nolongin aku.”“Sama-sama, Sayang. Kamu mau coklat?” Dikeluarkannya coklat dari saku jas.“Nggak boleh makan coklat sama Mama. Aku lagi diet. Harus lebih banyak makan sayur.” Terdengar suara Papanya memanggil namanya. “Papa,” seru Ardi sambil melambaikan tangan.Reihan berjalan cepat menghampiri Ardi. Matanya melebar ketika sadar pria yang berdiri di hadapannya.“Papa, aku jatuh. Om ini nolongin aku.”
Dahi Maya mengernyit melihat nomor yang tertera di layar ponselnya. Nomor itu tidak ada dalam daftar kontaknya. Tak mau ambil pusing Maya menghapus nomor asing itu dari ponselnya.“Bu Maya, masuk, yuk.” Ajak Ibu Ratih. “Daripada nunggu di sini, mending di dalam ruang guru.”“Iya, Bu, terima kasih. Nggak apa-apa saya nunggu di sini. Oiya, kalau boleh tahu siapa yang ulang tahun?”“Riska, tadinya mau pas istirahat tapi waktunya pendek. Jadi dialihkan setelah jam pulang sekolah.”“Mama,” seru Ardi dan Rachel bersama. Maya melambaikan tangan.“Acaranya sudah selesai?”“Sudah, Ma.” Jawab Rachel. “Badutnya lucu banget, bisa sulap juga. Aku dikasih jam tangan ini, bagus, kan, Ma?”“Iya, Sayang. Warnanya pink, kesukaan kamu. Ardi dapat apa?”“Aku dapat kotak pensil bertingkat, Ma.”Maya mengacungkan jempolnya. “Kalian cium tangan dulu sama Ibu Ratih.” Mereka berpamitan pada Bu Ratih.“Ma, Om Ray pergi
Ray melihat kembali foto-fotonya bersama Zahra di katalog WO Shafira. Pose mereka terbilang sempurna sebagai pasangan yang tengah honeymoon. Ponselnya berdering. Nama Zahra tertera di layar ponsel. Dia menekan tombol jawab. Terdengar suara manja memenuhi telinganya.“Ray, besok ada acara nggak?”“Ada. Kenapa?”“Aku mau ajak jalan. Memangnya acara apa?”“Nemenin Kak Rei sama Kak Maya lihat rumah.”“Aku ikut dong. Jangan ditutup dulu.”Ray memandang heran ponselnya seolah itu Zahra. Dia bisa mendengar derap langkah dan suara Zahra yang memanggil nama Martin. Kali ini terdengar sangat jelas Zahra meminta ijin pada Martin untuk ikut melihat rumah bersamanya.“Halo, Ray,” sapa Martin.“Iya, Martin,”“Mau lihat rumah di mana?”“Bintaro. Nemenin Kak Rei.”“Ok, deh. Titip Zahra, ya.”“Oh, iya.”Terdengar lagi Zahra mengucapkan terima kasih pada Martin atas ijin yang
Beberapa polisi tengah mengecek keadaan unit apartemen Reihan. Tidak ada barang berharga yang hilang. Hanya pintu depan yang dirusak. Polisi menduga Maya dibius dahulu hingga tidak sempat berteriak. Ray memberi keterangan terkait dua pria berbadan besar yang berpapasan dengannya di lift. Seorang ilustrator menggambar sketsa wajah salah satu pria berbadan besar tersebut.Reihan memikirkan kemungkinan siapa pelaku penculikan istrinya. Dia tidak bisa langsung menuduh Gunawan. Meski pria itu mulai mengusik hidupnya tapi target utama Gunawan adalah Ardi. Satu nama tiba-tiba terlintas di benaknya.“Pak Prambudi,” panggil Reihan. “Sepertinya saya tahu siapa yang menculik istri saya. Handoko.”“Siapa dia?”“Mantan pacar istri saya. Jadi istri saya pernah dikirimin coklat sama dia atas nama saya. Satu-satunya orang yang kemungkinan dendam sama Maya cuma dia. Dia juga pernah ganggu Maya di parkiran mall dan untungnya ada Martin yang nolongin.”“Say
Melalui teman Adam yang menjadi Jaksa, mereka mendatangi korban Handoko. Wanita itu memilih hidup sederhana dengan bertani dan beternak di Subang.“Maaf, kalau kedatangan saya membuka luka lama Ibu Ayun. Tapi saya sungguh butuh informasi lengkap tentang Handoko.” Ucap Reihan.“Tidak apa-apa, Pak. Saya mengerti. Saya harap istri bapak segera ditemukan.”“Benar dulu Ibu Ayun pernah menjalin hubungan dengan Handoko?” tanya Pak Prambudi.“Iya, Pak. Saat itu saya karyawan baru di pabrik sepatu. Handoko menjadi pengawas di sana. Banyak yang iri karena dia masuk melalui jalur koneksi. Apalagi usianya masih muda. Dia terus dekatin saya sampai akhirnya saya percaya kalau dia tertarik sama saya. Dia bahkan janjikan banyak hal ke saya, bikin saya tambah percaya dia bakal nikahin saya. Sampai suatu hari saya tahu dia konsumsi narkoba. Saya takut dan memilih untuk putus dari dia. Dia ngamuk seperti orang kesetanan. Saya diperkosa, dipukuli, dan ditusuk perutny
Zahra dan Helen membujuk Shafira untuk makan tapi selalu ditolak. Padahal tubuhnya demam. Ray menarik tubuh Shafira agar bangun. Gadis itu menangis di pelukan Ray.“Dia nggak balas pesan aku. Telepon juga nggak diangkat. Aku nggak mau putus. Aku cinta mati sama dia.”Ray tahu pasti cinta Shafira yang dalam untuk pria itu. Shafira bahkan rela menyamar menjadi pelayan cafe di tempat temannya agar bisa lebih dekat dengan Doni.Ray menghapus sisa-sisa air mata Shafira. “Sekarang makan dulu, minum obat, kalau kamu nurut aku bawa nemuin dia.”“Dia pasti nggak mau ketemu aku lagi. Aku sudah bohongi dia. Dia paling benci pembohong.”“Seenggaknya kamu bisa jelasin ke dia alasan kamu bohong. Kalau dia ngerti syukur, kalaupun dia tetap nggak mau lanjutkan hubungan, relakan.” Shafira menangis lagi. “Sini Aa Ray suapin anak manja.” Ray mengambil piring berisi makanan dari Helen. “Keahlianmu maling kembang pengantin nggak diragukan lagi, Doni nggak mun
Ardi dan Rachel kompak menepukkan spon bedak ke pipi Gunawan karena kalah main ular tangga. Reihan tersenyum melihatnya. Dia bersyukur Ardi sudah bisa dekat dengan ayah kandungnya. Walau masih memanggil dengan sebutan Om. Mereka sepakat akan memberitahu Ardi bila sudah cukup umur.“Aduh, Om payah. Masa main ular tangga kalah terus. Mukanya jadi kayak donat gula.” Ardi geleng-geleng lalu menghela napas. Gunawan tersenyum malu.“Masa sudah gede kalah sama anak kecil.” Rachel menepuk dahinya.“Iya, deh, yang lagi merasa hebat.”Ardi mengajak Rachel bermain bola besar kesukaan mereka. Gunawan mengawasi dari kejauhan. Hatinya bahagia bisa sedekat ini dengan anaknya.“Waktunya minum obat.” Reihan mengingatkan. Dia meletakkan nampan berisi obat dan air putih.Gunawan meminum obatnya tanpa protes. Maya memotret dengan ponselnya dan mengirimkan ke Dokter Hilda.“Kalian sekarang jadi sekutunya Hilda. Nyebelin banget.”“Ki
Ray tersenyum geli melihat Zahra yang mengenakan kemeja birunya. Kemejanya seolah menenggelamkan tubuh langsing gadis itu. Zahra naik ke ranjang dan menyandarkan punggungnya pada dada bidang Ray.“Ray, rasanya nyaman banget seperti ini.” Dikecupnya berulang kali punggung tangan kanan Ray.Ray singkap rambut panjang Zahra dan mengecup mesra lehernya. Didekapnya lembut tubuh itu. Zahra menikmati leher jenjangnya dimesrai.“Mau jalan ke mana?”“Nggak tahu, deh. Bingung.”Zahra berbalik. Dia duduk di pangkuan Ray. Dua tangannya meraba dada bidang Ray yang polos. Dia mengecupinya lalu naik ke leher. Dia tertawa senang ketika tubuhnya ditindih. Bibirnya menyambut penuh gairah bibir Ray.“Rambut kamu sudah panjang, Sayang. Besok aku temani ke salon.”“Boleh. Sekalian kencan pertama kita.”Zahra mengangguk setuju. Dia tertawa geli ketika Ray menggelitik perutnya.“Ray, ah, geli, Ray,”Zahra berhasil me
Maya menyambut senang adik iparnya yang datang bersama Riyan dan Diana. Dia mencubit gemas pipi Ray saking kangennya.“Tolong, ya, tangan dikondisikan.” Ujar Reihan melirik sebal.“Ray gemesin kayak boneka.”Reihan ikut mencubit gemas pipi adiknya. Diana tertawa geli melihat itu. Riyan memberikan parcel buah pir untuk Maya.“Tante makasih banyak. Tahu aja kalau lagi pengin yang seger.”“Ibu hamil pasti penginnya makan yang seger. Malah dulu tante pas hamil Riyan pengin makan bakso yang pedes banget tapi nggak boleh. Kasihan bayinya.”“Iya, Tan. Aku kangen banget makan sambel ikan asin jambal yang super pedes. Tapi nunggu sampai lahiran aja.”Diana dan Riyan hanya sebentar bertamu lalu pamit karena mau jalan-jalan. Ray mengantar mereka hingga keluar gerbang. Setelah mobil Riyan pergi, dia melihat mobil lain berhenti di depan pagar. Dia tak jadi mengunci pintu gerbang. Xavier keluar dari mobil.“Ray,” sapa Pak Xav
Zahra terkesiap ketika bahunya ditepuk oleh Martin. Dia tersenyum.“Pagi-pagi sudah ngelamun.”Zahra tak punya kalimat apapun untuk menjawab Martin. Sudah berhari-hari pikirannya dipenuhi oleh Ray dan ciumannya. Dia akui menyesal tidak membalas ciuman Ray. Saat menjenguk Ardi di rumah sakit tempo lalu, dia sengaja tidak menyapa pria itu. Dia masih bingung bagaimana harus bersikap.“Kamu mau ikut main golf nggak?”“Nggak. Mau di rumah aja.”“Pagi,” sapa Pak Thomas. Dia duduk di seberang mereka. “Zahra, kapan Pak Gunawan operasi transplantasi?”“Lusa, kenapa, Pa?”“Kalau mau jenguk kabari Papa. Sore ini Papa dan Martin harus balik ke Singapura.”“Kalian gitu banget sama aku, ditinggalin terus. Lama-lama aku minggat juga.” Zahra meletakkan garpu dan sendoknya di piring, tak jadi sarapan.Pak Thomas saling pandang dengan Martin. Belum sempat mereka menjelaskan, Zahra sudah beranjak menuju kamarnya di atas.
Reihan dan Maya menyiapkan berbagai hidangan lezat untuk menyambut para tamu. Mereka mengadakan syukuran karena masalah pelik yang ada berakhir dengan damai. Pihak Gunawan mencabut perkara hak asuh Ardi dan mengikhlaskan Ardi dirawat oleh pihak Reihan. Gunawan tidak mau Ardi memiliki moment buruk dalam hidup seperti dirinya. Reihan membebaskan Gunawan untuk menemui Ardi kapanpun dia mau. Kesepakatan tersebut disambut baik oleh kedua belah pihak.Reihan menggandeng Ardi untuk menemui Gunawan. Anak itu masih takut dan bersembunyi di belakang tubuhnya. Reihan membujuk lembut untuk mau berjabat tangan dengan Gunawan.“Jangan dipaksa, Rei.” Suara Gunawan bergetar sedih. Akibat ulahnya anak kandungnya sendiri takut hanya untuk sekedar melihatnya.“Sayang, Om Gunawan orang baik. Beliau ingin jadi teman Ardi dan Rachel.” Maya menyatukan tangan Ardi dan Rachel. “Kalian mau, kan, jadi temannya Om Gunawan?”“Om Gunawan bawa banyak mainan buat kita. Baik bang
Reihan prihatin melihat Gunawan yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Banyak peralatan medis yang terpasang di tubuhnya. Pria yang dia kenal kejam dan mampu melakukan apapun karena kekayaan dan kekuasaan yang dipunya, sekarang hanyalah pria tak berdaya.“Terima kasih sudah mau menjenguk Pak Gunawan.” Xavier berdiri di sebelahnya. “Beliau sudah melewati masa kritis.” Memandang sedih bosnya. “Oiya, bagaimana keadaan Ardi?”“Dia masih belum bisa bicara. Tapi kami sudah konsultasi dengan ahli terapi bicara dan Psikolog anak. Dia sedang menjalani terapi.”“Semoga Ardi lekas bisa berbicara kembali.”“Kalau begitu, saya pamit. Bila Gunawan sudah siuman segera hubungi saya.”Sampai di rumah, Reihan mendapati Ardi sedang menggambar. Dia mengecup pipi anaknya dengan gemas. Ardi menggambar anggota keluarga mereka. Rachel yang jahil memprotes gambar Ardi.“Aku cantik, masa di gambar jelek gini.” Rachel membaca kalimat yang Ardi tulis.
Reihan lumayan terkejut dengan kedatangan Nani dan Adam yang mendadak. Wajah mereka nampak khawatir.“Ada apa? Tumben nggak kasih kabar dulu kalau mau datang.”“Aku mau kalian jujur,” Nani menatap serius mereka. “Apa dia ganggu kalian?”“Dia siapa?” tanya Maya.“Mas Gunawan.”Reihan dan Maya saling pandang khawatir. Mereka mengangguk pelan.“Dari mana kamu tahu dia mulai mengusikku?” Reihan memikirkan berbagai kemungkinan yang terjadi.“Ada yang mau aku sampaikan. Jujur aku nggak enak banget ngomong ini sama kalian.” Adam menghela napas lelah. “Tapi tetap harus aku sampaikan.” Adam membuka map yang sedari tadi dipegangnya. “Dia menunjuk papaku sebagai kuasa hukumnya untuk merebut hak asuh Ardi.”Reihan dan Maya membaca berkas tersebut. Mereka pernah memikirkan hal ini dan siap menghadapi Gunawan untuk memperjuangkan Ardi. Namun mereka tak menyangka bila yang harus mereka hadapi Papa Adam.“Papa sebenarn
Ray memberikan air mineral dingin dalam kemasan botol pada Zahra. Shafira datang dengan semangkuk es krim.“Rasanya pengin berendam di kolam es buah.” Shafira menyuap es krimnya. “Bawel banget emaknya. Pengin aku lakban.”Zahra mengelus punggung Shafira untuk menenangkan. “Sabar, orang sabar disayang Doni.”Shafira tersenyum simpul. “Untung anaknya pengertian. Aku jadi nggak enak sendiri, anaknya minta maaf terus.”“Memang masalahnya apa?” Ray duduk di sebelah Shafira.“Makanannya. Dia bilang nggak enak. Salah sendiri pilih menu nggak jelas. Aku sudah saranin ikut menu favorit, emaknya nggak mau. Makanan setengahnya jeroan semua. Gulai otak sapi, sambal goreng hati sapi, soto babat sapi, sate ampela hati ayam, haduh nggak jelas banget. Nggak semua orang bisa makan menu begitu, apalagi yang sudah tua. Aku sampai lihat bapak-bapak sudah sepuh, cuma makan nasi sama kerupuk udang doang. Aku malu banget sebagai penyelenggara WOnya. Baru kali i