Maya memberanikan diri menatap ibu Handoko. Dia harus bisa meluluhkan hati wanita paruh baya itu.
“Ibu, kalau ibu tetap memaksa aku harus beli gaun pengantin itu, aku ada solusi. Untuk gedung, WO, dan catering kita bisa pakai jasa dari temanku.”Ibu Handoko masih memasang wajah cemberut. Maya mengeluarkan brosur hotel Nani, WO Shafira, dan Catering Reihan.“Sahabatku, Nani, dia bersedia meminjamkan hotelnya untuk resepsi pernikahan. Dia bahkan nggak menarik bayaran untuk itu. WO Shafira, kita bisa diskusi dengan mereka konsep pernikahan yang kita mau seperti apa, mereka akan buat sesuai dengan budget kita. Catering Restoran Nusantara untuk harga terjangkau dan kualitas rasa terjamin. Ibu ingat, kan, waktu kita pakai jasa Restoran Nusantara untuk acara temu keluarga, itu punya Reihan, temanku. Ibu pasti sudah tahu kualitas makanannya. Ibu bahkan bilang sendiri waktu itu rasa makanannya enak sekali, ngalahin makanan di hotel-hotel berkelas.”“Iya, BTerdengar salam dari ruangan depan restoran. Anak-anak langsung memeluk Maya dengan erat. Mereka menciumi pipi Maya tanpa henti. Silva geleng-geleng melihat hal itu.“Sayang, bisa habis pipi Tante Maya sama kalian.” Fadil terkekeh akan kelakuan dua cucunya. “Sampai papanya dianggurin begitu.” “Namanya juga habis manis sepah dibuang.” Reihan mengelus kepala Ardi.Dua anaknya melepas pelukan pada Maya lalu beralih memeluk dan menciumi pipi Papa mereka, tapi hanya sebentar lalu beralih lagi ke Maya.“Sayang, nanti lanjut lagi peluk dan ciumnya di apartemen. Papa kalian ada acara di Bandung sore ini.” Maya memberikan pengertian pada mereka.Reihan mengecek sekali lagi keadaan restoran. Setelah merasa semua aman, dia keluar bersama keluarganya dan Maya. Reihan memeluk dua anaknya sebelum masuk taksi. Mencium pipi mereka dengan gemas. Dia berpamitan pada Tante Silva dan Om Fadil.“Maya, titip anak-anak, ya.”“Iya, Rei. Tenang
Ray melihat dua ponakannya duduk di sofa ruang tengah dengan tatapan lesu. Bibir mereka cemberut. Tidak bersemangat.“Kalian kenapa?” Ray duduk di sebelah Rachel.“Tante Maya kapan pulang, Om?” Ardi berpindah duduk di sebelah Ray.“Belum tahu, Sayang. Nanti Om tanyain ke Tante Maya, ya.”“Sudah kangen banget, nih.” Ucap Rachel manja. “Kalau Tante Maya pulang, kita nginap di tempat tante, ya.”Ray mengangguk menyetujui. Dua ponakannya mengeluarkan mainan mereka dari boks. Memilih mainan yang mereka suka. Ray masuk ke kamar kakaknya. Dia mendapati kakaknya tengah bermalas-malasan di kasur.“Tumben nggak ke restoran habis jemput mereka sekolah.” Ray merebahkan diri di dekat kakaknya.“Lagi pengin istirahat.”Ray meraih ponsel kakaknya yang tergeletak di kasur. Dia membuka galeri foto, berhenti saat melihat foto punggung kakaknya yang dikerik.“Ini dikerikin Tante Silva?”“Maya.”Ray terte
Maya kembali ke Jakarta dengan hati yang ringan. Pasalnya setelah bicara dengan orangtuanya melalui telepon, ibu Handoko akhirnya luluh dan menyetujui usulnya. Sesampainya di Jakarta, Maya membicarakan dengan Nani terkait tawaran menggunakan hotelnya.“Syukurlah, calon mertuamu mau mengerti.” Nani mengelus bahu Maya. “Sekarang sudah nggak ada yang dipusingin lagi.”“Makasih, ya, atas semua bantuan kamu ke aku. Aku nggak tahu gimana balasnya.”“Aku sudah anggap kamu kayak saudara perempuanku sendiri. Jadi jangan pernah sungkan untuk minta bantuanku kalau kamu lagi ada masalah.”Bel berbunyi, Maya melihat di layar monitor siapa tamunya. Dia meminta Nani mengerjai mereka. Maya berlari ke kamar untuk sembunyi. Nani membuka pintu.Ardi dan Rachel langsung menanyakan keberadaan Maya tapi Nani bilang Maya belum pulang. Mereka tidak percaya. Mereka memanggil Maya berulang kali, tapi tidak ada sahutan.“Papa, Tante Maya di mana?” Rachel s
Maya menyandarkan kepala pada bahu tunangannya. Dia bahagia bisa menghabiskan waktu bersama. Handoko memeluknya dari samping.“Sayang, kamu beneran nggak mau jalan-jalan? Mumpung weekend ini aku luang.”“Nggak, kayak gini aja sudah cukup.” Maya mengangkat sandaran kepalanya. Dia menatap penuh cinta wajah kekasihnya.Handoko mengecup kening Maya. “Maaf, ya, selama kamu di Jakarta, aku terlalu sibuk dengan pekerjaan jadi kurang memperhatikan kamu. Maafkan kelakuan ibu aku yang sudah nyakitin hati kamu.”“Yang penting sekarang ibu kamu sudah ngerti dan nggak ada halangan lagi bagi kita untuk menikah.”Handoko memeluk mesra Maya. Bibirnya mengecup kening lalu turun kedua pipi. Saat akan mencium bibir, Maya menahan dengan tangan. Dia meminta maaf. Sebagai gantinya dia mengecup tangan Maya.“Sampai kita menikah, ya, Sayang.” Ucap Maya lembut. Handoko mengangguk mengerti.Tak munafik, dia juga ingin merasakan ciuman itu. Tapi e
Maya menahan napas ketika tubuh itu memerangkapnya di tembok. Tangan kiri pria itu memeluk pinggangnya. Tangan kiri meraih dagunya. Bibir pria itu mendarat di pipi. Maya memejamkan mata menikmati sentuhan lembut itu.“Reihan,” ucapnya pelan.Matanya terbuka, menatap sayang mata teduh itu. Kedua tangannya mengalung mesra ke tengkuk. Wajah mereka semakin dekat. Bibir bersatu tanpa permisi. Matanya terpejam lagi merasakan kelembutan bibir Reihan. Dia membuka diri menerima seluruh perhatian pria itu. Ciuman yang dia nantikan selama ini. Hanya dengan sentuhan di bibir, Reihan mampu membangkitkan gairahnya. Bibirnya terus meminta perhatian lebih.Tubuhnya terangkat dalam gendongan. Dia menautkan kedua kakinya di pinggang pria itu. Tangannya menekan kepala Reihan agar ciuman mereka semakin dalam. Tubuhnya dibaringkan perlahan di ranjang.“Reihan, aku sayang kamu.”Bibir mereka saling terpagut kembali. Dia sangat menikmati ciuman ini. Dia suka. D
Ardi dan Rachel bermain bola besar di halaman depan restoran. Ardi tertawa ketika Rachel jatuh karena tidak kuat menahan laju bola yang menggelinding ke arahnya. Dia menghampiri Rachel dan membantunya berdiri. Mereka bermain lagi. Kali ini bola menggelinding ke arah parkiran mobil. Ardi berlari kecil mengambilnya. Tangannya hendak menyentuh bola besar itu namun tangan yang lain sudah lebih dulu mengambilnya.“Hati-hati mainnya, Sayang.” Pria itu membelai lembut kepala Ardi.“Iya, Om.” Ardi menerima bola besarnya dari pria itu. “Terima kasih, Om.”“Siapa namanya?”“Ardi.”Pria itu memandangi Ardi untuk beberapa saat. Mata Ardi mengingatkannya pada wanita itu.“Om pamit, ya, Ardi main lagi. Kapan-kapan kita ketemu lagi.”Ardi mengangguk dan melambaikan tangan sebagai balasan untuk pria tersebut. Mobil melaju meninggalkan restoran.“Ardi, jangan sembarangan ngomong sama orang yang nggak kita kenal. Kalau Papa tahu
Zahra mendekati tunangannya yang tengah membaca koran pagi. Matanya mengarah pada cangkir teh di meja yang sudah berkurang setengah. Tandanya sebentar lagi Martin akan berangkat kerja.“Ada yang mau aku omongin. Bisa fokus dulu ke aku?” ucapnya manja.Martin melipat korannya. Matanya beralih fokus pada tunangannya. Zahra memberanikan diri menatap mata elang itu.“Aku bosan di rumah.”“Lalu?”“Aku butuh hiburan.”“Seperti?”“Boleh nggak aku ikut Ray dan Riyan syuting ke Bogor?”“Berapa lama?”“Mungkin 2 sampai 3 hari. Kalau misal lebih dari 3 hari, aku langsung pulang. Nanti aku hubungi supir untuk minta jemput.”Zahra memperhatikan wajah Martin yang cenderung akan menolak permintaannya.“Boleh, ya? Please, Sayang.”Martin membelai lembut pipi Zahra. “Ok, aku ijinkan. Tapi hanya 2 hari.”“Iya, nggak apa-apa. Itu juga sudah cukup buat aku. Makasih, Sayang.”Zah
Ardi dan Rachel naik ke kasur Reihan dengan boneka beruang besar. Mereka memanggil-manggil Papa mereka dengan heboh. Reihan keluar dari kamar mandi.“Kalau beruangnya ikut bobo di sini, Papa bobo di mana?”“Beruangnya di pinggir jagain kita.” Ardi meletakan boneka beruangnya di pinggir tempat tidur. Begitu juga dengan Rachel.Reihan merebahkan diri di tengah-tengah mereka. Dia menaikkank selimut.“Papa, sebentar lagi kita liburan sekolah. Piknik, yuk.” Usul Rachel. “Mau ke mana?”“Ke mana, ya? Nurut Papa ke mana?”“Papa juga bingung. Nanya Om Ray aja nanti.”Terdengar ketukan di pintu. Ray masuk untuk meminjam charger ponsel. Reihan menunjuk laci bufet.“Ray, anak-anak bentar lagi liburan sekolah. Enaknya liburan ke mana?”“Nanti aku pikirin dulu tempat yang asyik buat piknik kita.”“Papa, boleh telepon Tante Maya? Mau ngucapin selamat bobo.”Reihan mengambil ponselnya dan me
Zahra dan Helen membujuk Shafira untuk makan tapi selalu ditolak. Padahal tubuhnya demam. Ray menarik tubuh Shafira agar bangun. Gadis itu menangis di pelukan Ray.“Dia nggak balas pesan aku. Telepon juga nggak diangkat. Aku nggak mau putus. Aku cinta mati sama dia.”Ray tahu pasti cinta Shafira yang dalam untuk pria itu. Shafira bahkan rela menyamar menjadi pelayan cafe di tempat temannya agar bisa lebih dekat dengan Doni.Ray menghapus sisa-sisa air mata Shafira. “Sekarang makan dulu, minum obat, kalau kamu nurut aku bawa nemuin dia.”“Dia pasti nggak mau ketemu aku lagi. Aku sudah bohongi dia. Dia paling benci pembohong.”“Seenggaknya kamu bisa jelasin ke dia alasan kamu bohong. Kalau dia ngerti syukur, kalaupun dia tetap nggak mau lanjutkan hubungan, relakan.” Shafira menangis lagi. “Sini Aa Ray suapin anak manja.” Ray mengambil piring berisi makanan dari Helen. “Keahlianmu maling kembang pengantin nggak diragukan lagi, Doni nggak mun
Ardi dan Rachel kompak menepukkan spon bedak ke pipi Gunawan karena kalah main ular tangga. Reihan tersenyum melihatnya. Dia bersyukur Ardi sudah bisa dekat dengan ayah kandungnya. Walau masih memanggil dengan sebutan Om. Mereka sepakat akan memberitahu Ardi bila sudah cukup umur.“Aduh, Om payah. Masa main ular tangga kalah terus. Mukanya jadi kayak donat gula.” Ardi geleng-geleng lalu menghela napas. Gunawan tersenyum malu.“Masa sudah gede kalah sama anak kecil.” Rachel menepuk dahinya.“Iya, deh, yang lagi merasa hebat.”Ardi mengajak Rachel bermain bola besar kesukaan mereka. Gunawan mengawasi dari kejauhan. Hatinya bahagia bisa sedekat ini dengan anaknya.“Waktunya minum obat.” Reihan mengingatkan. Dia meletakkan nampan berisi obat dan air putih.Gunawan meminum obatnya tanpa protes. Maya memotret dengan ponselnya dan mengirimkan ke Dokter Hilda.“Kalian sekarang jadi sekutunya Hilda. Nyebelin banget.”“Ki
Ray tersenyum geli melihat Zahra yang mengenakan kemeja birunya. Kemejanya seolah menenggelamkan tubuh langsing gadis itu. Zahra naik ke ranjang dan menyandarkan punggungnya pada dada bidang Ray.“Ray, rasanya nyaman banget seperti ini.” Dikecupnya berulang kali punggung tangan kanan Ray.Ray singkap rambut panjang Zahra dan mengecup mesra lehernya. Didekapnya lembut tubuh itu. Zahra menikmati leher jenjangnya dimesrai.“Mau jalan ke mana?”“Nggak tahu, deh. Bingung.”Zahra berbalik. Dia duduk di pangkuan Ray. Dua tangannya meraba dada bidang Ray yang polos. Dia mengecupinya lalu naik ke leher. Dia tertawa senang ketika tubuhnya ditindih. Bibirnya menyambut penuh gairah bibir Ray.“Rambut kamu sudah panjang, Sayang. Besok aku temani ke salon.”“Boleh. Sekalian kencan pertama kita.”Zahra mengangguk setuju. Dia tertawa geli ketika Ray menggelitik perutnya.“Ray, ah, geli, Ray,”Zahra berhasil me
Maya menyambut senang adik iparnya yang datang bersama Riyan dan Diana. Dia mencubit gemas pipi Ray saking kangennya.“Tolong, ya, tangan dikondisikan.” Ujar Reihan melirik sebal.“Ray gemesin kayak boneka.”Reihan ikut mencubit gemas pipi adiknya. Diana tertawa geli melihat itu. Riyan memberikan parcel buah pir untuk Maya.“Tante makasih banyak. Tahu aja kalau lagi pengin yang seger.”“Ibu hamil pasti penginnya makan yang seger. Malah dulu tante pas hamil Riyan pengin makan bakso yang pedes banget tapi nggak boleh. Kasihan bayinya.”“Iya, Tan. Aku kangen banget makan sambel ikan asin jambal yang super pedes. Tapi nunggu sampai lahiran aja.”Diana dan Riyan hanya sebentar bertamu lalu pamit karena mau jalan-jalan. Ray mengantar mereka hingga keluar gerbang. Setelah mobil Riyan pergi, dia melihat mobil lain berhenti di depan pagar. Dia tak jadi mengunci pintu gerbang. Xavier keluar dari mobil.“Ray,” sapa Pak Xav
Zahra terkesiap ketika bahunya ditepuk oleh Martin. Dia tersenyum.“Pagi-pagi sudah ngelamun.”Zahra tak punya kalimat apapun untuk menjawab Martin. Sudah berhari-hari pikirannya dipenuhi oleh Ray dan ciumannya. Dia akui menyesal tidak membalas ciuman Ray. Saat menjenguk Ardi di rumah sakit tempo lalu, dia sengaja tidak menyapa pria itu. Dia masih bingung bagaimana harus bersikap.“Kamu mau ikut main golf nggak?”“Nggak. Mau di rumah aja.”“Pagi,” sapa Pak Thomas. Dia duduk di seberang mereka. “Zahra, kapan Pak Gunawan operasi transplantasi?”“Lusa, kenapa, Pa?”“Kalau mau jenguk kabari Papa. Sore ini Papa dan Martin harus balik ke Singapura.”“Kalian gitu banget sama aku, ditinggalin terus. Lama-lama aku minggat juga.” Zahra meletakkan garpu dan sendoknya di piring, tak jadi sarapan.Pak Thomas saling pandang dengan Martin. Belum sempat mereka menjelaskan, Zahra sudah beranjak menuju kamarnya di atas.
Reihan dan Maya menyiapkan berbagai hidangan lezat untuk menyambut para tamu. Mereka mengadakan syukuran karena masalah pelik yang ada berakhir dengan damai. Pihak Gunawan mencabut perkara hak asuh Ardi dan mengikhlaskan Ardi dirawat oleh pihak Reihan. Gunawan tidak mau Ardi memiliki moment buruk dalam hidup seperti dirinya. Reihan membebaskan Gunawan untuk menemui Ardi kapanpun dia mau. Kesepakatan tersebut disambut baik oleh kedua belah pihak.Reihan menggandeng Ardi untuk menemui Gunawan. Anak itu masih takut dan bersembunyi di belakang tubuhnya. Reihan membujuk lembut untuk mau berjabat tangan dengan Gunawan.“Jangan dipaksa, Rei.” Suara Gunawan bergetar sedih. Akibat ulahnya anak kandungnya sendiri takut hanya untuk sekedar melihatnya.“Sayang, Om Gunawan orang baik. Beliau ingin jadi teman Ardi dan Rachel.” Maya menyatukan tangan Ardi dan Rachel. “Kalian mau, kan, jadi temannya Om Gunawan?”“Om Gunawan bawa banyak mainan buat kita. Baik bang
Reihan prihatin melihat Gunawan yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Banyak peralatan medis yang terpasang di tubuhnya. Pria yang dia kenal kejam dan mampu melakukan apapun karena kekayaan dan kekuasaan yang dipunya, sekarang hanyalah pria tak berdaya.“Terima kasih sudah mau menjenguk Pak Gunawan.” Xavier berdiri di sebelahnya. “Beliau sudah melewati masa kritis.” Memandang sedih bosnya. “Oiya, bagaimana keadaan Ardi?”“Dia masih belum bisa bicara. Tapi kami sudah konsultasi dengan ahli terapi bicara dan Psikolog anak. Dia sedang menjalani terapi.”“Semoga Ardi lekas bisa berbicara kembali.”“Kalau begitu, saya pamit. Bila Gunawan sudah siuman segera hubungi saya.”Sampai di rumah, Reihan mendapati Ardi sedang menggambar. Dia mengecup pipi anaknya dengan gemas. Ardi menggambar anggota keluarga mereka. Rachel yang jahil memprotes gambar Ardi.“Aku cantik, masa di gambar jelek gini.” Rachel membaca kalimat yang Ardi tulis.
Reihan lumayan terkejut dengan kedatangan Nani dan Adam yang mendadak. Wajah mereka nampak khawatir.“Ada apa? Tumben nggak kasih kabar dulu kalau mau datang.”“Aku mau kalian jujur,” Nani menatap serius mereka. “Apa dia ganggu kalian?”“Dia siapa?” tanya Maya.“Mas Gunawan.”Reihan dan Maya saling pandang khawatir. Mereka mengangguk pelan.“Dari mana kamu tahu dia mulai mengusikku?” Reihan memikirkan berbagai kemungkinan yang terjadi.“Ada yang mau aku sampaikan. Jujur aku nggak enak banget ngomong ini sama kalian.” Adam menghela napas lelah. “Tapi tetap harus aku sampaikan.” Adam membuka map yang sedari tadi dipegangnya. “Dia menunjuk papaku sebagai kuasa hukumnya untuk merebut hak asuh Ardi.”Reihan dan Maya membaca berkas tersebut. Mereka pernah memikirkan hal ini dan siap menghadapi Gunawan untuk memperjuangkan Ardi. Namun mereka tak menyangka bila yang harus mereka hadapi Papa Adam.“Papa sebenarn
Ray memberikan air mineral dingin dalam kemasan botol pada Zahra. Shafira datang dengan semangkuk es krim.“Rasanya pengin berendam di kolam es buah.” Shafira menyuap es krimnya. “Bawel banget emaknya. Pengin aku lakban.”Zahra mengelus punggung Shafira untuk menenangkan. “Sabar, orang sabar disayang Doni.”Shafira tersenyum simpul. “Untung anaknya pengertian. Aku jadi nggak enak sendiri, anaknya minta maaf terus.”“Memang masalahnya apa?” Ray duduk di sebelah Shafira.“Makanannya. Dia bilang nggak enak. Salah sendiri pilih menu nggak jelas. Aku sudah saranin ikut menu favorit, emaknya nggak mau. Makanan setengahnya jeroan semua. Gulai otak sapi, sambal goreng hati sapi, soto babat sapi, sate ampela hati ayam, haduh nggak jelas banget. Nggak semua orang bisa makan menu begitu, apalagi yang sudah tua. Aku sampai lihat bapak-bapak sudah sepuh, cuma makan nasi sama kerupuk udang doang. Aku malu banget sebagai penyelenggara WOnya. Baru kali i