Vivian Maretta mengecek arloji untuk kesekian kalinya. Dia menahan diri agar tidak mendengkus kencang. Ini risiko yang harus dihadapinya karena memilih karier yang –bisa dibilang- antimainstream. Jam kerjanya ditentukan oleh mood seorang aktris muda yang sedang menjadi pusat perhatian di Indonesia.
Sekali lagi, Vivian menunduk untuk memastikan penampilannya cukup memenuhi standar sang bos. Dia mengenakan gaun selutut berwarna krem dengan kerah sabrina yang menampakkan bahunya. Sebuah bros berbentuk kuncup mawar disematkan di dada kirinya. Lalu, stiletto merah menjadi pelengkap penampilan Vivian. Gadis itu sekali lagi memeriksa clutch bag sewarna sepatunya yang sejak tadi berada di pangkuan.
“Semoga hari ini hidupku lancar-lancar aja, tanpa drama atau tragedi apa pun,” harapnya.
Dalam kesehariannya, Vivian bukan jenis cewek yang suka berdandan. Namun, pekerjaan mengharuskannya tampil cantik dan glamor pada saat tertentu. Untungnya, aktris yang menjadi bosnya memiliki selera mode yang bagus yang cukup sesuai dengan apa yang diinginkan Vivian. Sehingga gadis itu tidak pernah merasa keberatan mengenakan kostum yang sudah disiapkan.
Usia Vivian baru melewati angka 22 beberapa bulan silam. Dia adalah gadis jangkung setinggi 172 sentimeter dengan kulit kuning langsat. Rambut hitam Vivian melewati bahu, membingkai wajahnya yang berbentuk oval. Hidungnya sedang dengan mata bulat dan alis lebat. Bibir bawahnya tebal. Ketika dia tersenyum atau tertawa, ada lesung pipit di pipi kanannya.
“Kenapa kamu punya lesung pipit dan bibir seksi, sih? Kamu juga jangkung, Vi. Aku iri, tau!” keluh sahabatnya, Leona, bekali-kali. “Kenapa kamu punya semua hal-hal keren yang diimpikan cewek lain? Ini betul-betul nggak adil!”
“Bibirku nggak seksi,” bantah Vivian. “Kamu cuma kurang tinggi dua sentimeter dariku, Na! Nggak perlu merasa jadi makhluk hidup yang paling jelek, deh! Sejak kita kenal, kayaknya keluhanmu itu-itu melulu. Nggak bosan apa?”
“Itu namanya konsisten. Kalau keluhannya beda-beda padahal objeknya sama, itu yang disebut labil,” tangkis Leona.
Obrolan di masa lalu itu membuat Vivian tersenyum. Sayang, sekarang Leona tidak berada di Jakarta. Sehingga mereka tak bisa bertemu dan mengobrol heboh seperti dulu lagi. Mereka terpaksa bertukar kabar via sambungan telepon atau video call saja.
Vivian sedang duduk di ruang tamu mewah milik Cynthia Pasha, aktris yang sudah malang melintang di dunia hiburan Tanah Air sejak SMP. Cynthia baru saja usai menjalani syuting film layar lebar keempatnya yang mengambil lokasi di Sumba. Sebenarnya, ketika suasana hatinya sedang baik, Cynthia adalah sosok supel yang cukup mengasyikkan. Sebaliknya, saat mood-nya buruk, gadis berusia 23 tahun itu menjadi penguji iman bagi orang lain.
“Cyn, berdasarkan gosip yang banyak beredar, disebut-sebut bahwa kamu adalah penderita bipolar. Karena mood kamu begitu gampang naik dan turun dalam waktu singkat. Apa itu benar?”
Pertanyaan dari salah satu wartawan hiburan itu pernah diajukan pada Cynthia dalam suatu kesempatan dan membuat sang aktris marah besar. Cynthia mencerocos di depan kamera untuk membela diri hingga salah satu pengawal pribadinya maju dan memaksa sang aktris untuk mengakhiri wawancara itu.
“Tolong ya, biasakan mengajukan pertanyaan dengan sopan,” tutup Cynthia kala itu sembari menatap ke arah kamera dengan tajam.
Hari ini, sedianya Vivian akan menggantikan Cynthia menghadiri sebuah acara makan malam dengan keluarga besarnya. Ini kali keempat Vivian melakukan hal itu. Alasannya, Cynthia sedang tidak berminat terlibat dalam berbagai acara keluarganya yang digelar di tempat umum. Konon, ada beberapa masalah yang Vivian sendiri tidak tahu pasti.
Saat-saat Cynthia tak mau menghadiri suatu acara yang dianggap cukup penting dan bisa memicu gosip miring andai ketahuan oleh wartawan, ketika itulah jasa Vivian dibutuhkan. Dia berkali-kali harus menggantikan Cynthia sejak setahun terakhir. Selain acara keluarga, Vivian juga kerap muncul di perhelatan yang tergolong sepi wartawan dan tidak dihadiri banyak orang yang mengenal Cynthia dengan baik. Tujuannya, agar identitas Vivian tak terbongkar.
“Kamu nggak pernah cemas kalau ternyata ada orang yang tau bahwa kamu bukan Cynthia dan bikin masalah di suatu acara?” tanya Leona suatu kali, tak lama setelah Vivian menerima pekerjaan unik dari sang aktris.
“Ya cemas, sih! Tapi Cynthia punya tim hebat yang bakalan bikin aku semirip mungkin sama dia,” balas Vivian. “Selama ini, hal itu udah terbukti. Nggak pernah ada yang curiga.”
Vivian melicinkan gaunnya dengan tangan kanan. Dia tak boleh berpenampilan kusut tiap kali tampil mewakili Cynthia. Di sekeliling gadis itu, beberapa orang berlalu-lalang dengan kesibukan masing-masing. Ada penata rias yang tadi sudah mendandani Vivian, pembantu rumah tangga, hingga salah satu bodyguard Cynthia yang sedang bicara di telepon dengan antusias.
Ya, Cynthia memang memiliki lebih dari satu orang pengawal pribadi yang bertugas menjaga keamanannya. Kecuali saat dia bersama sang pacar, Cynthia akan selalu diikuti oleh bodyguard. Vivian sendiri tidak paham alasan sang aktris menggunakan jasa pengawal pribadi.
Asisten Cynthia yang sudah bekerja dengan gadis itu selama hampir satu dekade, Sally, keluar dari kamar sang aktris. Dari ekspresi Sally, Vivian sudah bisa menebak apa yang terjadi. Perubahan rencana.
“Mbak, aku nggak jadi ke acara keluarganya Cynthia?” tanya Vivian tanpa tedeng aling-aling. Dia sudah menunggu lebih dari satu setengah jam. Menghabiskan waktu di ruang tamu tanpa melakukan apa pun, bagi Vivian bukan aktivitas favorit. Namun Vivian tak bisa mengajukan keberatan karena kontraknya mengharuskan untuk mengikuti semua keinginan Cynthia.
“Nggak, karena barusan papanya Cynthia nelepon, maksa dia untuk datang. Kalau nggak, Om Tommy mengancam bakalan ngomong ke wartawan bahwa Cynthia menyewamu untuk acara tertentu.” Sally mengedikkan bahu dengan mimik tak berdaya bercampur kesal. “Tadi aku udah ngingetin supaya dia datang sesekali. Sekesal-kesalnya sama keluarga, nggak pas juga kalau selalu minta kamu yang gantiin.”
Vivian mendesah lega. Itu artinya dia tak perlu mendengar omelan atau sindiran dari anggota keluarga Cynthia karena sang aktris menolak datang dan malah mengutusnya. Jika sudah begitu, Vivian biasanya berakhir dengan perasaan kikuk dan tidak tahu harus melakukan apa. Padahal, dia bukan tipikal orang yang mudah kehilangan kata-kata.
“Jangan keliatan banget kalau kamu itu lega. Ntar Cynthia ngamuk lagi,” Sally mengingatkan sambil menyeringai.
Vivian sengaja merendahkan suaranya saat bicara. “Ketemu sama keluarga Cynthia memang salah satu siksaan dunia paling kejam yang pernah kurasa, Mbak.”
Sally terkekeh. “Kalau kamu kenal Cynthia yang dulu, dia nggak sesensi sekarang. Jadi, lebih gampang untuk ngasih masukan. Bahkan sesuatu yang bernada kritik. Sekarang, kalau mau ngomong sama dia, harus bener-bener liat sikon.” Perempuan itu berdiri di seberang Vivian, sedang mengaduk-aduk isi tasnya untuk mencari sesuatu. “Tapi kamu punya tugas lain hari ini, Vi. ‘Kencan’ sama Eric.”
Nama yang disebut Sally itu membuat jantung Vivian mendadak bertingkah. Namun dia buru-buru menguasai diri, hasil “latihan” menghadapi ibunya selama bertahun-tahun. “Kenapa harus ‘kencan’, Mbak? Bukannya nanti bisa ketauan sama wartawan? Mana mungkin ada orang yang muncul di dua tempat berbeda pada saat bersamaan?” balas Vivian berlagak santai.
“Cynthia tadi minta Om Tommy untuk bikin acara di rumah aja. Bukan di restoran. Karena dia nggak mau ada wartawan yang motret. Sementara itu, Cynthia ogah kalau gosip tentang retaknya hubungan sama Eric jadi makin membesar. Makanya kamu diminta gantiin dia. Supaya para wartawan nggak terus-terusan nanya soal itu.”“Oh,” balas Vivian, kehilangan kata-kata. Di kepalanya tergambar adegan romantis yang melibatkan dirinya dengan Eric, eks atlet tenis yang sudah memacari Cynthia selama hampir dua tahun terakhir. “Apa mereka memang lagi berantem atau sejenisnya? Aku kan nggak pernah disuruh ‘nge-date’ sama Eric sebelum ini,” selidiknya ingin tahu.Sally mengeluarkan sebuah buku kecil dari tasnya dengan ekspresi puas. “Sekali-kali, Vi. Anggap aja semacam kesempatan langka. Kapan lagi bisa kencan sama cowok keren kayak Eric dengan restu pacarnya?” celoteh Sally jail. Tawa renyahnya pecah kemudian. “Merek
“Vi, ada perubahan rencana,” kata Cynthia tanpa basa-basi. “Kamu dan Eric punya waktu sekitar tiga jam. Nanti kukabari lagi kalau ada yang penting. Hape harus terus nyala, ya?”“Oke,” balas Vivian pendek. Dia sempat termangu saat Eric mengulurkan tangan kanan ke arah gadis itu. Vivian tak buru-buru menyambut tangan Eric.“Semoga aku nggak akan bikin kamu bosan selama tiga jam ke depan,” ucap cowok itu seraya menatap mata Vivian. Senyum tipis Eric terlihat lagi. Vivian menahan napas seketika. Tangan kiri Vivian akhirnya terangkat. Lalu, tatapan Eric diarahkan pada sang pacar. “Kami pergi sekarang ya, Babe,” pamitnya pada Cynthia.Vivian membiarkan tangan kirinya digenggam Eric. Dia sebenarnya merasa sangat janggal karena cowok itu melakukannya di depan Cynthia. Andai mereka sudah meninggalkan rumah itu, Vivian tidak akan terlalu keberatan. Suka, malah. Walau ini cuma kencan palsu dan gadis itu h
Serta merta, Vivian membuat bantahan. “Tapi, aku kan kangen sama Mama, Pa. Mama jarang di rumah, nggak kayak Papa. Trus tiap kali di rumah, Mama diam melulu. Sama aku malah sering marah-marah,” urainya polos. Vivian mungkin masih begitu belia. Namun dia sudah lancar berbicara sejak berumur dua tahun setengah. Peka dan cukup paham apa yang terjadi di sekelilingnya. Dia bahkan sudah tidak cadel sebelum genap berusia empat tahun.“Papa kan memang kerjanya di rumah, Sayang. Kecuali kalau harus ke Bali atau ke toko. Tapi, Mama beda. Mama memang kerjanya di luar. Nggak bisa kalau cuma di rumah aja.”Vivian menggeleng kuat-kuat, masih terisak kecil. Barry menghapus air mata putrinya dengan gerakan hati-hati.“Bundanya Salma juga kerja. Tapi kan nggak tiap hari, Pa. Tiap kami libur sekolah, bundanya kadang nggak ke kantor. Trus mereka biasanya jalan-jalan. Aku pernah lihat, Salma digendong dan dicium bundanya. Tapi, Mama biasanya marah kala
Robin Maliq meregangkan tubuhnya sambil melirik jam dinding. Sudah lewat pukul sembilan malam. Lehernya terasa pegal dan kaku. Begitu juga dengan punggungnya. Total sudah tiga jam dia duduk sambil memelototi layar laptopnya. Pria muda itu harus mengecek sederet angka dan mencocokkan dengan setumpuk berkas yang ada.Pekerjaannya menuntut ketelitian dan fokus yang tinggi. Jika ada satu saja angka yang keliru, sudah pasti Robin harus bekerja lebih lama dibanding seharusnya. Padahal, sedapat mungkin, cowok ini sangat ingin memanfaatkan waktu seefisien mungkin.Laporan keuangan itu seharusnya bisa dikerjakan orang lain. Namun mungkin itu cara ayahnya untuk membuat Robin tetap sibuk dan fokus. Sejak dia kembali ke Jakarta, sang ayah memastikan Robin menghabiskan waktu dengan produktif. Pekerjaannya tak pernah sebanyak ini karena Robin terbiasa menuntaskan tugasnya setiap hari. Inilah risiko karena dia mengambil cuti seminggu penuh. Otomatis, pekerjaan cowok itu pun bertumpuk
“Kalau gitu, mundur! Aku mau ngapain sama cewek ini, memang bukan urusanmu, kan? Abaikan kami, pura-pura nggak ngeliat apa pun. Nggak usah ikut campur.” Lalu tatapan Eric beralih pada pacarnya. “Cewek yang suka jual mahal cuma supaya dianggap misterius, layak untuk dikasih pelajaran. Kalau cuma memar di lengan, masih terlalu ringan.”Wow! Bukankah selama ini media menggambarkan Eric sebagai cowok gentleman yang rendah hati? Barusan Eric mengancam akan membuat lebih dari sekadar lengan yang memar? Jika kondisinya seperti ini, Robin tidak bisa diam saja. Dia paling anti pada cowok yang main tangan dengan kaum hawa, apa pun alasannya.“Kamu nggak apa-apa?” tanya Robin, ditujukan kepada gadis yang sedang berusaha melepaskan cengkeraman Eric. “Kamu lebih suka aku pergi atau gimana?” tanyanya nekat. Beberapa orang yang berlalu-lalang, memperhatikan dengan mata menyipit atau tatapan ingin tahu terang-terangan. Entah kar
Robin mulai berkenalan dengan minuman beralkohol sejak berumur sebelas tahun. Berawal dari ketidaksengajaan, sebenarnya. Dia sedang tidak bisa tidur, keluar dari kamar untuk mengambil air putih. Seseorang malah menawarinya untuk mencicipi minuman berwarna kuning yang mulanya ditolak anak itu.“Minuman ini bakalan bikin kamu tidur nyenyak, Bin. Lama-lama, kamu juga bakalan nggak ingat sama mamamu. Jadi kamu nggak akan terlalu sedih lagi.”Kalimat itu membuat Robin goyah, janji untuk membuat kesedihannya berkurang. Tanpa pikir panjang, dia akhirnya mencoba mencicipi minuman yang terasa membakar kerongkongannya. Anak itu sempat tersedak dan terbatuk-batuk hebat. Dia ketakutan minuman itu akan menghancurkan lehernya. Namun ternyata Robin keliru. Ketidaknyamanan itu akhirnya berubah menjadi rasa hangat yang menyebar di sekujur tubuhnya.Robin kecil sedang gundah karena banyak masalah yang menghantamnya bertubi-tubi. Setelah seumur hidup mengira bahwa diri
“Kalau aku bohong, silakan Papa buang aku. Jangan akui sebagai anak. Jangan terima aku di rumah ini,” kata Robin lagi. “Aku nggak mau jadi anak yang gagal dan cuma bisa bikin kecewa Mama. Aku akan berubah,” ulangnya dengan penuh tekad.Lalu, dia menangis tersedu-sedu sambil terduduk di lantai. Menangisi semua kesalahan dan kebodohannya. Ariel turun dari tepi ranjang, memeluk anaknya. Itulah kali pertama Robin merasakan dekapan hangat sang ayah.***Robin bergegas memasuki toko perhiasan berlabel Adiratna Maharani dengan langkah-langkah panjangnya. Kedua tangannya dipenuhi kantong-kantong plastik yang menggelembung. Mengenakan kemeja dan celana black jeans, penampilannya tampak santai. Satpam yang bertugas di pagi itu, Eko, buru-buru membukakan pintu.“Selamat pagi, Robin,” sapanya ramah dengan senyum lebar. “Kapan pulang?”“Kemarin sore,” balas Robin. &
Beberapa puluh menit sebelumnya.Vivian tidak pernah mengira “kencan” itu berjalan dan berakhir buruk. Setelah dia kembali dari toilet, gadis itu sengaja pindah tempat duduk. Dia memilih untuk menarik kursi di depan Eric. Melihat apa yang dilakukannya, cowok itu menunjukkan ketidaksenangan.“Aku lebih suka duduk berhadapan sambil ngobrol. Kalau nggak ngeliat wajah lawan bicara, rasanya kok kurang enak,” argumen Vivian tadi saat Eric bertanya alasannya pindah.Sepanjang acara makan malam itu, Vivian merasa tidak nyaman berkali-kali. Eric tampaknya memutuskan untuk bersandiwara tak tanggung-tanggung. Menunjukkan bahwa hubungannya dengan Cynthia tak terganggu dengan gosip di luar sana.Bisa menebak apa yang dilakukan cowok itu? Eric membuka sepatu dan mengelus betis Vivian dengan punggung kakinya. Ketidaknyamanan membuat Vivian mengubah posisi duduknya hingga kaki Eric tak bisa menjangkaunya.“Tolong, nggak usah menyentuh
Tujuh bulan kemudian....Vivian membenahi letak pigura yang berada di atas lemari pajangan. Benda itu berisi salah satu fotonya saat balita. Ketika pertama kali menginjakkan kaki di rumah yang ditempati Serena sejak pindah ke Ubud ini, foto itu mengejutkan Vivian. Dia tak pernah mengira jika ibunya menyimpan beberapa hasil jepretan kamera ayahnya di masa lalu.Gadis itu menghela napas. Dokter memperkirakan ibunya hanya memiliki waktu selama tiga bulan maksimal. Namun Tuhan memberi hadiah yang luar biasa, berupa tambahan waktu selama empat bulan lagi. Total Vivian sudah tinggal di Ubud selama tujuh bulan terakhir.Jika diingat lagi, Vivian menyayangkan pilihan Serena untuk menyembunyikan penyakit fatal yang dideritanya dari semua orang. Hanya Shinta yang tahu. Jika Vivian sudah tahu sejak awal, mungkin dia akan menghabiskan lebih banyak waktu bersama Serena yang berubah menjadi ibu yang penuh cinta di saat-saat terakhirnya.Kini, penderitaan Serena sudah b
Vivian dan Serena menghabiskan waktu bersama sekita satu jam di teras. Setelah hari kian sore dan suhu lebih dingin, mereka pun masuk ke dalam rumah. Vivian menggandeng lengan kiri ibunya. Robin tidak kembali ke teras, tampaknya memberi waktu pada Vivian dan Serena. Ternyata cowok itu sedang menonton televisi di ruang keluarga.Robin tersenyum lebar begitu melihat Vivian dan ibunya. Serena bergabung dengan Robin sementara Vivian memilih untuk mandi. Sebelumnya, dia sempat mendatangi dapur untuk membantu Shinta yang tampaknya sedang menyiapkan makan malam.“Ada yang bisa saya bantu nggak, Mbak?” tanya Vivian. Dia baru tahu dari Serena bahwa Shinta berasal dari kota Demak. Tadinya, perempuan itu bekerja sebagai petugas kebersihan di resor. Saat kontraknya habis dan tak dilanjutkan, Shinta pun sempat tak memiliki pekerjaan. Di saat yang sama, Serena pindah di rumah itu. Shinta yang sering dimintai tolong oleh Serena pun diajak serta dan ditawari pekerjaan seba
Ketiga paman Vivian menyambut Vivian dengan pelukan hangat karena mereka memang sudah lumayan lama tak bersua. “Apa kamu bakalan lama di sini, Vi?” tanya kakak tertua ayahnya, Herman. Keluarga ayah Vivian tahu betul apa yang terjadi pada rumah tangga Barry-Serena. Namun semua orang tetap bersikap baik pada ibunda Vivian.“Sampai Mama sembuh, Om,” sahut Vivian dengan penuh keyakinan.“Om pun nggak tau kalau mamamu sakit. Tiap kali ke sini untuk ngantor atau rapat, nggak ada tanda-tanda kalau Serena lagi sakit. Cuma memang belakangan berat badannya mulai turun. Tiap kali ditanya, mamamu cuma bilang kalau dia lagi diet,” imbuh paman Vivian yang lain, Mirza.Robin juga disambut dengan sikap hangat oleh ketiga saudara ayah Vivian. Semua tertarik saat tahu bahwa Robin pernah berkuliah mendalami bidang forensik yang kemudian malah terjun menjadi seorang perancang cincin. Banyak pertanyaan yang ditujukan untuk cowok itu. Menurut Vivia
“Jangan marahin Mbak Shinta, Ma. Memang udah seharusnya aku dan Papa tau kalau kondisi Mama lagi sakit. Kenapa selama ini Mama nggak pernah ngomong apa-apa?” tanyanya dengan suara bergelombang. Serena tak segera menjawab. Perempuan itu mengelus punggung putrinya dengan lembut. Vivian juga menangkap isak halus yang meluncur dari bibir ibunya. “Karena Mama nggak mau nyusahin siapa pun, Vi. Apalagi, Mama punya banyak salah sama kamu dan Papa. Mama nggak punya nyali untuk ngomongin penyakit Mama.” Hati Vivian tercabik-cabik. Dia memang memiliki banyak sekali kebencian pada ibunya sejak bertahun silam. Namun, di detik ini, Vivian tahu bahwa semua perasaan negatifnya itu sudah mendebu. Membayangkan ibunya tak ada lagi di dunia ini sebelum hubungan mereka membaik, membuat Vivian susah untuk bernapas. “Aku akan tinggal di sini, nemenin Mama. Sampai Mama sembuh,” ungkap Vivian sembari merenggangkan dekapannya. Gadis itu mengusap air matanya dengan punggung tangan kana
Vivian benar-benar kehilangan tenaga. Dia terduduk di tepi ranjang dengan tubuh seolah baru saja berubah menjadi jeli. Dia cuma memandangi Debby dan Barry yang sibuk menyiapkan koper berikut segala keperluan gadis itu. Dia akan terbang ke Bali beberapa jam lagi untuk melihat sendiri kondisi Serena.Sekitar satu jam lalu, Barry ditelepon oleh asisten rumah tangga Serena di Bali, Shinta. Perempuan itu mengontak ayah Vivian karena kondisi Serena memburuk usai kembali dari Jakarta. Alhasil Serena terpaksa dirawat di rumah sakit. Ini sudah hari ketiga. Dan Shita memutuskan bahwa ini saatnya memberi tahu mantan suami Serena.Namun, bukan itu bagian yang paling mengejutkan Vivian. Melainkan fakta yang selama ini diam-diam disimpan ibunya. Bahwa Serena menderita kanker serviks stadium awal. Dokter bahkan meramalkan bahwa perempuan itu takkan bisa bertahan hingga tiga bulan ke depan karena penyakitnya telat ditangani. Serena bahkan menolak kemoterapi karena dinilai tak ada guna
“Hah?” Tubuh Robin mendadak tegak. “Kenapa telat?”“Karena aku udah ngomong sama Papa soal kamu.” Vivian tersenyum lebar. “Nggak ada masalah sama sekali, Bin. Jadi, kamu nggak perlu cemas lagi.”Robin memajukan tubuh dengan pupil mata melebar. “Serius, kamu udah ngomong?”“Iya, udah.” Sebagai penegasan, Vivian mengangguk. “Kaget pastinya, tapi cuma sebatas itu doang. Papa malah cemas akunya yang bakalan ribet karena inget semua yang udah kejadian. Kubilang, masa-masa itu udah lewat.” Gadis itu tertawa kecil.“Papamu nggak keberatan sama sekali?” Robin tak percaya.“Nggak, Bin. Buat Papa, yang terpenting kamu itu orang yang bertanggung jawab. Bukan playboy murahan yang bakal bikin anak kesayangannya patah hati,” respons Vivian.“Playboy murahan,” ulang Robin sambil tergelak. “Aku cowok baik-baik, Vi.
Robin duduk di depan Barry dengan bahu tegang dan keringat membasahi punggung. Padahal, suhu di dalam Super Bakery sama sekali tidak panas karena dilengkapi dengan pendingin udara yang suaranya berdengung samar. Di sebelah kirinya, Vivian berceloteh santai tentang sahabatnya yang akan pulang untuk berlibur.“Kamu kok diam aja dari tadi, sih?” Vivian menyenggol Robin dengan bahunya.“Kan aku lagi dengerin kamu ngomong,” elak Robin. Cowok itu mati-matian menekan rasa gugup yang meremas-remas sekujur tulangnya.Sebenarnya, dia ingin menolak saat Vivian menelepon dan memintanya datang ke toko roti tadi sore. Selain karena dia masih belum menyelesaikan desain cincin terbaru yang diminta ayahnya, Robin juga belum siap untuk bertemu Barry. Mendatangi Super Bakery seusai magrib, hampir pasti akan bertemu pemiliknya. Robin belum menemukan ide cemerlang untuk membuat ayah Vivian menyukainya meski tahu dirinya adalah putra bungsu Ariel.Bahka
Serena sempat menawari putrinya untuk menginap, tapi Vivian merasa itu langkah yang terburu-buru. Karena itu dia pun menolak dengan halus. “Lain kali aja ya, Ma,” balas gadis itu tanpa merinci alasan penolakannya. “Nggak apa-apa, kan?”Serena menjawab sambil tersenyum. Matanya berkaca-kaca. “Iya, lain kali juga nggak apa-apa.” Tangan kanannya mengelus pipi putrinya dengan lembut.Saat berjalan bersisian meninggalkan lantai sembilan belas yang dihuni Serena, Vivian menggenggam tangan Robin dengan erat. Perasaannya sulit untuk digambarkan dengan detail. Tadi pun Vivian masih mengira harus melewatkan satu malam yang menyiksa bersama ibunya. Namun dia memaksakan diri karena mempertimbangkan dorongan dari Robin dan juga ayahnya. Ternyata, yang terjadi sama sekali tidak mengerikan. Malah, bisa dibilang, Vivian menikmati makan malam tadi.“Makasih ya, Bin. Karena kamu … bikin semuanya terwujud. Makasih juga karena kamu n
Tadinya Vivian mengira bahwa hubungannya dengan Robin akan berat untuk dijalani. Namun pertemuannya dengan Ariel itu justru memberi efek yang tak terduga. Vivian akhirnya bisa percaya bahwa hidupnya baik-baik saja dan berlimpah cinta. Dari keluarga dan juga Robin. Semua masa lalu yang pahit itu justru membuatnya lebih kuat. Satu lagi, hubungannya dengan Serena ternyata tidak mustahil untuk diperbaiki. Meski mungkin saja interaksi mereka tidak akan pernah benar-benar cair.“Jujur aja, tadinya aku nggak berani ngebayangin bakalan ketemu sama papa kamu, Bin. Aku udah mikir yang jelek-jelek. Tapi kadang Tuhan memang ngasih kejutan yang sama sekali nggak disangka. Pas beneran ketemu papamu di apartemen kemarin, ternyata nggak seberat yang ada di kepalaku,” aku Vivian jujur.“Makanya, jangan suka mikir yang negatif melulu,” komentar Robin. Telunjuk kanan lelaki itu diusapkan di kening Vivian. “Seringnya, bayangan di kepala kita jauh lebih dramat