Robin Maliq meregangkan tubuhnya sambil melirik jam dinding. Sudah lewat pukul sembilan malam. Lehernya terasa pegal dan kaku. Begitu juga dengan punggungnya. Total sudah tiga jam dia duduk sambil memelototi layar laptopnya. Pria muda itu harus mengecek sederet angka dan mencocokkan dengan setumpuk berkas yang ada.
Pekerjaannya menuntut ketelitian dan fokus yang tinggi. Jika ada satu saja angka yang keliru, sudah pasti Robin harus bekerja lebih lama dibanding seharusnya. Padahal, sedapat mungkin, cowok ini sangat ingin memanfaatkan waktu seefisien mungkin.
Laporan keuangan itu seharusnya bisa dikerjakan orang lain. Namun mungkin itu cara ayahnya untuk membuat Robin tetap sibuk dan fokus. Sejak dia kembali ke Jakarta, sang ayah memastikan Robin menghabiskan waktu dengan produktif. Pekerjaannya tak pernah sebanyak ini karena Robin terbiasa menuntaskan tugasnya setiap hari. Inilah risiko karena dia mengambil cuti seminggu penuh. Otomatis, pekerjaan cowok itu pun bertumpuk.
“Pa, boleh nggak kalau aku izin cuti selama satu minggu?” tanyanya berhari-hari silam.
“Memangnya kamu mau pergi? Liburan? Ke mana?”
“Bukan liburan. Cuma ke Bali, mau ikutan acara berjudul Millennium Festival,”
Lalu, Robin pun memberi penjelasan tentang acara tersebut. Bertempat di Denpasar, Millennium Festival itu memang menyedot perhatian banyak orang. Acara itu menelisik serba-serbi gaya hidup era milenium, lengkap dengan sisi positif dan negatifnya.
Kemajuan teknologi dan perubahan gaya hidup diwakili oleh stan-stan gadget yang luar biasa banyaknya. Para perancang dari beberapa negara di Asia Tenggara pun tak mau kehilangan kesempatan untuk memperkenalkan produk terbarunya. Demikian juga merek-merek ternama di dunia fashion. Robin dan rekan-rekannya ikut bergabung di festival itu untuk memperkenalkan Fit dan Bugar, sebuah tempat rehabilitasi bagi para pecandu alkohol.
“Oke, asal kamu nggak membolos selama satu tahun ke depan,” komentar ayahnya, setengah bergurau. Izin pun turun tanpa kesulitan berarti.
“Makasih, Pa,” kata Robin penuh semangat. Beberapa setelahnya, dia pun bertolak ke Bali bersama beberapa teman dari Fit dan Bugar. Robin dan timnya mengemban tugas untuk memberi informasi sebanyak-banyaknya tentang tempat itu.
Di Denpasar, kehadiran stand Fit dan Bugar ternyata cukup menarik atensi para pengunjung. Mungkin karena tempat rehabilitasi itu dikeliling berbagai brand ternama yang berkecimpung di dunia teknologi. Fit dan Bugar menjadi menonjol karena bergelut di jalur yang berbeda dari yang lain. Menjadi istimewa karena menawarkan sesuatu yang masih tergolong jarang di Indonesia.
“Masalah alkohol memang udah jadi persoalan serius. Fit dan Bugar bisa dibilang sebagai salah satu bantuan yang diperlukan,” ucap salah satu pengunjung yang mampir ke stand itu. Pria yang tampaknya berumur awal empat puluhan itu baru saja mendengarkan penjelasan dari Robin. “Saya pernah terpuruk gara-gara alkohol. Jadi, paham sekali kalau tempat seperti Fit dan Bugar memang sangat dibutuhkan.”
Ucapan itu sangat benar. Itulah sebabnya Robin menjadi salah satu relawan di Fit dan Bugar. Dia memanfaatkan waktu luang untuk memberi bantuan semaksimal mungkin di tempat rehabilitasi tersebut. Untung ayahnya memberi dukungan dengan aktivitas Robin yang satu ini.
Robin baru saja berulang tahun ke-24. Sang ayah mewariskan tubuh jangkung setinggi 180 sentimeter. Dulu dia cenderung kurus. Namun sejak rutin berenang, tubuh Robin sekarang lebih proporsional. Cowok itu memiliki kulit putih dan hidung bangir yang didapat dari ibunya. Matanya agak sipit dengan dagu persegi yang memiliki belahan cukup mencolok. Rambut tebalnya dipotong pendek. Bibirnya agak kemerahan. Robin memiliki alis yang tebal.
“Dunia ini nggak adil. Apa salahku sampai kamu bisa sejangkung ini tapi juga cakep? Kenapa aku malah pendek dan jelek,” cerocos Moses, salah satu teman kuliahnya.
“Jangan bilang kalau kamu naksir aku, Mos! Untuk apa muji-muji kalau aku cakep? Bikin merinding aja,” gurau Robin sambil berpura-pura bergidik.
“Dipuji malah bikin fitnah,” keluh Moses. “Aku cuma merasa dunia ini nggak adil.”
Robin tak pernah merasa bahwa dirinya menawan secara fisik, meski tak cuma sekali dua dia mendengar penampilannya dipuji. Dia tak menganggap itu sebagai hal yang penting.
Mendadak, perut cowok itu berbunyi, meneriakkan permintaan untuk segera diisi. Robin mendesah. Di apartemennya, tidak ada stok makanan sama sekali. Dia terbiasa memesan makanan atau turun beberapa lantai dan memilih restoran yang diinginkan. Karena memasak bukanlah aktivitas favoritnya. Akan tetapi, saat ini rasanya dia sungguh malas meninggalkan apartemen karena matanya mulai mengantuk.
Robin sangat ingin terlelap karena semalaman dia kesulitan memejamkan mata. Akan tetapi, rasa lapar yang mengusik itu tampaknya tak bisa diabaikan. Dia cemas penyakit lambungnya akan kambuh jika nekat langsung tidur. Mau tak mau, pria muda itu beranjak dari tempat duduknya. Dia harus mengisi perut.
“Mulai besok, aku nggak boleh lupa nyiapin makanan di apartemen. Minimal roti. Supaya kalau kelaparan kayak begini, nggak perlu harus keluar atau nunggu pesanan diantar,” katanya pada diri sendiri.
Sebenarnya, itu cita-cita yang selalu diucapkan tapi tak pernah benar-benar dilaksanakan. Padahal, ayahnya sudah berkali-kali mengingatkan. Bahkan, jika sang ayah berkunjung, Robin dibawakan aneka bahan makanan. Bukan sekali dua dia kelaparan saat malam sudah larut dan terpaksa bertahan dengan perut kosong sampai pagi.
Robin akhirnya memilih untuk keluar sejenak unit yang ditinggalinya. Dia belum memutuskan untuk mencicipi makanan tertentu. Cowok itu menyambar dompet dan ponselnya yang terletak di atas meja. Lalu, bergegas meninggalkan apartemennya yang berada di lantai 31. Keluar dari unitnya, suasana begitu sepi. Robin berjalan sendirian menyusuri lorong.
Selama berada di dalam lift, Robin mulai menimbang-nimbang makanan apa yang akan disantapnya. Cowok itu turun di lantai tiga, tempat sejumlah rumah makan bernama mentereng berada. Dia hampir berbelok menuju restoran yang menyajikan makanan serba laut, saat sepasang kekasih tampak bersitegang.
Robin bukan orang yang suka mencampuri urusan orang lain. Dia tak pernah bersikap sok pahlawan untuk membela seorang cewek yang sedang adu mulut dengan pacarnya. Namun dia paling tidak tahan jika ada cowok yang bersikap keterlaluan dan cenderung kurang ajar. Mencekal lengan kiri pasangannya sambil memaki “jangan sok alim”, misalnya.
Robin sudah pernah melihat pertengkaran yang awalnya tampak sepele malah berakhir dengan peristiwa fatal. Dia tak mau lagi dihantui rasa penyesalan karena tidak melakukan apa-apa. Cukup satu kali saja dia mencicipi rasa sesal semacam itu. Tak akan ada yang kedua kali.
“Maaf, aku nggak bermaksud ikut campur urusan kalian. Tapi kurasa sebaiknya kamu lepasin tangan pacarmu. Kalau terus mencengkeramnya kayak gitu, lengannya bakalan memar.” Robin berdiri di depan pasangan itu.
Si cowok menoleh dan menatap Robin dengan tajam. Seketika, Robin mengenali Eric Adityawardhana yang namanya pernah dituliskan dengan setumpuk puja-puji karena prestasinya di dunia tenis profesional. Meski begitu, Robin berusaha untuk bersikap biasa. Seolah wajah Eric tak dikenalnya.
“Kalau gitu, mundur! Aku mau ngapain sama cewek ini, memang bukan urusanmu, kan? Abaikan kami, pura-pura nggak ngeliat apa pun. Nggak usah ikut campur.” Lalu tatapan Eric beralih pada pacarnya. “Cewek yang suka jual mahal cuma supaya dianggap misterius, layak untuk dikasih pelajaran. Kalau cuma memar di lengan, masih terlalu ringan.”Wow! Bukankah selama ini media menggambarkan Eric sebagai cowok gentleman yang rendah hati? Barusan Eric mengancam akan membuat lebih dari sekadar lengan yang memar? Jika kondisinya seperti ini, Robin tidak bisa diam saja. Dia paling anti pada cowok yang main tangan dengan kaum hawa, apa pun alasannya.“Kamu nggak apa-apa?” tanya Robin, ditujukan kepada gadis yang sedang berusaha melepaskan cengkeraman Eric. “Kamu lebih suka aku pergi atau gimana?” tanyanya nekat. Beberapa orang yang berlalu-lalang, memperhatikan dengan mata menyipit atau tatapan ingin tahu terang-terangan. Entah kar
Robin mulai berkenalan dengan minuman beralkohol sejak berumur sebelas tahun. Berawal dari ketidaksengajaan, sebenarnya. Dia sedang tidak bisa tidur, keluar dari kamar untuk mengambil air putih. Seseorang malah menawarinya untuk mencicipi minuman berwarna kuning yang mulanya ditolak anak itu.“Minuman ini bakalan bikin kamu tidur nyenyak, Bin. Lama-lama, kamu juga bakalan nggak ingat sama mamamu. Jadi kamu nggak akan terlalu sedih lagi.”Kalimat itu membuat Robin goyah, janji untuk membuat kesedihannya berkurang. Tanpa pikir panjang, dia akhirnya mencoba mencicipi minuman yang terasa membakar kerongkongannya. Anak itu sempat tersedak dan terbatuk-batuk hebat. Dia ketakutan minuman itu akan menghancurkan lehernya. Namun ternyata Robin keliru. Ketidaknyamanan itu akhirnya berubah menjadi rasa hangat yang menyebar di sekujur tubuhnya.Robin kecil sedang gundah karena banyak masalah yang menghantamnya bertubi-tubi. Setelah seumur hidup mengira bahwa diri
“Kalau aku bohong, silakan Papa buang aku. Jangan akui sebagai anak. Jangan terima aku di rumah ini,” kata Robin lagi. “Aku nggak mau jadi anak yang gagal dan cuma bisa bikin kecewa Mama. Aku akan berubah,” ulangnya dengan penuh tekad.Lalu, dia menangis tersedu-sedu sambil terduduk di lantai. Menangisi semua kesalahan dan kebodohannya. Ariel turun dari tepi ranjang, memeluk anaknya. Itulah kali pertama Robin merasakan dekapan hangat sang ayah.***Robin bergegas memasuki toko perhiasan berlabel Adiratna Maharani dengan langkah-langkah panjangnya. Kedua tangannya dipenuhi kantong-kantong plastik yang menggelembung. Mengenakan kemeja dan celana black jeans, penampilannya tampak santai. Satpam yang bertugas di pagi itu, Eko, buru-buru membukakan pintu.“Selamat pagi, Robin,” sapanya ramah dengan senyum lebar. “Kapan pulang?”“Kemarin sore,” balas Robin. &
Beberapa puluh menit sebelumnya.Vivian tidak pernah mengira “kencan” itu berjalan dan berakhir buruk. Setelah dia kembali dari toilet, gadis itu sengaja pindah tempat duduk. Dia memilih untuk menarik kursi di depan Eric. Melihat apa yang dilakukannya, cowok itu menunjukkan ketidaksenangan.“Aku lebih suka duduk berhadapan sambil ngobrol. Kalau nggak ngeliat wajah lawan bicara, rasanya kok kurang enak,” argumen Vivian tadi saat Eric bertanya alasannya pindah.Sepanjang acara makan malam itu, Vivian merasa tidak nyaman berkali-kali. Eric tampaknya memutuskan untuk bersandiwara tak tanggung-tanggung. Menunjukkan bahwa hubungannya dengan Cynthia tak terganggu dengan gosip di luar sana.Bisa menebak apa yang dilakukan cowok itu? Eric membuka sepatu dan mengelus betis Vivian dengan punggung kakinya. Ketidaknyamanan membuat Vivian mengubah posisi duduknya hingga kaki Eric tak bisa menjangkaunya.“Tolong, nggak usah menyentuh
Vivian menahan diri agar tidak berteriak untuk meluapkan emosinya. Dia benar-benar merasa terhina karena kata-kata dan sikap Gideon barusan. Akan tetapi, dia tahu itu semua sia-sia saja. Gideon takkan berubah pikiran.Vivian masih dalam tahap mencerna semua kenyataan mengejutkan yang terbentang di depannya dengan baik. Dia benar-benar tak mengira jika Cynthia akan memecatnya begitu saja tanpa mau mendengarkan apa yang terjadi menurut versi Vivian.“Kalau memang….”“Gideon, aku mau ngomong bentar sama Vivian. Kamu nggak perlu berdiri di sini lagi,” sela Sally yang tiba-tiba muncul. Perempuan itu menarik lengan kiri Vivian dan mulai berjalan menuju teras. Vivian mengaduh pelan.“Kenapa? Apa aku megangnya terlalu kencang?” Sally menoleh dengan mimik kaget. Dia melepaskan tangannya.“Nggak,” bantah Vivian tanpa menjelaskan lebih jauh. Mereka sudah berada di teras, saling berdiri berhadapan. Vivian
“Ngapain sih kamu pindah ke Malaysia cuma untuk sekolah? Aku kan nggak punya temen curhat lagi. Kalau ada apa-apa, harus nelepon dulu. Buang-buang pulsa,” omel Vivian ketika menelepon Leona. Hampir tiga bulan silam, Leona memutuskan untuk menetap di Kuala Lumpur demi mendalami bidang keuangan. Vivian pun ditinggal sendiri.“Salahmu karena nggak mau ikut ke sini. Padahal kita kan bisa bersenang-senang berdua. Jauh dari Jakarta yang macet dan bising.”Vivian buru-buru protes. “Seolah KL sesepi kuburan.”Tawa Leona terdengar di seberang. Orang pertama yang dihubunginya setelah dipecat oleh Cynthia adalah sahabatnya. Vivian tiba di rumahnya menjelang pukul sepuluh malam. Dia cuma menyapa ayahnya yang masih menghadapi laptop di ruang kerjanya. Penghuni rumah yang lain sudah terlelap. Setelah itu, Vivian langsung menuju kamarnya dan menghubungi Leona. Dia beruntung karena sahabatnya belum terlelap.“Jadi, apa rencanamu
Kini, melihat apa yang terjadi pada Cynthia, Vivian merasa lega. Dia selamanya takkan sudi memacari cowok yang suka merendahkan dengan kata-kata dan menyiksa dengan tangannya. Semenawan apa pun. Apalagi jika cowok tersebut lebih suka semua tagihan dituntaskan oleh Vivian. Orang yang lebih mirip benalu takkan bisa menjadi sandaran.Esoknya, Vivian terbangun dengan satu fakta yang tak terbantahkan. Dipecat oleh Cynthia ternyata memengaruhi hidupnya. Bohong jika dia tidak merasa kecewa karena keputusan sang aktris. Apalagi Vivian sama sekali tidak merasa bersalah. Selain itu, setahun terakhir dia terbiasa dengan sejumlah rutinitas.Paginya selalu dibuka dengan memeriksa ponsel, mencari tahu jika ada tugas mendadak yang harus dikerjakan. Meski selama ini Sally selalu memberi daftar pekerjaan seminggu sebelumnya. Cuma, tidak jarang tiba-tiba ada pemberitahuan bahwa Vivian mendapat tugas tertentu, misalnya.Vivian juga masih ingat bagaimana dia harus berdiet ketat sel
Para desainer Adiratna Maharani bekerja di lantai dua. Namun sejak awal Robin tidak pernah bergabung dengan yang lain. Itu karena Ariel memberikan tanggung jawab berbeda untuk putra bungsunya. Tak cuma wajib menyetor desain setiap bulannya, Robin juga harus ikut mengurusi bagian keuangan. Ayahnya ingin cowok itu belajar tentang banyak hal.“Nggak ada salahnya kalau kamu tahu banyak tentang Adiratna Maharani di luar masalah rancangan, kan? Supaya kamu lebih paham sampai ke hal-hal detail. Papa lebih nyaman andai bisa mengandalkanmu dan Angie,” beri tahu Ariel di suatu ketika.“Iya, Pa. Nggak masalah, kok! Justru ini jadi kesempatan supaya aku bisa belajar banyak,” sahut Robin.Selama ini Robin tidak merasa keberatan. Dirinya memang merasa harus menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan agar tidak sempat berkeinginan untuk mabuk lagi. Meski sudah tak pernah lagi menyentuh alkohol dalam kurun waktu sekitar enam tahun terakhir, tetap saja ada
Tujuh bulan kemudian....Vivian membenahi letak pigura yang berada di atas lemari pajangan. Benda itu berisi salah satu fotonya saat balita. Ketika pertama kali menginjakkan kaki di rumah yang ditempati Serena sejak pindah ke Ubud ini, foto itu mengejutkan Vivian. Dia tak pernah mengira jika ibunya menyimpan beberapa hasil jepretan kamera ayahnya di masa lalu.Gadis itu menghela napas. Dokter memperkirakan ibunya hanya memiliki waktu selama tiga bulan maksimal. Namun Tuhan memberi hadiah yang luar biasa, berupa tambahan waktu selama empat bulan lagi. Total Vivian sudah tinggal di Ubud selama tujuh bulan terakhir.Jika diingat lagi, Vivian menyayangkan pilihan Serena untuk menyembunyikan penyakit fatal yang dideritanya dari semua orang. Hanya Shinta yang tahu. Jika Vivian sudah tahu sejak awal, mungkin dia akan menghabiskan lebih banyak waktu bersama Serena yang berubah menjadi ibu yang penuh cinta di saat-saat terakhirnya.Kini, penderitaan Serena sudah b
Vivian dan Serena menghabiskan waktu bersama sekita satu jam di teras. Setelah hari kian sore dan suhu lebih dingin, mereka pun masuk ke dalam rumah. Vivian menggandeng lengan kiri ibunya. Robin tidak kembali ke teras, tampaknya memberi waktu pada Vivian dan Serena. Ternyata cowok itu sedang menonton televisi di ruang keluarga.Robin tersenyum lebar begitu melihat Vivian dan ibunya. Serena bergabung dengan Robin sementara Vivian memilih untuk mandi. Sebelumnya, dia sempat mendatangi dapur untuk membantu Shinta yang tampaknya sedang menyiapkan makan malam.“Ada yang bisa saya bantu nggak, Mbak?” tanya Vivian. Dia baru tahu dari Serena bahwa Shinta berasal dari kota Demak. Tadinya, perempuan itu bekerja sebagai petugas kebersihan di resor. Saat kontraknya habis dan tak dilanjutkan, Shinta pun sempat tak memiliki pekerjaan. Di saat yang sama, Serena pindah di rumah itu. Shinta yang sering dimintai tolong oleh Serena pun diajak serta dan ditawari pekerjaan seba
Ketiga paman Vivian menyambut Vivian dengan pelukan hangat karena mereka memang sudah lumayan lama tak bersua. “Apa kamu bakalan lama di sini, Vi?” tanya kakak tertua ayahnya, Herman. Keluarga ayah Vivian tahu betul apa yang terjadi pada rumah tangga Barry-Serena. Namun semua orang tetap bersikap baik pada ibunda Vivian.“Sampai Mama sembuh, Om,” sahut Vivian dengan penuh keyakinan.“Om pun nggak tau kalau mamamu sakit. Tiap kali ke sini untuk ngantor atau rapat, nggak ada tanda-tanda kalau Serena lagi sakit. Cuma memang belakangan berat badannya mulai turun. Tiap kali ditanya, mamamu cuma bilang kalau dia lagi diet,” imbuh paman Vivian yang lain, Mirza.Robin juga disambut dengan sikap hangat oleh ketiga saudara ayah Vivian. Semua tertarik saat tahu bahwa Robin pernah berkuliah mendalami bidang forensik yang kemudian malah terjun menjadi seorang perancang cincin. Banyak pertanyaan yang ditujukan untuk cowok itu. Menurut Vivia
“Jangan marahin Mbak Shinta, Ma. Memang udah seharusnya aku dan Papa tau kalau kondisi Mama lagi sakit. Kenapa selama ini Mama nggak pernah ngomong apa-apa?” tanyanya dengan suara bergelombang. Serena tak segera menjawab. Perempuan itu mengelus punggung putrinya dengan lembut. Vivian juga menangkap isak halus yang meluncur dari bibir ibunya. “Karena Mama nggak mau nyusahin siapa pun, Vi. Apalagi, Mama punya banyak salah sama kamu dan Papa. Mama nggak punya nyali untuk ngomongin penyakit Mama.” Hati Vivian tercabik-cabik. Dia memang memiliki banyak sekali kebencian pada ibunya sejak bertahun silam. Namun, di detik ini, Vivian tahu bahwa semua perasaan negatifnya itu sudah mendebu. Membayangkan ibunya tak ada lagi di dunia ini sebelum hubungan mereka membaik, membuat Vivian susah untuk bernapas. “Aku akan tinggal di sini, nemenin Mama. Sampai Mama sembuh,” ungkap Vivian sembari merenggangkan dekapannya. Gadis itu mengusap air matanya dengan punggung tangan kana
Vivian benar-benar kehilangan tenaga. Dia terduduk di tepi ranjang dengan tubuh seolah baru saja berubah menjadi jeli. Dia cuma memandangi Debby dan Barry yang sibuk menyiapkan koper berikut segala keperluan gadis itu. Dia akan terbang ke Bali beberapa jam lagi untuk melihat sendiri kondisi Serena.Sekitar satu jam lalu, Barry ditelepon oleh asisten rumah tangga Serena di Bali, Shinta. Perempuan itu mengontak ayah Vivian karena kondisi Serena memburuk usai kembali dari Jakarta. Alhasil Serena terpaksa dirawat di rumah sakit. Ini sudah hari ketiga. Dan Shita memutuskan bahwa ini saatnya memberi tahu mantan suami Serena.Namun, bukan itu bagian yang paling mengejutkan Vivian. Melainkan fakta yang selama ini diam-diam disimpan ibunya. Bahwa Serena menderita kanker serviks stadium awal. Dokter bahkan meramalkan bahwa perempuan itu takkan bisa bertahan hingga tiga bulan ke depan karena penyakitnya telat ditangani. Serena bahkan menolak kemoterapi karena dinilai tak ada guna
“Hah?” Tubuh Robin mendadak tegak. “Kenapa telat?”“Karena aku udah ngomong sama Papa soal kamu.” Vivian tersenyum lebar. “Nggak ada masalah sama sekali, Bin. Jadi, kamu nggak perlu cemas lagi.”Robin memajukan tubuh dengan pupil mata melebar. “Serius, kamu udah ngomong?”“Iya, udah.” Sebagai penegasan, Vivian mengangguk. “Kaget pastinya, tapi cuma sebatas itu doang. Papa malah cemas akunya yang bakalan ribet karena inget semua yang udah kejadian. Kubilang, masa-masa itu udah lewat.” Gadis itu tertawa kecil.“Papamu nggak keberatan sama sekali?” Robin tak percaya.“Nggak, Bin. Buat Papa, yang terpenting kamu itu orang yang bertanggung jawab. Bukan playboy murahan yang bakal bikin anak kesayangannya patah hati,” respons Vivian.“Playboy murahan,” ulang Robin sambil tergelak. “Aku cowok baik-baik, Vi.
Robin duduk di depan Barry dengan bahu tegang dan keringat membasahi punggung. Padahal, suhu di dalam Super Bakery sama sekali tidak panas karena dilengkapi dengan pendingin udara yang suaranya berdengung samar. Di sebelah kirinya, Vivian berceloteh santai tentang sahabatnya yang akan pulang untuk berlibur.“Kamu kok diam aja dari tadi, sih?” Vivian menyenggol Robin dengan bahunya.“Kan aku lagi dengerin kamu ngomong,” elak Robin. Cowok itu mati-matian menekan rasa gugup yang meremas-remas sekujur tulangnya.Sebenarnya, dia ingin menolak saat Vivian menelepon dan memintanya datang ke toko roti tadi sore. Selain karena dia masih belum menyelesaikan desain cincin terbaru yang diminta ayahnya, Robin juga belum siap untuk bertemu Barry. Mendatangi Super Bakery seusai magrib, hampir pasti akan bertemu pemiliknya. Robin belum menemukan ide cemerlang untuk membuat ayah Vivian menyukainya meski tahu dirinya adalah putra bungsu Ariel.Bahka
Serena sempat menawari putrinya untuk menginap, tapi Vivian merasa itu langkah yang terburu-buru. Karena itu dia pun menolak dengan halus. “Lain kali aja ya, Ma,” balas gadis itu tanpa merinci alasan penolakannya. “Nggak apa-apa, kan?”Serena menjawab sambil tersenyum. Matanya berkaca-kaca. “Iya, lain kali juga nggak apa-apa.” Tangan kanannya mengelus pipi putrinya dengan lembut.Saat berjalan bersisian meninggalkan lantai sembilan belas yang dihuni Serena, Vivian menggenggam tangan Robin dengan erat. Perasaannya sulit untuk digambarkan dengan detail. Tadi pun Vivian masih mengira harus melewatkan satu malam yang menyiksa bersama ibunya. Namun dia memaksakan diri karena mempertimbangkan dorongan dari Robin dan juga ayahnya. Ternyata, yang terjadi sama sekali tidak mengerikan. Malah, bisa dibilang, Vivian menikmati makan malam tadi.“Makasih ya, Bin. Karena kamu … bikin semuanya terwujud. Makasih juga karena kamu n
Tadinya Vivian mengira bahwa hubungannya dengan Robin akan berat untuk dijalani. Namun pertemuannya dengan Ariel itu justru memberi efek yang tak terduga. Vivian akhirnya bisa percaya bahwa hidupnya baik-baik saja dan berlimpah cinta. Dari keluarga dan juga Robin. Semua masa lalu yang pahit itu justru membuatnya lebih kuat. Satu lagi, hubungannya dengan Serena ternyata tidak mustahil untuk diperbaiki. Meski mungkin saja interaksi mereka tidak akan pernah benar-benar cair.“Jujur aja, tadinya aku nggak berani ngebayangin bakalan ketemu sama papa kamu, Bin. Aku udah mikir yang jelek-jelek. Tapi kadang Tuhan memang ngasih kejutan yang sama sekali nggak disangka. Pas beneran ketemu papamu di apartemen kemarin, ternyata nggak seberat yang ada di kepalaku,” aku Vivian jujur.“Makanya, jangan suka mikir yang negatif melulu,” komentar Robin. Telunjuk kanan lelaki itu diusapkan di kening Vivian. “Seringnya, bayangan di kepala kita jauh lebih dramat