Serta merta, Vivian membuat bantahan. “Tapi, aku kan kangen sama Mama, Pa. Mama jarang di rumah, nggak kayak Papa. Trus tiap kali di rumah, Mama diam melulu. Sama aku malah sering marah-marah,” urainya polos. Vivian mungkin masih begitu belia. Namun dia sudah lancar berbicara sejak berumur dua tahun setengah. Peka dan cukup paham apa yang terjadi di sekelilingnya. Dia bahkan sudah tidak cadel sebelum genap berusia empat tahun.
“Papa kan memang kerjanya di rumah, Sayang. Kecuali kalau harus ke Bali atau ke toko. Tapi, Mama beda. Mama memang kerjanya di luar. Nggak bisa kalau cuma di rumah aja.”
Vivian menggeleng kuat-kuat, masih terisak kecil. Barry menghapus air mata putrinya dengan gerakan hati-hati.
“Bundanya Salma juga kerja. Tapi kan nggak tiap hari, Pa. Tiap kami libur sekolah, bundanya kadang nggak ke kantor. Trus mereka biasanya jalan-jalan. Aku pernah lihat, Salma digendong dan dicium bundanya. Tapi, Mama biasanya marah kalau kupeluk. Padahal aku juga pengin digendong sama Mama.”
Saat itu, Barry malah menarik putrinya ke dalam dekapan. Kali ini, tidak ada pembelaan untuk Serena dari lelaki itu. Barry hanya berbisik pelan, “Mending peluk Papa aja ya, Nak? Papa suka banget dipeluk dan dicium sama kamu.”
Sejak itu, Vivian tak pernah lagi berani mengejutkan Serena atau mencoba memeluk perempuan itu. Dia terlalu takut sang ibu akan kembali mendorong dan memarahinya. Namun, dia hampir melupakan kejadian itu dua tahun kemudian. Vivian kecil menyambut ibunya yang baru pulang. Dia berlari mendekat tapi Serena mengabaikannya. Perempuan itu menepis tangan putrinya. Kelak, dia beralasan sedang membawa banyak barang hingga tak bisa menyambut uluran tangan Vivian.
Perempuan itu melakukannya dengan gerakan pelan. Namun Vivian yang tidak berdiri dengan stabil, akhirnya terjatuh. Wajahnya menghantam pintu dan membuat salah satu gigi depannya patah. Dagu bocah itu mendapat dua jahitan.
Hingga bertahun-tahun kemudian, Vivian masih ingat betapa sedih ayahnya karena peristiwa itu. Dia juga mendengar pertengkaran di balik pintu kamar yang tertutup. Menurut pengetahuan Vivian, itu kali pertama dia mendengar Barry adu mulut dengan Serena.
***
Vivian tidak menyukai kontak fisik yang dilakukan Eric berkali-kali sejak mereka berada di mobil. Meski diam-diam menyukai cowok itu, bukan berarti Vivian merasa senang disentuh sana-sini. Namun gadis itu berusaha menahan diri agar tidak memuntahkan kalimat yang akan membawa masalah baru.
Vivian juga berjuang memahami tujuan Eric melakukan itu semua, dengan memasukkan pikiran positif sebanyak mungkin di benak. Yaitu, membuat gadis itu merasa nyaman sehingga mereka tidak canggung. Karena mereka harus tampil di depan umum sebagai pasangan, kan?
Cowok itu membawanya ke sebuah restoran Italia yang masih berada satu lantai dengan sebuah tempat perbelanjaan kelas atas. Kedua tempat itu merupakan bagian dari apartemen empat tower yang cukup eksklusif. Setahu Vivian, restoran itu adalah salah satu tempat kencan favorit Eric dan Cynthia. Beberapa kali wartawan menangkap kebersamaan pasangan itu di sana. Vivian memasuki restoran sambil menggandeng Eric. Dia berusaha keras untuk mengimbangi sikap mesra yang ditunjukkan “pasangan”-nya.
Sayang, makin lama Vivian merasa tak nyaman. Terutama ketika Eric berusaha mencium bibirnya saat mereka hendak duduk. Refleks, Vivian memundurkan wajahnya. Eric malah tertawa kecil. Sebagai gantinya, cowok itu justru membelai pipi Vivian dan mengambil tempat di sebelah kanan gadis itu. Bukannya duduk di depan Vivian.
“Santai dong, Vi. Kalau kamu tegang kayak gitu, siapa yang percaya kita ini pacaran? Jangan-jangan yang ngeliat jadi makin yakin kalau kamu dan aku lagi punya masalah. Eh, maksudnya aku dan Cynthia. Kayak yang disebut-sebut gosip di luar sana,” cetus Eric.
Lelaki ini ada benarnya. “Maaf, aku cuma merasa nggak nyaman aja. Karena … yah … kamu memang bukan pacarku,” respons Vivian. Tangan kanan gadis itu menunjuk ke depan. “Kamu nggak duduk di situ? Kenapa malah di sebelahku?”
Eric pun merespons, “Biasanya aku sama Cynthia memang kayak gini, kok. Kami hampir nggak pernah duduk berhadapan, lebih suka bersebelahan. Lebih nyaman aja.”
Eric ternyata suka bicara, jauh lebih banyak dibanding bayangan Vivian selama ini. Dalam waktu singkat, cowok itu mulai menceritakan alasannya berhenti menggeluti dunia tenis profesional. Vivian mendengarkan dengan sungguh-sungguh meski dia sudah mengetahui masalah itu dari Cynthia dan ulasan di media.
“Cedera paha yang menahun itu membuatku nggak punya pilihan dan terpaksa mengubur banyak mimpi. Padahal aku udah berusaha keras untuk mengikuti arahan dokter dan menjaga kondisi. Tapi, waktu latihan lagi setelah beberapa minggu absen, cederanya kambuh. Kondisinya malah lebih parah. Sampai akhirnya terpaksa gantung raket. Bisa bayangin gimana frustrasinya aku kan, Cyn? Padahal aku cinta banget sama dunia tenis.”
Vivian tanpa sadar menautkan alisnya. “Aku Vivian, bukan Cynthia.”
Eric tersenyum. Vivian merasakan cowok itu mengelus lutut kanannya. “Aku tau, kok. Cuma, ini kan acara makan malam bareng Cynthia. Di tempat umum pula. Jadi, aku nggak mau ceroboh dan malah nantinya ketauan. Jangan sampai orang curiga.”
Penjelasan yang masuk akal. Namun Vivian kian tak nyaman karena tangan kiri Eric perlahan mulai bergerak naik. Eric membuat gerakan mengelus yang membuat Vivian benar-benar ingin menjauh dari pria satu ini. Vivian buru-buru berdiri, bertepatan dengan datangnya pramusaji yang membawakan pesanan mereka.
“Maaf, aku mau ke toilet dulu.” Tanpa menunggu respons Eric, Vivian buru-buru meninggalkan mejanya. Dia mengambil napas panjang selama di perjalanan. Sapaan ramah dari beberapa pramusaji yang berpapasan dengan Vivian dibalasnya dengan senyum yang dipaksakan. Gadis itu mengambil waktu selama lebih dari lima menit di toilet. Kepalanya terasa pusing.
Sejak mendapat tawaran untuk bekerja dengan Cynthia setahun silam, ini momen yang paling disesali Vivian. Sebelum ini, dia tak pernah menyayangkan keputusan untuk menerima tawaran dari pihak Cynthia. Diawali dengan pertemuan tak sengaja dengan penata rias sang aktris, Oskar Pramana, saat berada di bioskop.
Vivian masih ingat bagaimana ekspresi Oskar saat melihatnya. Lelaki itu tak sekadar terkesima. Melainkan sampai terperangah dan menghalangi langkah Vivian. Berondong yang berada di tangan kiri Oskar tumpah sebagian karena lelaki itu tiba-tiba berhenti.
“Kamu nyadar nggak mirip siapa?” tanya Oskar tanpa basa-basi.
Vivian yang ketika itu sedang berjalan bersama sahabatnya, Leona, melongo. Sampai Oskar mengulangi pertanyaannya sambil menunjuk ke arah gadis itu. “Kamu pernah disangka aktris tertentu?” tanyanya ingin tahu.
Vivian menjawab tanpa berpikir dua kali. “Pernah sih ada yang bilang aku mirip Cynthia Pasha. Pernah juga dimintai tanda tangan waktu lagi keliling di mal.” Gadis itu meraba pipinya. “Memangnya kenapa, ya?”
Oskar memaksa Vivian membatalkan acara menontonnya dan mengajak gadis itu berbincang. Lalu berujung dengan desakan agar Vivian menerima tawaran gila yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Bekerja dengan Cynthia untuk menggantikan sang aktris dalam acara tertentu. Begitulah kira-kira tugas utamanya. Vivian menolak karena dia sama sekali tidak tertarik untuk berperan sebagai siapa pun saat datang ke suatu acara.
Akan tetapi, Oskar tidak menyerah begitu saja. Selama hampir sebulan Oskar “meneror” Vivian, membujuk mati-matian agar gadis itu menyerah dan menuruti kemauannya. Oskar mengajukan sederet alasan logis mengapa Vivian tak boleh menampik tawarannya. Hingga akhirnya Vivian menyanggupi meski ayahnya tak suka akan keputusan gadis itu.
“Kamu yakin, Vi? Papa kok kurang suka ya, membayangkan kamu harus berdandan mirip orang tertentu,” ucap Barry dengan wajah datar. “Ini pekerjaan aneh yang Papa baru tau.”
Vivian tertawa kala itu. “Aku yakin, Pa. Justru karena pekerjaannya unik, makanya aku terima. Catat ya Pa, unik. Bukan aneh.”
Cynthia adalah bos yang tidak pelit. Orangnya baik, menurut Vivian. Tidak suka memerintah atau bersikap menyebalkan. Namun, itu terjadi ketika suasana hatinya sedang bagus. Sebaliknya, saat bad mood, Cynthia berubah menjadi penuntut. Kadang bersikap muram yang membuat orang-orang sekitarnya menjadi kurang nyaman. Namun, Vivian salut karena Cynthia tak pernah menjadi gadis dengan mulut jahat yang suka menghina orang lain. Itulah yang membuatnya bertahan selama setahun ini.
Vivian tak pernah menyangka jika hari ini dia akan merasakan konsekuensi negatif atas pekerjaannya. Keluar dari kamar mandi, dia bertekad akan menjaga jarak dari Eric. “Kencan” mereka tak perlu dimeriahkan oleh adegan ciuman dan meraba-raba. Nyatanya, apa yang dihadapi gadis itu di menit-menit selanjutnya membuat Vivian kaget dan tak siap mental.
Robin Maliq meregangkan tubuhnya sambil melirik jam dinding. Sudah lewat pukul sembilan malam. Lehernya terasa pegal dan kaku. Begitu juga dengan punggungnya. Total sudah tiga jam dia duduk sambil memelototi layar laptopnya. Pria muda itu harus mengecek sederet angka dan mencocokkan dengan setumpuk berkas yang ada.Pekerjaannya menuntut ketelitian dan fokus yang tinggi. Jika ada satu saja angka yang keliru, sudah pasti Robin harus bekerja lebih lama dibanding seharusnya. Padahal, sedapat mungkin, cowok ini sangat ingin memanfaatkan waktu seefisien mungkin.Laporan keuangan itu seharusnya bisa dikerjakan orang lain. Namun mungkin itu cara ayahnya untuk membuat Robin tetap sibuk dan fokus. Sejak dia kembali ke Jakarta, sang ayah memastikan Robin menghabiskan waktu dengan produktif. Pekerjaannya tak pernah sebanyak ini karena Robin terbiasa menuntaskan tugasnya setiap hari. Inilah risiko karena dia mengambil cuti seminggu penuh. Otomatis, pekerjaan cowok itu pun bertumpuk
“Kalau gitu, mundur! Aku mau ngapain sama cewek ini, memang bukan urusanmu, kan? Abaikan kami, pura-pura nggak ngeliat apa pun. Nggak usah ikut campur.” Lalu tatapan Eric beralih pada pacarnya. “Cewek yang suka jual mahal cuma supaya dianggap misterius, layak untuk dikasih pelajaran. Kalau cuma memar di lengan, masih terlalu ringan.”Wow! Bukankah selama ini media menggambarkan Eric sebagai cowok gentleman yang rendah hati? Barusan Eric mengancam akan membuat lebih dari sekadar lengan yang memar? Jika kondisinya seperti ini, Robin tidak bisa diam saja. Dia paling anti pada cowok yang main tangan dengan kaum hawa, apa pun alasannya.“Kamu nggak apa-apa?” tanya Robin, ditujukan kepada gadis yang sedang berusaha melepaskan cengkeraman Eric. “Kamu lebih suka aku pergi atau gimana?” tanyanya nekat. Beberapa orang yang berlalu-lalang, memperhatikan dengan mata menyipit atau tatapan ingin tahu terang-terangan. Entah kar
Robin mulai berkenalan dengan minuman beralkohol sejak berumur sebelas tahun. Berawal dari ketidaksengajaan, sebenarnya. Dia sedang tidak bisa tidur, keluar dari kamar untuk mengambil air putih. Seseorang malah menawarinya untuk mencicipi minuman berwarna kuning yang mulanya ditolak anak itu.“Minuman ini bakalan bikin kamu tidur nyenyak, Bin. Lama-lama, kamu juga bakalan nggak ingat sama mamamu. Jadi kamu nggak akan terlalu sedih lagi.”Kalimat itu membuat Robin goyah, janji untuk membuat kesedihannya berkurang. Tanpa pikir panjang, dia akhirnya mencoba mencicipi minuman yang terasa membakar kerongkongannya. Anak itu sempat tersedak dan terbatuk-batuk hebat. Dia ketakutan minuman itu akan menghancurkan lehernya. Namun ternyata Robin keliru. Ketidaknyamanan itu akhirnya berubah menjadi rasa hangat yang menyebar di sekujur tubuhnya.Robin kecil sedang gundah karena banyak masalah yang menghantamnya bertubi-tubi. Setelah seumur hidup mengira bahwa diri
“Kalau aku bohong, silakan Papa buang aku. Jangan akui sebagai anak. Jangan terima aku di rumah ini,” kata Robin lagi. “Aku nggak mau jadi anak yang gagal dan cuma bisa bikin kecewa Mama. Aku akan berubah,” ulangnya dengan penuh tekad.Lalu, dia menangis tersedu-sedu sambil terduduk di lantai. Menangisi semua kesalahan dan kebodohannya. Ariel turun dari tepi ranjang, memeluk anaknya. Itulah kali pertama Robin merasakan dekapan hangat sang ayah.***Robin bergegas memasuki toko perhiasan berlabel Adiratna Maharani dengan langkah-langkah panjangnya. Kedua tangannya dipenuhi kantong-kantong plastik yang menggelembung. Mengenakan kemeja dan celana black jeans, penampilannya tampak santai. Satpam yang bertugas di pagi itu, Eko, buru-buru membukakan pintu.“Selamat pagi, Robin,” sapanya ramah dengan senyum lebar. “Kapan pulang?”“Kemarin sore,” balas Robin. &
Beberapa puluh menit sebelumnya.Vivian tidak pernah mengira “kencan” itu berjalan dan berakhir buruk. Setelah dia kembali dari toilet, gadis itu sengaja pindah tempat duduk. Dia memilih untuk menarik kursi di depan Eric. Melihat apa yang dilakukannya, cowok itu menunjukkan ketidaksenangan.“Aku lebih suka duduk berhadapan sambil ngobrol. Kalau nggak ngeliat wajah lawan bicara, rasanya kok kurang enak,” argumen Vivian tadi saat Eric bertanya alasannya pindah.Sepanjang acara makan malam itu, Vivian merasa tidak nyaman berkali-kali. Eric tampaknya memutuskan untuk bersandiwara tak tanggung-tanggung. Menunjukkan bahwa hubungannya dengan Cynthia tak terganggu dengan gosip di luar sana.Bisa menebak apa yang dilakukan cowok itu? Eric membuka sepatu dan mengelus betis Vivian dengan punggung kakinya. Ketidaknyamanan membuat Vivian mengubah posisi duduknya hingga kaki Eric tak bisa menjangkaunya.“Tolong, nggak usah menyentuh
Vivian menahan diri agar tidak berteriak untuk meluapkan emosinya. Dia benar-benar merasa terhina karena kata-kata dan sikap Gideon barusan. Akan tetapi, dia tahu itu semua sia-sia saja. Gideon takkan berubah pikiran.Vivian masih dalam tahap mencerna semua kenyataan mengejutkan yang terbentang di depannya dengan baik. Dia benar-benar tak mengira jika Cynthia akan memecatnya begitu saja tanpa mau mendengarkan apa yang terjadi menurut versi Vivian.“Kalau memang….”“Gideon, aku mau ngomong bentar sama Vivian. Kamu nggak perlu berdiri di sini lagi,” sela Sally yang tiba-tiba muncul. Perempuan itu menarik lengan kiri Vivian dan mulai berjalan menuju teras. Vivian mengaduh pelan.“Kenapa? Apa aku megangnya terlalu kencang?” Sally menoleh dengan mimik kaget. Dia melepaskan tangannya.“Nggak,” bantah Vivian tanpa menjelaskan lebih jauh. Mereka sudah berada di teras, saling berdiri berhadapan. Vivian
“Ngapain sih kamu pindah ke Malaysia cuma untuk sekolah? Aku kan nggak punya temen curhat lagi. Kalau ada apa-apa, harus nelepon dulu. Buang-buang pulsa,” omel Vivian ketika menelepon Leona. Hampir tiga bulan silam, Leona memutuskan untuk menetap di Kuala Lumpur demi mendalami bidang keuangan. Vivian pun ditinggal sendiri.“Salahmu karena nggak mau ikut ke sini. Padahal kita kan bisa bersenang-senang berdua. Jauh dari Jakarta yang macet dan bising.”Vivian buru-buru protes. “Seolah KL sesepi kuburan.”Tawa Leona terdengar di seberang. Orang pertama yang dihubunginya setelah dipecat oleh Cynthia adalah sahabatnya. Vivian tiba di rumahnya menjelang pukul sepuluh malam. Dia cuma menyapa ayahnya yang masih menghadapi laptop di ruang kerjanya. Penghuni rumah yang lain sudah terlelap. Setelah itu, Vivian langsung menuju kamarnya dan menghubungi Leona. Dia beruntung karena sahabatnya belum terlelap.“Jadi, apa rencanamu
Kini, melihat apa yang terjadi pada Cynthia, Vivian merasa lega. Dia selamanya takkan sudi memacari cowok yang suka merendahkan dengan kata-kata dan menyiksa dengan tangannya. Semenawan apa pun. Apalagi jika cowok tersebut lebih suka semua tagihan dituntaskan oleh Vivian. Orang yang lebih mirip benalu takkan bisa menjadi sandaran.Esoknya, Vivian terbangun dengan satu fakta yang tak terbantahkan. Dipecat oleh Cynthia ternyata memengaruhi hidupnya. Bohong jika dia tidak merasa kecewa karena keputusan sang aktris. Apalagi Vivian sama sekali tidak merasa bersalah. Selain itu, setahun terakhir dia terbiasa dengan sejumlah rutinitas.Paginya selalu dibuka dengan memeriksa ponsel, mencari tahu jika ada tugas mendadak yang harus dikerjakan. Meski selama ini Sally selalu memberi daftar pekerjaan seminggu sebelumnya. Cuma, tidak jarang tiba-tiba ada pemberitahuan bahwa Vivian mendapat tugas tertentu, misalnya.Vivian juga masih ingat bagaimana dia harus berdiet ketat sel
Tujuh bulan kemudian....Vivian membenahi letak pigura yang berada di atas lemari pajangan. Benda itu berisi salah satu fotonya saat balita. Ketika pertama kali menginjakkan kaki di rumah yang ditempati Serena sejak pindah ke Ubud ini, foto itu mengejutkan Vivian. Dia tak pernah mengira jika ibunya menyimpan beberapa hasil jepretan kamera ayahnya di masa lalu.Gadis itu menghela napas. Dokter memperkirakan ibunya hanya memiliki waktu selama tiga bulan maksimal. Namun Tuhan memberi hadiah yang luar biasa, berupa tambahan waktu selama empat bulan lagi. Total Vivian sudah tinggal di Ubud selama tujuh bulan terakhir.Jika diingat lagi, Vivian menyayangkan pilihan Serena untuk menyembunyikan penyakit fatal yang dideritanya dari semua orang. Hanya Shinta yang tahu. Jika Vivian sudah tahu sejak awal, mungkin dia akan menghabiskan lebih banyak waktu bersama Serena yang berubah menjadi ibu yang penuh cinta di saat-saat terakhirnya.Kini, penderitaan Serena sudah b
Vivian dan Serena menghabiskan waktu bersama sekita satu jam di teras. Setelah hari kian sore dan suhu lebih dingin, mereka pun masuk ke dalam rumah. Vivian menggandeng lengan kiri ibunya. Robin tidak kembali ke teras, tampaknya memberi waktu pada Vivian dan Serena. Ternyata cowok itu sedang menonton televisi di ruang keluarga.Robin tersenyum lebar begitu melihat Vivian dan ibunya. Serena bergabung dengan Robin sementara Vivian memilih untuk mandi. Sebelumnya, dia sempat mendatangi dapur untuk membantu Shinta yang tampaknya sedang menyiapkan makan malam.“Ada yang bisa saya bantu nggak, Mbak?” tanya Vivian. Dia baru tahu dari Serena bahwa Shinta berasal dari kota Demak. Tadinya, perempuan itu bekerja sebagai petugas kebersihan di resor. Saat kontraknya habis dan tak dilanjutkan, Shinta pun sempat tak memiliki pekerjaan. Di saat yang sama, Serena pindah di rumah itu. Shinta yang sering dimintai tolong oleh Serena pun diajak serta dan ditawari pekerjaan seba
Ketiga paman Vivian menyambut Vivian dengan pelukan hangat karena mereka memang sudah lumayan lama tak bersua. “Apa kamu bakalan lama di sini, Vi?” tanya kakak tertua ayahnya, Herman. Keluarga ayah Vivian tahu betul apa yang terjadi pada rumah tangga Barry-Serena. Namun semua orang tetap bersikap baik pada ibunda Vivian.“Sampai Mama sembuh, Om,” sahut Vivian dengan penuh keyakinan.“Om pun nggak tau kalau mamamu sakit. Tiap kali ke sini untuk ngantor atau rapat, nggak ada tanda-tanda kalau Serena lagi sakit. Cuma memang belakangan berat badannya mulai turun. Tiap kali ditanya, mamamu cuma bilang kalau dia lagi diet,” imbuh paman Vivian yang lain, Mirza.Robin juga disambut dengan sikap hangat oleh ketiga saudara ayah Vivian. Semua tertarik saat tahu bahwa Robin pernah berkuliah mendalami bidang forensik yang kemudian malah terjun menjadi seorang perancang cincin. Banyak pertanyaan yang ditujukan untuk cowok itu. Menurut Vivia
“Jangan marahin Mbak Shinta, Ma. Memang udah seharusnya aku dan Papa tau kalau kondisi Mama lagi sakit. Kenapa selama ini Mama nggak pernah ngomong apa-apa?” tanyanya dengan suara bergelombang. Serena tak segera menjawab. Perempuan itu mengelus punggung putrinya dengan lembut. Vivian juga menangkap isak halus yang meluncur dari bibir ibunya. “Karena Mama nggak mau nyusahin siapa pun, Vi. Apalagi, Mama punya banyak salah sama kamu dan Papa. Mama nggak punya nyali untuk ngomongin penyakit Mama.” Hati Vivian tercabik-cabik. Dia memang memiliki banyak sekali kebencian pada ibunya sejak bertahun silam. Namun, di detik ini, Vivian tahu bahwa semua perasaan negatifnya itu sudah mendebu. Membayangkan ibunya tak ada lagi di dunia ini sebelum hubungan mereka membaik, membuat Vivian susah untuk bernapas. “Aku akan tinggal di sini, nemenin Mama. Sampai Mama sembuh,” ungkap Vivian sembari merenggangkan dekapannya. Gadis itu mengusap air matanya dengan punggung tangan kana
Vivian benar-benar kehilangan tenaga. Dia terduduk di tepi ranjang dengan tubuh seolah baru saja berubah menjadi jeli. Dia cuma memandangi Debby dan Barry yang sibuk menyiapkan koper berikut segala keperluan gadis itu. Dia akan terbang ke Bali beberapa jam lagi untuk melihat sendiri kondisi Serena.Sekitar satu jam lalu, Barry ditelepon oleh asisten rumah tangga Serena di Bali, Shinta. Perempuan itu mengontak ayah Vivian karena kondisi Serena memburuk usai kembali dari Jakarta. Alhasil Serena terpaksa dirawat di rumah sakit. Ini sudah hari ketiga. Dan Shita memutuskan bahwa ini saatnya memberi tahu mantan suami Serena.Namun, bukan itu bagian yang paling mengejutkan Vivian. Melainkan fakta yang selama ini diam-diam disimpan ibunya. Bahwa Serena menderita kanker serviks stadium awal. Dokter bahkan meramalkan bahwa perempuan itu takkan bisa bertahan hingga tiga bulan ke depan karena penyakitnya telat ditangani. Serena bahkan menolak kemoterapi karena dinilai tak ada guna
“Hah?” Tubuh Robin mendadak tegak. “Kenapa telat?”“Karena aku udah ngomong sama Papa soal kamu.” Vivian tersenyum lebar. “Nggak ada masalah sama sekali, Bin. Jadi, kamu nggak perlu cemas lagi.”Robin memajukan tubuh dengan pupil mata melebar. “Serius, kamu udah ngomong?”“Iya, udah.” Sebagai penegasan, Vivian mengangguk. “Kaget pastinya, tapi cuma sebatas itu doang. Papa malah cemas akunya yang bakalan ribet karena inget semua yang udah kejadian. Kubilang, masa-masa itu udah lewat.” Gadis itu tertawa kecil.“Papamu nggak keberatan sama sekali?” Robin tak percaya.“Nggak, Bin. Buat Papa, yang terpenting kamu itu orang yang bertanggung jawab. Bukan playboy murahan yang bakal bikin anak kesayangannya patah hati,” respons Vivian.“Playboy murahan,” ulang Robin sambil tergelak. “Aku cowok baik-baik, Vi.
Robin duduk di depan Barry dengan bahu tegang dan keringat membasahi punggung. Padahal, suhu di dalam Super Bakery sama sekali tidak panas karena dilengkapi dengan pendingin udara yang suaranya berdengung samar. Di sebelah kirinya, Vivian berceloteh santai tentang sahabatnya yang akan pulang untuk berlibur.“Kamu kok diam aja dari tadi, sih?” Vivian menyenggol Robin dengan bahunya.“Kan aku lagi dengerin kamu ngomong,” elak Robin. Cowok itu mati-matian menekan rasa gugup yang meremas-remas sekujur tulangnya.Sebenarnya, dia ingin menolak saat Vivian menelepon dan memintanya datang ke toko roti tadi sore. Selain karena dia masih belum menyelesaikan desain cincin terbaru yang diminta ayahnya, Robin juga belum siap untuk bertemu Barry. Mendatangi Super Bakery seusai magrib, hampir pasti akan bertemu pemiliknya. Robin belum menemukan ide cemerlang untuk membuat ayah Vivian menyukainya meski tahu dirinya adalah putra bungsu Ariel.Bahka
Serena sempat menawari putrinya untuk menginap, tapi Vivian merasa itu langkah yang terburu-buru. Karena itu dia pun menolak dengan halus. “Lain kali aja ya, Ma,” balas gadis itu tanpa merinci alasan penolakannya. “Nggak apa-apa, kan?”Serena menjawab sambil tersenyum. Matanya berkaca-kaca. “Iya, lain kali juga nggak apa-apa.” Tangan kanannya mengelus pipi putrinya dengan lembut.Saat berjalan bersisian meninggalkan lantai sembilan belas yang dihuni Serena, Vivian menggenggam tangan Robin dengan erat. Perasaannya sulit untuk digambarkan dengan detail. Tadi pun Vivian masih mengira harus melewatkan satu malam yang menyiksa bersama ibunya. Namun dia memaksakan diri karena mempertimbangkan dorongan dari Robin dan juga ayahnya. Ternyata, yang terjadi sama sekali tidak mengerikan. Malah, bisa dibilang, Vivian menikmati makan malam tadi.“Makasih ya, Bin. Karena kamu … bikin semuanya terwujud. Makasih juga karena kamu n
Tadinya Vivian mengira bahwa hubungannya dengan Robin akan berat untuk dijalani. Namun pertemuannya dengan Ariel itu justru memberi efek yang tak terduga. Vivian akhirnya bisa percaya bahwa hidupnya baik-baik saja dan berlimpah cinta. Dari keluarga dan juga Robin. Semua masa lalu yang pahit itu justru membuatnya lebih kuat. Satu lagi, hubungannya dengan Serena ternyata tidak mustahil untuk diperbaiki. Meski mungkin saja interaksi mereka tidak akan pernah benar-benar cair.“Jujur aja, tadinya aku nggak berani ngebayangin bakalan ketemu sama papa kamu, Bin. Aku udah mikir yang jelek-jelek. Tapi kadang Tuhan memang ngasih kejutan yang sama sekali nggak disangka. Pas beneran ketemu papamu di apartemen kemarin, ternyata nggak seberat yang ada di kepalaku,” aku Vivian jujur.“Makanya, jangan suka mikir yang negatif melulu,” komentar Robin. Telunjuk kanan lelaki itu diusapkan di kening Vivian. “Seringnya, bayangan di kepala kita jauh lebih dramat