Elya memasuki kamarnya dan membanting pintu dengan asal, gadis itu segera menuju ke ranjang dan merebahkan tubuhnya di sana. Elya mengusap air matanya yang masih saja terjatuh. Padahal Elya sudah berjanji pada dirinya untuk tidak menangis lebih dari dua kali satu minggu. Namun hari ini ia sudah menangis dua kali. Hal yang menjadi pantangan Elya adalah menangis, tapi mau bagaimana lagi, ia tetap perempuan yang rapuh.
Suara nada dering terdengar dari hp Elya, gadis itu buru-buru mengambilnya. Elya menerima telepon dari ibunya.
“Assalamualaikum, ibu,” sapa Elya berusaha menggunakan nada seceria mungkin.
“Waalaikumsalam, Elya. Bagaimana kerja kamu? Lancar?”
“Lancar, Bu.”
“Uangnya sudah ditransfer belum?”
"Ibu butuh uang berapa memang?"
"Tidak banyak, hanya lima ratus ribu."
"Oh."
"Jadi gimana? Sudah atau belum?"
Elya kembali ingin menangis. Ini masih di tengah bulan yang uangnya pun sudah pas-pasan, tapi ia sudah ditanya uang lagi oleh Ibunya. Elya melirik tempat ia menyimpan beras, bahkan untuk makan esok hari ia tidak ada beras, dan sekarang ibunya menanyakan uang.
“Maaf, Bu. Belum ada karena gajian masih di awal bulan,” jawab Elya.
“Oh.”
“Besok aku tidak bisa makan, Bu. Beras ha-”
Tut!
Panggilan terputus dengan sepihak. Elya tertawa kecil, gadis itu meletakkan hpnya di meja dan segera menarik selimutnya menutupi seluruh tubuhnya sampai ujung kepala.
Isakan kecil lagi-lagi terdengar dari bibir mungilnya. Ia jauh dari keluarga, tidak punya sanak saudara, bekerja keras di kota orang, sekali pun keadaannya tidak pernah ditanyakan apakah baik-baik saja. Siklus hidup Elya pun hanya bekerja, gajian, habis, bekerja lagi. Begitu terus meski ia lelah.
Sebenarnya obat lelah Elya hanya sederhana, ditanya bagaimana kabarnya, sudah makan atau belum, baik-baik saja, kah? Namun orang-orang yang ia sayangi, tidak pernah bertanya demikian. Bahkan orang tuanya pun tidak mau mendengar apa yang menjadi keluhannya di kota orang. Elya tidak pamrih memberikan apapun, hanya saja ia ingin juga merasa dipedulikan sebagai seorang anak.
“Kuat Elya, kamu gadis yang kuat,” ujar Elya seorang diri. Siapa lagi yang bisa menguatkan Elya selain dirinya sendiri? Tidak ada.
Malam ini Bariqi tidak bisa tidur nyenyak. Pria itu telentang di ranjangnya sembari memainkan headset berwarna pink milik Elya. Setelah Elya pergi, Bariqi pun memungut headset dan memilih pulang. Bariqi merasa ia sudah gila, kini seluruh pikirannya hanya memikirkan Elya. Elya tidak mau keluar dari otaknya barang sejenak pun, bahkan saking gilanya Bariqi menciumi headset milik gadis yang selalu dia rundung.
“Akhhh!” Bariqi mengerang frustasi dan segera bangun. Bariqi menyambar hp yang tidak jauh darinya. Pria itu tengah menimang-nimang hpnya, bingung antara menghubungi Elya atau diam.
Bariqi melihat profil w******p milik Elya. Tidak ada tanda-tanda online. Status terakhir dilihat pun tidak ditampilkan. Bariqi melempar hpnya lagi, pria itu kembali merebahkan tubuhnya.
Perasaan Bariqi sangat kacau memikirkan Elya. Ia tidak terbiasa dengan sikap Elya yang seperti tadi. Biasanya kalau Elya marah, Elya akan mengomel atau menyerangnya dengan memukul lengan atau dadanya. Namun malam ini semuanya berbeda. Elya bukan lagi gadis yang marah saat ia ejek, bukan lagi gadis yang sering memukulnya tatkala kesal.
Melihat air mata Elya membuat hati Bariqi terasa sakit, sekian tahun ia bersama Elya, baru kali ini ia melihat Elya menangis.
Ingatan kemarin merasuki pikiran Bariqi, saat Elya mengatakan semua bahan makanan habis. Bariqi segera melompat dari ranjang, pria itu menyambar jaket, dompet dan kunci mobilnya. Dengan tergesa-gesa Bariqi keluar dari rumahnya.
“Nak, mau kemana?” tanya Ibu Bariqi yang melihat anaknya tergesa-gesa.
“Mau ke Mess Elya, Bu,” jawab Bariqi.
“Ibu sudah menanti lama kamu bawa Elya ke rumah, tapi kenapa sampai saat ini kamu masih menyembunyikan dia dari ibu?” tanya Putri, Ibu Bariqi. Setiap saat Bariqi selalu membicarakan Elya, Putri sangat penasaran dengan gadis yang bernama Elya itu. Namun Bariqi tidak pernah membawanya ke rumah. Hanya suaminya lah yang tahu siapa sebenarnya Elya.
“Dia belum jinak, belum bisa dikenalkan ke ibu,” jawab Bariqi sembari ngacir begitu saja meninggalkan ibunya.
Bariqi memasuki mobilnya dan menjalankannya membelah jalanan kota Batu. Sedangkan Putri, perempuan paruh baya itu menatap suaminya yang duduk menghadap televisi.
“Biarkan saja, Bu. Elya anak yang baik, ayah mengenalnya,” ujar Prasetyo, suami Putri sekaligus ayah Bariqi, pemilik hotel Sunflower tempat Bariqi dan Elya bekerja.
Prasetyo mengenal betul Elya, ia kerap kali mendengar desas desus tentang Bariqi yang selalu merundung dan bersikap semena-mena dengan Elya. Meski Bariqi tidak pernah cerita padanya, tapi Prasetyo sudah tahu semuanya termasuk ia yang bisa menebak kalau Bariqi jatuh cinta dengan Elya.
“Dia selalu semangat membicarakan Elya, tapi belum pernah membawa ke sini,” rajuk Putri. Yang dikatakan Putri benar adanya, Bariqi selalu membicarakan Elya. Katanya Elya gadis yang menyebalkan, cuek dan selalu menentang. Namun berbeda dengan raut kesal Bariqi saat menceritakan Elya, nada suara Bariqi terdengar semangat.
Bariqi sampai di mall yang ada di tengah kota, pria yang tengah memakai jaket hitam itu segera masuk ke mall dan mengambil troli. Bariqi tidak bisa serta merta mengabaikan Elya, pria itu membeli banyak bahan makanan, mulai beras, sayur, dan banyak camilan untuk Elya. Tidak lupa susu kotak rasa coklat dan stroberi kesukaan Elya. Hal kecil yang dilakukan Elya, sudah dihafal Bariqi di luar kepala.
Setelah mendapat apa yang dia butuhkan, pria itu segera membayar dan bergegas ke mess. Malam masih menunjukkan pukul sepuluh malam, Bariqi sampai di mess Elya dan membawa dua kardus besar barang kebutuhan Elya. Pria itu meletakkannya di depan pintu mess Elya.
Bariqi menghembuskan napasnya lega. Pria itu mengambil duduk di kursi depan mess Elya. Ia tidak mau mengetuk pintu, takut mengganggu Elya yang mungkin sudah tertidur. Namun, Bariqi pun enggan untuk pergi. Ia ingin menjaga Elya di sana, meski Elya tidak mengetahuinya.
Bariqi semakin mengeratkan jaketnya saat merasa hawa malam menusuk kulitnya. Hawa di Kota Batu lebih dingin dari kota lain, karena Batu berada di kawasan dataran tinggi. Bariqi memejamkan matanya, pria itu mencoba tidur, meski ada nyamuk yang mencoba mendekatinya.
Malam semakin larut, suara dengungan nyamuk yang bertebaran pun mengganggu Bariqi. Bariqi yang notabene anak orang kaya, tidak pernah merasakan hidup susah, di rumahnya ada fasilitas yang mewah, tapi kali ini rela tidur di luar demi menjaga Elya.
Elya bangun cukup pagi hari ini, gadis itu segera membersihkan diri dan melakukan kewajiban subuhnya. Setelah selesai, Elya bersenandung pelan, menyanyikan lagu-lagu cinta kesukaannya. Tadi malam memang menjadi malam yang menyedihkan untuk Elya, tapi pagi ini menjadi pagi yang indah untuk Elya. Pasalnya hari ini adalah hari selasa, dimana si bosnya jadwalnya off. Hari selasa menjadi hari yang paling ditunggu Elya selain senin. Tidak bertemu bosnya sehari sudah membuat otak Elya rasanya fres bagai healing di tempat yang indah. “Akhhh tidak bertemu Si Anjing yang sering menggonggong itu rasanya sangat senang,” ucap Elya menguncir rambutnya dengan rapi. Gadis itu sudah siap dengan seragam kokinya, tanpa sarapan atau memakan apapun, gadis itu segera keluar dari kamarnya. Mata Elya membulat sempurna saat membuka pintu, ia melihat ada dua kardus besar di depan pintu messnya. Mata gadis itu mengarah ke samping kanan. Elya terkejut melihat seorang pria tengah tidur di kursi seraya menutup w
“Hari ini kamu gak usah kerja,” ucap Bariqi yang membuat Elya menatap pria itu. “Aku telpon manager untuk ijin kamu. Lagian tidak banyak orderan hari ini,” tambah Bariqi sembari mencuci gelas bekas jahe anget. “Enak saja, aku tetap kerja meski gak banyak orderan. Kalau gak kerja gajiku dipotong sehari, bisa rugi bandar,” oceh Elya. “Aku ganti.” “Gak usah seenaknya jadi orang. Aku mau kerja hasil keringatku sendiri. Sekarang kamu keluar dari sini!” titah Elya menarik tangan Bariqi. “Gak, aku gak akan keluar,” kata Bariqi dengan keukeuh. “Terus mau kamu apa sih?” “Aku mau kamu ikut aku.” “Aku harus kerja.” “Gak usah kerja, aku ijinkan sama manajer.” “Kok kamu seenaknya sendiri jadi orang. Aku asistenmu di kerjaan, tapi aku bukan siapa-siapa kamu saat di luar,” sentak Elya ingin menendang kaki Bariqi. Namun Bariqi segera menghindar. Bariqi merogoh celananya, mengambil dompet dan menarik dua kartu debit berwarna biru dan hitam. Elya membulatkan matanya melihat itu. S
Setelah perdebatan panjang dan prahara rumah tangga, akhirnya Bariqi dan Elya duduk anteng dalam mobil. Elya masih menatap sinis ke arah Bariqi, pun dengan Bariqi yang tidak kalah sinis. Bariqi menatap Elya dari atas sampai bawah, teman-temannya selalu mengatakan kalau Elya adalah gadis polos, dan teman-temannya seolah menjadi garda terdepan dalam menjaga Elya. Namun mereka tidak tahu kalau aslinya Elya tidak sepolos yang mereka kira. Elya saja sering menonton drama Petir merah, jelas otak Elya tidak polos lagi. Juga Elya bisa menjaga dirinya sendiri lebih baik dari orang lain. Bariqi tampak menimang-nimang, pantas saja Elya jomblo akut, karena tingkah lakuknya saja lebih ganas daripada laki-laki. “Kenapa lihat-lihat? Naksir?” tanya Elya sewot. Bariqi menjitak kepala Elya dengan kencang membuat Elya balas memukul pundak Bariqi. Bariqi tidak diam saja, pria itu kembali memukul lengan Elya. Tentu saja Elya memukul dada Bariqi lebih kencang. Tak! Bugh!Jrot! Suara jitakan, pukulan
Wajah Elya memanas mendapat ciuman dari Bariqi. Bukan memanas karena tersipu atau pun terbawa perasaan, melainkan memanas karena rasa marah. Bariqi tersenyum puas, pria itu menatap hpnya yang kini ada gambar dirinya tengah mencium Elya. “Bariqi!” desis Elya mengepalkan tangannya dengan kuat. Elya mengangkat tangannya dan meninju pipi Bariqi dengan kuat. Jrot! “Akhh!” Brukk!Tubuh Bariqi ambruk tepat di semak-semak yang ada di bawah tumbuhan apel. Tinjuan Elya sangat kuat membuat Bariqi tidak bisa menjaga keseimbangan tubuhnya. “Siapa yang mengijinkan kamu menciumku, hah?” teriak Elya menduduki perut Bariqi yang kini jatuh telentang. Elya meninju lagi pipi Bariqi, tidak hanya meninju, gadis itu juga mencekik Bariqi. Sebisa mungkin Bariqi menahan teriakannya. Di seberang sedang banyak orang dan ibu-ibu grub senam tengah bertamasya, kalau ia berteriak, sudah pasti dikira ia aneh-aneh dengan Elya. Apalagi kini mereka berada di semak-semak. “Elya, jangan begini. Kita selesaikan deng
Saat ini Bariqi dan Elya tengah duduk di ruang tamu rumah Bariqi. Tadi saat Elya sudah masuk ke mobil Bariqi dan Bariqi tengah membayar apel, ibu Bariqi nyelonong masuk ke mobil Bariqi dan ingin ikut anaknya bersama seorang gadis bernama Elya. Mau tidak mau Bariqi pun membiarkan ibunya ikut ke mobilnya. Ibunya memaksanya pulang bersama Elya. Bariqi duduk diam, sedangkan Elya di sampingnya pun juga mengunci mulutnya rapat. Bu Putri pergi mengambil minyak telon untuk mengobati tubuh Bariqi dan Elya yang penuh gigitan semut juga terkena bulu ulat. Dalam hati Bariqi, pria itu terus mengomeli ibunya yang pakai acara bertamasya dengan grub senamnya di Wisata Petik Apel. Ibunya sungguh mengganggu acaranya dengan Elya. Tidak hanya ibunya yang mendapatkan rutukan Bariqi, melainkan ibu-ibu yang lain. Sudah tahu tim senam, tapi pakai acara petik apel. Sudah senam paling semangat, tapi saat pulang makan gorengan, beli punten, sompil, lontong dan lain-lain. Bagi Bariqi, orang paling tidak konsis
Elya masih terdampar di rumah Bariqi. Bahkan saat ini di depannya ada sepiring nasi lengkap dengan urap dan bandeng, makanan kesukaan Elya, tetapi ia tidak enak hati ketika akan memakannya. “Nak, dimakan. Ibu ke dalam dulu, nikmati makanannya,” ujar Putri setelah menyodorkan satu teko air pada Elya. Putri memilih pergi dari ruang tamu agar anak-anaknya tidak canggung. Elya menatap pintu penghubung ruang tamu yang sudah menelan punggung Bu Putri. Elya tidak habis pikir kenapa orang yang sangat kalem dan cantik seperti Bu Putri mempunyai anak seperti Bariqi. “Dimakan, Elya!” titah Bariqi. “Kamu anak hadiah beli pasta gigi ya?” tanya Elya pada Bariqi. Bariqi mengerutkan alisnya bingung. “Kalau tidak gitu, pasti kamu anak pungut. Bagaimana bisa Bu Putri yang lemah lembut punya anak seperti kamu?” tanya Elya lagi. Bariqi menampilkan raut kesalnya, pria itu menjitak kepala Elya dengan pelan. “Mau aku anak hadiah dari pasta gigi atau anak pungut juga bukan urusan kamu,” ketus Bariqi.
Meski sudah mendapat bentakan dari Bariqi, Elya tidak kunjung menurunkan kakinya dari paha Bariqi. Gadis itu juga tidak peduli kalau kakinya juga sudah dipukul dengan kencang. “Elya!” desis Bariqi menatap Elya tajam. Elya hanya menampilkan ekspresi sinisnya pada Bariqi. Ia sudah terbiasa mendapatkan tatapan tajam dari Bariqi, ia tidak takut lagi. “Dek, adek mau apa? Di depan ada penjual sempol, adek mau biar Mbak belikan,” ucap Cici pada Elya. Elya membulatkan matanya mendengar ucapan Cici, sedangkan Bariqi yang tadi menampilkan raut garangnya kini menahan tawanya yang akan meledak ketika mendengar ucapan Cici. Elya bukan gadis biasa yang mudah disuap dengan sempol, gadis itu sukanya hanya sama duit. Elya mengembungkan pipinya, gadis itu segera menurunkan kakinya dan beranjak berdiri. “Mau kemana?” tanya Bariqi. “Pulang,” jawab Elya. “Oh iya mau aku pesenin ojek online?” Tangan Elya terkepal dengan kuat, tadi ia pulang tidak boleh dan Bariqi juga bilang kalau tidak ada ojek. Nam
“Elya, boleh aku tanya sesuatu sama kamu?” tanya Vino sedikit ragu. “Boleh,” jawab Elya. “Kamu ada hubungan apa sama Chef Bariqi?” “Babu dan atasannya,” jawab Elya dengan santai. “Maksudku bukan begitu. Em … seperti misalnya teman tapi mesra.” Brakk! “Demi langit bumi bersaksi, apa kamu gila, Vino?” teriak Elya dengan spontan memukul meja dengan kencang. Vino tersentak kaget karena ulah Elya, pria itu mengusap dadanya pelan. “Teman tapi mesra dari mananya? Setiap aku bertemu sama dia, sama saja aku bertemu dengan setan yang sangat ingin aku hindari. Mungkin saat dulu di dalam kandungan aku sangat nakal, suka gigit-gigit jantung ibuku dan main sepak bola dalam perut, makanya saat aku sudah gede, aku dipertemukan sama orang yang freak seperti Bariqi. Melihat tampangnya saja sudah membuatku ingin mencakarnya sampai habis. Lihat wajah sombongnya itu, apa kamu pikir aku mesra sama dia? Jadi temannya saja aku tidak sudi.” Elya mengoceh bertubi-tubi dengan nada yang sangat menggebu-ge
Pernikahan bukanlah akhir dari sebuah kisah, melainkan awal untuk memulai kehidupan yang baru. Sudah terhitung satu minggu Elya dan Bariqi menikah. Elya tidak tinggal lagi di Tulungagung, melainkan gadis itu ikut suaminya ke Batu. Bariqi diberi satu rumah oleh ayahnya untuk dia tempati bersama Elya. Selama satu minggu itu belum terjadi sesuatu antara Elya dan Bariqi. Bariqi belum menyentuh Elya karena bocah itu yang merengek belum siap. Bariqi harus mengalah karena saat dia akan mendekati Elya, Elya malah menangis. Hari ini terakhir kali Bariqi cuti dari pekerjaannya dan besok dia harus bekerja lagi, begitu pun dengan Elya. Bariqi menatap Elya yang memasak di dapur, sedangkan dia duduk di samping kulkas sembari meminum air. Pandangan Bariqi tidak lepas dari punggung kecil Elya. “Aduh … dasar wajan kurangajar. Gak lihat apa kalau di sini ada tangan, malah nyentuh tanganku. Dipikir gak panas,” omel Elya saat tangannya terkena wajan panas. Bariqi hampir menyemburkan airnya saat mend
48.Niat hati Elya tidak ingin menikah muda. Masih banyak cita-cita yang ingin Elya gapai. Menjadi koki utama misalnya, karena selama ini Elya hanya menjadi asisten Bariqi. Karir Elya mulai naik lagi saat dia dipindah tempat menjadi seorang bartender. Namun, untuk sekarang karir Elya terpaksa harus dihentikan. Waktu berlalu begitu cepat. Elya yang semula tidak mendapatkan restu dari ibunya, kini restu sudah dia kantongi. Acara lamarannya dengan Bariqi berjalan lancar. Dengan sepenuh hati ayah dan ibu Elya menerima Bariqi untuk menjadi menantunya. Satu tahun setelah lamaran Elya, tepat di usia Elya yang ke dua puluh satu tahun, Elya dan Bariqi resmi menikah. Hari ini adalah hari spesial untuk Bariqi dan Elya setelah empat tahun pertemuan mereka. Bariqi baru saja mengucap ijab qobul di depan penghulu juga ayah Elya. Pernikahan sudah sah secara agama dan negara. Pernikahan yang dilakukan hanya pernikahan sederhana, ijab qobul dan resepsi pernikahan yang dihadari oleh teman-teman Elya.
Seorang Gadis tengah mengocok shaker koktail di depan para pelanggannya. Elya sudah menguasai teknik shak setelah beberapa lama berada di bar. Perempuan itu dalam sekejap menjadi perempuan idola. Bahkan ada pelanggan yang terang-terangan setiap hari datang dan mengatakan kagum dengan Elya. Kalau lagi gabut, Elya akan balik menggoda para pelanggannya. Tapi itu hanya manis di bibir, kalau perasaannya hanya untuk Bariqi. Kendati demikian, Bariqi tidak bisa jenak dan ingin Elya berada di dapur saja. Bagi Bariqi, di bar terlalu banyak buaya yang siap memangsa Elya. Namun, Bariqi tidak sadar kalau dirinya juga buaya. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam, tetapi Elya masih belum selesai dengan pekerjaannya. Elya pulang jam delapan sesuai jam kerja yang baru. Saat asik atraksi di depan para tamu, seorang pria tampan mendatangi Elya. Pandangan Elya mengarah tepat ke Bariqi, kalau dilihat-lihat orang yang sudah melamarnya itu sangat tampan. “Elya, seorang gadis dua puluh tahun, yang cant
Bariqi menggelengkan kepalanya, dia merasa bahwa dirinya sudah gila. Hanya gadis kecil yang bahkan dilihat sekilas biasa saja, tetapi Bariqi bisa jatuh cinta sedalam ini. “Kenapa tersenyum sendiri?” tanya Putri berdiri di depan pintu kamar anaknya. Bariqi terkesiap, pria itu langsung bangun dan menatap ibunya, “Ibu, kenapa ibu masuk nggak ketuk pintu? Kalau aku sedang ganti baju bagaimana?” tanya Bariqi bertubi-tubi. “Tapi kenyataannya kamu nggak sedang ganti baju, tapi kamu sedang senyum-senyum sendirian,” jawab Putri terkekeh. Bariqi malu bukan main, pria itu menarik selimut dan menyelimuti separuh tubuhnya. Putri melangkahkan kakinya mendekati Bariqi. Perempuan paruh baya itu duduk di ranjang anaknya. Tangan lembutnya mengelus puncak kepala Bariqi. Entah kenapa tiba-tiba Putri merasa sedih. Bukan maksud apa-apa, tetapi anaknya yang dulu kecil kini sudah menjadi pria dewasa. Putri selalu ingin anaknya menikah, tetapi saat tadi Bariqi pulang mengatakan sudah melamar Elya dan ing
Elya menatap sinis ke arah Bariqi, saat ini Bariqi dan Elya tengah kencan di sebuah cafe yang ada di tengah kota. Cafe dengan penuh lampion yang sangat indah dan estetik untuk digunakan berfoto. Namun, Elya masih saja sinis perkara tadi saat Bariqi bersama Sera.“Situ boleh cemburu sama aku, tapi aku nggak boleh cemburu sama situ,” cibir Elya sambil mencebik-cebikan bibirnya.“Huh, dasar laki-laki semaunya sendiri. Kalau cemburu saja aku kayak mau dibanting di tempat, tapi aku sendiri yang cemburu malah gak boleh. Curang banget jadi cowok,” cibir Elya lagi.Sudah setengah jam mereka nongkrong di cafe, tetapi Elya tidak kunjung berhenti nyinyir. Kejadian tadi sore, tetapi masih diungkit sampai sekarang.“Rasanya mau ganti cowok saja. Cowok yang lebih … hmppp-”Ucapan Elya terhenti saat Bariqi menjejalkan kentang ke bibir Elya. Mata Elya melotot, perempuan itu menggebrak meja dengan kencang.“Hishh … apa-apaan kamu ini!” pekik Elya setelah menelan kentangnya.“Dari pada kamu terus ribut
Sudah satu minggu Elya kembali ke tempat kerja yang semula. Namun, Elya tidak berada di bagian dapur lagi. Melainkan di bagian bar. Elya meracik minuman alkohol di bar mewah yang ada di hotel. Tugas Elya dipindah ke sana bersama Vino. Awalnya Bariqi sangat tidak setuju Elya dipindah ke sana, tetapi itu keputusan papanya yang tidak bisa diganggu gugat. Umumnya, Bar dibuka saat malam hari. Namun, berbeda kalau di hotel Sunflowers di mana Bar buka dua puluh empat jam. Siang hari juga sangat ramai pengunjung. Elya sudah mulai terbiasa dengan pekerjaan barunya. Namun, berada di bar membuat Bariqi sering ngambek. Pasalnya banyak cowok di sana yang membuat Bariqi cemburu. Apalagi teman kerja Elya adalah Vino. Di dapur, Bariqi tampak bekerja dengan semangat meski pikirannya terkadang fokus pada Elya. “Sera, semua bahan yang dibutuhkan sudah siap?” tanya Bariqi kepada Sera. “Sudah, Chef,” jawab perempuan itu dengan cekatan mendekatkan bahan-bahan makanan yang diperlukan. Bariqi langsung
Bariqi mengetuk-ketuk ujung jari di pahanya. Suasana sangat canggung saat antara dirinya dan Elya tidak ada yang membuka suara. Bagaimana mau membuka suara, sejak tadi mood Elya tidak baik. Setelah menyiram kopi di wajah adiknya, ibu Elya mengusir Elya untuk pergi. Bahkan semua baju Elya juga dikeluarkan oleh ibunya.Ayah Elya mencegah Elya pergi, tetapi Elya pun kukuh pergi. Elya bilang akan kembali bekerja di tempat semula. Bariqi senang Elya akan berada di dekatnya lagi, tetapi di sisi lain, Bariqi sangat iba Elya harus mendapatkan perlakuan tidak baik dari ibunya.Meski Bariqi tidak merasakannya secara langsung, tetapi Bariqi tahu betul betapa sakit hatinya Elya saat diusir oleh ibunya sendiri. Kalau bisa, Bariqi menghajar ibu dan adik Elya, tetapi dia tidak bisa melakukannya karena bagaimana pun ibu Elya tetaplah orang tua.“Maafkan aku,” cicit Elya setelah lama diam.Saat ini Elya dan Bariqi tengah berada di kereta api untuk perjalanan ke Kota Batu. Sebentar lagi sampai di stasi
Saat di kandangnya sendiri, Bariqi bagai singa yang siap mengaung kapan saja. Di dapur tempatnya bekerja, siapapun yang salah, tidak akan luput dari amukan Bariqi. Namun, saat ini Bariqi harus menciut di hadapan ibu Elya. Sejak kedatangannya, ibu Elya menatap Bariqi dengan tajam.Bariqi menjadi serba salah di sini, tetapi dia bukanlah pria cupu yang mundur begitu saja. Ibu Elya menatapnya dalam diam, membuat Bariqi menerka-nerka apa yang sebenarnya dipikirkan perempuan yang terlihat masih muda itu.Bariqi membuka bibirnya ingin berbicara, tetapi terhenti saat seorang pria paruh baya memasuki rumah.“Loh ada tamu. Teman kamu, Raf?” tanya Rahman menatap Bariqi sembari mengusung senyum.Bariqi langsung berdiri, pria itu mengulurkan tangannya pada Rahman yang langsung disambut baik oleh pria itu.“Aku pacare Elya, Pak,” ujar Bariqi memperkenalkan diri.Bariqi yakin kalau pria itu adalah ayahnya Elya. Saat bersama ayah Elya, Bariqi akan lebih sat-set, tidak peduli bila nanti Elya marah.“P
”Gak usah mampir ke rumahku. Lebih baik kamu langsung pulang!” pinta Elya merengek.“Ya, ya! Mas, jangan ke rumahku!” pinta Elya lagi. Elya memegang tangan Bariqi dengan erat. Saat ini mereka sedang menaiki bus perjalanan ke Tulungagung.Saat menaiki bus, Bariqi harus menggendong tubuh Elya karena enggak mau naik. Elya terus merengek lebih baik langsung ke Batu saja dari pada ke Tulungagung. Namun, Bariqi tetap kukuh ingin ke Tungagung. Bariqi tidak mau membuang-buang waktunya untuk berpacaran dengan Elya, Bariqi ingin cepat menikahi gadis itu. Meski Elya masih berusia dua puluh tahun. Toh mereka sama-sama tinggal di desa, sudah wajar kalau gadis seusia Elya menikah.“Mas!” rengek Elya menduselkan kepala ke dada Bariqi.Bariqi mendorong pelan kepala Elya, “Kamu kenapa sih kayak gini? Kamu gak sayang sama aku sampai aku gak boleh ke rumah kamu?” tanya Bariqi.“Bukan maksud begitu, Mas. Tapi … ah pokoknya sulit dijelaskan,” kata Elya.“Kalau sulit dijelaskan, ya gak usah dijelaskan. Bia