Baik Aldo dan Arvin sama-sama tersentak oleh kehadiran Rianty. Mereka bahkan berpikir bahwa berita itu pasti cepat menjalar ke wanita tersebut. Arvin lekas memutar tubuhnya, lantas memandang kehadiran Rianty yang mendekat dengan was-was. Bahkan sekujur tubuhnya meremang seketika.Rianty mula-mula berkacak pinggang dan berteriak keras, “Kalian ini! Kenapa bisa bertingkah sembarangan dan tidak becus kayak gini, hah!”Sebelum keduanya berhasil menjawab, tangan Rianty terulur begitu saja menjewer telinga Arvin, lalu Aldo yang ada di balik meja. Arvin mengerang kesakitan. “Aduh, Bu! Tunggu dulu.”Sementara itu, Aldo mau tak mau segera menyeret sepasang kakinya memutari meja untuk keluar. Pasalnya, semakin lama tarikan tangan Rianty pada telinganya kian menyakitkan. Keduanya lantas terpaksa mengikuti langkah Rianty yang menggiring mereka ke koridor. Beruntung, suasana lorong cenderung sepi dan berbeda dari lorong lantai lain.Tetapi, Nayra tak sengaja berpapasan dengan mereka. Ia memandang
“Loh, Pak, bukan es krim di sini saja?” Mata Nayra membelalak lebar ketika mobil Aldo justru melewati kedai es krim yang berada tepat di depan perusahaannya. Padahal es krim cokelat di sana enak dan harganya murah.Nayra menelan ludah kekecewaan. Hal itu dapat ditangkap oleh Aldo ketika pria tersebut menoleh ke arah Nayra singkat.“Memang kamu mau karyawan lain melihat kita makan es krim berdua di sana?” tegas Aldo.Seketika raut wajah Nayra berubah. Apa yang dikatakan Aldo memang benar. Ia juga ketakutan setengah mati kalaupun ada karyawan lain memergokinya bersama Aldo. Nayra khawatir pikiran macam-macam yang dilayangkan kepadanya. Meski begitu, dirinya pun sangat sadar diri, seorang Aldo tidak mungkin mau kalau orang lain sampai mengetahui pria tersebut keluar dengan wanita seperti dirinya.Lagian, siapa aku? batin Nayra minder.Tak lama kemudian, mobil Aldo akhirnya berhenti di sebuah kedai es krim yang dua kali lebih besar dari kedai yang dimaksud Nayra tadi. Mata Nayra tak berke
Seketika Marsella mendelik tak terima. Ia mendesah kasar, tersenyum kecut karena tak mengerti bagaimana jalan pikiran ayahnya.“Aku nggak melakukan apa-apa! Hah, kayaknya aku bernapas pun masih salah di depan Papi!”“Kamu jangan bohong! Kemarin aku mengawasimu. Apa yang membuat dia pergi?” Ayahnya tak mau kalah. Sementara ibunya tetap melanjutkan makan sembari mencuri pandang ke arah pusat ketegangan tersebut.“Anak ini benar-benar tidak becus melakukan sesuatu dengan baik,” imbuhnya bergumam pelan. Tangan pria itu sekarang bergerak untuk meraih alat makan dan menyuapkannya ke mulut lagi.Marsella dongkol dengan ucapan ayahnya barusan. Ia juga geram atas sikap pria tersebut yang ternyata justru membuntutinya malam itu. Marsella benar-benar tak diberi privasi sedikit pun.“Kalau gitu, jangan jodohkan aku lagi!” ketus Marsella sudah pusing dengan kelakuan ayahnya. Wajah tertekuk dan bibirnya yang mengerucut tak dapat ia sembunyikan lagi.“Diam! Kamu itu bisa tidak nurut saja! Kalau tida
"Hahaha, pelakor! Masih bisa lu muncul di mana-mana?! Nggak malu apa sama tuh muka!" celetuk keras salah satu wanita muda di sana. Kira-kira masih berstatus mahasiswa."Ih, kalau gue jadi lu sih malu, ya! Hahaha!" imbuh yang lainnya.Satu orang lainnya lagi menghampiri Marsella yang berdiri di dekat rak display sepatu, lantas menjambak rambut panjang wanita tersebut."Mati aja lu! Nggak pantes hidup di dunia ini, sumpah!" pekiknya sembari mencengkeram dan menarik rambut Marsella kuat-kuat."Aduh! Stop! Cepet berhenti!" teriak Marsella kesakitan hingga kepalanya terpelanting ke kiri."Hahaha!""Hahaha, lu nggak layak hidup!""Berhenti! Apa yang terjadi di sini?!" Tiba-tiba Nayra menyela dan menyelinap di antara mereka.Tadi Nayra sangat terkejut melihat orang yang ia benci—Marsella—berada di toko sepatu tujuannya. Tetapi, setelah menyaksikan Marsella dirundung di tempat ini, ia jadi tergerak hatinya untuk menolong perempuan itu.Seketika sekelompok wanita muda yang diduga teman kuliah
Marsella buru-buru melangkahkan kaki keluar area mall. Perasaannya campur aduk. Ia sangat malu atas peristiwa yang baru saja terjadi. Bagaimana bisa seorang Marsella jadi satu meja dengan Nayra dan Arvin. Mimpi apa dia semalam?!Namun, langkah kakinya terhenti ketika ia seperti mendengar suara tak asing yang memanggilnya.“Marsella!”Marsella memutar badan dan mengeryit samar. Tapi, begitu tak melihat siapa-siapa, ia melanjutkan untuk menggiring kaki.“Sel! Tunggu, Sel!” Tiba-tiba seorang pria menyambar lengannya. Seketika Marsella menoleh dan tercekat begitu melihat siapa yang ada di hadapannya.“Mau ngapain lagi kamu, Gun?!” ketusnya sembari mengibaskan pegangan tangan Guna pada lengannya.“Sel, aku nggak maksud buat mutusin kamu. Please, maafin aku, ya,” bujuk Guna nekat meraih kembali kedua tangan Marsella.Karena terlanjur sakit hati, Marsella akhirnya menepis tangan Guna lagi. “Hah, nggak maksud?! Terus maksudmu apa? Siapa cewek itu?!” kejarnya kesal.“Dia itu cuma klien aku, ng
Para peserta rapat terbengong-bengong menyaksikan Aldo tengah terpegun dan melihat ke arah Nayra sekarang. Beberapa dari mereka saling bertanya-tanya apa yang telah terjadi. Nayra juga termangu. Ia mengernyitkan dahi dan ingin memastikan apa yang barusan ia dengar."A-apa, Pak?" Kedua manik mata cokelatnya membulat.Seketika Aldo terhenyak, lantas segera menegakkan tubuhnya. Ia berdeham pelan dan buru-buru menggelengkan kepala."Oh, tidak. Lupakan." Ia bergerak cepat mencabut flashdisk milik Nayra tadi, lalu menyerahkannya kepada pemiliknya lagi."Ini. Tidak ada dokumen yang aku cari di sini," tegasnya kemudian."Ah, maaf, Pak. Tadi saya tergesa-gesa dan—"Aldo mengangkat sebelah tangannya untuk menghentikan penjelasan Nayra. Aldo bahkan sudah mengalihkan pandangannya ke arah layar laptop dan kembali memunculkan programnya tadi pada proyektor besar yang terpampang di belakang punggungnya."Akan aku lanjutkan." Aldo merapikan jasnya sejenak, kemudian berdiri untuk menjelaskan teknis st
“Tapi apa, Pak?” Arvin memperbaiki posisi kacamatanya dan memandang Aldo heran.Sebelum menjawab, Aldo mencondongkan badan ke depan, lantas mengatupkan ujung-ujung jemari hingga meremasnya agar memperoleh ketenangan. Ia membuka mulut, tetapi dering panjang dari ponsel miliknya justru mengalihkan perhatiannya lebih dulu.“Sebentar.” Aldo mengerutkan kening ketika membaca nama orang yang meneleponnya. Ia mendes4h panjang sebelum menerima panggilan itu.“Halo, Ma.” Aldo menjawab dengan jengah. Tangannya menggosok hidungnya malas. Sementara Arvin serius mengamati gurat wajah Aldo agar dapat segera menyimpulkan arah pembicaraan mereka.[Do, gimana? Sudah kamu bereskan nama baikmu?]Ini lagi. Aldo sangat bosan mendengarkan pertanyaan itu keluar dari bibir Rianty lagi, lagi, dan lagi.“Sudah, Ma. Ada apa?”[Ingat ya, Do. Namamu harus segera bersih! Kalau bisa cewek-cewek biar nempel sama kamu lagi! Sudah berapa nama yang reject kamu, nolak untuk dijodohkan gara-gara berita itu!]Bagaimanapun
Ida baru saja keluar dari kamar begitu melihat Nayra menggeser benda persegi panjang tersebut."Nay?!" Ia menyatukan kedua alis. "Kenapa kamu buka-buka hpku?!" Matanya mendelik menghunjam Nayra.Nayra buru-buru menarik tangannya kembali, kemudian berusaha menjelaskan, "Nggak, Bu. Tadi Nayra cuma hilangin kotoran cicak di hp ini. Nggak sengaja kebuka juga."Pembelaan diri yang dilancarkan Nayra tampaknya tak mengubah rasa curiga Ida. Masih dengan tetap menyipitkan mata dan menampilkan ekspresi judesnya, Ida segera menyambar ponsel yang tergeletak di atas meja TV, lantas mencabut charger yang semula teraliri arus listrik.Tanpa berbicara lagi, wanita itu langsung membuka ponselnya untuk memeriksa, kemudian melangkah menuju kamarnya kembali.[Sayang, aku barusan dihajar preman.]Kedua mata Ida melebar membaca pesan tersebut terkirim satu menit yang lalu. Ia cepat mengetikkan balasan saking cemasnya.[Loh, di mana kamu sekarang?]Tak lama kemudian sebuah foto yang menunjukkan wajah Guna l
Ida mengusap perlahan perutnya yang mulai membesar sembari menunggu bus yang tengah ia tumpangi menepi. Kedua matanya lebih sayu dari enam bulan yang lalu. Ida memutuskan kembali ke kampung halamannya dan mulai hidup baru di sana sejak peristiwa pengarakan yang membuatnya tak ingin ia ingat.Meski begitu, gosip di tengah masyarakat desa ternyata lebih kejam menggunjingnya. Apalagi berita mengenai perselingkuhannya viral dan menguar ke berbagai media sosial nasional. Ia sangat malu, tapi kehidupan di desa lebih menjamin dibanding di kota jika menyangkut masalah pekerjaan. Di kampungnya sendiri, asal ia gerak, maka ia dapat upah juga dengan membanting tulang di ladang milik tetangga kaya atau tuan tanah.“Pak, turun di sini, Pak!” Dari belakang, Ida mengingatkan sang sopir.Ia mulai melangkahkan kaki perlahan dengan mencangking sebuah kresek lumayan besar, lantas turun dari kendaraan besar beroda empat tersebut selagi orang-orang menatapnya. Tanpa menunggu waktu, Ida lekas melanjutkan p
Banyak orang tengah mengerumuni rumah kontrakan Guna pagi ini. Salah satu dari mereka ketua RT di wilayah tempat tinggal Guna, sementara sebagian besarnya merupakan warga yang kepo dengan penggerebekan kali ini.“Maaf, Bu. Saya selaku ketua RT di sini terpaksa harus mengamankan Ibu dan Mas Guna dulu. Hal ini dikarenakan banyak aduan dari warga bahwa di rumah ini sering disalahgunakan untuk kumpul kebo. Benar begitu, Mas Guna?” papar sopan seorang pria paruh baya secara lugas.Ida menegang. Kedua matanya menyapu orang-orang yang berada di belakang pria tadi sedang antusias memotret maupun merekamnya. Tampaknya mereka sangat penasaran dengan kondisi di rumah ini. Apalagi ternyata tersiar kabar bahwa wanita yang dibawa Guna ke kontrakannya memiliki selisih usia yang tak wajar.Guna mendengus keras. Hasil lab dari penyakitnya masih menghantui dirinya. Bagaimana tidak, di dokumen tersebut tertulis jelas bahwa Guna terjangkit virus HIV. Guna tiba-tiba menggelengkan kepala sambil menatap ke
Nayra terpaksa melakukan hal ini. Memasukkan semua barang Ida ke tas besar, lalu melemparnya ke luar rumah selagi ibunya itu memohon agar tidak diusir.Budi yang menyaksikan adegan ini sesenggukan. Perasaannya campur aduk antara kecewa karena merasa gagal menjadi sosok kepala rumah tangga, sedih, marah, menyesal dan tentu sejujurnya ia tak mau akhirnya jadi begini."Nay, maaf! Jangan usir Ibu!" Berkali-kali Ida memohon kepada Nayra, namun nyatanya Nayra sudah tak sudi mendengar semua penjelasan atau sekadar mengasihani ibunya.Nayra tidak keberatan menjadi anak durhaka sekarang. Ia amat kecewa, dan jijik dengan Ida. "Perceraian kalian biar nanti aku yang urus!" gertak Nayra sembari memasukkan barang Ida dan mendorongnya ke tubuh wanita dewasa tersebut.Ida menekuk wajahnya. Percuma. Sepertinya apa pun penjelasannya, Nayra tetap bersikukuh mengusir dirinya."Oke! Urus aja! Hidupmu bakal lebih buruk setelah ini! Lihat aja!" ancam Ida kemudian. Ia sudah tak sudi memohon.Tapi, setelahnya
Sontak keduanya memalingkan perhatiannya kepada satu titik. Nayra terperangah.“Marsella? Ada apa, Sel?”Aldo yang ada di samping Nayra kini mengacak rambutnya frustasi. Wanita di depannya sekarang datang pada waktu yang tidak tepat.“Mbak, aku mau bicara sebentar. Ini penting.” Raut wajah Marsella tampak terdesak. Tapi, Nayra tak dapat menebaknya sama sekali.Nayra akhirnya menoleh ke arah Aldo dengan segan, kemudian berkata, “Maaf, Ko. Kita bicara lagi nanti, ya.” Ekspresi Nayra sungkan.“Ya, Nay. Aku pulang dulu kalau begitu.” Aldo mau tak mau mengangguk, lalu melangkahkan kaki pergi meski sebenarnya enggan.Kedua netra Nayra mengikuti gerakan Aldo hingga pria itu hilang dari pandangannya. Nayra menghela napas, lantas kembali menaruh perhatian pada Marsella yang sudah tampak tak sabar.“Lanjut, Sel. Kamu mau ngomong apa?”Marsella bergerak meraih ponsel yang ada di dalam tasnya. Dengan gerakan cepat, ia memutarkan video berdurasi tak kurang dari satu menit tersebut. Tangannya terju
Kedua netra Marsella melebar tatkala taksi yang ia tumpangi meluncur perlahan dikarenakan efek macet sore ini. Secara kebetulan ia menangkap sosok menyebalkan Guna justru berjalan beriringan bersama wanita dewasa yang pernah mengolok-ngoloknya usai video perselingkuhannya viral ke mana-mana."Pak, bentar. Kita berhenti dulu, ya," ungkap Marsella cepat sementara dua manik hitamnya terus mengikuti jejak mereka.Marsella mula-mula meraih ponselnya, lalu memberanikan diri untuk menghubungi Guna lagi. Dari balik kaca mobil, ia memperhatikan gerak-gerik Guna yang mengerutkan kening sewaktu ponsel miliknya berdering.Guna terpaku menatap sebuah nama yang terpampang di layar selama sekian detik sebelum memutuskan untuk menjawab."Halo?" Guna akhirnya menempelkan benda persegi panjang tersebut ke telinga."Gun, kamu ada di mana?"Wajah Guna memerah. Selain masih terbawa emosi, ia agaknya kesal karena Marsella tak bisa dihubungi selama ini. Marsella juga tidak ada sewaktu dirinya berada di titi
Rianty menggertakkan gigi sewaktu menyaksikan sosok yang ia benci beberapa tahun lalu malah muncul kembali di hadapannya. Mukanya merah padam. Kini amarah Rianty berkembang menjadi dua kali lipat.Stefanny tersenyum simpul, berdiri, kemudian berderap mendekat demi menyambut kehadiran Rianty yang sengaja ia tunggu-tunggu.“Halo, Tante. Akhirnya kita bertemu, ya.” Sambil mempertahankan senyumnya, tangan Stefanny terulur untuk berjabat tangan dengan Rianty.Rianty mengatupkan rahang, sementara Nugroho yang ada di sisinya kebingungan menyaksikan situasi di depannya. Rianty mendengus, mengabaikan tangan yang terlihat menunggu di hadapannya.“Ternyata kamu anaknya Rachel. Tahu begitu aku tidak akan sudi menghubungi Rachel demi anak sepertimu,” ketus Rianty langsung menghunjam dada Stefanny.Stefanny tergelak. Ia memandang tangannya yang tak dianggap, lantas menariknya kembali. Ia tersenyum miring sembari mengibaskan rambut pendek hitamnya yang cemerlang.“Begini. Tante saya nggak salah sih,
Aldo terkesiap. Bibir lembut itu tiba-tiba menyerobot dan tak memberi napas sedetik pun. Jika saja ciuman tersebut mereka lakukan beberapa tahun silam, mungkin Aldo tak akan sekesal sekarang. Ia segera mendorong tubuh Stefanny menjauh tatkala mendengar suara benda jatuh tak jauh dari posisinya.Sontak kedua netra Aldo melebar usai melihat siapa yang baru saja datang di ruangannya.“Nayra!” Aldo lekas bangkit, ingin mengejar Nayra yang sekarang berlari pergi. Tetapi sebuah tangan terulur untuk mencegahnya.Aldo yang sudah muak menoleh dan langsung mengibaskan lengannya hingga terlepas dari cengkeraman wanita tersebut.“Sial, kamu harus tanggung jawab!” tuding Aldo murka sebelum berlari mengejar kepergian Nayra.Alih-alih merasa bersalah. Stefanny justru menyunggingkan seringaiannya dengan puas.“Pertunjukkan ini semakin seru ternyata,” gumamnya tersenyum miring.Aldo melangkahkan kaki cepat mencari keberadaan Nayra. Sejumlah karyawan menatapnya dengan penuh tanda tanya. Tak seperti bia
Saat itu Nayra baru saja dari divisi marketing, memeriksa dokumen-dokumen yang ia minta sambil berjalan menelusuri koridor.Tiba-tiba telinganya menangkap sepasang suara yang ia kenal baik. Nayra mendongak, menyaksikan Aldo dan Stefanny tengah menggiring kaki dari arah yang berlawanan sembari tertawa.Sepertinya mereka sedang bercanda, atau membicarakan tentang masa lalu indah mereka, atau bahkan mulai merangkai masa depan bersama."Hahaha, begitu, ya! Kamu pintar, Fan!" celetuk Aldo melirik Nayra, lantas menyampirkan tangannya pada pundak Stefanny."Wah, iya dong, Do. Kan kamu suka aku dulu karena kecerdasanku." Stefanny menyombongkan diri.Nayra memilih segera fokus ke dokumen kembali. Ia sengaja bersikap acuh tak acuh demi menyembunyikan perasaan berkecamuk yang sesungguhnya. Toh, ia benar-benar merasa tak layak. Jadi, Nayra tentu saja mengikhlaskan Aldo bersama wanita secantik dan sepintar Stefanny.Aldo dan Nayra saling melewati tubuh masing-masing. Nayra masih tampak berkutat pa
“Kamu tidak perlu tahu,” ucap Aldo ketus. Tak sudi menatap lawan bicaranya.Stefanny menggigit bibirnya emosi. Tangannya terkepal erat mendengar jawaban Aldo. Ia kecewa, padahal selama ini ia rela banting tulang mengurus perusahaan yang bukan milik keluarganya sendiri demi membuktikan diri dan kembali kepada Aldo.“Apa itu Nayra?” tekan Stefanny. Ia buru-buru membuang muka demi menyembunyikan kegeramannya. “Aku tau tatapanmu beda untuk perempuan itu.”Napas Stefanny semakin berat. Tapi, Aldo tak kunjung menjawabnya juga. Justru beruntung bagi Aldo karena lift di hadapannya lekas terbuka.“Dinner kita batal,” sergah Aldo dingin sebelum benar-benar keluar dari lift.Rahang Stefanny mengeras tatkala matanya menyaksikan punggung Aldo menjauh. Saking marahnya, kerongkongannya seperti tertutup oleh sesuatu yang menyakitkan. Mungkin sedikit lagi air matanya tumpah. Tetapi, Stefanny pantang menangis. Ia sudah terbiasa makan asam garam kehidupan.Dan, sejauh ini, pernyataan dari mulut Aldo bar