“Tapi apa, Pak?” Arvin memperbaiki posisi kacamatanya dan memandang Aldo heran.Sebelum menjawab, Aldo mencondongkan badan ke depan, lantas mengatupkan ujung-ujung jemari hingga meremasnya agar memperoleh ketenangan. Ia membuka mulut, tetapi dering panjang dari ponsel miliknya justru mengalihkan perhatiannya lebih dulu.“Sebentar.” Aldo mengerutkan kening ketika membaca nama orang yang meneleponnya. Ia mendes4h panjang sebelum menerima panggilan itu.“Halo, Ma.” Aldo menjawab dengan jengah. Tangannya menggosok hidungnya malas. Sementara Arvin serius mengamati gurat wajah Aldo agar dapat segera menyimpulkan arah pembicaraan mereka.[Do, gimana? Sudah kamu bereskan nama baikmu?]Ini lagi. Aldo sangat bosan mendengarkan pertanyaan itu keluar dari bibir Rianty lagi, lagi, dan lagi.“Sudah, Ma. Ada apa?”[Ingat ya, Do. Namamu harus segera bersih! Kalau bisa cewek-cewek biar nempel sama kamu lagi! Sudah berapa nama yang reject kamu, nolak untuk dijodohkan gara-gara berita itu!]Bagaimanapun
Ida baru saja keluar dari kamar begitu melihat Nayra menggeser benda persegi panjang tersebut."Nay?!" Ia menyatukan kedua alis. "Kenapa kamu buka-buka hpku?!" Matanya mendelik menghunjam Nayra.Nayra buru-buru menarik tangannya kembali, kemudian berusaha menjelaskan, "Nggak, Bu. Tadi Nayra cuma hilangin kotoran cicak di hp ini. Nggak sengaja kebuka juga."Pembelaan diri yang dilancarkan Nayra tampaknya tak mengubah rasa curiga Ida. Masih dengan tetap menyipitkan mata dan menampilkan ekspresi judesnya, Ida segera menyambar ponsel yang tergeletak di atas meja TV, lantas mencabut charger yang semula teraliri arus listrik.Tanpa berbicara lagi, wanita itu langsung membuka ponselnya untuk memeriksa, kemudian melangkah menuju kamarnya kembali.[Sayang, aku barusan dihajar preman.]Kedua mata Ida melebar membaca pesan tersebut terkirim satu menit yang lalu. Ia cepat mengetikkan balasan saking cemasnya.[Loh, di mana kamu sekarang?]Tak lama kemudian sebuah foto yang menunjukkan wajah Guna l
Sekarang di sinilah Marsella berada. Setelah mandi dan bersolek, Marsella menaiki taksi menuju kemari. Ia duduk sembari membawa paper bag di sebelah tangannya. Sementara kedua netranya menjelajahi seluruh area di sekitar, hingga karyawan yang sibuk berlalu-lalang tertarik untuk memandangnya meski sekilas.“Jadi ini tempat mereka bekerja…” gumam Marsella sambil manggut-manggut kagum.Saat Marsella menoleh ke sisi kanan, ia tak sengaja menangkap sosok Nayra yang ia cari. Untuk balas budi, begitu pikir Marsella. Bagaimanapun ia tetap terharu karena diterima baik sewaktu makan siang kapan hari.Marsella langsung berdiri. Tapi begitu melihat Arvin ternyata ada di samping Nayra, sontak ia segera membalikkan badan dan gugup.“Gimana ini?! Kenapa malah ada dia! Gimana kalau aku malah diusir?!” Marsella bergumam. Ia memejamkan kedua mata seakan dengan begitu, dirinya tak akan terlihat. Ia segera melangkahkan kaki pergi sebelum ketahuan.“Loh, Sel? Kenapa kamu di sini?”Suara Nayra berhasil men
"Ini tidak benar, Pak.""Apa maksudmu, Nay?" Aldo masih menatap Nayra dengan serius. Sementara kebingungannya tiba-tiba kian membuncah.Nayra tampak berpikir sejenak. Pandangannya ia taruh di langit, pepohonan, dan apa pun yang bisa ia lihat. "Soal panggilan… sepertinya saya tidak pantas memanggil Pak Aldo di lingkungan kerja aku-kamu, Koko."Kemudian Nayra mencoba melihat ekspresi Aldo di depannya. Pria matang tampan dan bermata sipit itu, Nayra masih tidak menyangka adalah orang yang sama dengan Koko 17 tahun lalu. Ia menghela napas berat, seandainya saja ia lebih cepat dapat mengenalinya."Kenapa? Aku tidak keberatan, Nay." Aldo mengedikkan bahu."Kamu tetap bisa panggil aku Koko, aku-kamu—""Tetap saja tidak sopan, Pak. Maaf. Masa saya memanggil begitu di hadapan Pak Arvin, karyawan lain." Nayra mengerucutkan bibir."Biarkan saja, ini kan tentang kita. Kenapa harus sampai repot memikirkan apa pendapat mereka." Kali in tatapan Aldo meyakinkan.Nayra termenung. Aldo ada benarnya. Ti
“Kamu berani menentangku?!” Kilat api pada kedua mata ayahnya menunjukkan kesabaran pria tersebut semakin menipis sekarang. “Anak kurang ajar!”Wanita di sampingnya mengunyah makanan perlahan─dengan sangat berat hati, kemudian meletakkan alat makannya. Kedua mata itu beralih dari suami di sampingnya dan Marsella di hadapannya. Raut wajahnya tampak lelah.“Sudahlah. Kenapa kita mesti ribut-ribut saat makan begini?” keluh wanita tersebut, lantas menghela napasnya panjang.“Kamu lihat saja itu anakmu! Dia selalu melawan apa yang kita perintahkan!” murka ayahnya. Sementara Marsella melotot.“Papi dan Mami sama aja! Kalian nggak pernah mau mendengarkan keinginanku dulu!”“Apa keinginanmu?! Menikah dengan duda miskin baj1ngan itu?! Nggak! Pilihanku lebih baik dari keputusanmu!” tegas ayahnya. Tampak kumis tebal di dekat mulutnya ikut memberi kesan garang.“Minimal tanya dulu lah gimana pendapatku!” ketus Marsella tak mau kalah. Ibunya memejamkan mata, lalu memijat kening saking frustasi men
Guna mengerjapkan kedua matanya tak percaya. Ia tercengang menyaksikan ada sebuah luka di al4t kelaminnya. Dari mana asalnya luka ini? Apa karena punya wanita itu yang melukainya? Guna yang panik menerka-nerka.“Aw!” Sesekali ia meringis kesakitan.“Sialan! Akhir-akhir ini hidupku banyak sial!” keluhnya kemudian. Ia memandang dirinya sendiri di depan cermin dan langsung mengasihani diri karena mukanya masih lebam di sana sini.Sekian detik berikutnya, pintu kamar mandi diketuk. Guna mendesis dan menyahut dengan kesal.“Apa?!”“Sudah belum? P3n1smu kenapa? Ayo ulang, aku belum klimaks, nih!”Guna membuang napasnya kasar, lantas terpaksa membuka pintu itu. Air mukanya memerah, antara menahan sakit, juga emosi. Akhir-akhir ini dirinya terlalu sensitif.“Aku udah nggak mood!” bengis Guna saat dirinya berjalan cepat dan sengaja menabrakkan bahu pada tubuh wanita tersebut. Kedua matanya sempat menyapu seluruh tubuh polos wanita tadi.Guna mula-mula meraup semua pakaian miliknya yang terongg
Arvin membuang napasnya sekali lagi. Siang-siang begini, ia harus mencari masalahnya sendiri dengan menolong perempuan sialan itu. Arvin tak menyesal menolong, tapi rasa bencinya semakin bertambah pada perempuan tersebut.Mau tak mau, Arvin menarik dompet miliknya dari saku celana, lantas mengulurkan sejumlah uang warna merah untuk dua preman tadi. Uluran tangan Arvin langsung disambar begitu saja oleh salah satu pria gondrong paling dekat.“Lah, apa ini?! Cuma segini doang? Tambah dong! Pelit amat!” protesnya kurang ajar.“Abang malak atau apa? Segitu cukuplah buat makan dan rokok.” Arvin menanggapinya dengan malas.“Lah, kan lu orang tajir! Hidup lu pasti udah enak dari kecil!” Sekarang preman lainnya berkacak pinggang. Wajahnya merah padam dengan mata melotot tajam.Namun, Arvin sama sekali tak takut. Kini dirinya justru bersedekap dan menatap langsung ke arah preman yang baru saja bersungut-sungut itu.“Abang tidak tahu bagaimana hidup saya. Jadi, mendingan Abang fokus dengan hidu
"Apa, Pak?" Hati Nayra mencelos tak karuan. Sepertinya Aldo benar-benar membaca bukunya, keluhnya membatin. Ia harus menjawab apa?Aldo mendongak, menghentikan gerakan tangannya, lantas menghela napas panjang."Maafkan aku, Nay. Kalau tahu sejak awal kalau itu kamu, aku tidak akan berbuat sejauh itu. Maaf."Nayra melongo. Kenapa sekarang dirinya yang jadi merasa bersalah? Nayra menekuk bibirnya ke bawah samar, kemudian buru-buru menggeleng sambil melambaikan tangannya."Tidak, tidak! Kamu jangan begitu, Ko. Ini semua bukan salahmu, kok. Tolong jangan meminta maaf begitu," sanggah Nayra tak enak. Ia menyesal situasinya jadi begini gara-gara buku miliknya.Duh, bodoh kamu, Nay! Bisa-bisa ceroboh nggak nyimpen buku itu di laci! Rutuknya menyalahkan diri sendiri."Pokok aku minta maaf, Nay." Tatapan Aldo kosong, sementara ia menyatukan kedua tangannya di atas meja. "Kamu akan betah kerja di sini, kan?"Nayra kembali menatap Aldo, begitu juga Aldo yang berpaling ke arahnya. Mereka akhirnya
Ida mengusap perlahan perutnya yang mulai membesar sembari menunggu bus yang tengah ia tumpangi menepi. Kedua matanya lebih sayu dari enam bulan yang lalu. Ida memutuskan kembali ke kampung halamannya dan mulai hidup baru di sana sejak peristiwa pengarakan yang membuatnya tak ingin ia ingat.Meski begitu, gosip di tengah masyarakat desa ternyata lebih kejam menggunjingnya. Apalagi berita mengenai perselingkuhannya viral dan menguar ke berbagai media sosial nasional. Ia sangat malu, tapi kehidupan di desa lebih menjamin dibanding di kota jika menyangkut masalah pekerjaan. Di kampungnya sendiri, asal ia gerak, maka ia dapat upah juga dengan membanting tulang di ladang milik tetangga kaya atau tuan tanah.“Pak, turun di sini, Pak!” Dari belakang, Ida mengingatkan sang sopir.Ia mulai melangkahkan kaki perlahan dengan mencangking sebuah kresek lumayan besar, lantas turun dari kendaraan besar beroda empat tersebut selagi orang-orang menatapnya. Tanpa menunggu waktu, Ida lekas melanjutkan p
Banyak orang tengah mengerumuni rumah kontrakan Guna pagi ini. Salah satu dari mereka ketua RT di wilayah tempat tinggal Guna, sementara sebagian besarnya merupakan warga yang kepo dengan penggerebekan kali ini.“Maaf, Bu. Saya selaku ketua RT di sini terpaksa harus mengamankan Ibu dan Mas Guna dulu. Hal ini dikarenakan banyak aduan dari warga bahwa di rumah ini sering disalahgunakan untuk kumpul kebo. Benar begitu, Mas Guna?” papar sopan seorang pria paruh baya secara lugas.Ida menegang. Kedua matanya menyapu orang-orang yang berada di belakang pria tadi sedang antusias memotret maupun merekamnya. Tampaknya mereka sangat penasaran dengan kondisi di rumah ini. Apalagi ternyata tersiar kabar bahwa wanita yang dibawa Guna ke kontrakannya memiliki selisih usia yang tak wajar.Guna mendengus keras. Hasil lab dari penyakitnya masih menghantui dirinya. Bagaimana tidak, di dokumen tersebut tertulis jelas bahwa Guna terjangkit virus HIV. Guna tiba-tiba menggelengkan kepala sambil menatap ke
Nayra terpaksa melakukan hal ini. Memasukkan semua barang Ida ke tas besar, lalu melemparnya ke luar rumah selagi ibunya itu memohon agar tidak diusir.Budi yang menyaksikan adegan ini sesenggukan. Perasaannya campur aduk antara kecewa karena merasa gagal menjadi sosok kepala rumah tangga, sedih, marah, menyesal dan tentu sejujurnya ia tak mau akhirnya jadi begini."Nay, maaf! Jangan usir Ibu!" Berkali-kali Ida memohon kepada Nayra, namun nyatanya Nayra sudah tak sudi mendengar semua penjelasan atau sekadar mengasihani ibunya.Nayra tidak keberatan menjadi anak durhaka sekarang. Ia amat kecewa, dan jijik dengan Ida. "Perceraian kalian biar nanti aku yang urus!" gertak Nayra sembari memasukkan barang Ida dan mendorongnya ke tubuh wanita dewasa tersebut.Ida menekuk wajahnya. Percuma. Sepertinya apa pun penjelasannya, Nayra tetap bersikukuh mengusir dirinya."Oke! Urus aja! Hidupmu bakal lebih buruk setelah ini! Lihat aja!" ancam Ida kemudian. Ia sudah tak sudi memohon.Tapi, setelahnya
Sontak keduanya memalingkan perhatiannya kepada satu titik. Nayra terperangah.“Marsella? Ada apa, Sel?”Aldo yang ada di samping Nayra kini mengacak rambutnya frustasi. Wanita di depannya sekarang datang pada waktu yang tidak tepat.“Mbak, aku mau bicara sebentar. Ini penting.” Raut wajah Marsella tampak terdesak. Tapi, Nayra tak dapat menebaknya sama sekali.Nayra akhirnya menoleh ke arah Aldo dengan segan, kemudian berkata, “Maaf, Ko. Kita bicara lagi nanti, ya.” Ekspresi Nayra sungkan.“Ya, Nay. Aku pulang dulu kalau begitu.” Aldo mau tak mau mengangguk, lalu melangkahkan kaki pergi meski sebenarnya enggan.Kedua netra Nayra mengikuti gerakan Aldo hingga pria itu hilang dari pandangannya. Nayra menghela napas, lantas kembali menaruh perhatian pada Marsella yang sudah tampak tak sabar.“Lanjut, Sel. Kamu mau ngomong apa?”Marsella bergerak meraih ponsel yang ada di dalam tasnya. Dengan gerakan cepat, ia memutarkan video berdurasi tak kurang dari satu menit tersebut. Tangannya terju
Kedua netra Marsella melebar tatkala taksi yang ia tumpangi meluncur perlahan dikarenakan efek macet sore ini. Secara kebetulan ia menangkap sosok menyebalkan Guna justru berjalan beriringan bersama wanita dewasa yang pernah mengolok-ngoloknya usai video perselingkuhannya viral ke mana-mana."Pak, bentar. Kita berhenti dulu, ya," ungkap Marsella cepat sementara dua manik hitamnya terus mengikuti jejak mereka.Marsella mula-mula meraih ponselnya, lalu memberanikan diri untuk menghubungi Guna lagi. Dari balik kaca mobil, ia memperhatikan gerak-gerik Guna yang mengerutkan kening sewaktu ponsel miliknya berdering.Guna terpaku menatap sebuah nama yang terpampang di layar selama sekian detik sebelum memutuskan untuk menjawab."Halo?" Guna akhirnya menempelkan benda persegi panjang tersebut ke telinga."Gun, kamu ada di mana?"Wajah Guna memerah. Selain masih terbawa emosi, ia agaknya kesal karena Marsella tak bisa dihubungi selama ini. Marsella juga tidak ada sewaktu dirinya berada di titi
Rianty menggertakkan gigi sewaktu menyaksikan sosok yang ia benci beberapa tahun lalu malah muncul kembali di hadapannya. Mukanya merah padam. Kini amarah Rianty berkembang menjadi dua kali lipat.Stefanny tersenyum simpul, berdiri, kemudian berderap mendekat demi menyambut kehadiran Rianty yang sengaja ia tunggu-tunggu.“Halo, Tante. Akhirnya kita bertemu, ya.” Sambil mempertahankan senyumnya, tangan Stefanny terulur untuk berjabat tangan dengan Rianty.Rianty mengatupkan rahang, sementara Nugroho yang ada di sisinya kebingungan menyaksikan situasi di depannya. Rianty mendengus, mengabaikan tangan yang terlihat menunggu di hadapannya.“Ternyata kamu anaknya Rachel. Tahu begitu aku tidak akan sudi menghubungi Rachel demi anak sepertimu,” ketus Rianty langsung menghunjam dada Stefanny.Stefanny tergelak. Ia memandang tangannya yang tak dianggap, lantas menariknya kembali. Ia tersenyum miring sembari mengibaskan rambut pendek hitamnya yang cemerlang.“Begini. Tante saya nggak salah sih,
Aldo terkesiap. Bibir lembut itu tiba-tiba menyerobot dan tak memberi napas sedetik pun. Jika saja ciuman tersebut mereka lakukan beberapa tahun silam, mungkin Aldo tak akan sekesal sekarang. Ia segera mendorong tubuh Stefanny menjauh tatkala mendengar suara benda jatuh tak jauh dari posisinya.Sontak kedua netra Aldo melebar usai melihat siapa yang baru saja datang di ruangannya.“Nayra!” Aldo lekas bangkit, ingin mengejar Nayra yang sekarang berlari pergi. Tetapi sebuah tangan terulur untuk mencegahnya.Aldo yang sudah muak menoleh dan langsung mengibaskan lengannya hingga terlepas dari cengkeraman wanita tersebut.“Sial, kamu harus tanggung jawab!” tuding Aldo murka sebelum berlari mengejar kepergian Nayra.Alih-alih merasa bersalah. Stefanny justru menyunggingkan seringaiannya dengan puas.“Pertunjukkan ini semakin seru ternyata,” gumamnya tersenyum miring.Aldo melangkahkan kaki cepat mencari keberadaan Nayra. Sejumlah karyawan menatapnya dengan penuh tanda tanya. Tak seperti bia
Saat itu Nayra baru saja dari divisi marketing, memeriksa dokumen-dokumen yang ia minta sambil berjalan menelusuri koridor.Tiba-tiba telinganya menangkap sepasang suara yang ia kenal baik. Nayra mendongak, menyaksikan Aldo dan Stefanny tengah menggiring kaki dari arah yang berlawanan sembari tertawa.Sepertinya mereka sedang bercanda, atau membicarakan tentang masa lalu indah mereka, atau bahkan mulai merangkai masa depan bersama."Hahaha, begitu, ya! Kamu pintar, Fan!" celetuk Aldo melirik Nayra, lantas menyampirkan tangannya pada pundak Stefanny."Wah, iya dong, Do. Kan kamu suka aku dulu karena kecerdasanku." Stefanny menyombongkan diri.Nayra memilih segera fokus ke dokumen kembali. Ia sengaja bersikap acuh tak acuh demi menyembunyikan perasaan berkecamuk yang sesungguhnya. Toh, ia benar-benar merasa tak layak. Jadi, Nayra tentu saja mengikhlaskan Aldo bersama wanita secantik dan sepintar Stefanny.Aldo dan Nayra saling melewati tubuh masing-masing. Nayra masih tampak berkutat pa
“Kamu tidak perlu tahu,” ucap Aldo ketus. Tak sudi menatap lawan bicaranya.Stefanny menggigit bibirnya emosi. Tangannya terkepal erat mendengar jawaban Aldo. Ia kecewa, padahal selama ini ia rela banting tulang mengurus perusahaan yang bukan milik keluarganya sendiri demi membuktikan diri dan kembali kepada Aldo.“Apa itu Nayra?” tekan Stefanny. Ia buru-buru membuang muka demi menyembunyikan kegeramannya. “Aku tau tatapanmu beda untuk perempuan itu.”Napas Stefanny semakin berat. Tapi, Aldo tak kunjung menjawabnya juga. Justru beruntung bagi Aldo karena lift di hadapannya lekas terbuka.“Dinner kita batal,” sergah Aldo dingin sebelum benar-benar keluar dari lift.Rahang Stefanny mengeras tatkala matanya menyaksikan punggung Aldo menjauh. Saking marahnya, kerongkongannya seperti tertutup oleh sesuatu yang menyakitkan. Mungkin sedikit lagi air matanya tumpah. Tetapi, Stefanny pantang menangis. Ia sudah terbiasa makan asam garam kehidupan.Dan, sejauh ini, pernyataan dari mulut Aldo bar