Tentu saja Vanesha menjadi tak tenang mengingat apa yang terjadi pada dirinya semalam. Di depan cermin ia menatap bayang dirinya. Perlahan meraba permukaan bibirnya yang kering. Lalu mengoleskan lipbalm pada permukaan itu.
"Merubah skrip?! Yang benar saja!" gumamnya.Seperti mimpi baginya mengingat bagaimana tadi malam seorang bintang besar seperti Vander mengecup bibirnya. Entah apa ia harus bersyukur karena kecupan itu diberikan oleh pria tampan nan kaya, atau merasa terpuruk karena masa depannya dipertaruhkan demi uang."Hh! Pasti bisa!" gumamnya kemudian sembari menatap wajahnya di depan cermin. "Apa yang aku lakukan adalah untuk diriku! Untuk melalui kesulitan yang selama ini membuatku tak bisa hidup dengan tenang!"Vanesha beranjak dari tempatnya. Ia mengepak kembali beberapa baju yang ia keluarkan dari lemarinya ke dalam koper. Karena kesepakatan itu mengharuskan dirinya menuruti ketentuan yang Vander berikan. Vanesha harus pindah dari tempat kecil itu ke sebuah apartement yang sudah Vander persiapkan.Usai mengepak semua barangnya, Vanesha meraih jaket hitam dan sebuah topi berwarna senada miliknya. Ia mencoba menyembunyikan wajahnya yang sudah sejak tadi malam tersebar di media sosial dan berbagai acara di televisi sebagai sosok wanita cantik yang berkencan dengan seorang Vander Anderson.Dan ketika ia keluar dari tempat huninya itu, ia sudah disambut dengan sosok Hesti. Wanita muda itu menyeringai lebar."Tak kusangka kawanku yang miskin berjodoh dengan lajang lapuk yang tampan nan kaya!" goda Hesti sembari merangkul lengan Vanesha. "Kalau begitu, aku harus mengantarmu sampai ke mobil sebelum kita sulit untuk bertemu!"Vanesha mendadak melepas rengkuhan sahabatnya itu. Lalu menatap mata Hesti dengan pandangan sinis. Seketika membuat Hesti perlahan tersadar dengan keadaannya."A-aku pikir, seorang Vander tidak buruk untuk me-melakukan itu dan...""Itu ciuman pertamaku! Dan aku memberikannya pada pria yang mengontrakku sebagai istrinya!" potong Vanesha.Hesti mencoba merayu sahabatnya itu. Ia kembali merengkuh lengan Vanesha lalu menyandarkan kepala di pundaknya."Bersabarlah, Nes! Ingat, semua ini demi kehidupanmu!"Vanesha menghela napas. Lalu mengangguk."Kau benar!" tukasnya yang seketika membuat Hesti tersenyum. "Demi kehidupanku! Kalau begitu, sekalian kau bawakan koperku sampai ke mobil!" imbuhnya lalu melempar koper kecil miliknya itu yang dengan sigap ditangkap oleh Hesti."Kecil sekali?! Apa yang ada di dalam sini sudah seluruhnya?" Hesti heran ketika melihat ukuran mini koper yang ia tangkap dari Vanesha."Apa menurutmu, wanita miskin seperti aku memiliki banyak pakaian? Bahkan pakaian itu pun barang bekas yang aku beli secara online dengan harga melarat!"Hesti hanya menggeleng pelan sambil menahan tawa mendengar celetukan ringan Vanesha. Ia mengimbangi langkah Vanesha, mengantar sahabatnya itu sampai ke depan. Lalu tersenyum lega ketika seorang sopir membiarkan Vanesha masuk ke dalam mobil itu setelah meletakkan koper Vanesha ke bagasi mobil mewah mereka.Ketika pintu mobil hendak ditutup, Hesti mencegahnya. Ia meraih tangan sahabatnya itu, menatapnya dengan senyuman."Meski ini pekerjaan, berjanjilah padaku jika kau menikmatinya untuk kehidupanmu yang lebih tenang, Kawan! Dan jangan lupa menelponku jika ada hal yang tak bisa kau bagi dengan Tuan Vander!" tukas Hesti.Vanesha menepuk pelan punggung tangan Hesti. Lalu tersenyum serta menganggukkan kepalanya."Aku janji, Hes!" jawabnya. "Terimakasih karena sudah sudi menjadi kawanku sampai di detik ini!"Hesti melepas kepergian Vanesha dengan senyuman. Melambaikan tangannya dan tak berhenti tersenyum meski tangis membuat pipinya basah. Sementara Vanesha hanya bisa menghela napas. Ia mencoba melawan rasa haru usai mendengar perkataan sahabatnya. Ia juga mencoba menenangkan hatinya yang mulai gugup karena sesaat lagi seorang Vander akan merubah cerita hidupnya.Vanesha merelakan hatinya untuk sebuah kontrak yang tak biasa. Mencoba tenang dan tak memikirkan masa depannya jika hal buruk terjadi setelah kontrak berakhir di kemudian hari. Kegelisahan yang kian merajam benaknya itu membuat Vanesha berulang kali meneguk air mineral yang sudah disediakan di samping tempat duduknya."Bukankah harusnya berbelok setelah lampu merah tadi, Pak?" protes Vanesha ketika menyadari rute yang diambil oleh sang sopir adalah arah berlawanan dari sebuah hunian yang sudah dijelaskan oleh Vander melalui pesan."Tuan Vander berkata bahwa Nyonya harus makan siang dulu sebelum pulang ke rumah." jelas sang sopir sambil terus fokus pada kemudi di tangannya.'Lelaki itu apakah juga berakting di depan sopirnya?' gumam Vanesha dalam hati usai melihat sikap santun sang sopir saat berucap padanya.Hanya diam yang bisa Vanesha di sela pertanyaan di dalam pikirannya. Tak banyak yang bisa ia tanyakan lagi pada sang sopir hingga tak lama mobil mewah itu menghentikan lajunya. Mobil itu berhenti di depan sebuah restoran mewah yang anehnya nampak tak seorang pun pengunjung di sana.Dengan wajah bingung Vanesha turun dari mobil setelah sopir membuka pintu untuknya. Sejenak ia melihat sekeliling. Memperhatikan bagaimana tempat itu tanpa seorang atau sebuah kendaraan di sekitarnya selain mobil yang ia naiki."Tuan Vander sudah memesannya khusus untuk Nyona agar tidak ada yang mengganggu kenyamanan Nyonya untuk sarapan." jelas sopir itu ketika menyadari betapa kebingungannya Vanesha."Ah, baiklah!"Maka Vanesha pun melanjutkan langkahnya. Ia masuk ke dalam restoran mewah yang sudah menyambut kedatangannya dengan dua orang pelayan di depan pintu. Mereka mengantar Vanesha ke mejanya, memperlakukannya layaknya seorang ratu."Terimakasih..." tukas Vanesha yang disambut dengan senyuman oleh para pelayan yang melayaninya kala itu.Ia duduk di kursi yang sudah dipersiapkan. Lalu tak lama datang beberapa menu yang tentu saja membuat kedua matanya berbinar."Untuk pertama kalinya aku bisa sarapan dengan tenang..." gumamnya lalu mulai menyantap semua makanan yang ada di hadapannya.Tak peduli dengan pandangan beberapa pelayan, Vanesha tanpa ragu menggerakkan tangannya ke kanan dan ke kiri, maju serta mundur kembali untuk mengambil makanan yang disukainya. Ia menyantap makanan itu sambil berulang kali menggerak-kerakkan kepalanya tanda senang. Mengabaikan pandangan pelayan yang sedang memperhatikan bagaimana cara makannya."Hh, apa kau berniat menghancurkan reputasi kakakku?!"Hingga sebuah suara mengejutkannya. Suara seorang wanita dengan potongan rambut sebahu dan pakaian branded ternama yang melekat di tubuhnya.Vanesha terpaku. Dengan paha ayam yang masih ada di mulutnya itu ia menatap wanita asing di hadapannya.Wanita asing itu melipat kedua tangannya di depan dada. Memperhatikan gaya Vanesha yang tentu saja biasa-biasa saja."Bagaimana mungkin kakakku akan menikahi wanita bergaya tarzan seperti ini? Ckckckckck!" gumam wanita itu kemudian ikut duduk di hadapan Vanesha.Perlahan Vanesha menyingkirkan paha ayam di mulutnya, setengah tersenyum menatap wanita asing di hadapannya."Kau ini adiknya Tuan Vander?" tanya Vanesha sedikit gugup.Wanita mengangguk."Velove Anderson! Satu-satunya saudara Vander yang akan menentang rencana pernikahan kalian!"Bersambung...Vanesha hanya diam dengan perasaan bingung ketika Velove tak berhenti memandanginya. Gugup? Tentu saja! Tapi, ia tak suka dengan cara Velove pada dirinya. "Jadi, kamu benar-benar wanita miskin?" tanya Velove. "Ternyata kakakku tidak berbohong jika ia akan menikah dengan..." Velove melanjutkan ucapannya itu dengan gerakan jarinya ke atas dan ke bawah, seolah menggambarkan bagaimana penampilan Vanesha yang biasa saja. Hal itu seketika membuat Vanesha tak bisa lagi menahan dirinya. Ia merasa muak melihat tingkah arogant dari Velove atas didirnya. "Kalo miskin kenapa? Apa orang miskin tidak boleh menikah dengan orang kaya seperti kakakmu?" tanya Vanesha dingin. Velove mengangguka pelan. Tersenyum smirk menanggapi perkataan Vanesha yang baru saja ia dengar. "Tentu saja tidak boleh." jawab Velove enteng. "Karena tujuan orang miskin menikah dengan orang kaya hanyalah untuk uang, bukan karena cinta!"Vanesha terkekeh. Lantas sikapny
Vander menatap bayang dirinya di dalam cermin. Kala itu ia baru saja mengganti bajunya selepas mandi. Ia terbebas dari keringat yang membasahi kemejanya ketika mengantar Vanesha pulang untuk berdiskusi perihal kontrak pernikahan kembali tadi. Dan dalam diam lelaki itu mengingat bagaimana sosok Vanesha dengan sikapnya yang apa adanya. Lalu tersenyum saat mengingat cuplikan adegan yang sempat ia lihat tentang bagaimana wanita itu menghadapi adiknya yang galak. "Kak!""Astaga!" Kedatangan Velove di kamarnya tanpa mengetuk pintu sangat mengejutkan Vander. Lelaki itu bahkan mengelus dada dan menatap sosok Velove setengah melotot. Sementara Velove tampak acuh. Wanita muda itu merasa acuh dengan perbuatannya yang mengejutkan Vander. Velove langsung duduk di atas ranjang sang kakak sambil menatap sang kakak yang sedang merapikan rambutnya di depan cermin. "Kamu itu bukan anak SD lagi, Velove! Seharusnya kamu ketuk pintu dulu sebelum,-" Dan ucapan Vander tertahan dengan Velove yang mendadak
Vanesha berdiam di depan loby apartement. Ia duduk di sofa panjang sembari memainkan ponselnya. Sesekali ia menghela napas, atau sekedar membenarkan posisi duduknya yang tak biasa dengan setelan dress mewah pemberian Vander. "Aku harus bagaimana jika bertemu dengan ibunya?" gumamnya sembari memutar-mutar ponselnya dengan satu tangan. "Dia memintaku bersikap apa adanya, seperti biasa, tapi dia memintaku berdandan seperti ini. Sungguh membingungkan!""Tak perlu bingung, karena aku bersamamu!"Vanesha terkejut ketika tanpa ia duga Vander sudah duduk di sampingnya. Lelaki itu dengan sangat enteng merangkul Vanesha hingga membuat beberapa orang yang berlalu di sekitar sama fokus pada mereka. Vanesha terpaku ketika Vander menatap matanya. Mendadak jantungnya berdegup kencang. Seolah dunia berhenti untuknya. "Tu-Tuan Va-Vander?"Vanesha sedikit kikuk menyadari bagaimana aktor tampan itu merangkulnya. Pipinya juga memerah saat menatap senyuman lebar superstar yang biasanya hanya ia pandan
'Sampai akhir hayat? Semudah itu ia mengatakannya?! Ck, benar-benar seorang aktor yang hebat!' batin Vanesha di sela senyuman yang ia layangkan pada semua mata kamera awak media di hadapannya. Ia hanya bisa menatap mereka dan tersenyum, sesuai bagaimana Vander memberi titahnya di dalam perjalanan tadi. Meski ada debar dasyat dalam benak ketika tangan besar Vander yang mulus itu menggenggam tangannya, Vanesha berusaha nampak se-relax mungkin. Selain ingin memenangkan sandiwaranya di depan awak media, ia juga tak mau membuat Vander yang selalu bangga dengan ketampanannya itu semakin besar kepala. "Cukup sampai di sini, kita akan bertemu di jumpa pers nanti, ya! Kami mohon pamit dulu, karena kebetulan Mama sedang menunggu di dalam!" jelas Vander yang seketika membuat para wartawan di hadapannya itu berbinar mendengar kalimat akhirnya. Mereka juga berdecak kagum sambil melanjutkan pengambilan gambar ketika sosok Nyonya Ana nampak menyapa mereka dari mulut pintu. Tentu kehadiran sosok ib
‘I-ingin menyentuh? A-apa laki-laki gila i-itu sedang memperdalam perannya?! Tapi, me-mengapa matanya ketika menatapku...’ Tentu Vanesha tak bisa melupakan kata-kata akhir Vander yang tak hanya mengejutkan Nyonya Ana selaku ibunya, nyata perkataan itu sama mengejutkan bagi Vanesha. Terlebih lagi cara pandang Vander yang membingungkan. Membuatnya dilema tatkala melihat wajah itu ketika berlakon sebagai seorang kekasih di depan matanya. Hingga saat detik Vander tengah mengantar dirinya pulang pun sorot mata laki-laki itu benar-benar tak bisa ia lupakan. “Kita mampir ke mini market sebentar ya? Aku harus membeli beberapa benda untuk syutingku besok.” tukas Vander yang kemudian segera turun dari mobil setelah Vanesha menganggukkan kepalanya. Dari kaca jendela mobil yang nampak gelap dari luar itu ia memperhatikan langkah seorang aktor dengan pakaian serba hitam dan topi beserta masker bewarna senada yang ia kenakan. Ia mencoba menerka gerak tubuh yang sedang tampil misterius itu, Dahi V
Mendadak keduanya terpaku. Baik Vanesha maupun Vander, keduanya terhanyut dalam debar. Vander merasa mata sejuk milik Vanesha itu menyihir dirinya. Namun kesadarannya dengan cepat merubah ekspresi wajahnya itu kembali datar. Ia tersenyum smirk dengan satu alis tebalnya yang terangkat seolah tengah menganggap remeh Vanesha yang masih terbelalak karena sikapnya. "Berdebar kan?" godanya tanpa peduli nyata benar dirinya pun jua tengah berdebar. Sontak hal itu membuat Vanesha tersadar dan langsung mendorong Vander agar menjauh dari tubuhnya. "Wanita di luar sana mungkin iya, tapi tidak dengan aku!" elak Vanesha sembari membuang pandangannya keluar jendela. Hal itu membuat Vander terkekeh. "Jelas pipimu memerah! Apa artinya jika bukan karena berdebar?!" Perkataan Vander membuat Vanesha perlahan meraba kedua pipinya. Lalu melirik lelaki yang sungguh berhasil menggodanya. "Itu karena blush on!" tukasnya lalu menarik diri dan membuang pandangannya ke arah yang berlawanan agar tak menatap
Setelah sepakat, Vander membawa Vanesha ke kediamannya. Bukan rumah keluarga besar dimana ada adik serta ibu Vander berada, namun tempat tinggal yang selama ini hanya di huni oleh Vander dan managernya. Vander mengajak Vanesha ke sana karena benar setiba mereka di sana terlihat seorang wanita berdiri di depan mobil mewah miliknya yang berparkir di depan rumah Vander. Di tengah terpesonanya Vanesha yang menamatkan wajah cantik wanita itu di kejauhan, ia dikejutkan dengan Vander yang tiba-tiba meraih tangannya. Seketika membuat jantungnya berdebar kencang saat menatap wajah nyaris sempurna Vander meski tanpa senyuman. “Kau hanya perlu di sampingku dan ikut masuk ke dalam. Apapun yang ia katakan ataupun yang ia tanyakan, kau tak perlu menjawabnya. Sampai di sini apa kau mengerti?” tukas Vander kemudian. “I-iya..” jawab Vanesha setengah gemetar ditatap tajam oleh Vander kala itu. “Ayo kita keluar!” Vanesha kembali mengangguk, lalu mengikuti langkah Vander keluar dari mobil setelah san
Menyadari bahwa dirinya tak sanggup untuk lama berdiri, Vander meminta Vanesha memapahnya ke sebuah kamar utama. Maka dengan susah payah Vanesha berusaha memapah tubuh besar itu untuk menaiki satu persatu anak tangga menuju kamar utama. Dan beruntung Vanesha dapat bertahan membawa lelaki itu hingga membantunya tidur di atas ranjang. Perlahan-lahan Vanesha membuka sepatu kets yang Vander kenakan. Lalu membantu lelaki itu membuka kemejanya untuk menghilangkan rasa gerah. Ia juga mengatur suhu ruangan itu setelah mendengar interupsi dari Vander tentang suhu yang biasa ia pakai. "Tuan beristirahatlah, aku akan turun untuk menyiapkan air hangat.""Terimakasih Vanes..." tukas Vander seraya meraih tangan Vanesha, memandang wanita itu dengan mata sayu sebab suhu tubuh yang tak nyaman. Tentu genggaman itu berhasil membuat Vanesha berdebar, bahkan pipinya memerah karena sentuhan tangan Vander. Namun Vanesha tau diri. Karena tidak mungkin lelaki berperawakan sempurna itu akan menyukainya. "Sa
Menyadari bahwa dirinya tak sanggup untuk lama berdiri, Vander meminta Vanesha memapahnya ke sebuah kamar utama. Maka dengan susah payah Vanesha berusaha memapah tubuh besar itu untuk menaiki satu persatu anak tangga menuju kamar utama. Dan beruntung Vanesha dapat bertahan membawa lelaki itu hingga membantunya tidur di atas ranjang. Perlahan-lahan Vanesha membuka sepatu kets yang Vander kenakan. Lalu membantu lelaki itu membuka kemejanya untuk menghilangkan rasa gerah. Ia juga mengatur suhu ruangan itu setelah mendengar interupsi dari Vander tentang suhu yang biasa ia pakai. "Tuan beristirahatlah, aku akan turun untuk menyiapkan air hangat.""Terimakasih Vanes..." tukas Vander seraya meraih tangan Vanesha, memandang wanita itu dengan mata sayu sebab suhu tubuh yang tak nyaman. Tentu genggaman itu berhasil membuat Vanesha berdebar, bahkan pipinya memerah karena sentuhan tangan Vander. Namun Vanesha tau diri. Karena tidak mungkin lelaki berperawakan sempurna itu akan menyukainya. "Sa
Setelah sepakat, Vander membawa Vanesha ke kediamannya. Bukan rumah keluarga besar dimana ada adik serta ibu Vander berada, namun tempat tinggal yang selama ini hanya di huni oleh Vander dan managernya. Vander mengajak Vanesha ke sana karena benar setiba mereka di sana terlihat seorang wanita berdiri di depan mobil mewah miliknya yang berparkir di depan rumah Vander. Di tengah terpesonanya Vanesha yang menamatkan wajah cantik wanita itu di kejauhan, ia dikejutkan dengan Vander yang tiba-tiba meraih tangannya. Seketika membuat jantungnya berdebar kencang saat menatap wajah nyaris sempurna Vander meski tanpa senyuman. “Kau hanya perlu di sampingku dan ikut masuk ke dalam. Apapun yang ia katakan ataupun yang ia tanyakan, kau tak perlu menjawabnya. Sampai di sini apa kau mengerti?” tukas Vander kemudian. “I-iya..” jawab Vanesha setengah gemetar ditatap tajam oleh Vander kala itu. “Ayo kita keluar!” Vanesha kembali mengangguk, lalu mengikuti langkah Vander keluar dari mobil setelah san
Mendadak keduanya terpaku. Baik Vanesha maupun Vander, keduanya terhanyut dalam debar. Vander merasa mata sejuk milik Vanesha itu menyihir dirinya. Namun kesadarannya dengan cepat merubah ekspresi wajahnya itu kembali datar. Ia tersenyum smirk dengan satu alis tebalnya yang terangkat seolah tengah menganggap remeh Vanesha yang masih terbelalak karena sikapnya. "Berdebar kan?" godanya tanpa peduli nyata benar dirinya pun jua tengah berdebar. Sontak hal itu membuat Vanesha tersadar dan langsung mendorong Vander agar menjauh dari tubuhnya. "Wanita di luar sana mungkin iya, tapi tidak dengan aku!" elak Vanesha sembari membuang pandangannya keluar jendela. Hal itu membuat Vander terkekeh. "Jelas pipimu memerah! Apa artinya jika bukan karena berdebar?!" Perkataan Vander membuat Vanesha perlahan meraba kedua pipinya. Lalu melirik lelaki yang sungguh berhasil menggodanya. "Itu karena blush on!" tukasnya lalu menarik diri dan membuang pandangannya ke arah yang berlawanan agar tak menatap
‘I-ingin menyentuh? A-apa laki-laki gila i-itu sedang memperdalam perannya?! Tapi, me-mengapa matanya ketika menatapku...’ Tentu Vanesha tak bisa melupakan kata-kata akhir Vander yang tak hanya mengejutkan Nyonya Ana selaku ibunya, nyata perkataan itu sama mengejutkan bagi Vanesha. Terlebih lagi cara pandang Vander yang membingungkan. Membuatnya dilema tatkala melihat wajah itu ketika berlakon sebagai seorang kekasih di depan matanya. Hingga saat detik Vander tengah mengantar dirinya pulang pun sorot mata laki-laki itu benar-benar tak bisa ia lupakan. “Kita mampir ke mini market sebentar ya? Aku harus membeli beberapa benda untuk syutingku besok.” tukas Vander yang kemudian segera turun dari mobil setelah Vanesha menganggukkan kepalanya. Dari kaca jendela mobil yang nampak gelap dari luar itu ia memperhatikan langkah seorang aktor dengan pakaian serba hitam dan topi beserta masker bewarna senada yang ia kenakan. Ia mencoba menerka gerak tubuh yang sedang tampil misterius itu, Dahi V
'Sampai akhir hayat? Semudah itu ia mengatakannya?! Ck, benar-benar seorang aktor yang hebat!' batin Vanesha di sela senyuman yang ia layangkan pada semua mata kamera awak media di hadapannya. Ia hanya bisa menatap mereka dan tersenyum, sesuai bagaimana Vander memberi titahnya di dalam perjalanan tadi. Meski ada debar dasyat dalam benak ketika tangan besar Vander yang mulus itu menggenggam tangannya, Vanesha berusaha nampak se-relax mungkin. Selain ingin memenangkan sandiwaranya di depan awak media, ia juga tak mau membuat Vander yang selalu bangga dengan ketampanannya itu semakin besar kepala. "Cukup sampai di sini, kita akan bertemu di jumpa pers nanti, ya! Kami mohon pamit dulu, karena kebetulan Mama sedang menunggu di dalam!" jelas Vander yang seketika membuat para wartawan di hadapannya itu berbinar mendengar kalimat akhirnya. Mereka juga berdecak kagum sambil melanjutkan pengambilan gambar ketika sosok Nyonya Ana nampak menyapa mereka dari mulut pintu. Tentu kehadiran sosok ib
Vanesha berdiam di depan loby apartement. Ia duduk di sofa panjang sembari memainkan ponselnya. Sesekali ia menghela napas, atau sekedar membenarkan posisi duduknya yang tak biasa dengan setelan dress mewah pemberian Vander. "Aku harus bagaimana jika bertemu dengan ibunya?" gumamnya sembari memutar-mutar ponselnya dengan satu tangan. "Dia memintaku bersikap apa adanya, seperti biasa, tapi dia memintaku berdandan seperti ini. Sungguh membingungkan!""Tak perlu bingung, karena aku bersamamu!"Vanesha terkejut ketika tanpa ia duga Vander sudah duduk di sampingnya. Lelaki itu dengan sangat enteng merangkul Vanesha hingga membuat beberapa orang yang berlalu di sekitar sama fokus pada mereka. Vanesha terpaku ketika Vander menatap matanya. Mendadak jantungnya berdegup kencang. Seolah dunia berhenti untuknya. "Tu-Tuan Va-Vander?"Vanesha sedikit kikuk menyadari bagaimana aktor tampan itu merangkulnya. Pipinya juga memerah saat menatap senyuman lebar superstar yang biasanya hanya ia pandan
Vander menatap bayang dirinya di dalam cermin. Kala itu ia baru saja mengganti bajunya selepas mandi. Ia terbebas dari keringat yang membasahi kemejanya ketika mengantar Vanesha pulang untuk berdiskusi perihal kontrak pernikahan kembali tadi. Dan dalam diam lelaki itu mengingat bagaimana sosok Vanesha dengan sikapnya yang apa adanya. Lalu tersenyum saat mengingat cuplikan adegan yang sempat ia lihat tentang bagaimana wanita itu menghadapi adiknya yang galak. "Kak!""Astaga!" Kedatangan Velove di kamarnya tanpa mengetuk pintu sangat mengejutkan Vander. Lelaki itu bahkan mengelus dada dan menatap sosok Velove setengah melotot. Sementara Velove tampak acuh. Wanita muda itu merasa acuh dengan perbuatannya yang mengejutkan Vander. Velove langsung duduk di atas ranjang sang kakak sambil menatap sang kakak yang sedang merapikan rambutnya di depan cermin. "Kamu itu bukan anak SD lagi, Velove! Seharusnya kamu ketuk pintu dulu sebelum,-" Dan ucapan Vander tertahan dengan Velove yang mendadak
Vanesha hanya diam dengan perasaan bingung ketika Velove tak berhenti memandanginya. Gugup? Tentu saja! Tapi, ia tak suka dengan cara Velove pada dirinya. "Jadi, kamu benar-benar wanita miskin?" tanya Velove. "Ternyata kakakku tidak berbohong jika ia akan menikah dengan..." Velove melanjutkan ucapannya itu dengan gerakan jarinya ke atas dan ke bawah, seolah menggambarkan bagaimana penampilan Vanesha yang biasa saja. Hal itu seketika membuat Vanesha tak bisa lagi menahan dirinya. Ia merasa muak melihat tingkah arogant dari Velove atas didirnya. "Kalo miskin kenapa? Apa orang miskin tidak boleh menikah dengan orang kaya seperti kakakmu?" tanya Vanesha dingin. Velove mengangguka pelan. Tersenyum smirk menanggapi perkataan Vanesha yang baru saja ia dengar. "Tentu saja tidak boleh." jawab Velove enteng. "Karena tujuan orang miskin menikah dengan orang kaya hanyalah untuk uang, bukan karena cinta!"Vanesha terkekeh. Lantas sikapny
Tentu saja Vanesha menjadi tak tenang mengingat apa yang terjadi pada dirinya semalam. Di depan cermin ia menatap bayang dirinya. Perlahan meraba permukaan bibirnya yang kering. Lalu mengoleskan lipbalm pada permukaan itu. "Merubah skrip?! Yang benar saja!" gumamnya. Seperti mimpi baginya mengingat bagaimana tadi malam seorang bintang besar seperti Vander mengecup bibirnya. Entah apa ia harus bersyukur karena kecupan itu diberikan oleh pria tampan nan kaya, atau merasa terpuruk karena masa depannya dipertaruhkan demi uang. "Hh! Pasti bisa!" gumamnya kemudian sembari menatap wajahnya di depan cermin. "Apa yang aku lakukan adalah untuk diriku! Untuk melalui kesulitan yang selama ini membuatku tak bisa hidup dengan tenang!"Vanesha beranjak dari tempatnya. Ia mengepak kembali beberapa baju yang ia keluarkan dari lemarinya ke dalam koper. Karena kesepakatan itu mengharuskan dirinya menuruti ketentuan yang Vander berikan. Vanesha harus pindah dari t