Empat jari terputus dari tangan mungil Michael yang terus meraung kesakitan, dan memicu kemarahan George. "Kau ini berisik seperti ibumu ya."Air mata terus mengalir, menuruni pipi-pipi berisi milik Michael. Tak bisa dipungkiri rasa sakit tak terhingga yang harus ia rasakan meski ia tidak mengetahui letak kesalahannya di mana, sampai ia harus diperlakukan kejam seperti itu. "Kau ... iblis. Pembunuh.""Ya, ya, ya. Aku memang hidup seperti iblis, untuk mencapai tujuanku maka itu diperlukan."George lalu berjongkok, lagi-lagi mengelus kepala Michael dengan lembut. "Apa kau mau melihat Tasia?"Remaja itu kemudian pergi meninggalkan Michael yang menahan kesakitan di tangannya yang terpotong."Hei, lihat ini," George memanggil Michael, menarik perhatian anak laki-laki itu yang langsung membulatkan mata. Seringai kejam George perlihatkan. "kakakmu tiba untuk menjemputmu.""KAKAK!" Michael langsung terdiam melihat bagian yang terputus dari tubuh sang kakak, sekaligus memandang ngeri pada teng
"Hei, Gracia, ayo pulang.""Tunggu, George," gadis itu sibuk merapikan buku-buku yang ada di mejanya, buku yang memenuhi mejanya tersebut lalu dimasukkan ke dalam tas, "aku hampir selesai."George mengangguk, pemuda itu berdiri seraya memasukkan kedua tangannya ke kantong celana. Tom dan Antonio yang bersama dengannya menatap George heran. Hal langka jika melihat seorang George Owens menunggui seorang gadis. Meski anak itu sudah sempat bercerita, jika Gracia adalah salah seorang temannya ketika ia sekolah menengah pertama. Bahkan, hal ini sudah berlangsung selama satu minggu. "Kita searah, 'kan?" tanya Gracia sambil menyampirkan tas merah mudanya ke bahu. George menggeleng, "Aku pindah rumah."Gracia manggut-manggut, "Benarkah? Lalu orang tuamu?""Hanya aku yang pindah karena itu rumah yang orang tuaku beri."Gracia memukul George sambil tertawa kecil, "Dasar orang kaya."Keduanya lalu berjalan beriringan, menyisakan dua orang sahabat George yang mengekor di belakang.***"Argh, men
"Heh! Sedang apa kau di sini?"Gracia menaikkan salah satu alisnya. Memang apalagi yang bisa dilakukan olehnya di tempat sepi berdebu, selain membawa sekeranjang bola tenis untuk dimainkan saat pelajaran olahraga. "Minggir," ucap Gracia datar, tak ingin meladeni gadis di hadapannya. Maria memang sering sekali berbuat ulah."Aku sedang bertanya padamu," gadis berambut hitam sebatas bahu berkacak pinggang di depan Gracia, "Jangan-jangan kau ke sini karena ingin bertemu juga dengan George!"Gracia mengembuskan napas panjang. Gadis berisik dan penggemar nomor satu dari putra keluarga Owens memang lah merepotkan. Ia tak habis pikir, kenapa George mau saja didekati perempuan yang bicaranya kasar dan suka seenaknya?"Maafkan aku, Maria. Tapi aku disuruh Mr. Arnold membawa bola-bola ini ke lapangan. Se-ka-rang juga," Gracia berucap seraya memberi penekanan pada setiap kata. Maria tersenyum miring, "Kaupikir aku tak tahu ya? Aku tahu kaumembuntutiku tadi, kau ke sini ingin melihatku bersama G
George melangkah santai menuju gudang lama yang terletak di belakang sekolah, hendak menyusul Gracia yang menurut teman-teman gadis itu, dia dimintai tolong oleh guru olahraga untuk mengambil sesuatu di gudang belakang. Lagipula, ada sesuatu yang harus George lakukan di tempat itu. Jadi dia akan sekalian saja ke sana sekaligus melihat keadaan Gracia.Sebenarnya, alasan George hendak pergi ke halaman belakang adalah karena dia ingin bertemu seseorang. Sebelumnya dia ada mendapat sebuah pesan dari seorang gadis yang selalu mengejar-ngejar cintanya. Nama gadis itu adalah Maria, seorang gadis yang sangat populer di sekolahnya. Cantik dan anak orang kaya. Dia tampak sempurna.Namun pesona gadis itu tidak bisa menghipnotis George untuk memalingkan perasaannya kepada orang lain. Di hatinya sudah dipenuhi impian yang besar kepada seseorang. Selain itu, George masih memiliki cita-cita yang harus dicapainya.Menjalin hubungan dengan seorang gadis tentu tidak termasuk ke dalam daftar impiannya
Tak pernah terpikirkan sedikitpun oleh Gracia bahwa dia akan dibuntuti oleh orang-orang aneh saat dalam perjalanannya menuju tempat janjiannya dengan George.Gadis yang sudah berpakaian rapi, dia bahkan sampai mengeritingkan rambutnya sedikit agar terlihat cantik pada kencannya hari itu justru tak menduga penampilannya akan menarik orang jahat."Hai, gadis cantik. Mau kemana?" Seorang pemuda dari 3 orang yang sedang berkumpul di dalam gang menegur Gracia yang melewati mereka sambil memainkan ponselnya.Gracia melirik pemuda itu sekilas, dan meneruskan perjalanannya. Awalnya dia tak berpikiran buruk. Namun ketika pemuda-pemuda itu justru membuntutinya, muncullah perasaan ngeri yang menghantui sang gadis. Gracia mempercepat jalannya."Hei, cantik. Jangan jalan cepat-cepat, mari kita bersenang-senang."Kemudian para pemuda itu tertawa. Mereka melecehkan gadis yang sedang menunggu kedatangan kekasihnya. Mereka memang janjian di suatu tempat.Gracia yang sudah terlanjur takut pun memilih
"Apa yang akan kau lakukan setelah ini, George?" "Kita sudah mengetahui identitas mereka yang ternyata adalah kakak kelas kita yang sombong. Apa kita harus memberi mereka pelajaran?""Kita harus cepat mengambil tindakan!"Tom melirik sahabatnya yang tengah menulis sesuatu di buku catatan berwarna kuning. Pemuda Owens tampak begitu menekuni kegiatannya itu tanpa memedulikan hal lain, termasuk ucapan temannya sendiri."George, apa kau mendengarkanku?"Kesabaran seseorang ada di tingkat yang berbeda-beda, begitu pula dengan Tom yang sudah menunggu mulut George terbuka dan menceritakan masalah yang dihadapi olehnya. Namun, ia hanya diam.Tidak tahukah Tom jika George mendengarkan semua perkataannya sejak awal? Hanya saja, George tengah menyusun strategi balas dendam terhadap orang-orang itu sehingga mengabaikan eksistensinya. "Kau ini selalu bersikap seperti itu! Cobalah bercerita sesekali kepada kami, George! Aku dan Antonio dengan senang hati akan membantumu, kawan!"Tom memang tidak
Seingat George, Jerome Keith adalah pemuda sombong yang masuk ke klub sepak bola pertengahan bulan Mei lalu, di saat yang bersamaan dengan masuknya dia ke klub yang diketuai oleh seorang Kendall Robertson. Pemuda yang juga masuk dalam daftar orang buruannya.Kesimpulannya setelah meneliti sikap dan sifat Jerome selama beberapa minggu terakhir adalah, pemuda itu besar dalam keluarga biasa. Namun, gaya hidupnya bermasalah. Ia adalah seseorang dengan pandangan yang menganggap kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam hidup. Singkatnya, Jerome adalah pengikut setia dari hedonisme.Dia terbiasa menggunakan barang mewah, mulai dari sepatu, celana, ikat pinggang, jam tangan, bahkan jaket dan kendaraan yang ia naiki pun semua bermerek dan mahal.Dari kabar burung yang sempat George dengar, Jerome akan membeli mobil sport. Jika ini merupakan keberuntungan, maka George dengan senang hati mengucap syukur sebab ia akan meminta mobil baru kepada orang tuanya.Sedangkan mobil lam
Smith membuka koran harian yang baru saja dibelinya dari tetangga sebelah. Ia membelinya karena penjual koran langganannya tidak datang di hari Rabu yang cerah, dan Smith tidak bisa menunggu lebih lama lagi.Lelaki berbibir penuh dengan tanda lahir kecil di bagian atas bibirnya senang menikmati berita terbaru yang disajikan beberapa lembar kertas tipis beraroma unik bernama koran. Juga ditemani oleh secangkir kopi dan kicauan burung yang menyambut pagi.Suara derap langkah kaki membuyarkan konsentrasi sang pencinta semua hal yang berkaitan dengan misteri. Smith menoleh, dan seketika tersenyum tipis."Kau merasa lebih baik hari ini?" tanyanya kepada seseorang yang bergerak menghampirinya di ruang baca.Gadis berambut pirang yang tiba di ruangan itu membalas senyuman paman yang merawatnya. Ia mengangguk kecil, "Sudah lebih baik, Paman Smith. Bukankah beberapa hari yang lalu aku sudah memberitahumu?"Smith tertawa mendengar ucapan anak dari saudaranya, ia buru-buru melipat koran dan mena
Jantung Myra berdegup kencang, ditatapnya George yang tengah memandanginya dengan serius. George tak pernah seserius ini ketika berbicara dengannya, kecuali saat pemuda itu tengah menjelaskan pelajaran yang tidak bisa dia pahami. Myra menarik napas panjang, berusaha menetralkan irama detak jantungnya yang mulai menggila."Apa yang ingin kau sampaikan, George?" tanya Myra dengan tenang, padahal gadis itu berteriak histeris dalam hati. Dia benar-benar penasaran sekaligus gugup, gelisah menantikan kalimat yang hendak George sampaikan padanya.George memandangi Myra lekat-lekat. "Myra, aku menyukaimu." Kalimat singkat George berupa pengakuan cintanya kepada Emily, dia lalu melanjutkan, "Hanya itu yang ingin kukatakan padamu."Myra terbelalak karena kaget mendengar pengakuan George. "Sejak kapan?" tanyanya hati-hati, jantungnya terus berdetak kencang, rasanya Myra hampir gila karena mendapat pernyataan cinta dari seseorang yang sudah mencuri hatinya sejak lama."Sejak semester 2, waktu
George tahu jika idenya mengungkapkan perasaan kepada Myra itu terdengar gila, tapi dia tak pernah merasa begitu gugup sampai seperti ini, bahkan saat petugas kepolisian berusaha menggeledah rumahnya saja dia masih bisa tenang dengan jantung berdegup kencang.Ada sensasi aneh yang seolah ingin membuatnya berterus-terang kepada gadis yang menjadi teman pertamanya di Universitas Johns Hopkins itu.Oleh karena itu, George akan mengajak Myra bertemu untuk membahas hal ini. Akan jauh lebih baik baginya jujur kepada gadis itu daripada memendam perasaannya terlalu lama, apalagi gadis itu telah bersama laki-laki lain yang parahnya lagi adalah seorang dosen di kampus mereka."Myra, kau ada waktu siang ini sebelum pendaftaran klub sastra?" George menghampiri Myra tepat setelah kelas bahasa berakhir.Gadis itu terlihat kaget saat George datang menyapanya, apalagi mereka sudah lama tidak saling berbicara satu sama lain sejak dirinya berpacaran dua bulan yang lalu dengan Lee yang merupakan salah sa
Cinta bersemi tak pernah seharum ini, itulah kalimat yang terlontar dari seorang pecinta yang tengah dimabuk asmara. George pernah membaca kalimat yang diciptakan oleh seorang penulis novel yang menulis sebuah kisah cinta antara dua insan yang tidak ditakdirkan bersama.Ceritanya disuguhkan dengan gaya bahasa sederhana yang membuat George sanggup menghabiskan bacaannya itu hanya dalam dua hari saja. Bagi seorang kutu buku, membaca novel selama dua hari itu termasuk lamban. Namun bagi George yang belum pernah membaca novel romansa sebelumnya itu termasuk cepat.Mungkin karena alur cerita itu yang begitu mirip dengan kisah cintanya.George tak tahu mengapa dia membeli sebuah novel cinta yang sebenarnya bukan merupakan genre kesukaannya. George bahkan tak tahu sudah sejak kapan dia sering kedapatan curi-curi pandang ke arah Myra, gadis yang menjauh darinya semenjak berpacaran dengan salah seorang dosen di kampus mereka.Jawaban dari semua kebingungan itu tak ada di buku manapun, meski d
"Surat dari Mr. Lee ini ... begitu menyentuh hati. Apa kau juga merasakannya?" Myra bertanya kepada George, sementara pemuda itu melipat kembali suratnya, lantas memasukkannya ke dalam amplop. Dia lalu mengembalikan surat itu kepada sang gadis."Rayuannya benar-benar kacau." Sebuah komentar pedas dari George mengenai surat yang Myra dapatkan dari sang dosen baru. "Di mana kau mendapatkannya?"Sepertinya Myra tidak mendengar ucapan George sebelumnya, sehingga tingkahnya masih menunjukkan kesan biasa-biasa saja. "Oh, di sela-sela pintu laci, tapi lokasinya tidak akan mudah dilihat orang lain," jawabnya sambil memandangi amplop surat itu. "George, sebagai sahabatku ... aku ingin memberitahumu bahwa dia itu sangatlah bersinar dan karismatik. Bisakah aku menerima perasaannya?"George menaikkan sudut bibirnya sedikit. "Kenapa kau menanyakan hal itu padaku?" tanya George balik. Myra agak kaget mendengar nada bicara George yang terkesan dingin."Sudah kubilang, kan? Kau itu sahabatku," jawab M
"Aku benar-benar terkejut saat kau bilang kau adalah orang Portugal, itu cukup jauh dari sini. Padahal kukira kau lahir di Amerika Serikat."George mendengkus pelan. "Apa kau tak pernah ke luar negeri?" tanyanya sarkastik, dalam hati berpendapat bahwa gadis seperti Jessie pastilah sering bolak-balik ke luar negeri dan menghambur-hamburkan uang orang tuanya, alih-alih untuk belajar."Belum pernah sama sekali," jawab Jessie jujur."Oleh karena itu, jangan mengomentari fisikku," sahut George dingin. "Asal kau tahu saja, tidak semua orang Inggris akan tampak seperti orang Inggris pada umumnya. Juga orang Amerika, dia tidak akan tampak seperti orang Amerika pada umumnya jika DNA ayah dan ibunya bukan berasal dari orang Amerika asli.""Di luar sana, ada banyak orang dengan penampilan bawaan dari lahir yang berbeda dengan yang lainnya." George menerangkan, berusaha untuk tidak berlebihan atau terdengar emosi saat memberitahukannya pada Jessie."Oh, maafkan aku." Jessie menundukkan kepalanya
Masa lalu yang menyedihkan, karena George harus kehilangan sang ayah tepat di hari wisudanya. Hari yang seharusnya bahagia, justru menjadi duka. Errick terkena serangan jantung saat mendarat di bandara, hendak memberi kejutan kepada George yang telah menyelesaikan studinya di Universitas Johns Hopkins.Errick begitu bersemangat, dia terlihat sehat dan bugar hari itu. Namun tiba-tiba saja kondisinya memburuk dalam sekejap begitu mereka tiba di kediaman George. Saat itu, George sedang dalam perjalanan ke rumahnya, tempat orang tuanya menginap selama beberapa waktu ke depan.Entah apa yang Errick lihat di ruang bawah tanah George, begitu dia kembali ke kamar atas, Joly mendapati suaminya sudah pingsan di lantai. Wanita itu tidak sempat menghubungi nomor darurat ketika dilihatnya Errick tidak bernapas dan tangannya persis di dada, seolah menahan rasa sakit di sana."Oh, Errick!" Joly langsung menangis histeris sambil memeluk sang suami.George tiba 20 menit kemudian, dan dia menyaksikan s
"Kau tak tahu siapa aku?" Sosok itu kembali bertanya pada George, masih mengintip melalui jendela kecil di pintu. George mulai merasa risih, belum pernah ada seorangpun sipir penjaga yang mengamatinya sedemikian rupa. Mereka hanya akan melihat ke dalam sel selama beberapa saat, sebelum akhirnya pergi berjaga lagi. Namun orang ini berbeda."Anda seorang sipir penjara yang terhormat." George memilih cara yang aman, yaitu tersenyum kepada sosok itu dengan mata terpejam."Huh, akan kuawasi kau."George masih mempertahankan senyum di bibirnya. Dia lantas memikirkan kembali apa yang pernah Jessie sampaikan, bahwa dia diterima bekerja di penjara itu karena ada kakaknya di sini. Betapa beruntungnya dia, sebab ada banyak orang di luar sana yang kesulitan mencari pekerjaan. Sementara gadis itu punya orang dalam yang bisa memberikannya pekerjaan dengan mudah. Sosok itu tak lagi terlihat di jendela kecil, dia sudah pergi. Baru kali itu George merasa tenang setelah ditinggalkan seseorang, dia ben
Cerita Jessie berhenti di tengah-tengah, sang gadis terdiam. Cukup lama sampai membuat George menguap sebanyak tiga kali. Dia masih setia menunggu sang gadis kembali bicara."Nathan menolakku," ucap Jessie tiba-tiba, memecah keheningan yang sempat berlangsung selama beberapa saat. George melirik pintu, seolah melihat ke arah gadis malang yang mengalami cinta bertepuk sebelah tangan.Jessie mengeratkan pelukannya di lutut. "Dia menolakku, katanya dia tak mau pacaran dulu. Fokusnya adalah lulus dan menjadi sarjana, jadi cinta bukanlah bagian dari rencananya itu," sambungnya lagi.Kegetiran begitu terasa di nada bicara gadis yang berusia 24 tahun dan akan berusia 25 di ulang tahunnya pada Desember nanti. Sekarang masih Agustus, tersisa beberapa bulan lagi sebelum bertambahnya usia."Aku tak bisa menyerah begitu saja terhadap Nathan, sehingga aku menunggunya sambil terus mendukungnya sebisaku." Jessie rupanya masih melanjutkan ceritanya. Sang gadis mengangkat wajah, menatap plafon penjara
"Jadi kau menyukai kekasih dosenmu sendiri?" Jessie terperangah begitu mendengar pembuka cerita George, sehingga tanpa sadar telah memotong cerita orang lain di tengah-tengah alur. Jessie hanya kaget saja, sekaligus merasa sedih, sebab cerita cinta George rupanya hampir sama dengannya.George berdeham, tidak suka saat ada seseorang yang menyela ucapannya, terlebih lagi di kala bercerita. Jessie yang merasa dehaman itu sebagai peringatan karena sudah menyela pembicaraan seseorang segera meminta maaf padanya."Salah satu etika dasar di kehidupan ini adalah mendengarkan cerita seseorang tanpa menyela ucapannya." George menasehati sang gadis, karena mungkin di matanya Jessie sama sekali tak mengetahui etika dasar itu.Jessie merotasikan mata, bosan mendengar nasehat orang tua seperti George. Meski begitu, dia tak ada niatan untuk menyela cerita orang tua itu, dia hanya refleks saat melakukannya. Dia tak akan menyela lagi kali ini."Ya, baik. Sekarang teruskan ceritamu." Jessie mempersilak