George menatap api yang menyala-nyala dalam tungku perapian rumahnya, matanya lantas melirik jam yang berada di depan tungku. Waktu makan malam telah tiba."Halo?" George menyapa sang pengangkat telepon di seberang sana dengan ramah. "Apa paman sekeluarga sudah makan? Bagaimana keadaan Bibi Maia?"''Kami belum makan, Nak. Kasus Tasia membuat makan kami sekeluarga tidak teratur, tidur kami pun jadi tak nyenyak. Tetapi bibimu baik-baik saja sekarang.''"Jaga kesehatan kalian untuk Tasia, kalian tidak mau 'kan ia di surga sana melihat kalian menderita seperti ini?" George berjalan pelan menuju dapur, dan duduk tepat di salah satu kursi. Di hadapannya, tersedia banyak sekali hidangan enak buatannya."Oh ya, apa Paman, Bibi, dan juga Michael bisa ke rumah sekarang? Saya sedang ingin makan malam bersama kalian bertiga."Terdengar hening selama seperkian detik. Lalu terdengar jawaban dengan suara yang parau. "Baiklah, kami akan ke sana. Terima kasih atas tawaranmu, George.""Ahhh, tak apa, P
Kepergian anak perempuan kesayangan mereka, membuat pasangan Hendrik dan Maia berniat untuk pindah jauh ke luar kota. Meski mereka sekeluarga belum genap setahun tinggal di daerah itu, namun Maia tidak sanggup lagi tinggal di tempat yang membuatnya harus mengenang sang putri yang telah pergi meninggalkan mereka untuk selamanya.Walaupun sudah lewat beberapa bulan sejak kepergian Tasia, keluarga kecil itu masih belum bisa melupakan kesedihan yang mereka rasakan.Hari yang cerah di pagi Senin, ketika persiapan mereka bertiga sudah selesai disiapkan, dan mobil-mobil pengangkut barang mereka telah berangkat sedari tadi. Sebelum pergi, Hendrik sekeluarga ingin berpamitan dengan George Owens, tetangga yang sudah banyak membantu keluarga mereka dalam memberikan dukungan untuk kembali menjalani kehidupan yang lebih baik selepas kepergian Tasia. Mereka berutang banyak pada remaja laki-laki berparas tampan itu."Ehh? Paman dan Bibi akan pindah?"Hendrik mengangguk. "Iya George, kami akan pinda
"Heh, apa dia mati?" George menendang kepala laki-laki yang terkapar di bawah kakinya beberapa kali dengan sepakan kencang. "Hei, bangun."George lalu berjongkok, memeriksa urat nadinya dengan wajah serius. Kemudian mengalihkan mata tajamnya kepada dua orang yang tergeletak tidak jauh dari orang pertama. George lalu menghampiri mereka satu-satu. "Oh, ternyata semua masih hidup ya."Tatapan George seketika berubah dingin. Tangannya disedekapkan di dada. "Gara-gara sampah seperti kalian, aku harus mengulang pelajaran Kimia dan dipermalukan oleh para peneliti itu. Sialan."George lalu mengikat tangan laki-laki dewasa yang datang bersama keluarganya ke rumah orang yang akan mengantarkan mereka menemui Tasia, yaitu George Owens, tetangga tersayang mereka sendiri. Penyuka warna merah itu lalu mengambil peralatannya. "Kalian pikir aku akan dengan mudah memaafkan dan melupakan rasa malu yang terjadi saat itu? Heh, jangan membuatku tertawa."George memukul kencang kepala Hendrik dengan palu y
Empat jari terputus dari tangan mungil Michael yang terus meraung kesakitan, dan memicu kemarahan George. "Kau ini berisik seperti ibumu ya."Air mata terus mengalir, menuruni pipi-pipi berisi milik Michael. Tak bisa dipungkiri rasa sakit tak terhingga yang harus ia rasakan meski ia tidak mengetahui letak kesalahannya di mana, sampai ia harus diperlakukan kejam seperti itu. "Kau ... iblis. Pembunuh.""Ya, ya, ya. Aku memang hidup seperti iblis, untuk mencapai tujuanku maka itu diperlukan."George lalu berjongkok, lagi-lagi mengelus kepala Michael dengan lembut. "Apa kau mau melihat Tasia?"Remaja itu kemudian pergi meninggalkan Michael yang menahan kesakitan di tangannya yang terpotong."Hei, lihat ini," George memanggil Michael, menarik perhatian anak laki-laki itu yang langsung membulatkan mata. Seringai kejam George perlihatkan. "kakakmu tiba untuk menjemputmu.""KAKAK!" Michael langsung terdiam melihat bagian yang terputus dari tubuh sang kakak, sekaligus memandang ngeri pada teng
"Hei, Gracia, ayo pulang.""Tunggu, George," gadis itu sibuk merapikan buku-buku yang ada di mejanya, buku yang memenuhi mejanya tersebut lalu dimasukkan ke dalam tas, "aku hampir selesai."George mengangguk, pemuda itu berdiri seraya memasukkan kedua tangannya ke kantong celana. Tom dan Antonio yang bersama dengannya menatap George heran. Hal langka jika melihat seorang George Owens menunggui seorang gadis. Meski anak itu sudah sempat bercerita, jika Gracia adalah salah seorang temannya ketika ia sekolah menengah pertama. Bahkan, hal ini sudah berlangsung selama satu minggu. "Kita searah, 'kan?" tanya Gracia sambil menyampirkan tas merah mudanya ke bahu. George menggeleng, "Aku pindah rumah."Gracia manggut-manggut, "Benarkah? Lalu orang tuamu?""Hanya aku yang pindah karena itu rumah yang orang tuaku beri."Gracia memukul George sambil tertawa kecil, "Dasar orang kaya."Keduanya lalu berjalan beriringan, menyisakan dua orang sahabat George yang mengekor di belakang.***"Argh, men
"Heh! Sedang apa kau di sini?"Gracia menaikkan salah satu alisnya. Memang apalagi yang bisa dilakukan olehnya di tempat sepi berdebu, selain membawa sekeranjang bola tenis untuk dimainkan saat pelajaran olahraga. "Minggir," ucap Gracia datar, tak ingin meladeni gadis di hadapannya. Maria memang sering sekali berbuat ulah."Aku sedang bertanya padamu," gadis berambut hitam sebatas bahu berkacak pinggang di depan Gracia, "Jangan-jangan kau ke sini karena ingin bertemu juga dengan George!"Gracia mengembuskan napas panjang. Gadis berisik dan penggemar nomor satu dari putra keluarga Owens memang lah merepotkan. Ia tak habis pikir, kenapa George mau saja didekati perempuan yang bicaranya kasar dan suka seenaknya?"Maafkan aku, Maria. Tapi aku disuruh Mr. Arnold membawa bola-bola ini ke lapangan. Se-ka-rang juga," Gracia berucap seraya memberi penekanan pada setiap kata. Maria tersenyum miring, "Kaupikir aku tak tahu ya? Aku tahu kaumembuntutiku tadi, kau ke sini ingin melihatku bersama G
George melangkah santai menuju gudang lama yang terletak di belakang sekolah, hendak menyusul Gracia yang menurut teman-teman gadis itu, dia dimintai tolong oleh guru olahraga untuk mengambil sesuatu di gudang belakang. Lagipula, ada sesuatu yang harus George lakukan di tempat itu. Jadi dia akan sekalian saja ke sana sekaligus melihat keadaan Gracia.Sebenarnya, alasan George hendak pergi ke halaman belakang adalah karena dia ingin bertemu seseorang. Sebelumnya dia ada mendapat sebuah pesan dari seorang gadis yang selalu mengejar-ngejar cintanya. Nama gadis itu adalah Maria, seorang gadis yang sangat populer di sekolahnya. Cantik dan anak orang kaya. Dia tampak sempurna.Namun pesona gadis itu tidak bisa menghipnotis George untuk memalingkan perasaannya kepada orang lain. Di hatinya sudah dipenuhi impian yang besar kepada seseorang. Selain itu, George masih memiliki cita-cita yang harus dicapainya.Menjalin hubungan dengan seorang gadis tentu tidak termasuk ke dalam daftar impiannya
Tak pernah terpikirkan sedikitpun oleh Gracia bahwa dia akan dibuntuti oleh orang-orang aneh saat dalam perjalanannya menuju tempat janjiannya dengan George.Gadis yang sudah berpakaian rapi, dia bahkan sampai mengeritingkan rambutnya sedikit agar terlihat cantik pada kencannya hari itu justru tak menduga penampilannya akan menarik orang jahat."Hai, gadis cantik. Mau kemana?" Seorang pemuda dari 3 orang yang sedang berkumpul di dalam gang menegur Gracia yang melewati mereka sambil memainkan ponselnya.Gracia melirik pemuda itu sekilas, dan meneruskan perjalanannya. Awalnya dia tak berpikiran buruk. Namun ketika pemuda-pemuda itu justru membuntutinya, muncullah perasaan ngeri yang menghantui sang gadis. Gracia mempercepat jalannya."Hei, cantik. Jangan jalan cepat-cepat, mari kita bersenang-senang."Kemudian para pemuda itu tertawa. Mereka melecehkan gadis yang sedang menunggu kedatangan kekasihnya. Mereka memang janjian di suatu tempat.Gracia yang sudah terlanjur takut pun memilih