George melempar tasnya sembarang, melonggarkan dasi warna biru dengan motif zig-zag putih miliknya, dan langsung merebahkan diri di kasur yang empuk. Lomba biologi seputar golongan darah yang diikutinya sejak pagi tadi sangatlah menguras tenaganya.Bukan karena materi yang sulit, ataupun debat dengan lawan yang menyusahkan, melainkan cuaca yang kurang bersahabatlah yang membuat George benar-benar kewalahan hari itu.Tetapi, selain cuaca yang panas dan menyengat, semuanya berjalan dengan lancar berkat kemampuan George dalam mengatur jalannya lomba.Bunyi kendaraan yang terdengar bising di luar rumah, memancing rasa penasaran dalam diri George, ia pun keluar dari dalam rumah dan melihat ke sebelah kanan, ke arah sebuah rumah bercat baby blue yang setahunya kosong itu.Beberapa mobil pengangkut barang tampak parkir di pinggir jalan, orang-orang dari agen properti rumah terlihat berseliweran keluar masuk dari sana. Karena itu rumah kosong yang dijual, mungkin ada yang telah membelinya, pi
"HYAAHHH! Terima ini!""Psyuu psyuu, TEMBAK KAKAK!"Gelak tawa yang keras, sesekali didampingi oleh bunyi pistol mainan anak-anak, adalah suara yang beberapa Minggu ini selalu didengar oleh George, yang tempat tinggalnya bersampingan dengan rumah anak-anak tersebut.Kadang-kadang, ketika ada kegiatan di luar rumah, tepatnya mengurus kegiatan di sekolah ataupun badan amal di Gereja, George tidak akan pulang ke rumah. Namun, ketika tidak ada yang bisa dilakukan oleh pemuda itu, ia hanya akan menghabiskan waktunya bersantai di tempat tinggal yang diberikan oleh sang ibu.Tetapi, bagaimana ia bisa tenang beristirahat jika selalu mendengar suara bising dari luar?Satu-satunya tempat kedap suara di rumahnya hanyalah gudang penyimpanan yang berada di ruang bawah tanah. Mustahil jika ia tidur dan beristirahat di sana. Kecuali tempat itu ia ubah menjadi kamar.Mungkin, bisa saja nanti ia mengubah tempat itu untuk keperluannya mendatang, tapi tidak untuk sekarang.George punya kebiasaan baru la
George tiba di rumahnya sekitar pukul 6 sore, kegiatan yang berlangsung dari pagi itu membuat seluruh tubuh George terasa sakit. Pemuda itu tampak kelelahan. Sebelumnya, George sempat berharap, setelah sampai di rumahnya yang nyaman dan tenang, maka ia akan langsung tidur di pembaringan.George membayangkan ia yang sedang duduk bersantai, memandangi perapian sembari menikmati minuman teh aroma mint.Pemuda dengan marga keluarga Owens itu tersenyum senang, merasa tidak sabar lagi memasuki rumah. George memutar gagang pintu perlahan, bayangan serta aroma manis dari teh yang dibuat olehnya sendiri terus bermunculan di kepala George.Melangkahkan kaki kanan terlebih dahulu, George juga merasa bahwa kakinya itu semakin pegal saja karena dibawa berdiri terlalu lama. Mungkin selepas membersihkan diri, dan meminum teh hangat beraroma kesukaannya, George akan mandi.Lalu tidur dengan perasaan damai.George masuk dalam rumahnya, berjalan menuju kamar yang terletak dekat dapur, mengganti pakaian
"Kak George! Kenapa kita tidak langsung pulang saja, Kak?"Wah, hutannya lebat sekali!""Apa di sini akan ada serigala yang muncul tiba-tiba, Kak? Hiiyyy, takut ...."George menghela napas panjang, tampaknya kebiasaan buruk itu akhir-akhir ini sering ia lakukan. Sebab, ada banyak hal yang memancing kemarahan putra keluarga Owens tersebut dan menguji kesabarannya. Ia lalu menatap datar pada anak perempuan yang berjalan memimpin di depan.Setelah pulang dari berbelanja keperluan sekolah, seperti perlengkapan klub dan peralatan praktikum, George mengajak Tasia berkeliling. Pemuda itu lalu membawa gadis kecil tetangganya ke hutan lindung, ingin memperlihatkan sesuatu yang menarik kepadanya.George merapatkan jaket kulit hitam yang terbuat dari kulit buaya pemberian ibunya yang berharga, menyembunyikan hadiah kecil untuk si gadis manis yang tengah memperhatikan alam sekitar."Ini pertama kalinya Tasia pergi ke hutan! Indah sekali ... seperti surga!""Tasia ingin ke surga?" George menghenti
George menatap api yang menyala-nyala dalam tungku perapian rumahnya, matanya lantas melirik jam yang berada di depan tungku. Waktu makan malam telah tiba."Halo?" George menyapa sang pengangkat telepon di seberang sana dengan ramah. "Apa paman sekeluarga sudah makan? Bagaimana keadaan Bibi Maia?"''Kami belum makan, Nak. Kasus Tasia membuat makan kami sekeluarga tidak teratur, tidur kami pun jadi tak nyenyak. Tetapi bibimu baik-baik saja sekarang.''"Jaga kesehatan kalian untuk Tasia, kalian tidak mau 'kan ia di surga sana melihat kalian menderita seperti ini?" George berjalan pelan menuju dapur, dan duduk tepat di salah satu kursi. Di hadapannya, tersedia banyak sekali hidangan enak buatannya."Oh ya, apa Paman, Bibi, dan juga Michael bisa ke rumah sekarang? Saya sedang ingin makan malam bersama kalian bertiga."Terdengar hening selama seperkian detik. Lalu terdengar jawaban dengan suara yang parau. "Baiklah, kami akan ke sana. Terima kasih atas tawaranmu, George.""Ahhh, tak apa, P
Kepergian anak perempuan kesayangan mereka, membuat pasangan Hendrik dan Maia berniat untuk pindah jauh ke luar kota. Meski mereka sekeluarga belum genap setahun tinggal di daerah itu, namun Maia tidak sanggup lagi tinggal di tempat yang membuatnya harus mengenang sang putri yang telah pergi meninggalkan mereka untuk selamanya.Walaupun sudah lewat beberapa bulan sejak kepergian Tasia, keluarga kecil itu masih belum bisa melupakan kesedihan yang mereka rasakan.Hari yang cerah di pagi Senin, ketika persiapan mereka bertiga sudah selesai disiapkan, dan mobil-mobil pengangkut barang mereka telah berangkat sedari tadi. Sebelum pergi, Hendrik sekeluarga ingin berpamitan dengan George Owens, tetangga yang sudah banyak membantu keluarga mereka dalam memberikan dukungan untuk kembali menjalani kehidupan yang lebih baik selepas kepergian Tasia. Mereka berutang banyak pada remaja laki-laki berparas tampan itu."Ehh? Paman dan Bibi akan pindah?"Hendrik mengangguk. "Iya George, kami akan pinda
"Heh, apa dia mati?" George menendang kepala laki-laki yang terkapar di bawah kakinya beberapa kali dengan sepakan kencang. "Hei, bangun."George lalu berjongkok, memeriksa urat nadinya dengan wajah serius. Kemudian mengalihkan mata tajamnya kepada dua orang yang tergeletak tidak jauh dari orang pertama. George lalu menghampiri mereka satu-satu. "Oh, ternyata semua masih hidup ya."Tatapan George seketika berubah dingin. Tangannya disedekapkan di dada. "Gara-gara sampah seperti kalian, aku harus mengulang pelajaran Kimia dan dipermalukan oleh para peneliti itu. Sialan."George lalu mengikat tangan laki-laki dewasa yang datang bersama keluarganya ke rumah orang yang akan mengantarkan mereka menemui Tasia, yaitu George Owens, tetangga tersayang mereka sendiri. Penyuka warna merah itu lalu mengambil peralatannya. "Kalian pikir aku akan dengan mudah memaafkan dan melupakan rasa malu yang terjadi saat itu? Heh, jangan membuatku tertawa."George memukul kencang kepala Hendrik dengan palu y
Empat jari terputus dari tangan mungil Michael yang terus meraung kesakitan, dan memicu kemarahan George. "Kau ini berisik seperti ibumu ya."Air mata terus mengalir, menuruni pipi-pipi berisi milik Michael. Tak bisa dipungkiri rasa sakit tak terhingga yang harus ia rasakan meski ia tidak mengetahui letak kesalahannya di mana, sampai ia harus diperlakukan kejam seperti itu. "Kau ... iblis. Pembunuh.""Ya, ya, ya. Aku memang hidup seperti iblis, untuk mencapai tujuanku maka itu diperlukan."George lalu berjongkok, lagi-lagi mengelus kepala Michael dengan lembut. "Apa kau mau melihat Tasia?"Remaja itu kemudian pergi meninggalkan Michael yang menahan kesakitan di tangannya yang terpotong."Hei, lihat ini," George memanggil Michael, menarik perhatian anak laki-laki itu yang langsung membulatkan mata. Seringai kejam George perlihatkan. "kakakmu tiba untuk menjemputmu.""KAKAK!" Michael langsung terdiam melihat bagian yang terputus dari tubuh sang kakak, sekaligus memandang ngeri pada teng
Jantung Myra berdegup kencang, ditatapnya George yang tengah memandanginya dengan serius. George tak pernah seserius ini ketika berbicara dengannya, kecuali saat pemuda itu tengah menjelaskan pelajaran yang tidak bisa dia pahami. Myra menarik napas panjang, berusaha menetralkan irama detak jantungnya yang mulai menggila."Apa yang ingin kau sampaikan, George?" tanya Myra dengan tenang, padahal gadis itu berteriak histeris dalam hati. Dia benar-benar penasaran sekaligus gugup, gelisah menantikan kalimat yang hendak George sampaikan padanya.George memandangi Myra lekat-lekat. "Myra, aku menyukaimu." Kalimat singkat George berupa pengakuan cintanya kepada Emily, dia lalu melanjutkan, "Hanya itu yang ingin kukatakan padamu."Myra terbelalak karena kaget mendengar pengakuan George. "Sejak kapan?" tanyanya hati-hati, jantungnya terus berdetak kencang, rasanya Myra hampir gila karena mendapat pernyataan cinta dari seseorang yang sudah mencuri hatinya sejak lama."Sejak semester 2, waktu
George tahu jika idenya mengungkapkan perasaan kepada Myra itu terdengar gila, tapi dia tak pernah merasa begitu gugup sampai seperti ini, bahkan saat petugas kepolisian berusaha menggeledah rumahnya saja dia masih bisa tenang dengan jantung berdegup kencang.Ada sensasi aneh yang seolah ingin membuatnya berterus-terang kepada gadis yang menjadi teman pertamanya di Universitas Johns Hopkins itu.Oleh karena itu, George akan mengajak Myra bertemu untuk membahas hal ini. Akan jauh lebih baik baginya jujur kepada gadis itu daripada memendam perasaannya terlalu lama, apalagi gadis itu telah bersama laki-laki lain yang parahnya lagi adalah seorang dosen di kampus mereka."Myra, kau ada waktu siang ini sebelum pendaftaran klub sastra?" George menghampiri Myra tepat setelah kelas bahasa berakhir.Gadis itu terlihat kaget saat George datang menyapanya, apalagi mereka sudah lama tidak saling berbicara satu sama lain sejak dirinya berpacaran dua bulan yang lalu dengan Lee yang merupakan salah sa
Cinta bersemi tak pernah seharum ini, itulah kalimat yang terlontar dari seorang pecinta yang tengah dimabuk asmara. George pernah membaca kalimat yang diciptakan oleh seorang penulis novel yang menulis sebuah kisah cinta antara dua insan yang tidak ditakdirkan bersama.Ceritanya disuguhkan dengan gaya bahasa sederhana yang membuat George sanggup menghabiskan bacaannya itu hanya dalam dua hari saja. Bagi seorang kutu buku, membaca novel selama dua hari itu termasuk lamban. Namun bagi George yang belum pernah membaca novel romansa sebelumnya itu termasuk cepat.Mungkin karena alur cerita itu yang begitu mirip dengan kisah cintanya.George tak tahu mengapa dia membeli sebuah novel cinta yang sebenarnya bukan merupakan genre kesukaannya. George bahkan tak tahu sudah sejak kapan dia sering kedapatan curi-curi pandang ke arah Myra, gadis yang menjauh darinya semenjak berpacaran dengan salah seorang dosen di kampus mereka.Jawaban dari semua kebingungan itu tak ada di buku manapun, meski d
"Surat dari Mr. Lee ini ... begitu menyentuh hati. Apa kau juga merasakannya?" Myra bertanya kepada George, sementara pemuda itu melipat kembali suratnya, lantas memasukkannya ke dalam amplop. Dia lalu mengembalikan surat itu kepada sang gadis."Rayuannya benar-benar kacau." Sebuah komentar pedas dari George mengenai surat yang Myra dapatkan dari sang dosen baru. "Di mana kau mendapatkannya?"Sepertinya Myra tidak mendengar ucapan George sebelumnya, sehingga tingkahnya masih menunjukkan kesan biasa-biasa saja. "Oh, di sela-sela pintu laci, tapi lokasinya tidak akan mudah dilihat orang lain," jawabnya sambil memandangi amplop surat itu. "George, sebagai sahabatku ... aku ingin memberitahumu bahwa dia itu sangatlah bersinar dan karismatik. Bisakah aku menerima perasaannya?"George menaikkan sudut bibirnya sedikit. "Kenapa kau menanyakan hal itu padaku?" tanya George balik. Myra agak kaget mendengar nada bicara George yang terkesan dingin."Sudah kubilang, kan? Kau itu sahabatku," jawab M
"Aku benar-benar terkejut saat kau bilang kau adalah orang Portugal, itu cukup jauh dari sini. Padahal kukira kau lahir di Amerika Serikat."George mendengkus pelan. "Apa kau tak pernah ke luar negeri?" tanyanya sarkastik, dalam hati berpendapat bahwa gadis seperti Jessie pastilah sering bolak-balik ke luar negeri dan menghambur-hamburkan uang orang tuanya, alih-alih untuk belajar."Belum pernah sama sekali," jawab Jessie jujur."Oleh karena itu, jangan mengomentari fisikku," sahut George dingin. "Asal kau tahu saja, tidak semua orang Inggris akan tampak seperti orang Inggris pada umumnya. Juga orang Amerika, dia tidak akan tampak seperti orang Amerika pada umumnya jika DNA ayah dan ibunya bukan berasal dari orang Amerika asli.""Di luar sana, ada banyak orang dengan penampilan bawaan dari lahir yang berbeda dengan yang lainnya." George menerangkan, berusaha untuk tidak berlebihan atau terdengar emosi saat memberitahukannya pada Jessie."Oh, maafkan aku." Jessie menundukkan kepalanya
Masa lalu yang menyedihkan, karena George harus kehilangan sang ayah tepat di hari wisudanya. Hari yang seharusnya bahagia, justru menjadi duka. Errick terkena serangan jantung saat mendarat di bandara, hendak memberi kejutan kepada George yang telah menyelesaikan studinya di Universitas Johns Hopkins.Errick begitu bersemangat, dia terlihat sehat dan bugar hari itu. Namun tiba-tiba saja kondisinya memburuk dalam sekejap begitu mereka tiba di kediaman George. Saat itu, George sedang dalam perjalanan ke rumahnya, tempat orang tuanya menginap selama beberapa waktu ke depan.Entah apa yang Errick lihat di ruang bawah tanah George, begitu dia kembali ke kamar atas, Joly mendapati suaminya sudah pingsan di lantai. Wanita itu tidak sempat menghubungi nomor darurat ketika dilihatnya Errick tidak bernapas dan tangannya persis di dada, seolah menahan rasa sakit di sana."Oh, Errick!" Joly langsung menangis histeris sambil memeluk sang suami.George tiba 20 menit kemudian, dan dia menyaksikan s
"Kau tak tahu siapa aku?" Sosok itu kembali bertanya pada George, masih mengintip melalui jendela kecil di pintu. George mulai merasa risih, belum pernah ada seorangpun sipir penjaga yang mengamatinya sedemikian rupa. Mereka hanya akan melihat ke dalam sel selama beberapa saat, sebelum akhirnya pergi berjaga lagi. Namun orang ini berbeda."Anda seorang sipir penjara yang terhormat." George memilih cara yang aman, yaitu tersenyum kepada sosok itu dengan mata terpejam."Huh, akan kuawasi kau."George masih mempertahankan senyum di bibirnya. Dia lantas memikirkan kembali apa yang pernah Jessie sampaikan, bahwa dia diterima bekerja di penjara itu karena ada kakaknya di sini. Betapa beruntungnya dia, sebab ada banyak orang di luar sana yang kesulitan mencari pekerjaan. Sementara gadis itu punya orang dalam yang bisa memberikannya pekerjaan dengan mudah. Sosok itu tak lagi terlihat di jendela kecil, dia sudah pergi. Baru kali itu George merasa tenang setelah ditinggalkan seseorang, dia ben
Cerita Jessie berhenti di tengah-tengah, sang gadis terdiam. Cukup lama sampai membuat George menguap sebanyak tiga kali. Dia masih setia menunggu sang gadis kembali bicara."Nathan menolakku," ucap Jessie tiba-tiba, memecah keheningan yang sempat berlangsung selama beberapa saat. George melirik pintu, seolah melihat ke arah gadis malang yang mengalami cinta bertepuk sebelah tangan.Jessie mengeratkan pelukannya di lutut. "Dia menolakku, katanya dia tak mau pacaran dulu. Fokusnya adalah lulus dan menjadi sarjana, jadi cinta bukanlah bagian dari rencananya itu," sambungnya lagi.Kegetiran begitu terasa di nada bicara gadis yang berusia 24 tahun dan akan berusia 25 di ulang tahunnya pada Desember nanti. Sekarang masih Agustus, tersisa beberapa bulan lagi sebelum bertambahnya usia."Aku tak bisa menyerah begitu saja terhadap Nathan, sehingga aku menunggunya sambil terus mendukungnya sebisaku." Jessie rupanya masih melanjutkan ceritanya. Sang gadis mengangkat wajah, menatap plafon penjara
"Jadi kau menyukai kekasih dosenmu sendiri?" Jessie terperangah begitu mendengar pembuka cerita George, sehingga tanpa sadar telah memotong cerita orang lain di tengah-tengah alur. Jessie hanya kaget saja, sekaligus merasa sedih, sebab cerita cinta George rupanya hampir sama dengannya.George berdeham, tidak suka saat ada seseorang yang menyela ucapannya, terlebih lagi di kala bercerita. Jessie yang merasa dehaman itu sebagai peringatan karena sudah menyela pembicaraan seseorang segera meminta maaf padanya."Salah satu etika dasar di kehidupan ini adalah mendengarkan cerita seseorang tanpa menyela ucapannya." George menasehati sang gadis, karena mungkin di matanya Jessie sama sekali tak mengetahui etika dasar itu.Jessie merotasikan mata, bosan mendengar nasehat orang tua seperti George. Meski begitu, dia tak ada niatan untuk menyela cerita orang tua itu, dia hanya refleks saat melakukannya. Dia tak akan menyela lagi kali ini."Ya, baik. Sekarang teruskan ceritamu." Jessie mempersilak