Hari sudah semakin siang. Jalan-jalan juga semakin ramai. Suara bisingnya sayup-sayup terdengar dari lantai 3. Untungnya gedung ini ber-AC sehingga suara dari luar tidak terlalu mengganggu.
Kami berdua masih terdiam. Pak Kepala dengan sabar memberikan waktu padaku untuk berpikir. Setelah yakin dengan jawabanku akhirnya aku berkata.
"Sebenarnya saya tidak terlalu peduli akan diterima atau tidak. Apapun hasilnya saya tetap akan dipenjara, di sini atau di LAPAS. Bahkan saya berpikir lebih baik di LAPAS. Di sana saya bisa bebas melakukan apa saja sedangkan di sini saya harus mengikuti semua aturan yang ada."
Pak Kepala hanya tersenyum mendengar jawabanku. Sepertinya dia tidak tersinggung. Dia kembali bertanya.
"Jika demikian, kenapa kamu tetap mengajukan pinjaman?"
"Ini tidak hanya tentangku, tapi melibatkan orang yang telah mempercayaiku. Jika barang yang hilang bisa diganti, suasana kantor akan kembali seperti semula. Jika tidak, namanya akan terus tercemar. Saya melakukan ini atas permintaannya sebagai bentuk tanggung jawabku."
Aku dipandangi lekat-lekat, sekilas seperti pandangan kagum. Tapi bagaimana mungkin seorang kepala unit pesantren besar mengagumi gelandangan sepertiku.
"Jadi inilah yang dilihat stafku, sehingga dia mau memperjuangkan permintaanmu. Ya, sifat itu sudah bisa terlihat ketika pencurian itu terjadi. Jika mau pergi, kamu bisa melakukannya saat itu juga. Tidak perlu repot-repot mengajukan pinjaman terlebih dahulu. Namanya amanah, salah satu sifat nabi."
Aku tak bisa menahan tawa mendengarnya. Tapi kulihat dia serius dengan perkataannya jadi aku hanya mengucapkan terima kasih. Kemudian dia melanjutkan.
"Saat kedua stafku berargumen tentangmu, saya jadi teringat kisah dua malaikat yang berdebat tentang status pembunuh yang ingin bertobat. Makanya saya sangat ingin berbicara langsung denganmu. Saya mau menilai statusmu. Dan sekarang saya sudah puas. Pengajuan pinjamanmu disetujui, jadi sekarang terserah padamu akan melanjutkan proses ini atau tidak."
"Demi nama baik Kang Asep, saya rela dipenjara di pesantren ini," jawabku.
Pak Kepala mengambil selembar kertas di mejanya. Sambil menulis dia melanjutkan penjelasannya.
"Dengan nilai pinjamanmu, kamu harus bekerja di sini selama 3 tahun. Kami menyediakan asrama dan makan 3 kali sehari dan beberapa baju seragam, tapi kamu tidak akan digaji. Seluruh gajimu akan digunakan sebagai cicilan pembayaran pinjaman, apakah kamu setuju?"
Aku mengangguk. Tawaran itu sama sekali tidak buruk. Tempat tinggal dan makan gratis. Boleh jadi lebih baik dari menjadi pengamen jalanan. Memang tidak ada karir di sini. Sementara tidak apa, aku akan memikirkannya 3 tahun lagi.
"Satu hal lagi, kami tidak memaksa santri untuk beribadah karena agama melarangnya. Yang ada hanya kegiatan untuk pembinaan, yang wajib diikuti. Yang bisa kami lakukan hanya mengkondisikan fisik, tapi tidak dengan hati. Itu dibawah kuasa ilahi."
Selesai berbicara Pak Kepala memberikan kertas yang telah ditulisnya. Ternyata itu adalah memo untuk kepala asrama yang memintanya menyediakan satu kamar untukku. Aku berterima kasih dan menjabat tangannya, sepertinya hal itu sudah menjadi tradisi di pesantren ini.
Aku melangkah ke luar ruangan lalu menutupnya. Saat melewati ruang tempat formulir, staf yang melayaniku menyapa dan bertanya.
"Gimana kang, disetujui?"
Aku tidak menjawab, hanya menunjukkan memo yang kubawa. Dia tersenyum dan berkata lagi.
"Selamat bergabung, semoga betah ya."
Kuucapkan terima kasih atas kepercayaannya padaku. Lalu aku bertanya jalan menuju asrama. Ternyata asrama terletak agak jauh dari masjid, di luar kawasan pesantren. Butuh waktu sekitar 10 menit untuk berjalan kaki ke sana. Tiba di sana aku menemui kepala asrama dan menyerahkan memo yang kubawa. Dia membaca sebentar, kemudian memanggil anak buahnya. Aku lalu diminta mengikuti orang itu menuju kamarku.
"Gedung asrama memiliki 2 bangunan, masing-masing bangunan terdiri dari 3 lantai. Bangunan pertama disewakan untuk umum. Bangunan kedua untuk santri yang bekerja di pesantren. Penghuninya relatif lebih lama bahkan ada yang sampai bertahun-tahun." Pengurus asrama menjelaskan sambil mengantarku.
Sambil berjalan aku mengedarkan pandangan ke sekitar. Di sinilah aku akan tinggal selama 3 tahun ke depan. Tempatnya cukup nyaman, bersih dan ada pohon-pohon rindang di area yang tidak dibangun. Udara Geger Kalong memang sejuk. Aku harus mulai terbiasa dengan udara dingin di malam hari.
"Lantai 1 digunakan untuk asrama wanita, pria ditempatkan di lantai 3. Untuk lantai 2 bisa digunakan untuk pria atau wanita, tergantung keperluan." Penjaga itu melanjutkan penjelasannya. Setelah kami sampai di depan tangga dia menyerahkan kunci kepadaku dan mempersilahkan aku untuk ke sana. Nomor kamar digantung pada kunci jadi aku tak akan masuk ke kamar yang salah.
Setelah tiba di kamar aku langsung merebahkan diri di atas ranjang. Isi kamar itu hanya dua, ranjang dan lemari pakaian. Tapi bagiku, yang sudah lama menggelandang, memiliki ranjang dan lemari merupakan kemewahan tersendiri. Kumasukkan semua baju pemberian Kang Asep ke dalam lemari kemudian kuletakkan tas ranselku di atasnya. Lalu akupun pergi mandi dan beristirahat sebentar.
Suasana asrama sangat sepi nyaris tak terdengar suara apa-apa. Wajar saja, ini adalah asrama pekerja di siang hari bukan di akhir pekan. Barulah saat adzan berkumandang ada aktifitas terdengar. Ada suara pintu terbuka, derap langkah serta obrolan ringan. Aku penasaran apakah ada yang akan menjemput ke kamarku. Kutunggu sampai hampir satu jam ternyata tidak ada siapapun yang datang. Ternyata benar, tidak ada paksaan dalam agama.
Tepat pukul satu ada orang yang mengetuk kamarku. Aku bertanya dalam hati, mungkinkah ini petugas patroli yang akan memberikan sanksi kepada santri yang tidak datang ke masjid. Kubuka pintu kamarku, ternyata yang datang adalah penjaga asrama yang tadi mengantarku.
"Maaf kang, tadi saya lupa menjelaskan lokasi tempat makan. Takutnya akang tidak tahu. Ayo saya antar, saya juga mau makan nih."
Petugas asrama itu menungguku mengunci pintu baru setelah itu berjalan mendahului. Aku mengikutinya dengan agak malu, karena hanya keluar untuk makan tapi tidak untuk shalat. Tempat makan sepi pada siang hari karena ternyata ada pilihan apakah ingin makan di asrama atau diantar ke tempat kerja.
Selesai makan aku kembali ke kamarku. Aku sudah mulai bosan saat adzan kembali berkumandang. Akhirnya aku putuskan untuk pergi ke masjid untuk mengusir rasa jenuh. Saat kembali, baru saja aku mau naik ke lantai 3, penjaga asrama datang menghampiriku. Kepala asrama mencariku, katanya.
Aku menuju ke ruang Kepala Asrama. Ternyata dokumenku sudah siap. Aku tandatangani surat perjanjian peminjaman dana yang disodorkan. Aku ditempatkan sebagai penjaga toko buku. Kunci toko diberikan padaku dan aku diminta mulai bekerja esok pagi. Praktis aku akan menganggur kembali sampai besok pagi, jadi kuputuskan untuk pergi ke masjid setiap waktu shalat. Meski tidak ada paksaan dari siapapun, aku perlu kegiatan untuk mengurangi rasa bosan.
Keesokan paginya aku sudah tiba di pintu toko pada pukul 7. Jam kerja yang ditentukan adalah dari jam 8 pagi sampai jam 5 sore. Tapi setelah sarapan dan mandi, tidak ada aktifitas yang ku kerjakan sehingga kuputuskan untuk langsung bekerja. Namun setelah dua jam berada di toko, aku mulai merasa bosan. Belum ada yang datang untuk membeli, bahkan sekedar untuk melihat-lihat. Kegiatanku sama saja seperti di asrama, cuma beda tempat. Dan aku harus menjalani ini selama 3 tahun.
Semua buku yang dijual temanya tentang agama. Sebagian buku karangan Pak Kyai pendiri pesantren ini. Aku tergerak untuk membacanya. Kurasa perlu juga untuk mengerti pemikiran bos besarku itu. Ku mulai membuka buku yang kecil, seukuran saku. Isinya sangat ringan, mudah dimengerti oleh orang awam. Mengajarkan para pembaca untuk berbagi terutama pada kaum yang lemah. Pantas saja ada program pemberian pinjaman yang ku ajukan. Ternyata pemikiran Pak Kyai tidak hanya teori, tetapi sudah diaplikasikan dalam kehidupan nyata.
Saat adzan berkumandang, aku ragu apakah boleh meninggalkan toko karena saat itu belum waktu istirahat. Ternyata saat aku melihat sekeliling, semua toko ditutup dan penjaganya pergi ke masjid. Langsung saja ku kunci pintu toko dan pergi shalat. Setelah itu aku kembali ke asrama untuk makan siang. Saat mengobrol dengan penjaga asrama barulah aku tahu bahwa Pak Kyai sendiri yang menganjurkan untuk meninggalkan pekerjaan pada waktu shalat.
Begitulah kegiatanku sehari-hari di pesantren ini. Semua buku karya Pak Kyai yang dijual di toko sudah habis kubaca. Akupun mulai suka mendengar ceramahnya. Perlahan kurasakan ada perubahan dalam diriku. Bahkan pernah aku menangis saat mendengar ceramahnya. Mungkin karena aku melihat Pak Kyai adalah orang yang tulus. Apa yang disampaikan dari hati akan masuk ke hati, katanya.
Aku mulai menikmati bekerja di sini, sama seperti saat mengobrol dengan Santi bahkan mungkin lebih. Kurasakan denyut kebaikan di pesantren ini yang bisa menggerakkan semua orang di sekitarnya untuk berbuat baik. Akhlakul karimah bukan hanya teori di sini, tapi langsung dipraktekkan. Itulah yang membuatku tergerak untuk membantu orang lain saat ada kesempatan. Salah satunya ketika kulihat seorang gadis sedang berteduh di depan toko. Saat itu hujan deras dan karena angin cukup kencang, air hujan terbawa juga membasahi gadis itu.
"Masuk saja teh, tunggu di dalam biar tidak basah." Kataku sambil membuka pintu toko. Dia ragu sejenak, namun akhirnya masuk sambil membawa keranjangnya.
Ternyata isinya lontong, masih lumayan banyak untuk ukuran makanan yang dijual sejak pagi.
"Aa mau beli lontong?" Dia akhirnya membuka percakapan setelah beberapa waktu kami hanya terdiam.
"Maaf teh, saya tidak punya uang." Jawabku sejujurnya. Kuperhatikan ada pandangan tak percaya di matanya. Aku tersenyum lalu berkata.
"Teteh pasti tak percaya ya? Saya juga tak percaya teteh menjual lontong untuk mencari nafkah. Coba saya tebak, mahasiswa sebelah kan? Pasti lagi meneliti tentang pedagang asongan."
Dia tersenyum mendengarnya, lalu berkata.
"Yang benar cuma separuh. Saya tidak meneliti, saya ikut program pelatihan kewirausahaan yang diadakan pesantren ini. Kami diminta untuk terjun langsung ke lapangan agar merasakan kesulitannya." Dia menjelaskan tanpa kuminta. Setelah beberapa lama terdiam dia akhirnya bertanya.
"Gantian Aa yang cerita, masa buat beli lontong aja ga mampu. Pasti ada ceritanya."
"Ceritanya cukup panjang, tapi intinya saya di sini karena memerlukan pinjaman dana. Pesantren mau meminjamkan dengan syarat saya bekerja di sini. Semua gaji saya disetorkan sebagai cicilan." Aku tidak menceritakan seluruh kisahku karena merasa belum perlu. Untuk menghindari kemungkinan ditanya lebih dalam aku langsung berkata lagi.
"Kenapa teteh memilih menjual lontong? Pasti bukan karena pintar bikin lontong kan."
Senyumnya semakin lebar, senyum manis yang mencerahkan suasana sore yang suram ini. Dia menjelaskan sambil masih tersenyum.
"Memang kelihatan ya saya ga bisa masak? Saya memang menjual lontong buatan warga sini, cuma ambil untung dari selisihnya. Alasannya sederhana, jika tidak laku lontongnya bisa dimakan sendiri dan bisa dibagikan ke yang membutuhkan."
Sekali lagi aku menyaksikan denyut kebaikan di sini. Rasa ingin berbagi, tidak ada perhitungan untung rugi.
"Tapi sepertinya saya akan gagal di program ini. Sudah satu bulan tidak dapat untung, modal juga sudah hampir habis." Dia melanjutkan ceritanya tanpa diminta.
"Jika boleh usul, teteh jualan buku saja. Karya Pak Kyai banyak dicari pengunjung yang datang ke sini. Apalagi jika bukunya ada tanda tangan penulisnya, pasti laku terjual."
Gadis itu berpikir sejenak dengan raut muka berbinar, sepertinya sangat semangat mendengar usulku. Tapi akhirnya berkata perlahan.
"Saya tidak punya modal untuk membeli buku, apalagi Pak Kyai sangat sibuk susah meminta tanda tangannya."
"Kalo itu tidak masalah. Untuk buku teteh bisa mengambilnya dari toko ini tanpa perlu membayar terlebih dahulu. Untuk tanda tangan nanti saya usahakan lewat manajemen."
Dia memandangiku sejenak sebelum berkata.
"Aa percaya pada saya? Kita kan baru bertemu. Jika saya pergi dan tidak membayar buku-buku itu Aa pasti mendapat kesulitan."
"Teteh tidak perlu khawatir, saya rasa santri di sini tidak akan melakukan kecurangan. Lagipula saya pernah mengalami kesulitan yang jauh lebih berat, tapi justru itu yang membawa saya ke sini. Boleh jadi apa yang kamu benci itu baik untukmu." Aku meyakinkannya dan akhirnya dia pun mengangguk setuju.
Dan begitulah kerjasama kami dimulai. Manajemen setuju untuk meminta Pak Kyai menandatangani beberapa bukunya yang akan dijual. Dan ternyata bisnis ini cukup berhasil. Buku yang memiliki tanda tangan Pak Kyai sangat diminati pengunjung. Dalam waktu satu bulan kami sudah menghasilkan omset jutaan rupiah. Dan aku akhirnya bisa memiliki uang karena sebagian keuntungan penjualan diberikan padaku.
Lucunya, kami tidak pernah berkenalan secara resmi. Aku mengetahui namanya dari laporan list buku yang terjual. Dan dia mengetahui namaku karena aku menuliskannya di memo buku yang dibawa. Namanya Hana, tapi aku tidak pernah memanggil nama itu karena panggilan Aa dan Teteh tetap kami pakai.
Ternyata Hana tinggal di dekat asrama. Beberapa kali aku ke kosnya karena buku yang dibawa cukup berat sehingga aku tak tega membiarkan dia membawanya sendiri. Pernah juga aku mengantarnya karena dia berjualan sampai larut malam. Waktu itu ada pengajian malam dan banyak pengunjung dari luar datang untuk menghadirinya. Lumayan untuk menaikkan omset, katanya.
Tanpa terasa waktu berlalu. Program kewirausahaan telah selesai, dan Hana terpilih sebagai santri terbaik. Ini juga bertepatan dengan libur panjang di kampusnya. Sebelum pulang ke rumahnya, Hana datang ke toko. Dia tidak banyak berkata, hanya mengucapkan terima kasih. Dia mengucapkan dengan nada berat, sekilas kulihat kegundahan di wajahnya. Entahlah, sepertinya selama dua bulan kebersamaan kami ada rasa yang muncul mengiringi hubungan kerjasama kami. Rasa itu memberikan kedamaian di hati. Tetapi rasa itu pula yang membuatku harus pergi meninggalkan tempat ini.
Aku masih ingat sekali urutan kejadiannya. Setelah selesai shalat ashar, saat ingin membuka toko kembali, aku dipanggil oleh manajemen. Aku harus datang secepatnya, kata santri yang diminta memanggilku. Aku bergegas mengikutinya dengan perasaan was-was. Perasaanku tidak enak karena ada kegelisahan di wajah santri itu.
"Ada masalah apa kang? Sambil berjalan aku mencoba mengorek informasi.
"Ada bapak tua datang ke kantor sambil marah-marah. Dia datang mencarimu." katanya sambil terengah-engah.
Aku mencoba menebak siapa orangnya. Tidak banyak orang yang kukenal di kota ini, dan masalah dengan travel sudah selesai. Belum lagi berhasil menerka, aku telah sampai di kantor. Aku melihat bapak itu tapi tidak bisa mengingat siapa dia. Bahkan aku merasa belum pernah berjumpa dengannya.
Pak Kepala SDM memperkenalkan aku padanya. Bapak itu memandangku dengan tatapan marah sambil berkata.
"Jadi ini yang bernama Boi." Setelah itu dia berpaling dariku dan berkata kepada Pak Kepala.
"Aku ingin kalian memecatnya. Dia telah menghamili anakku. Baj*ngan seperti dia tidak pantas bekerja di pesantren ini."
Suasana sore di kantor pengelola pesantren sudah sepi. Sebagian besar karyawan sudah meninggalkan tempatnya, ada yang pulang ke rumah dan ada juga yang pergi ke masjid. Seperti biasa, hari itu memang ada pengajian sore di masjid dan banyak karyawan yang ikut menghadirinya.Di tengah kesunyian kantor, aku seperti disambar petir mendengar tuduhan bapak itu. Siapakah dia, dan siapa pula anak gadisnya. Aku tak pernah berhubungan intim dengan wanita manapun. Mana mungkin aku bisa menghamili seseorang. Dengan memberanikan diri akhirnya aku bertanya."Maaf pak, siapa nama anak bapak?"Jawaban dari pertanyaanku adalah tamparan di pipi. Dia semakin marah dan berteriak membentakku."Kurang ajar, masih pura-pura lupa. Atau jangan-jangan banyak gadis yang kau nodai sehingga kau tak
"Pak Kyai mengenalku? Dia percaya padaku?""Ya, tentu saja. Bahkan dia memiliki julukan untukmu. Santri Tanda Tangan, katanya. Sebenarnya semua santri di sini diawasi. Biasanya oleh santri yang posisinya dekat. Tapi kamu agak lain. Pak Kyai ingat karena saat ceramah shubuh kau selalu duduk di sudut dan tertidur. Itu di awal-awal. Setelah itu posisi dudukmu bergeser semakin ke depan."Aku tersenyum mendengar penjelasan itu. Ternyata aku diperhatikan. Kelak semua ini akan jadi kenangan indah yang tak terlupakan."Saya juga mengawasimu meski secara tidak sengaja." Pak Kepala melanjutkan. "Setiap lewat depan toko, saya selalu melihatmu sedang membaca. Saya jadi bertanya-tanya, sudah berapa buku yang kamu baca?""Hampir semua." Jawabku
Udara sore di lereng gunung merapi sudah mulai terasa dingin. Matahari sudah tak terlihat, tertutup oleh awan dan debu yang keluar dari kawah gunung. Akhir-akhir ini merapi memang semakin aktif, anjuran untuk mengungsi juga sudah diserukan pemerintah setempat. Tiba-tiba saja terdengar dentuman kencang diiringi oleh semburan abu dan awan vulkanik. Kulihat Mas Rangga keluar dari pondoknya membawa tas ransel. Kami memang sudah mempersiapkan barang bawaan jika memang sewaktu-waktu harus segera mengungsi. "Aku akan menjemput Pak Kyai, kamu jemput Ahmad di masjid ya." Mas Rangga memerintahkan. Aku langsung menuju masjid. Kulihat Ahmad Mustofa sedang berkutat dengan buku. Kuajak dia untuk mengungsi namun dia menolak karena masih ingin memilah buku-buku yang mau dibawa. Aku keluar dari masjid dan bertemu Mas Rangga di ge
Aku terperanjat mendengar kalimat itu. Lama setelah itu baru aku mengerti maksudnya."Tapi mas, bagaimana dengan keluarganya? Saya tidak bisa menjadi Ahmad Mustofa karena jika keluarganya tahu mereka akan sedih bahkan marah." Ucapku."Kamu tak perlu khawatir," kata Mas Rangga. "Dia sudah sebatang kara saat dibawa Pak Kyai ke sini. Aku tidak meragukan kemampuanmu, kau hanya tidak beruntung karena tidak memiliki ijazah. Ini kesempatan baik untukmu dan untuk pesantren ini. Tidak ada yang akan dirugikan dari kebohongan ini, yang ada hanya kebaikan. Semoga Allah meridhoi jalan ini."Aku ragu sejenak, tapi akhirnya mengangguk setuju. Setelah Pak Kyai wafat dan bangunan pesantren rusak, otomatis aku tidak punya tempat tinggal lagi. Menjadi Ahmad Mustofa adalah pilihan terbaik buatku.
Suasana kampus di waktu pagi terasa sunyi. Suara yang terdengar hanya kicauan burung-burung yang hinggap di dahan pohon. Wajar saja karena hari ini sudah memasuki libur semester. Hampir semua penghuni asrama sudah pulang ke rumahnya masing-masing. Yang tinggal hanyalah mahasiswa yang ingin mengejar ketertinggalan, atau yang tidak punya rumah sepertiku.Tapi hari ini aku punya rencana untuk bepergian. Sudah satu semester aku menabung untuk mencicil hutangku pada pesantren. Sengaja aku pilih berkunjung ke sana pada kamis pagi, karena selain ingin membayar hutang aku juga merindukan suasana pengajian di sana. Jika perjalananku lancar, aku akan tiba saat siang hari sehingga bisa mengikuti pengajian kamis sore, kamis malam dan jum'at pagi.Entah mengapa ada perasaan bahagia menyelimuti diriku. Aku akan kembali ke Geger Kalong, seolah aku akan pulang kampung. Padahal
Aku mengucapkan terima kasih lalu pamit untuk pergi ke kantor SDM. Aku berjalan cepat karena didorong rasa ingin tahu. Namun aku belum juga bisa menebaknya. Sesampainya di kantor aku menyapa karyawan yang kukenal sambil berjalan menuju ruang kepala."Ya, silahkan masuk." Pak kepala berkata saat mendengar aku mengetuk pintu. Sepertinya dia sudah tahu kedatanganku. Setelah aku duduk baru dia memulai penjelasannya."Pak Kepala ZISWAF barusan menghubungiku, dia menceritakan perihal keperluanmu. Aku juga sepakat dengannya. Tapi karena ini rahasia, kau juga tidak boleh menceritakan pada orang lain, setuju?"Aku hanya mengangguk. Pak kepala diam sejenak sebelum akhirnya berkata."Yang melunasi pinjamanmu adalah ayahnya Hana."
Suasana kampus di Depok memang sangat asri. Masih banyak pohon besar yang dibiarkan tidak ditebang. Ditambah lagi arsitektur masjid kampus ini memakai konsep terbuka, sehingga tiupan angin terasa cukup kencang."Jika tidak mendengar suaramu, aku pasti belum yakin bahwa kau bukanlah Ahmad Mustofa."Aku mendengar suara di belakangku. Seketika aku berbalik dan melihat si pemilik suara. Perasaanku berdebar saat mengenali wajah itu. Aku seperti dibawa kembali ke masa lalu di lapangan upacara. Saat itu dia berpidato di depan setelah menjuarai lomba. Ya, dia adalah Santi, kekasihku di masa lalu.Ada yang berbeda dengan Santi, dia sekarang memakai hijab. Tapi suaranya tidak berubah, suara yang memiliki pesona. Setelah aku berhasil mengatasi rasa kaget, aku membalas ledekannya."
Seakan aku memiliki tiga kehidupan. Di Bandung aku adalah Boi. Kang Asep, Hana dan semua jajaran pesantren Geger Kalong mengenalku dengan nama itu. Di sini aku adalah Ahmad Mustofa. Dan meski tak lagi kugunakan, nama Galang akan terus melekat padaku karena itu nama pemberian papa.Tiba-tiba aku teringat pada orang tuaku. Bagaimana kabar papa saat ini? apakah mama baik-baik saja? Aku ada di Jakarta, tapi tidak mengunjungi mereka. Hanya karena aku pernah berkata tidak akan kembali sebelum bisa membuktikan kemandirianku. Dan aku merasa belum berhasil, tidak sebagai Galang. Tapi sikap macam apa ini, harga diri atau malah kesombongan.Santi waktu itu bertanya kenapa aku tidak kembali ke rumahnya, dan dia hanya tersenyum mendengar jawabanku. Sejak awal kami sudah saling mengerti, dan meski berpisah cukup lama kurasa dia masih bisa mengerti sifatku. Walaupun sudah ter
Milna, Australia.Kegiatan pesantren kilat yang aku ikuti ternyata memang menyenangkan. Selain mendapat banyak teman baru, aku juga mendapat pengalaman yang belum pernah aku bayangkan sebelumnya. Pelajarannya sih pernah aku dapat di sekolah, tapi kegiatan luar kelasnya yang membuat aku ingin kembali mendaftar lagi tahun depan.Salah satu kegiatan yang aku suka adalah Jumat berbagi. Kami menyiapkan makanan lalu membagikannya ke orang yang membutuhkan. Aku sangat senang melihat reaksi mereka. Tatapan terima kasih itu sangat tulus dan menjadi energi baru yang belum pernah kurasakan sebelumnya.Tapi yang paling aku suka adalah kegiatan lintas alam. Ternyata mereka memiliki hutan di tengah kota. Di sinilah kegiatan kami dilaksanakan. Bahkan kami berkemah meski hanya satu malam. Baru kali ini aku tidur di bawah bintang-bintang.Entah benar atau hanya perasaanku saja, Hana seperti memberikan perhatian lebih padaku. Mungkin karena aku anak piatu, bisa juga karena
Milna, Jakarta.Kegiatan di sekolah sudah mulai bertambah. Sebentar lagi ujian akhir semester akan dilaksanakan, jadi ada saja kelas tambahan setiap harinya. Kelas itu ditujukan untuk siswa yang tertinggal dalam pelajaran. Meski demikian, kelas tambahan itu harus diikuti oleh seluruh siswa tanpa kecuali.Sayangnya, akhir-akhir ini aku sulit berkonsentrasi. Sejak kembali dari Bandung, aku terus memikirkan bagaimana caranya aku bisa pergi ke Australia. Aku bisa saja meminta papa mengajak aku berlibur ke sana, tapi nanti aku jadi tak bisa mencari jejak Hana dengan leluasa. Aku harus pergi ke sana seorang diri. Baru nanti jika semua sudah siap, papa akan aku minta untuk menyusul.Sampai saat ini aku belum juga menemukan alasan untuk bisa diizinkan pergi ke Australia seorang diri. Akhirnya aku mencoba mencari informasi mengenai tempat kerja Hana di internet. Siapa tahu aku menemukan sesuatu. Ternyata benar, baru saja aku membuka situs mereka, aku langsung menemukan j
Milna, Bandung.Hari sudah mulai gelap. Dari jendela aku sempat melihat seorang bapak tua menyusuri pekarangan untuk menyalakan lampu-lampu. Orang itu tidak ada di sini tadi pagi, saat aku dan papa tiba. Sepertinya papa menyewa orang untuk menjaga rumah ini tapi tidak memperbolehkan dia tinggal di sini. Jadi dia hanya datang seperlunya.Karena buku cerita papa sudah selesai kubaca, aku mencoba mencari hal menarik lain. Tapi setelah mencari beberapa lama, aku tidak menemukan apa-apa. Mungkin semua yang ingin diceritakan mama sudah tertuang di buku itu. Akhirnya aku putuskan untuk keluar dari kamar waktu.Di luar kamar, aku melihat papa sedangmenelepon. Rupanya dia sedang memesan makan malam. Setengah jam kemudian makanan yang papa pesan datang. Kami lalu makan sambil mengobrol. Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk mencari informasi dari papa."Papa tahu, aku mendapat informasi tentang mama dari internet. Waktu itu aku mencari data pernikahan
Milna, Bandung.Kamar lama mama berukuran sangat besar. Bahkan mungkin ukurannya dua kali lipat dari kamarku. Tapi kamar ini tidak memiliki pemandangan yang luas, berbeda dengan kamar yang aku tempati. Karena memang kamar ini ada di rumah lama yang tidak bertingkat, sedangkan kamarku ada di lantai 7 apartemen yang tinggi.Tapi pemandangan di luar boleh juga. Ada pohon-pohon rindang dan tanaman kecil dengan bunga berwarna-warni. Jarang sekali aku melihat pemandangan alam seperti ini. Karena itu aku memilih duduk di dekat jendela sambil membaca buku cerita papa.Saat baru membaca sepertiga bagian dari buku itu, aku mendengar pintu diketuk. Tak lama kemudian papa berkata dari balik pintu."Milna, hari sudah siang. Makan dulu nak, papa sudah memesan makanan kesukaan kamu."Aku menampilkan mode jam pada gelang saktiku. Ternyata memang sudah lewat tengah hari. Cerita papa memang sangat menarik, sampai-sampai aku jadi lupa waktu. Segera aku letakkan buku
Milna, Jakarta.Namaku Milna. Umurku sepuluh tahun. Kurang sedikit sih, karena dua hari lagi baru aku ulang tahun. Aku tinggal di sebuah apartemen di Jakarta bersama papa. Hanya bersama papa, karena mama sudah tiada.Papa adalah seorang pengusaha. Dia punya perusahaan yang besar. Gedung kantornya saja tinggi sekali. Aku sesekali diajak ke sana. Tapi hanya sesekali saja, biasanya aku belajar dan bermain di sekolah. Papa mengantarku ke sekolah saat berangkat kerja dan menjemput aku ketika dia pulang. Di akhir pekan, kami biasanya ke rumah opa di Bandung.Berbeda dengan teman-temanku yang lain, aku tak pernah mengenal mama. Katanya sih mama meninggal saat melahirkan aku. Sayangnya papa tidak pernah mau cerita tentang mama. Setiap aku bertanya, papa selalu menjawab 'Pada saatnya nanti kamu akan punya kesempatan untuk mengenalnya'. Aku sampai bosan mendengar jawaban itu.Karena papa tidak pernah mengatakan kapan kesempatan itu aku dapat, aku tak mau menunggu.
Mila, Bandung.Rasa mual yang beberapa bulan terakhir terus menyiksaku kini sudah mereda. Sesuai perkiraan perawat, di trimester kedua ini rasa itu akan hilang dengan sendirinya. Memang sudah hampir lima bulan aku menjadi seorang calon ibu. Selama itu sudah aku memiliki janin dalam kandungan.Anugerah itu aku dapat setelah aku mencabut gugatan cerai. Pengacaraku sampai tak percaya dengan keputusan itu. Padahal hanya dengan diam saja, aku akan mendapat separuh harta Galang. Dan jumlahnya sangat banyak, karena dia adalah pemilik salah satu perusahaan ternama di Jakarta.Keputusan itu aku pilih bukan mengandalkan naluri. Saat hakim akan mengambil keputusan, aku menerima pesan dari Detektif Parkin. Dia adalah orang yang aku minta untuk mencari informasi tentang Dewi. Informasi itu datang tepat pada waktunya.'Dewi adalah seorang foto model profesional. Saya belum bisa memastikan, tapi sejauh penyelidikan saya dia bukan wanita panggilan.'Dari informasi
Hana, Jakarta.Kamar rias pengantin adalah tempat yang sakral bagi mempelai wanita. Jangankan orang lain, bahkan mempelai pria pun tidak boleh memasukinya. Dan sebab itu sebagian besar wanita belum pernah berada di dalamnya. Termasuk aku, baru kali ini aku berada di kamar itu. Karena memang akulah sang mempelai wanita.Di luar sana, semua orang sibuk menyiapkan acara. Dimulai dari akad nikah, makan bersama keluarga, sampai acara resepsi. Pagi ini belum terlalu ramai karena memang hanya keluarga dan beberapa relasi dekat yang hadir. Tapi siang nanti, dua ribu undangan telah disebar dan biasanya mereka hadir membawa pasangan.Karena ayah sudah tiada, yang menjadi waliku adalah paman. Ketiga orang itu telah duduk di satu meja. Paman, Galang dan penghulu. Sebelum akad nikah, penghulu menjelaskan teknis acara. Agar suasana menjadi cair, penghulu itu mencoba bergurau."Sebelumnya saya ingin bertanya. Apakah Pak Galang sudah pernah menikah?"Galang berpik
Mila, Bandung.Suasana kafe di salah satu sudut kota Bandung masih sepi. Sebenarnya kafe ini cukup banyak pelanggannya, tapi hari ini bukan akhir pekan dan waktu juga masih sore. Jadi wajar saat ini hanya ada aku, Galang dan dua orang pengunjung lain.Galang mengajak aku ke sini bukan tanpa alasan. Biasanya kami ke sini jika dia ingin mengobrol agak serius. Benar saja, setelah kami duduk dan memesan makanan Galang langsung mengutarakan maksudnya."Mila pasti sudah pernah mendengar bahwa aku bekerja sambil kuliah. Dan saat ini aku sudah lulus. Orang tuaku sudah menanyakan kapan aku akan menikah. Karena itu beberapa pekan lalu aku melamar Sisca." kata Galang membuka percakapan."Jadi, kapan kalian akan menikah?" Aku bertanya dengan suara serak saking gemetar menahan penasaran."Dia menolak lamaranku. Jadi bisa dikatakan kami sudah tidak memiliki hubungan apa-apa lagi. Dan aku bebas memilih siapa saja untuk menjadi pendamping.""Saya rasa tidak
Hana, Jogjakarta.Kesibukan santri di akhir semester memang luar biasa. Selain mengikuti ujian, para santri juga harus menyetor hafalan yang menjadi target kami. Tidak heran jam tidur kami jadi jauh berkurang. Sering kali kami tidur setelah larut malam dan bangun sebelum ayam jantan berkokok.Bagi santri yang berlatar belakang pendidikan umum, kami harus berusaha lebih giat lagi. Selain karena kami harus mempelajari bahasa arab terlebih dahulu, jumlah hafalan kami juga kalah jauh dibanding santri lain. Akibatnya selama seminggu ini aku hanya tidur tiga jam sehari.Untunglah masa itu sudah selesai. Kini adalah masa liburan. Kebanyakan santri daerah pulang ke kotanya masing-masing. Tapi aku memutuskan untuk tetap di pesantren. Bisnis yang diwariskan ayah bisa dibilang sudah autopilot, jadi ibu tidak terlalu repot mengurusnya. Karena itu, ibu bebas jika ingin ke mana saja dan jadi sering menginap di tempatku.Berbeda dengan santri lain, aku tidak pe