Matahari sudah mulai tinggi. Hampir semua pegawai pool telah datang. Bukan untuk bekerja, tapi untuk memastikan barang apa saja yang hilang. Beberapa sopir juga telah tiba. Mereka terkejut ketika mengetahui apa yang terjadi semalam.
Tentu saja yang pertama tiba adalah pak satpam. Dia sangat kaget saat kuceritakan kejadian semalam. Mukanya langsung pucat pasi, untung saja dia tidak memiliki penyakit jantung. Setelah tenang dia langsung masuk kantor dan menelpon pemilik travel. Orang kedua yang dia telpon adalah Kang Asep. Sudah semalaman aku menyusun alasan apa yang akan kuberikan padanya. Namun saat dia datang aku hanya bisa berkata, "Maaf kang, saya telah membuat akang kecewa."
Dan saat ini aku melihat Kang Asep sedang berbicara dengan pemilik travel. Sebelumnya salah seorang pegawai kantor memberikan secarik kertas pada bos. Sepertinya semua barang telah selesai diperiksa. Mungkin kini mereka sedang membicarakan hukuman apa yang akan diberikan padaku.
Aku melihat Kang Asep datang menghampiriku. Mukanya tampak kusut seperti sedang menghadapi masalah yang pelik. Masalah yang kuhadirkan padanya karena kecerobohanku.
"Bos ingin lapor polisi, tapi saya membujuknya agar tidak melibatkan polisi dahulu. Dia setuju asal semua barang yang hilang diganti."
"Berapa nilainya kang?" tanyaku. Kang Asep menyebutkan sejumlah nilai. Jantungku langsung berdegup kencang, dengan penghasilanku saat ini butuh waktu belasan tahun untuk menutupi kerugian itu.
"Sebaiknya lapor polisi saja kang, biar akang gak repot." Kataku akhirnya.
"Tidak, saya tidak mengajakmu ke sini untuk masuk ke penjara. Saya juga tidak bisa membantumu mengganti barang yang hilang. Tapi ada satu cara lain. Di Geger Kalong ada pesantren yang mau meminjamkan orang yang terlilit hutang dan menggantinya dengan bekerja di sana. Saya ada jadwal mengemudi, jadi kamu harus pergi sendiri. Bos memberi waktu 3 hari padamu."
"Baik kang, terima kasih. Saya akan ke sana sekarang. Do'akan ya kang."
Aku bertanya ke penjaga warung depan rute angkot menuju Geger Kalong. Aku memilih tidak naik ojek untuk berhemat karena entah kapan aku bisa menghasilkan uang lagi. Setelah apa yang terjadi, tidak mungkin rasanya aku bermalam di pool lagi. Dan karena gitar itu ditinggalkan di pool, tak mungkin pula aku membawanya.
Dari pool travel aku cukup naik angkot dua kali menuju Geger Kalong. Setelah naik angkot yang kedua, sopir bertanya dimana aku turun. Aku lupa bertanya pada Kang Asep nama pesantren yang harus kudatangi. Dengan ragu aku bilang ke sopir akan turun di pasantren. Sopir itu tidak bertanya lagi. Sepertinya pesantren tersebut cukup terkenal.
Setelah sekitar setengah jam melalui jalan kota Bandung angkot tiba-tiba berhenti. Sopir menjelaskan bahwa aku sudah sampai di jalan masuk menuju pesantren, sambil menunjuk plang yang terpampang jelas. Sepertinya aku ingat nama pesantren ini, memang pesantren yang terkenal bahkan sampai Jakarta.
Aku membayar angkot kemudian turun. Kususuri jalan sesuai petunjuk arah plang tersebut. Tak beberapa lama aku mulai memasuki kawasan pesantren, namun aku bingung mau ke bagian apa. Petunjuk dari Kang Asep memang agak samar. Akhirnya aku bertanya ke petugas berseragam terdekat.
"Punten 'A mau tanya, kalo mau pinjam uang ke pesantren harus ke bagian apa ya?"
Dia kelihatan bingung. Setelah berdiskusi dengan temannya akhirnya dia menyuruhku bertanya ke bagian ZISWAF. Gedungnya terletak persis di sebelah masjid.
Aku segera melangkahkan kaki ke sana. Gedung tersebut terdiri dari 3 lantai. Aku lalu masuk ke gedung itu dan langsung menuju resepsionis. Kutanyakan hal yang sama, dan kembali kulihat wajah yang bingung. Sepertinya program ini tidak banyak yang tahu, mungkin agar tidak sembarang orang mengajukan pinjaman.
Resepsionis itu kemudian menelepon seseorang, setelah itu baru aku diminta ke bagian wakaf di lantai 3. Langsung kususuri tangga menuju ke sana. Di lantai 3 tidak ada resepsionis jadi aku bertanya pada orang pertama yang kutemui. Dia lalu masuk ke suatu ruangan kemudian kembali membawa formulir. Aku diminta mengisinya.
Isian formulir itu langsung membuat kepalaku pening. Mulai dari KTP yang tidak kumiliki sampai pada pertanyaan yang tidak berhubungan seperti apakah aku terbiasa shalat sunnah, jumlah halaman Qur'an yang kubaca per harinya sampai surah terpanjang yang sudah kuhapal. Akhirnya banyak kolom yang tidak kuisi. Kutanda tangani formulir tersebut lalu masuk ke ruangan tempat formulir itu diambil.
Kuketuk pintu perlahan sebelum masuk. Di ruang itu hanya ada dua orang staf, keduanya lelaki. Aku putuskan untuk menghampiri meja terdekat. Saat kudatangi, lelaki itu tersenyum dan menyuruhku duduk. Kuserahkan formulir yang telah kuisi kepadanya. Dia menerima formulir itu, membacanya dan berfikir sejenak baru kemudian menoleh kepadaku.
"Coba ceritakan bagaimana kamu bisa sampai di sini." Pertanyaan yang mirip dengan Kang Asep, jadi kuceritakan hal yang sama ditambah apa yang kualami di Bandung.
"Cerita yang menarik. Baik, datanglah minggu depan untuk mengetahui hasilnya." katanya.
"Maaf kang, jika dalam 3 hari saya tidak bisa mengganti barang yang hilang, saya akan dilaporkan ke polisi." Aku menjelaskan tanpa nada memelas, hanya sekedar informasi.
"Baik, datanglah kembali besok pagi." Dia menyalamiku sambil tersenyum. Cara yang sopan untuk mengusir tamu. Aku menyalaminya dan mengucapkan terima kasih lalu beranjak ke pintu. Namun belum sampai luar ruangan, aku berbalik dan bertanya apakah di sekitar sini ada tempat menginap gratis karena aku tak mampu menyewa penginapan. Dia menyarankan untuk tidur di masjid.
Aku keluar dari gedung itu dan langsung menuju masjid. Karena tidak tahu harus pergi ke mana, aku kembali bertanya ke petugas berseragam terdekat. Kali ini dia tidak terlihat bingung seperti sebelumnya. Sepertinya banyak orang yang berkunjung ke sini namun tidak mampu menyewa penginapan. Aku diarahkan menuju lantai 2. Benar saja, di sana sudah ada beberapa orang yang membawa tas ransel bahkan koper kecil. Aku langsung mencari tempat kosong dan meletakkan ransel dan merebahkan tubuh. Sejak kejadian semalam aku baru tidur beberapa jam. Setelah semua urusanku selesai baru ku merasa lelah dan mengantuk. Aku tertidur dan baru terbangun saat adzan berkumandang.
Semua orang meninggalkan tempatnya menuju tempat shalat. Aku ragu sejenak apakah akan pergi atau tetap di tempat. Akhirnya aku mengikuti orang terakhir yang turun. Aku sudah cukup punya banyak masalah. Jika ada barang yang hilang pasti mereka curiga padaku.
Setelah shalat aku keluar untuk mencari makan. Hampir seluruh tempat makan penuh. Wajar saja karena ini jam makan malam dan ternyata daerah sini dekat dengan kampus. Akhirnya kuputuskan untuk membeli roti, karena sekilas aku sempat melihat ada tempat air minum gratis di masjid. Lumayan untuk menghemat pengeluaran. Karena tidak ada tempat yang kutuju, kuputuskan kembali ke masjid tapi tidak langsung ke lantai 2 karena mungkin tidak ada orang di sana. Aku baru ke sana lagi setelah selesai shalat dan langsung tidur.
Aku kembali terbangun saat adzan shubuh. Seingatku belum pernah aku bangun sepagi ini. Namun karena semua orang juga terbangun maka akupun ikut shalat bersama mereka. Ini adalah shalat shubuh pertamaku. Setelah shalat aku langsung pergi ke kamar mandi. Penghuni masjid ini cukup banyak, aku tak mau terjebak dalam antrian. Lebih cepat lebih baik, pikirku. Ternyata aku salah. Semua orang memiliki pikiran yang sama. Masing-masing pintu kamar mandi sudah ada yang mengantri. Dan aku baru selesai mandi setelah matahari cukup tinggi.
Karena hari sudah cukup siang, aku keluar masjid untuk mencari sarapan dengan membawa ranselku. Ini adalah sarapan pertamaku yang kubeli sejak aku tiba di kota ini. Setelah sarapan aku berjalan-jalan di sekitar kawasan pesantren sambil menunggu jam masuk kerja.
Tepat pukul 8 aku memasuki gedung ZISWAF. Aku meminta ijin untuk ke lantai 3. Tiba di sana aku langsung menuju ruang tempat aku mengembalikan formulir. Kedua staf itu telah ada. Staf yang kemarin melayaniku tersenyum dan berkata.
"Akang ditunggu pak kepala, dia mau tanya-tanya sedikit. Ruangnya di sudut sebelah kiri."
Aku langsung menuju ke sana. Setelah mengetuk pintu, terdengar suara yang mempersilahkan aku masuk. Dia tersenyum sambil menyodorkan tangannya. Kamipun bersalaman. Setelah itu dia berkata.
"Kamu pasti yang bernama Boi. Saya sudah menunggu kedatanganmu. Untunglah kamu datang pagi sehingga tidak perlu mengantri."
"Terima kasih kang," ucapku. "Saya memang menumpang di masjid sebelah, dan saya tidak punya banyak waktu untuk menyelesaikan urusan ini."
"Ya, saya mengerti. Staf saya sudah bercerita tentangmu. Tidak punya tempat tinggal dan pekerjaan, tapi ada tuntutan untuk mengganti barang yang hilang akibat kelalaian. Benar seperti itu?" Pak Kepala bertanya sambil memandangku lekat-lekat.
"Ya, singkatnya seperti itu." Jawabku.
"Baik. Sebelumnya saya mohon maaf jika pertanyaan di formulir cukup rinci. Program ini menggunakan dana wakaf, jadi kami harus memastikan dananya tidak hilang. Kami hanya memberikan pinjaman bukan hanya kepada orang yang membutuhkan, tetapi orang yang juga mau mengembalikan."
"Saya mengerti," jawabku. "Meski saya tidak mengerti apa hubungan ritual agama dengan keinginan untuk mengembalikan pinjaman."
"Sangat berhubungan." Pak kepala mencoba meyakinkanku. "Kita bisa mempercayai orang yang baik agamanya. Baik dalam arti di dalamnya, bukan hanya yang terlihat. Tapi apa yang terlihat biasanya mencerminkan apa yang ada di dalamnya, meski tidak selalu. Sayangnya kamu lemah di kriteria ini. Banyak isian di formulir yang tidak diisi. Sedikit pertanyaan saja, apakah kamu biasa shalat 5 waktu? Bisa mengaji?"
"Saya bisa mengaji, guru sekolah yang mengajarkan. Tapi untuk shalat, yang rutin hanya shalat jum'at. Bahkan saya baru sekali mengerjakan shalat shubuh. Tadi pagi." Aku menjelaskan tanpa merasa perlu menyembunyikan apa-apa.
Pak Kepala tersenyum, lalu dia melanjutkan.
"Dua staf saya berbeda pendapat tentangmu. Ini jarang terjadi. Yang satu ingin menolak permintaanmu. Kamu tidak punya tempat tinggal dan kerabat di sini, mudah saja bagimu untuk pergi setelah mendapat pinjaman. Dan biasanya kami memberikan pinjaman kepada santri atau paling tidak jamaah masjid. Kami belum pernah memberi pinjaman kepada orang dengan masa lalu sepertimu."
"Apakah agama kita menilai seseorang dengan melihat masa lalunya?" aku berkata dengan nada tinggi, sedikit kesal karena merasa dipermainkan.
"Tidak, tidak. Islam tidak menilai seseorang dari masa lalunya. Makanya ada pendapat kedua, yang merasa kamu pantas menerima pinjaman. Dia melihat sesuatu dalam dirimu. Karenanya saya ingin bertemu denganmu secara langsung. Tapi saya perlu satu hal lagi sebagai bahan pertimbangan. Saya ingin kamu sendiri yang menjelaskan, kenapa kamu pantas mendapatkan pinjaman."
Permintaannya tidaklah sulit, tapi aku masih bingung ingin menjawab apa karena sebenarnya aku tidak ingin tinggal lama di sini. Tapi pilihan lainnya adalah penjara. Dan jawabanku akan menentukan nasibku selanjutnya, apakah akan menjadi santri atau napi.
Hari sudah semakin siang. Jalan-jalan juga semakin ramai. Suara bisingnya sayup-sayup terdengar dari lantai 3. Untungnya gedung ini ber-AC sehingga suara dari luar tidak terlalu mengganggu.Kami berdua masih terdiam. Pak Kepala dengan sabar memberikan waktu padaku untuk berpikir. Setelah yakin dengan jawabanku akhirnya aku berkata."Sebenarnya saya tidak terlalu peduli akan diterima atau tidak. Apapun hasilnya saya tetap akan dipenjara, di sini atau di LAPAS. Bahkan saya berpikir lebih baik di LAPAS. Di sana saya bisa bebas melakukan apa saja sedangkan di sini saya harus mengikuti semua aturan yang ada."Pak Kepala hanya tersenyum mendengar jawabanku. Sepertinya dia tidak tersinggung. Dia kembali bertanya."Jika demikian, kenapa kamu tetap mengajukan pinjaman?"
Suasana sore di kantor pengelola pesantren sudah sepi. Sebagian besar karyawan sudah meninggalkan tempatnya, ada yang pulang ke rumah dan ada juga yang pergi ke masjid. Seperti biasa, hari itu memang ada pengajian sore di masjid dan banyak karyawan yang ikut menghadirinya.Di tengah kesunyian kantor, aku seperti disambar petir mendengar tuduhan bapak itu. Siapakah dia, dan siapa pula anak gadisnya. Aku tak pernah berhubungan intim dengan wanita manapun. Mana mungkin aku bisa menghamili seseorang. Dengan memberanikan diri akhirnya aku bertanya."Maaf pak, siapa nama anak bapak?"Jawaban dari pertanyaanku adalah tamparan di pipi. Dia semakin marah dan berteriak membentakku."Kurang ajar, masih pura-pura lupa. Atau jangan-jangan banyak gadis yang kau nodai sehingga kau tak
"Pak Kyai mengenalku? Dia percaya padaku?""Ya, tentu saja. Bahkan dia memiliki julukan untukmu. Santri Tanda Tangan, katanya. Sebenarnya semua santri di sini diawasi. Biasanya oleh santri yang posisinya dekat. Tapi kamu agak lain. Pak Kyai ingat karena saat ceramah shubuh kau selalu duduk di sudut dan tertidur. Itu di awal-awal. Setelah itu posisi dudukmu bergeser semakin ke depan."Aku tersenyum mendengar penjelasan itu. Ternyata aku diperhatikan. Kelak semua ini akan jadi kenangan indah yang tak terlupakan."Saya juga mengawasimu meski secara tidak sengaja." Pak Kepala melanjutkan. "Setiap lewat depan toko, saya selalu melihatmu sedang membaca. Saya jadi bertanya-tanya, sudah berapa buku yang kamu baca?""Hampir semua." Jawabku
Udara sore di lereng gunung merapi sudah mulai terasa dingin. Matahari sudah tak terlihat, tertutup oleh awan dan debu yang keluar dari kawah gunung. Akhir-akhir ini merapi memang semakin aktif, anjuran untuk mengungsi juga sudah diserukan pemerintah setempat. Tiba-tiba saja terdengar dentuman kencang diiringi oleh semburan abu dan awan vulkanik. Kulihat Mas Rangga keluar dari pondoknya membawa tas ransel. Kami memang sudah mempersiapkan barang bawaan jika memang sewaktu-waktu harus segera mengungsi. "Aku akan menjemput Pak Kyai, kamu jemput Ahmad di masjid ya." Mas Rangga memerintahkan. Aku langsung menuju masjid. Kulihat Ahmad Mustofa sedang berkutat dengan buku. Kuajak dia untuk mengungsi namun dia menolak karena masih ingin memilah buku-buku yang mau dibawa. Aku keluar dari masjid dan bertemu Mas Rangga di ge
Aku terperanjat mendengar kalimat itu. Lama setelah itu baru aku mengerti maksudnya."Tapi mas, bagaimana dengan keluarganya? Saya tidak bisa menjadi Ahmad Mustofa karena jika keluarganya tahu mereka akan sedih bahkan marah." Ucapku."Kamu tak perlu khawatir," kata Mas Rangga. "Dia sudah sebatang kara saat dibawa Pak Kyai ke sini. Aku tidak meragukan kemampuanmu, kau hanya tidak beruntung karena tidak memiliki ijazah. Ini kesempatan baik untukmu dan untuk pesantren ini. Tidak ada yang akan dirugikan dari kebohongan ini, yang ada hanya kebaikan. Semoga Allah meridhoi jalan ini."Aku ragu sejenak, tapi akhirnya mengangguk setuju. Setelah Pak Kyai wafat dan bangunan pesantren rusak, otomatis aku tidak punya tempat tinggal lagi. Menjadi Ahmad Mustofa adalah pilihan terbaik buatku.
Suasana kampus di waktu pagi terasa sunyi. Suara yang terdengar hanya kicauan burung-burung yang hinggap di dahan pohon. Wajar saja karena hari ini sudah memasuki libur semester. Hampir semua penghuni asrama sudah pulang ke rumahnya masing-masing. Yang tinggal hanyalah mahasiswa yang ingin mengejar ketertinggalan, atau yang tidak punya rumah sepertiku.Tapi hari ini aku punya rencana untuk bepergian. Sudah satu semester aku menabung untuk mencicil hutangku pada pesantren. Sengaja aku pilih berkunjung ke sana pada kamis pagi, karena selain ingin membayar hutang aku juga merindukan suasana pengajian di sana. Jika perjalananku lancar, aku akan tiba saat siang hari sehingga bisa mengikuti pengajian kamis sore, kamis malam dan jum'at pagi.Entah mengapa ada perasaan bahagia menyelimuti diriku. Aku akan kembali ke Geger Kalong, seolah aku akan pulang kampung. Padahal
Aku mengucapkan terima kasih lalu pamit untuk pergi ke kantor SDM. Aku berjalan cepat karena didorong rasa ingin tahu. Namun aku belum juga bisa menebaknya. Sesampainya di kantor aku menyapa karyawan yang kukenal sambil berjalan menuju ruang kepala."Ya, silahkan masuk." Pak kepala berkata saat mendengar aku mengetuk pintu. Sepertinya dia sudah tahu kedatanganku. Setelah aku duduk baru dia memulai penjelasannya."Pak Kepala ZISWAF barusan menghubungiku, dia menceritakan perihal keperluanmu. Aku juga sepakat dengannya. Tapi karena ini rahasia, kau juga tidak boleh menceritakan pada orang lain, setuju?"Aku hanya mengangguk. Pak kepala diam sejenak sebelum akhirnya berkata."Yang melunasi pinjamanmu adalah ayahnya Hana."
Suasana kampus di Depok memang sangat asri. Masih banyak pohon besar yang dibiarkan tidak ditebang. Ditambah lagi arsitektur masjid kampus ini memakai konsep terbuka, sehingga tiupan angin terasa cukup kencang."Jika tidak mendengar suaramu, aku pasti belum yakin bahwa kau bukanlah Ahmad Mustofa."Aku mendengar suara di belakangku. Seketika aku berbalik dan melihat si pemilik suara. Perasaanku berdebar saat mengenali wajah itu. Aku seperti dibawa kembali ke masa lalu di lapangan upacara. Saat itu dia berpidato di depan setelah menjuarai lomba. Ya, dia adalah Santi, kekasihku di masa lalu.Ada yang berbeda dengan Santi, dia sekarang memakai hijab. Tapi suaranya tidak berubah, suara yang memiliki pesona. Setelah aku berhasil mengatasi rasa kaget, aku membalas ledekannya."
Milna, Australia.Kegiatan pesantren kilat yang aku ikuti ternyata memang menyenangkan. Selain mendapat banyak teman baru, aku juga mendapat pengalaman yang belum pernah aku bayangkan sebelumnya. Pelajarannya sih pernah aku dapat di sekolah, tapi kegiatan luar kelasnya yang membuat aku ingin kembali mendaftar lagi tahun depan.Salah satu kegiatan yang aku suka adalah Jumat berbagi. Kami menyiapkan makanan lalu membagikannya ke orang yang membutuhkan. Aku sangat senang melihat reaksi mereka. Tatapan terima kasih itu sangat tulus dan menjadi energi baru yang belum pernah kurasakan sebelumnya.Tapi yang paling aku suka adalah kegiatan lintas alam. Ternyata mereka memiliki hutan di tengah kota. Di sinilah kegiatan kami dilaksanakan. Bahkan kami berkemah meski hanya satu malam. Baru kali ini aku tidur di bawah bintang-bintang.Entah benar atau hanya perasaanku saja, Hana seperti memberikan perhatian lebih padaku. Mungkin karena aku anak piatu, bisa juga karena
Milna, Jakarta.Kegiatan di sekolah sudah mulai bertambah. Sebentar lagi ujian akhir semester akan dilaksanakan, jadi ada saja kelas tambahan setiap harinya. Kelas itu ditujukan untuk siswa yang tertinggal dalam pelajaran. Meski demikian, kelas tambahan itu harus diikuti oleh seluruh siswa tanpa kecuali.Sayangnya, akhir-akhir ini aku sulit berkonsentrasi. Sejak kembali dari Bandung, aku terus memikirkan bagaimana caranya aku bisa pergi ke Australia. Aku bisa saja meminta papa mengajak aku berlibur ke sana, tapi nanti aku jadi tak bisa mencari jejak Hana dengan leluasa. Aku harus pergi ke sana seorang diri. Baru nanti jika semua sudah siap, papa akan aku minta untuk menyusul.Sampai saat ini aku belum juga menemukan alasan untuk bisa diizinkan pergi ke Australia seorang diri. Akhirnya aku mencoba mencari informasi mengenai tempat kerja Hana di internet. Siapa tahu aku menemukan sesuatu. Ternyata benar, baru saja aku membuka situs mereka, aku langsung menemukan j
Milna, Bandung.Hari sudah mulai gelap. Dari jendela aku sempat melihat seorang bapak tua menyusuri pekarangan untuk menyalakan lampu-lampu. Orang itu tidak ada di sini tadi pagi, saat aku dan papa tiba. Sepertinya papa menyewa orang untuk menjaga rumah ini tapi tidak memperbolehkan dia tinggal di sini. Jadi dia hanya datang seperlunya.Karena buku cerita papa sudah selesai kubaca, aku mencoba mencari hal menarik lain. Tapi setelah mencari beberapa lama, aku tidak menemukan apa-apa. Mungkin semua yang ingin diceritakan mama sudah tertuang di buku itu. Akhirnya aku putuskan untuk keluar dari kamar waktu.Di luar kamar, aku melihat papa sedangmenelepon. Rupanya dia sedang memesan makan malam. Setengah jam kemudian makanan yang papa pesan datang. Kami lalu makan sambil mengobrol. Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk mencari informasi dari papa."Papa tahu, aku mendapat informasi tentang mama dari internet. Waktu itu aku mencari data pernikahan
Milna, Bandung.Kamar lama mama berukuran sangat besar. Bahkan mungkin ukurannya dua kali lipat dari kamarku. Tapi kamar ini tidak memiliki pemandangan yang luas, berbeda dengan kamar yang aku tempati. Karena memang kamar ini ada di rumah lama yang tidak bertingkat, sedangkan kamarku ada di lantai 7 apartemen yang tinggi.Tapi pemandangan di luar boleh juga. Ada pohon-pohon rindang dan tanaman kecil dengan bunga berwarna-warni. Jarang sekali aku melihat pemandangan alam seperti ini. Karena itu aku memilih duduk di dekat jendela sambil membaca buku cerita papa.Saat baru membaca sepertiga bagian dari buku itu, aku mendengar pintu diketuk. Tak lama kemudian papa berkata dari balik pintu."Milna, hari sudah siang. Makan dulu nak, papa sudah memesan makanan kesukaan kamu."Aku menampilkan mode jam pada gelang saktiku. Ternyata memang sudah lewat tengah hari. Cerita papa memang sangat menarik, sampai-sampai aku jadi lupa waktu. Segera aku letakkan buku
Milna, Jakarta.Namaku Milna. Umurku sepuluh tahun. Kurang sedikit sih, karena dua hari lagi baru aku ulang tahun. Aku tinggal di sebuah apartemen di Jakarta bersama papa. Hanya bersama papa, karena mama sudah tiada.Papa adalah seorang pengusaha. Dia punya perusahaan yang besar. Gedung kantornya saja tinggi sekali. Aku sesekali diajak ke sana. Tapi hanya sesekali saja, biasanya aku belajar dan bermain di sekolah. Papa mengantarku ke sekolah saat berangkat kerja dan menjemput aku ketika dia pulang. Di akhir pekan, kami biasanya ke rumah opa di Bandung.Berbeda dengan teman-temanku yang lain, aku tak pernah mengenal mama. Katanya sih mama meninggal saat melahirkan aku. Sayangnya papa tidak pernah mau cerita tentang mama. Setiap aku bertanya, papa selalu menjawab 'Pada saatnya nanti kamu akan punya kesempatan untuk mengenalnya'. Aku sampai bosan mendengar jawaban itu.Karena papa tidak pernah mengatakan kapan kesempatan itu aku dapat, aku tak mau menunggu.
Mila, Bandung.Rasa mual yang beberapa bulan terakhir terus menyiksaku kini sudah mereda. Sesuai perkiraan perawat, di trimester kedua ini rasa itu akan hilang dengan sendirinya. Memang sudah hampir lima bulan aku menjadi seorang calon ibu. Selama itu sudah aku memiliki janin dalam kandungan.Anugerah itu aku dapat setelah aku mencabut gugatan cerai. Pengacaraku sampai tak percaya dengan keputusan itu. Padahal hanya dengan diam saja, aku akan mendapat separuh harta Galang. Dan jumlahnya sangat banyak, karena dia adalah pemilik salah satu perusahaan ternama di Jakarta.Keputusan itu aku pilih bukan mengandalkan naluri. Saat hakim akan mengambil keputusan, aku menerima pesan dari Detektif Parkin. Dia adalah orang yang aku minta untuk mencari informasi tentang Dewi. Informasi itu datang tepat pada waktunya.'Dewi adalah seorang foto model profesional. Saya belum bisa memastikan, tapi sejauh penyelidikan saya dia bukan wanita panggilan.'Dari informasi
Hana, Jakarta.Kamar rias pengantin adalah tempat yang sakral bagi mempelai wanita. Jangankan orang lain, bahkan mempelai pria pun tidak boleh memasukinya. Dan sebab itu sebagian besar wanita belum pernah berada di dalamnya. Termasuk aku, baru kali ini aku berada di kamar itu. Karena memang akulah sang mempelai wanita.Di luar sana, semua orang sibuk menyiapkan acara. Dimulai dari akad nikah, makan bersama keluarga, sampai acara resepsi. Pagi ini belum terlalu ramai karena memang hanya keluarga dan beberapa relasi dekat yang hadir. Tapi siang nanti, dua ribu undangan telah disebar dan biasanya mereka hadir membawa pasangan.Karena ayah sudah tiada, yang menjadi waliku adalah paman. Ketiga orang itu telah duduk di satu meja. Paman, Galang dan penghulu. Sebelum akad nikah, penghulu menjelaskan teknis acara. Agar suasana menjadi cair, penghulu itu mencoba bergurau."Sebelumnya saya ingin bertanya. Apakah Pak Galang sudah pernah menikah?"Galang berpik
Mila, Bandung.Suasana kafe di salah satu sudut kota Bandung masih sepi. Sebenarnya kafe ini cukup banyak pelanggannya, tapi hari ini bukan akhir pekan dan waktu juga masih sore. Jadi wajar saat ini hanya ada aku, Galang dan dua orang pengunjung lain.Galang mengajak aku ke sini bukan tanpa alasan. Biasanya kami ke sini jika dia ingin mengobrol agak serius. Benar saja, setelah kami duduk dan memesan makanan Galang langsung mengutarakan maksudnya."Mila pasti sudah pernah mendengar bahwa aku bekerja sambil kuliah. Dan saat ini aku sudah lulus. Orang tuaku sudah menanyakan kapan aku akan menikah. Karena itu beberapa pekan lalu aku melamar Sisca." kata Galang membuka percakapan."Jadi, kapan kalian akan menikah?" Aku bertanya dengan suara serak saking gemetar menahan penasaran."Dia menolak lamaranku. Jadi bisa dikatakan kami sudah tidak memiliki hubungan apa-apa lagi. Dan aku bebas memilih siapa saja untuk menjadi pendamping.""Saya rasa tidak
Hana, Jogjakarta.Kesibukan santri di akhir semester memang luar biasa. Selain mengikuti ujian, para santri juga harus menyetor hafalan yang menjadi target kami. Tidak heran jam tidur kami jadi jauh berkurang. Sering kali kami tidur setelah larut malam dan bangun sebelum ayam jantan berkokok.Bagi santri yang berlatar belakang pendidikan umum, kami harus berusaha lebih giat lagi. Selain karena kami harus mempelajari bahasa arab terlebih dahulu, jumlah hafalan kami juga kalah jauh dibanding santri lain. Akibatnya selama seminggu ini aku hanya tidur tiga jam sehari.Untunglah masa itu sudah selesai. Kini adalah masa liburan. Kebanyakan santri daerah pulang ke kotanya masing-masing. Tapi aku memutuskan untuk tetap di pesantren. Bisnis yang diwariskan ayah bisa dibilang sudah autopilot, jadi ibu tidak terlalu repot mengurusnya. Karena itu, ibu bebas jika ingin ke mana saja dan jadi sering menginap di tempatku.Berbeda dengan santri lain, aku tidak pe