Udara sore di lereng gunung merapi sudah mulai terasa dingin. Matahari sudah tak terlihat, tertutup oleh awan dan debu yang keluar dari kawah gunung. Akhir-akhir ini merapi memang semakin aktif, anjuran untuk mengungsi juga sudah diserukan pemerintah setempat.
Tiba-tiba saja terdengar dentuman kencang diiringi oleh semburan abu dan awan vulkanik. Kulihat Mas Rangga keluar dari pondoknya membawa tas ransel. Kami memang sudah mempersiapkan barang bawaan jika memang sewaktu-waktu harus segera mengungsi.
"Aku akan menjemput Pak Kyai, kamu jemput Ahmad di masjid ya." Mas Rangga memerintahkan. Aku langsung menuju masjid. Kulihat Ahmad Mustofa sedang berkutat dengan buku. Kuajak dia untuk mengungsi namun dia menolak karena masih ingin memilah buku-buku yang mau dibawa.
Aku keluar dari masjid dan bertemu Mas Rangga di ge
Aku terperanjat mendengar kalimat itu. Lama setelah itu baru aku mengerti maksudnya."Tapi mas, bagaimana dengan keluarganya? Saya tidak bisa menjadi Ahmad Mustofa karena jika keluarganya tahu mereka akan sedih bahkan marah." Ucapku."Kamu tak perlu khawatir," kata Mas Rangga. "Dia sudah sebatang kara saat dibawa Pak Kyai ke sini. Aku tidak meragukan kemampuanmu, kau hanya tidak beruntung karena tidak memiliki ijazah. Ini kesempatan baik untukmu dan untuk pesantren ini. Tidak ada yang akan dirugikan dari kebohongan ini, yang ada hanya kebaikan. Semoga Allah meridhoi jalan ini."Aku ragu sejenak, tapi akhirnya mengangguk setuju. Setelah Pak Kyai wafat dan bangunan pesantren rusak, otomatis aku tidak punya tempat tinggal lagi. Menjadi Ahmad Mustofa adalah pilihan terbaik buatku.
Suasana kampus di waktu pagi terasa sunyi. Suara yang terdengar hanya kicauan burung-burung yang hinggap di dahan pohon. Wajar saja karena hari ini sudah memasuki libur semester. Hampir semua penghuni asrama sudah pulang ke rumahnya masing-masing. Yang tinggal hanyalah mahasiswa yang ingin mengejar ketertinggalan, atau yang tidak punya rumah sepertiku.Tapi hari ini aku punya rencana untuk bepergian. Sudah satu semester aku menabung untuk mencicil hutangku pada pesantren. Sengaja aku pilih berkunjung ke sana pada kamis pagi, karena selain ingin membayar hutang aku juga merindukan suasana pengajian di sana. Jika perjalananku lancar, aku akan tiba saat siang hari sehingga bisa mengikuti pengajian kamis sore, kamis malam dan jum'at pagi.Entah mengapa ada perasaan bahagia menyelimuti diriku. Aku akan kembali ke Geger Kalong, seolah aku akan pulang kampung. Padahal
Aku mengucapkan terima kasih lalu pamit untuk pergi ke kantor SDM. Aku berjalan cepat karena didorong rasa ingin tahu. Namun aku belum juga bisa menebaknya. Sesampainya di kantor aku menyapa karyawan yang kukenal sambil berjalan menuju ruang kepala."Ya, silahkan masuk." Pak kepala berkata saat mendengar aku mengetuk pintu. Sepertinya dia sudah tahu kedatanganku. Setelah aku duduk baru dia memulai penjelasannya."Pak Kepala ZISWAF barusan menghubungiku, dia menceritakan perihal keperluanmu. Aku juga sepakat dengannya. Tapi karena ini rahasia, kau juga tidak boleh menceritakan pada orang lain, setuju?"Aku hanya mengangguk. Pak kepala diam sejenak sebelum akhirnya berkata."Yang melunasi pinjamanmu adalah ayahnya Hana."
Suasana kampus di Depok memang sangat asri. Masih banyak pohon besar yang dibiarkan tidak ditebang. Ditambah lagi arsitektur masjid kampus ini memakai konsep terbuka, sehingga tiupan angin terasa cukup kencang."Jika tidak mendengar suaramu, aku pasti belum yakin bahwa kau bukanlah Ahmad Mustofa."Aku mendengar suara di belakangku. Seketika aku berbalik dan melihat si pemilik suara. Perasaanku berdebar saat mengenali wajah itu. Aku seperti dibawa kembali ke masa lalu di lapangan upacara. Saat itu dia berpidato di depan setelah menjuarai lomba. Ya, dia adalah Santi, kekasihku di masa lalu.Ada yang berbeda dengan Santi, dia sekarang memakai hijab. Tapi suaranya tidak berubah, suara yang memiliki pesona. Setelah aku berhasil mengatasi rasa kaget, aku membalas ledekannya."
Seakan aku memiliki tiga kehidupan. Di Bandung aku adalah Boi. Kang Asep, Hana dan semua jajaran pesantren Geger Kalong mengenalku dengan nama itu. Di sini aku adalah Ahmad Mustofa. Dan meski tak lagi kugunakan, nama Galang akan terus melekat padaku karena itu nama pemberian papa.Tiba-tiba aku teringat pada orang tuaku. Bagaimana kabar papa saat ini? apakah mama baik-baik saja? Aku ada di Jakarta, tapi tidak mengunjungi mereka. Hanya karena aku pernah berkata tidak akan kembali sebelum bisa membuktikan kemandirianku. Dan aku merasa belum berhasil, tidak sebagai Galang. Tapi sikap macam apa ini, harga diri atau malah kesombongan.Santi waktu itu bertanya kenapa aku tidak kembali ke rumahnya, dan dia hanya tersenyum mendengar jawabanku. Sejak awal kami sudah saling mengerti, dan meski berpisah cukup lama kurasa dia masih bisa mengerti sifatku. Walaupun sudah ter
Hembusan angin sore menyapu wajahku dengan perlahan. Matahari Pun menampakkan diri dengan malu-malu sehingga udara menjadi sejuk terasa. Wajar saja banyak yang keluar rumah, baik untuk lari dan jalan sore atau hanya bermain di taman bersama keluarga. Tetapi aku hanya duduk di sini, di luar pagar rumahku sendiri menanti keputusan apakah diperbolehkan masuk atau tidak.Sudah beberapa menit lalu petugas keamanan masuk kembali sambil membawa jawabanku. Entah mama akan percaya atau tidak. Bisa jadi mama beranggapan bahwa ada penipu bernama Ahmad Mustofa yang mengaku kenal anaknya. Tapi aku tak perlu lama bertanya-tanya. Kudengar suara pintu dibuka dan petugas itu pun mempersilahkan aku masuk.Aku diminta langsung menuju ruang tamu. Petugas itu menunjukkan arahnya lalu aku berjalan menuju arah yang ditunjuk. Aku sudah hafal letak ruang tamu. Bahkan dari sini aku bisa
Pekan berikutnya, saat aku ke rumah, aku sengaja menemui papa. Dia ada di atas, kata mama. Aku langsung menuju ke atas dan seperti sebelumnya mendapat sambutan ketus darinya."Untuk apa kamu ke sini, mamamu ada di bawah." Katanya"Galang ingin bicara dengan papa." Jawabku"Kau mau meminjam uang padaku? Mungkin untuk mengganti motor bututmu itu?" Dia bertanya lagi masih dengan nada sinis."Tidak pa, uang bukan segalanya bagiku. Bahkan termasuk cinta. Yang Galang inginkan saat ini adalah membahagiakan mama. Meski itu dengan mengorbankan cintaku. Mama sedih melihat kita bertengkar, makanya Galang ingin mengajukan tawaran damai."Aku diam sejenak menunggu reaksinya. Karena papa belum juga menanggapi akhirnya aku melanjutkan.
Suasana ruang internet di kampusku cukup ramai. Banyak mahasiswa yang sedang mencari bahan kuliah, karena saat ini memang pertengahan semester. Aku termasuk diantaranya. Namun hanya sedikit literatur yang kudapat. Kuputuskan untuk berhenti mencari lalu membuka email. Saat itulah aku tahu bahwa Santi mendapat info tentang pertunanganku.Entah dari mana dia mendapat informasi tersebut karena bahkan semua teman kuliahku tidak ada yang kuberi tahu. Tapi setelah kupikir situasi ini lebih baik bagiku. Setidaknya aku tidak memiliki beban moril saat berjumpa dengannya.Aku tidak membalas email Santi. Dan kurasa dia juga tidak mengharap balasan, hanya sekedar informasi bahwa dia tahu. Kami sudah mengerti satu sama lain tanpa perlu dijelaskan dengan kata-kata, termasuk tulisan. Jadi aku tetap tidak mengundangnya ke acara pertunanganku.
Milna, Australia.Kegiatan pesantren kilat yang aku ikuti ternyata memang menyenangkan. Selain mendapat banyak teman baru, aku juga mendapat pengalaman yang belum pernah aku bayangkan sebelumnya. Pelajarannya sih pernah aku dapat di sekolah, tapi kegiatan luar kelasnya yang membuat aku ingin kembali mendaftar lagi tahun depan.Salah satu kegiatan yang aku suka adalah Jumat berbagi. Kami menyiapkan makanan lalu membagikannya ke orang yang membutuhkan. Aku sangat senang melihat reaksi mereka. Tatapan terima kasih itu sangat tulus dan menjadi energi baru yang belum pernah kurasakan sebelumnya.Tapi yang paling aku suka adalah kegiatan lintas alam. Ternyata mereka memiliki hutan di tengah kota. Di sinilah kegiatan kami dilaksanakan. Bahkan kami berkemah meski hanya satu malam. Baru kali ini aku tidur di bawah bintang-bintang.Entah benar atau hanya perasaanku saja, Hana seperti memberikan perhatian lebih padaku. Mungkin karena aku anak piatu, bisa juga karena
Milna, Jakarta.Kegiatan di sekolah sudah mulai bertambah. Sebentar lagi ujian akhir semester akan dilaksanakan, jadi ada saja kelas tambahan setiap harinya. Kelas itu ditujukan untuk siswa yang tertinggal dalam pelajaran. Meski demikian, kelas tambahan itu harus diikuti oleh seluruh siswa tanpa kecuali.Sayangnya, akhir-akhir ini aku sulit berkonsentrasi. Sejak kembali dari Bandung, aku terus memikirkan bagaimana caranya aku bisa pergi ke Australia. Aku bisa saja meminta papa mengajak aku berlibur ke sana, tapi nanti aku jadi tak bisa mencari jejak Hana dengan leluasa. Aku harus pergi ke sana seorang diri. Baru nanti jika semua sudah siap, papa akan aku minta untuk menyusul.Sampai saat ini aku belum juga menemukan alasan untuk bisa diizinkan pergi ke Australia seorang diri. Akhirnya aku mencoba mencari informasi mengenai tempat kerja Hana di internet. Siapa tahu aku menemukan sesuatu. Ternyata benar, baru saja aku membuka situs mereka, aku langsung menemukan j
Milna, Bandung.Hari sudah mulai gelap. Dari jendela aku sempat melihat seorang bapak tua menyusuri pekarangan untuk menyalakan lampu-lampu. Orang itu tidak ada di sini tadi pagi, saat aku dan papa tiba. Sepertinya papa menyewa orang untuk menjaga rumah ini tapi tidak memperbolehkan dia tinggal di sini. Jadi dia hanya datang seperlunya.Karena buku cerita papa sudah selesai kubaca, aku mencoba mencari hal menarik lain. Tapi setelah mencari beberapa lama, aku tidak menemukan apa-apa. Mungkin semua yang ingin diceritakan mama sudah tertuang di buku itu. Akhirnya aku putuskan untuk keluar dari kamar waktu.Di luar kamar, aku melihat papa sedangmenelepon. Rupanya dia sedang memesan makan malam. Setengah jam kemudian makanan yang papa pesan datang. Kami lalu makan sambil mengobrol. Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk mencari informasi dari papa."Papa tahu, aku mendapat informasi tentang mama dari internet. Waktu itu aku mencari data pernikahan
Milna, Bandung.Kamar lama mama berukuran sangat besar. Bahkan mungkin ukurannya dua kali lipat dari kamarku. Tapi kamar ini tidak memiliki pemandangan yang luas, berbeda dengan kamar yang aku tempati. Karena memang kamar ini ada di rumah lama yang tidak bertingkat, sedangkan kamarku ada di lantai 7 apartemen yang tinggi.Tapi pemandangan di luar boleh juga. Ada pohon-pohon rindang dan tanaman kecil dengan bunga berwarna-warni. Jarang sekali aku melihat pemandangan alam seperti ini. Karena itu aku memilih duduk di dekat jendela sambil membaca buku cerita papa.Saat baru membaca sepertiga bagian dari buku itu, aku mendengar pintu diketuk. Tak lama kemudian papa berkata dari balik pintu."Milna, hari sudah siang. Makan dulu nak, papa sudah memesan makanan kesukaan kamu."Aku menampilkan mode jam pada gelang saktiku. Ternyata memang sudah lewat tengah hari. Cerita papa memang sangat menarik, sampai-sampai aku jadi lupa waktu. Segera aku letakkan buku
Milna, Jakarta.Namaku Milna. Umurku sepuluh tahun. Kurang sedikit sih, karena dua hari lagi baru aku ulang tahun. Aku tinggal di sebuah apartemen di Jakarta bersama papa. Hanya bersama papa, karena mama sudah tiada.Papa adalah seorang pengusaha. Dia punya perusahaan yang besar. Gedung kantornya saja tinggi sekali. Aku sesekali diajak ke sana. Tapi hanya sesekali saja, biasanya aku belajar dan bermain di sekolah. Papa mengantarku ke sekolah saat berangkat kerja dan menjemput aku ketika dia pulang. Di akhir pekan, kami biasanya ke rumah opa di Bandung.Berbeda dengan teman-temanku yang lain, aku tak pernah mengenal mama. Katanya sih mama meninggal saat melahirkan aku. Sayangnya papa tidak pernah mau cerita tentang mama. Setiap aku bertanya, papa selalu menjawab 'Pada saatnya nanti kamu akan punya kesempatan untuk mengenalnya'. Aku sampai bosan mendengar jawaban itu.Karena papa tidak pernah mengatakan kapan kesempatan itu aku dapat, aku tak mau menunggu.
Mila, Bandung.Rasa mual yang beberapa bulan terakhir terus menyiksaku kini sudah mereda. Sesuai perkiraan perawat, di trimester kedua ini rasa itu akan hilang dengan sendirinya. Memang sudah hampir lima bulan aku menjadi seorang calon ibu. Selama itu sudah aku memiliki janin dalam kandungan.Anugerah itu aku dapat setelah aku mencabut gugatan cerai. Pengacaraku sampai tak percaya dengan keputusan itu. Padahal hanya dengan diam saja, aku akan mendapat separuh harta Galang. Dan jumlahnya sangat banyak, karena dia adalah pemilik salah satu perusahaan ternama di Jakarta.Keputusan itu aku pilih bukan mengandalkan naluri. Saat hakim akan mengambil keputusan, aku menerima pesan dari Detektif Parkin. Dia adalah orang yang aku minta untuk mencari informasi tentang Dewi. Informasi itu datang tepat pada waktunya.'Dewi adalah seorang foto model profesional. Saya belum bisa memastikan, tapi sejauh penyelidikan saya dia bukan wanita panggilan.'Dari informasi
Hana, Jakarta.Kamar rias pengantin adalah tempat yang sakral bagi mempelai wanita. Jangankan orang lain, bahkan mempelai pria pun tidak boleh memasukinya. Dan sebab itu sebagian besar wanita belum pernah berada di dalamnya. Termasuk aku, baru kali ini aku berada di kamar itu. Karena memang akulah sang mempelai wanita.Di luar sana, semua orang sibuk menyiapkan acara. Dimulai dari akad nikah, makan bersama keluarga, sampai acara resepsi. Pagi ini belum terlalu ramai karena memang hanya keluarga dan beberapa relasi dekat yang hadir. Tapi siang nanti, dua ribu undangan telah disebar dan biasanya mereka hadir membawa pasangan.Karena ayah sudah tiada, yang menjadi waliku adalah paman. Ketiga orang itu telah duduk di satu meja. Paman, Galang dan penghulu. Sebelum akad nikah, penghulu menjelaskan teknis acara. Agar suasana menjadi cair, penghulu itu mencoba bergurau."Sebelumnya saya ingin bertanya. Apakah Pak Galang sudah pernah menikah?"Galang berpik
Mila, Bandung.Suasana kafe di salah satu sudut kota Bandung masih sepi. Sebenarnya kafe ini cukup banyak pelanggannya, tapi hari ini bukan akhir pekan dan waktu juga masih sore. Jadi wajar saat ini hanya ada aku, Galang dan dua orang pengunjung lain.Galang mengajak aku ke sini bukan tanpa alasan. Biasanya kami ke sini jika dia ingin mengobrol agak serius. Benar saja, setelah kami duduk dan memesan makanan Galang langsung mengutarakan maksudnya."Mila pasti sudah pernah mendengar bahwa aku bekerja sambil kuliah. Dan saat ini aku sudah lulus. Orang tuaku sudah menanyakan kapan aku akan menikah. Karena itu beberapa pekan lalu aku melamar Sisca." kata Galang membuka percakapan."Jadi, kapan kalian akan menikah?" Aku bertanya dengan suara serak saking gemetar menahan penasaran."Dia menolak lamaranku. Jadi bisa dikatakan kami sudah tidak memiliki hubungan apa-apa lagi. Dan aku bebas memilih siapa saja untuk menjadi pendamping.""Saya rasa tidak
Hana, Jogjakarta.Kesibukan santri di akhir semester memang luar biasa. Selain mengikuti ujian, para santri juga harus menyetor hafalan yang menjadi target kami. Tidak heran jam tidur kami jadi jauh berkurang. Sering kali kami tidur setelah larut malam dan bangun sebelum ayam jantan berkokok.Bagi santri yang berlatar belakang pendidikan umum, kami harus berusaha lebih giat lagi. Selain karena kami harus mempelajari bahasa arab terlebih dahulu, jumlah hafalan kami juga kalah jauh dibanding santri lain. Akibatnya selama seminggu ini aku hanya tidur tiga jam sehari.Untunglah masa itu sudah selesai. Kini adalah masa liburan. Kebanyakan santri daerah pulang ke kotanya masing-masing. Tapi aku memutuskan untuk tetap di pesantren. Bisnis yang diwariskan ayah bisa dibilang sudah autopilot, jadi ibu tidak terlalu repot mengurusnya. Karena itu, ibu bebas jika ingin ke mana saja dan jadi sering menginap di tempatku.Berbeda dengan santri lain, aku tidak pe