"Lang, sudah makan belum?" Tanya Dika setelah kami selesai merencanakan kegiatan akhir pekan ini. Saat itu, seperti biasa, kami berempat duduk-duduk di taman sekolah samping lapangan basket. Di hari sabtu siang setelah jam pelajaran selesai, tidak ada lagi hal menarik yang dibicarakan kecuali mau pergi ke mana nanti malam. Sebenarnya tidak ada yang perlu direncanakan, kegiatannya sama saja. Nongkrong di cafe, diskotik atau konser musik yang menarik. Same Shit Different Place.
"Belum" Jawabku singkat. Meski perutku tidak lapar, tapi aku mengerti maksud pertanyaan Dika. Itu adalah kode bahwa dia sudah lapar dan mengajak kami untuk makan bersama. Dan seperti semua kegiatan kami, akulah penyandang dananya. Lebih tepatnya papa, aku hanya perlu menggesek kartu pemberiannya. Tidak masalah bagiku, toh papa juga tidak pernah menanyakan tagihan kartu kreditku.
"Yuks, kita cabut" kataku singkat sambil bangkit dan menuju tempat parkir mobil. Teman-temanku segera mengikuti dan tak lama kemudian kami sudah keluar dari area sekolah menuju cafe langganan. Hening sejenak di dalam mobil, namun akhirnya Dika membuka pembicaraan.
"Lang, nanti malam gue boleh ngajak Sisca?" Dika bertanya sambil melirik ke arahku. Aku tidak langsung menjawab. Sisca adalah siswi idola sekolah kami. Sudah bukan rahasia lagi bahwa Dika naksir padanya. Yang Dika tidak tahu adalah sudah beberapa kali Sisca menelpon rumahku, menanyakan kegiatanku dan jelas menunjukkan ingin aku mengajaknya. Sayangnya, Sisca bukanlah tipeku.
Aku memutuskan tidak menjawab pertanyaan itu. Dikapun mengerti arti diamku. Dan memang hal ini sudah pernah dibahas, untuk tidak mengajak teman wanita di kegiatan akhir pekan kami. Kita memiliki kesempatan untuk berkenalan dengan banyak cewek di tempat yang dituju, untuk apa mengajak cewek yang dikenal? Hanya akan merusak mood, kilahku saat itu. Dan semuapun setuju.
Pernah suatu waktu Dika bertanya, dari sekian banyak siswi yang naksir padaku, kenapa tidak satupun yang kujadikan pacar. Mungkin dia curiga aku tidak normal. Waktu itu aku hanya tersenyum, sengaja tidak menjelaskan agar dia penasaran. Sebenarnya aku memiliki ketertarikan pada mereka, dan memang banyak yang cantik bahkan ada yang jadi model. Tapi entah mengapa tidak ada rasa dalam hatiku. Aku tidak tahu wanita seperti apa yang bisa membuatku tertarik, sampai salah seorang siswi menjuarai lomba pidato tingkat provinsi dan dia berbicara saat upacara.
Namanya Santi, dia satu tingkat denganku bahkan kami pernah satu kelas. Namun seolah-olah baru saat itu aku bertemu dengannya. Mungkin karena wajahnya biasa saja, banyak yang lebih cantik darinya. Dan di kelas kepandaiannya berpidato tentu tidak terlihat. Sekarang, saat dia berpidato di depan kami, aku sungguh terpesona. Dia sungguh penjelmaan Bung Karno versi wanita. Baru kali inilah aku merasakan getaran di hati.
Saat mengobrol dengan teman-temanku, kucoba menggali informasi tentang Santi. Dan seperti dugaanku, tidak banyak yang kudapat. Dunia kami memang berbeda, jadi wajar jika tidak ada yang mengenalnya secara dekat. Hanya satu informasi yang kudapat. Santi sedang bersiap untuk lomba antar sekolah unggulan se-Jakarta.
Kucoba mencari tahu tentang lomba tersebut. Di mading sekolah, obrolan para siswa bahkan bertanya ke guru. Dari seorang guru aku mendapat informasi kalau mereka berkumpul setiap sabtu siang di laboratorium IPA. Dan sabtu berikutnya kuberanikan diri mendatangi ruang tersebut. Setibanya di sana kudengar suara obrolan perlahan. Sepertinya tim lomba sedang merencanakan persiapan. Kuketuk pintu perlahan dan kemudian langsung kubuka pintu ruangan.
"Ada perlu apa Galang, sepertinya kamu salah masuk ruangan." Pak Tejo, guru Fisika yang menjadi ketua tim lomba bertanya saat melihatku. Raut mukanya menunjukkan kalau dia tidak menyukai kedatanganku.
"Maaf pak, saya ingin masuk tim lomba." Aku langsung to the point. Sontak ruangan itu langsung gaduh. Semua orang tertawa mendengar kata-kataku. Anehnya, diperlakukan seperti itu aku tidak malu. Mungkin karena rasa percaya diriku yang tinggi. Kuedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Ternyata ada satu orang yang tidak tertawa. Santi hanya tersenyum kecil.
"Memang apa kemampuan yang kamu miliki, yang membuatmu pantas menjadi anggota tim?" Tanya Pak Tejo lagi setelah suara tawa mereda.
"Saya memiliki kartu kredit yang limitnya tak terbatas." Jawabku sekenanya. Ruangan kembali gaduh. Namun kali ini ada dua orang yang tidak tertawa. Pak Tejo dan Santi memandangku dengan pandangan menyelidik.
"Baik, begini saja." Kata Pak Tejo lagi. "Buat makalah yang mendeskripsikan dirimu dan point yang membuatmu pantas menjadi anggota tim. Berikan ke saya secepatnya."
"Terima kasih pak." Jawabku dan langsung pergi meninggalkan ruangan.
Dan begitulah aku masuk tim lomba. Ternyata sehari kemudian Pak Tejo menghubungi papa menceritakan keinginanku dan menanyakan apakah beliau bisa menjadi sponsor untuk kegiatan lomba tersebut. Papa setuju dan akupun diterima bahkan tanpa perlu membuat makalah yang diminta. Aku dimasukkan di tim biologi sekaligus jadi bendahara. Meski beda tim, pertemuan dengan Santi cukup sering terjadi. Paling tidak sepekan sekali. Sesekali kami berbincang berdua, dan memang dia adalah teman ngobrol yang asyik.
Siang itu rapat tim sudah selesai. Tiba-tiba Santi menghampiriku dan bertanya.
"Lang kamu sedang buru-buru gak?"
"Engga," jawabku, "Yuk ngobrol di taman."
Memang seperti itulah kami. Tanpa banyak kata bisa langsung saling mengerti.
"Gue mau tanya sesuatu dan lo harus jujur jawabnya." Dia langsung memulai tanpa basa basi.
"Ok tapi gantian ya. Kita main tell the truth."
"Deal, gue duluan. Kenapa lo mau masuk tim lomba?"
"Karena gue mau deket sama lo." Jawabku sambil melihat Santi. Tidak ada wajah tersipu, apalagi rona merah. Hanya senyum kecil, seperti biasanya.
"Sekarang giliran gue. Waktu gue bilang mau masuk tim lomba, kenapa lo ga ikutan tertawa kaya yang lainnya?".
Santi menghela napas sebentar sebelum menjawab.
"Lo itu idola di sekolah kita, tapi punya pacar aja ga. Dua kemungkinannya, mau mencari cewe yang tepat atau memang gay. Di tim lomba tidak ada cowo gay, jadi gue cenderung menebak alasan pertama. Saat mereka menertawai kedatangan lo gue malah mikir apakah ini serius atau cuma bercanda. Makanya gue ga tertawa."
Setelah siang itu hubungan kami semakin dekat. Mungkin bisa dibilang kami berpacaran. Memang tidak ada kata-kata I Love You, Maukah Kau Menjadi Kekasihku, atau kalimat romantis lainnya.
Tapi toh pacaran memang tidak ada akadnya. Bagi kami cukup saling mengerti. Dan memang obrolan siang itu hanya untuk konfirmasi buat Santi. Sepertinya dia sudah tahu, bahkan mungkin sejak aku mencoba masuk tim lomba. Dia memang cewe yang pintar.
Santi tidak melarangku tetap bergaul bersama teman lamaku. Jadi kegiatan akhir pekanku menjadi bertambah, sabtu malam aku nongkrong bersama geng cowo dan keesokan harinya aku ke rumah Santi. Jika sedang ingin keluar, kami ke taman, museum, toko buku atau tempat "Kutu Buku" lainnya. Jika sedang malas, kami hanya mengobrol di rumahnya. Kedengarannya membosankan, tapi dia selalu saja bisa membuatku terpesona. Aku merasa hidupku telah lengkap dengan kehadirannya.
Namun keindahan itu hanya bertahan beberapa bulan. Papa yang selalu memberikan kebebasan padaku, tidak pernah mencampuri urusanku dan selalu memenuhi kebutuhanku tiba-tiba ingin berbicara serius denganku. Saat itu sore hari. Aku baru saja pulang sekolah. Di ruang keluarga ada papa dan mama sepertinya memang sengaja menungguku. Aku hanya diberi kesempatan mengganti pakaian setelah itu diminta ke ruang itu lagi.
"Galang, papa memiliki rekan bisnis yang sangat dekat sudah seperti keluarga sendiri. Dia memiliki seorang putri yang seusia denganmu. Agar kami menjadi benar-benar keluarga, dia mengusulkan agar kalian bertunangan secepatnya dan setelah lulus kuliah kalian bisa menikah".
Tentu saja aku menolak permintaan itu. Aku mencoba mencari berbagai alasan, bahwa hubungan bisnis tidak perlu sampai jadi hubungan keluarga, atau mungkin kami tidak cocok atau alasan apapun untuk membatalkan keinginan papa. Namun sebenarnya yang kupikirkan hanya Santi. Papa berkeras menolak alasan itu, dan akupun tidak kalah keras menentangnya. Dan akhirnya keluarlah kalimat itu.
"Setelah semua yang papa berikan, satu saja permintaan papa tidak mau kamu turuti. Mulai sekarang papa tidak akan memberikan apapun padamu. Silahkan kamu hidup sesukamu."
"Baik, Galang akan buktikan kalo Galang bisa hidup mandiri tanpa pemberian dari papa. Galang akan pergi dari rumah ini, dan tak akan kembali sebelum membuktikan kata·kata Galang."
Aku melirik sekilas ke mama. Sekilas tampak kesedihan di wajahnya. Beberapa butir air mata mengalir di pipi. Namun keputusan sudah ditetapkan. Aku menghampirinya, mencium tangannya dan berbalik pergi keluar dari rumah tempatku dibesarkan. Kumelangkah keluar pagar melewati mobil yang biasa kugunakan.Aku tak mungkin membawanya, karena itu juga pemberian papa.
Aku bergegas menuju jalan raya, mencegat taksi pertama yang melintas. Tujuan yang terlintas di pikiranku hanya satu, rumah Santi.
Di dalam taksi yang meluncur ke rumah Santi, aku baru sadar tidak membawa uang sepeser pun. Tidak apalah, nanti bisa pinjam uang Santi. Pikiranku masih tidak karuan. Emosi saat bertengkar dengan papa masih bergejolak di dada. Aku tak bisa berpikir apalagi merencanakan apa yang ingin kulakukan.Setelah tiba di tempat tujuan aku meminta sopir taksi menunggu sebentar. Aku menekan bel, hal yang sudah ratusan kali kulakukan. Tapi kali ini dengan perasaan yang berbeda. Kudengar suara pintu dibuka dan muncul wajah Santi dengan senyum kecilnya. Kuminta dia membayar taksi. Santi agak terkejut, tapi dia tidak bertanya apa-apa. Setelah itu kami langsung mengobrol di tempat biasa.Kuceritakan semua yang terjadi sore ini. Santi mendengarnya tanpa menyela perkataanku. Setelah aku selesai, keheningan pun tercipta. Kulihat dia mempermainkan rambutnya, hal yang belum pernah ter
Fajar belum lagi menyingsing. Suasana jalan masih sangat sepi, hanya sesekali ada kendaraan yang lewat. Namun kami sudah memulai aktifitas rutin mencari barang rongsokan. Memang begitulah jam kerja pemulung. Secara kasat mata kami lebih rajin dari pekerja kantoran pada umumnya. Namun sayang kerajinan tidak menentukan besar penghasilan.Pak tua berjalan sedikit di depanku. Kuperhatikan sudah beberapa kali dia terbatuk. Beberapa hari ini kesehatannya memang sedang turun. Aku sudah melarangnya memulung, tapi dia tak mengindahkan. Sudah biasa, katanya.Suara adzan shubuh sayup-sayup terdengar. Tak terasa kami sudah bekerja hampir 2 jam. Rasa khawatirku semakin menjadi, pak tua berjalan makin perlahan dan batuknya pun semakin sering. Akhirnya yang kutakutkan pun terjadi. Pak tua berjalan sempoyongan, karung di genggamannya terlepas, lalu dia pun terjatuh tidak sadar
Matahari sudah mulai tinggi. Hampir semua pegawai pool telah datang. Bukan untuk bekerja, tapi untuk memastikan barang apa saja yang hilang. Beberapa sopir juga telah tiba. Mereka terkejut ketika mengetahui apa yang terjadi semalam.Tentu saja yang pertama tiba adalah pak satpam. Dia sangat kaget saat kuceritakan kejadian semalam. Mukanya langsung pucat pasi, untung saja dia tidak memiliki penyakit jantung. Setelah tenang dia langsung masuk kantor dan menelpon pemilik travel. Orang kedua yang dia telpon adalah Kang Asep. Sudah semalaman aku menyusun alasan apa yang akan kuberikan padanya. Namun saat dia datang aku hanya bisa berkata, "Maaf kang, saya telah membuat akang kecewa."Dan saat ini aku melihat Kang Asep sedang berbicara dengan pemilik travel. Sebelumnya salah seorang pegawai kantor memberikan secarik kertas pada bos. Sepertinya semua barang telah sele
Hari sudah semakin siang. Jalan-jalan juga semakin ramai. Suara bisingnya sayup-sayup terdengar dari lantai 3. Untungnya gedung ini ber-AC sehingga suara dari luar tidak terlalu mengganggu.Kami berdua masih terdiam. Pak Kepala dengan sabar memberikan waktu padaku untuk berpikir. Setelah yakin dengan jawabanku akhirnya aku berkata."Sebenarnya saya tidak terlalu peduli akan diterima atau tidak. Apapun hasilnya saya tetap akan dipenjara, di sini atau di LAPAS. Bahkan saya berpikir lebih baik di LAPAS. Di sana saya bisa bebas melakukan apa saja sedangkan di sini saya harus mengikuti semua aturan yang ada."Pak Kepala hanya tersenyum mendengar jawabanku. Sepertinya dia tidak tersinggung. Dia kembali bertanya."Jika demikian, kenapa kamu tetap mengajukan pinjaman?"
Suasana sore di kantor pengelola pesantren sudah sepi. Sebagian besar karyawan sudah meninggalkan tempatnya, ada yang pulang ke rumah dan ada juga yang pergi ke masjid. Seperti biasa, hari itu memang ada pengajian sore di masjid dan banyak karyawan yang ikut menghadirinya.Di tengah kesunyian kantor, aku seperti disambar petir mendengar tuduhan bapak itu. Siapakah dia, dan siapa pula anak gadisnya. Aku tak pernah berhubungan intim dengan wanita manapun. Mana mungkin aku bisa menghamili seseorang. Dengan memberanikan diri akhirnya aku bertanya."Maaf pak, siapa nama anak bapak?"Jawaban dari pertanyaanku adalah tamparan di pipi. Dia semakin marah dan berteriak membentakku."Kurang ajar, masih pura-pura lupa. Atau jangan-jangan banyak gadis yang kau nodai sehingga kau tak
"Pak Kyai mengenalku? Dia percaya padaku?""Ya, tentu saja. Bahkan dia memiliki julukan untukmu. Santri Tanda Tangan, katanya. Sebenarnya semua santri di sini diawasi. Biasanya oleh santri yang posisinya dekat. Tapi kamu agak lain. Pak Kyai ingat karena saat ceramah shubuh kau selalu duduk di sudut dan tertidur. Itu di awal-awal. Setelah itu posisi dudukmu bergeser semakin ke depan."Aku tersenyum mendengar penjelasan itu. Ternyata aku diperhatikan. Kelak semua ini akan jadi kenangan indah yang tak terlupakan."Saya juga mengawasimu meski secara tidak sengaja." Pak Kepala melanjutkan. "Setiap lewat depan toko, saya selalu melihatmu sedang membaca. Saya jadi bertanya-tanya, sudah berapa buku yang kamu baca?""Hampir semua." Jawabku
Udara sore di lereng gunung merapi sudah mulai terasa dingin. Matahari sudah tak terlihat, tertutup oleh awan dan debu yang keluar dari kawah gunung. Akhir-akhir ini merapi memang semakin aktif, anjuran untuk mengungsi juga sudah diserukan pemerintah setempat. Tiba-tiba saja terdengar dentuman kencang diiringi oleh semburan abu dan awan vulkanik. Kulihat Mas Rangga keluar dari pondoknya membawa tas ransel. Kami memang sudah mempersiapkan barang bawaan jika memang sewaktu-waktu harus segera mengungsi. "Aku akan menjemput Pak Kyai, kamu jemput Ahmad di masjid ya." Mas Rangga memerintahkan. Aku langsung menuju masjid. Kulihat Ahmad Mustofa sedang berkutat dengan buku. Kuajak dia untuk mengungsi namun dia menolak karena masih ingin memilah buku-buku yang mau dibawa. Aku keluar dari masjid dan bertemu Mas Rangga di ge
Aku terperanjat mendengar kalimat itu. Lama setelah itu baru aku mengerti maksudnya."Tapi mas, bagaimana dengan keluarganya? Saya tidak bisa menjadi Ahmad Mustofa karena jika keluarganya tahu mereka akan sedih bahkan marah." Ucapku."Kamu tak perlu khawatir," kata Mas Rangga. "Dia sudah sebatang kara saat dibawa Pak Kyai ke sini. Aku tidak meragukan kemampuanmu, kau hanya tidak beruntung karena tidak memiliki ijazah. Ini kesempatan baik untukmu dan untuk pesantren ini. Tidak ada yang akan dirugikan dari kebohongan ini, yang ada hanya kebaikan. Semoga Allah meridhoi jalan ini."Aku ragu sejenak, tapi akhirnya mengangguk setuju. Setelah Pak Kyai wafat dan bangunan pesantren rusak, otomatis aku tidak punya tempat tinggal lagi. Menjadi Ahmad Mustofa adalah pilihan terbaik buatku.
Milna, Australia.Kegiatan pesantren kilat yang aku ikuti ternyata memang menyenangkan. Selain mendapat banyak teman baru, aku juga mendapat pengalaman yang belum pernah aku bayangkan sebelumnya. Pelajarannya sih pernah aku dapat di sekolah, tapi kegiatan luar kelasnya yang membuat aku ingin kembali mendaftar lagi tahun depan.Salah satu kegiatan yang aku suka adalah Jumat berbagi. Kami menyiapkan makanan lalu membagikannya ke orang yang membutuhkan. Aku sangat senang melihat reaksi mereka. Tatapan terima kasih itu sangat tulus dan menjadi energi baru yang belum pernah kurasakan sebelumnya.Tapi yang paling aku suka adalah kegiatan lintas alam. Ternyata mereka memiliki hutan di tengah kota. Di sinilah kegiatan kami dilaksanakan. Bahkan kami berkemah meski hanya satu malam. Baru kali ini aku tidur di bawah bintang-bintang.Entah benar atau hanya perasaanku saja, Hana seperti memberikan perhatian lebih padaku. Mungkin karena aku anak piatu, bisa juga karena
Milna, Jakarta.Kegiatan di sekolah sudah mulai bertambah. Sebentar lagi ujian akhir semester akan dilaksanakan, jadi ada saja kelas tambahan setiap harinya. Kelas itu ditujukan untuk siswa yang tertinggal dalam pelajaran. Meski demikian, kelas tambahan itu harus diikuti oleh seluruh siswa tanpa kecuali.Sayangnya, akhir-akhir ini aku sulit berkonsentrasi. Sejak kembali dari Bandung, aku terus memikirkan bagaimana caranya aku bisa pergi ke Australia. Aku bisa saja meminta papa mengajak aku berlibur ke sana, tapi nanti aku jadi tak bisa mencari jejak Hana dengan leluasa. Aku harus pergi ke sana seorang diri. Baru nanti jika semua sudah siap, papa akan aku minta untuk menyusul.Sampai saat ini aku belum juga menemukan alasan untuk bisa diizinkan pergi ke Australia seorang diri. Akhirnya aku mencoba mencari informasi mengenai tempat kerja Hana di internet. Siapa tahu aku menemukan sesuatu. Ternyata benar, baru saja aku membuka situs mereka, aku langsung menemukan j
Milna, Bandung.Hari sudah mulai gelap. Dari jendela aku sempat melihat seorang bapak tua menyusuri pekarangan untuk menyalakan lampu-lampu. Orang itu tidak ada di sini tadi pagi, saat aku dan papa tiba. Sepertinya papa menyewa orang untuk menjaga rumah ini tapi tidak memperbolehkan dia tinggal di sini. Jadi dia hanya datang seperlunya.Karena buku cerita papa sudah selesai kubaca, aku mencoba mencari hal menarik lain. Tapi setelah mencari beberapa lama, aku tidak menemukan apa-apa. Mungkin semua yang ingin diceritakan mama sudah tertuang di buku itu. Akhirnya aku putuskan untuk keluar dari kamar waktu.Di luar kamar, aku melihat papa sedangmenelepon. Rupanya dia sedang memesan makan malam. Setengah jam kemudian makanan yang papa pesan datang. Kami lalu makan sambil mengobrol. Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk mencari informasi dari papa."Papa tahu, aku mendapat informasi tentang mama dari internet. Waktu itu aku mencari data pernikahan
Milna, Bandung.Kamar lama mama berukuran sangat besar. Bahkan mungkin ukurannya dua kali lipat dari kamarku. Tapi kamar ini tidak memiliki pemandangan yang luas, berbeda dengan kamar yang aku tempati. Karena memang kamar ini ada di rumah lama yang tidak bertingkat, sedangkan kamarku ada di lantai 7 apartemen yang tinggi.Tapi pemandangan di luar boleh juga. Ada pohon-pohon rindang dan tanaman kecil dengan bunga berwarna-warni. Jarang sekali aku melihat pemandangan alam seperti ini. Karena itu aku memilih duduk di dekat jendela sambil membaca buku cerita papa.Saat baru membaca sepertiga bagian dari buku itu, aku mendengar pintu diketuk. Tak lama kemudian papa berkata dari balik pintu."Milna, hari sudah siang. Makan dulu nak, papa sudah memesan makanan kesukaan kamu."Aku menampilkan mode jam pada gelang saktiku. Ternyata memang sudah lewat tengah hari. Cerita papa memang sangat menarik, sampai-sampai aku jadi lupa waktu. Segera aku letakkan buku
Milna, Jakarta.Namaku Milna. Umurku sepuluh tahun. Kurang sedikit sih, karena dua hari lagi baru aku ulang tahun. Aku tinggal di sebuah apartemen di Jakarta bersama papa. Hanya bersama papa, karena mama sudah tiada.Papa adalah seorang pengusaha. Dia punya perusahaan yang besar. Gedung kantornya saja tinggi sekali. Aku sesekali diajak ke sana. Tapi hanya sesekali saja, biasanya aku belajar dan bermain di sekolah. Papa mengantarku ke sekolah saat berangkat kerja dan menjemput aku ketika dia pulang. Di akhir pekan, kami biasanya ke rumah opa di Bandung.Berbeda dengan teman-temanku yang lain, aku tak pernah mengenal mama. Katanya sih mama meninggal saat melahirkan aku. Sayangnya papa tidak pernah mau cerita tentang mama. Setiap aku bertanya, papa selalu menjawab 'Pada saatnya nanti kamu akan punya kesempatan untuk mengenalnya'. Aku sampai bosan mendengar jawaban itu.Karena papa tidak pernah mengatakan kapan kesempatan itu aku dapat, aku tak mau menunggu.
Mila, Bandung.Rasa mual yang beberapa bulan terakhir terus menyiksaku kini sudah mereda. Sesuai perkiraan perawat, di trimester kedua ini rasa itu akan hilang dengan sendirinya. Memang sudah hampir lima bulan aku menjadi seorang calon ibu. Selama itu sudah aku memiliki janin dalam kandungan.Anugerah itu aku dapat setelah aku mencabut gugatan cerai. Pengacaraku sampai tak percaya dengan keputusan itu. Padahal hanya dengan diam saja, aku akan mendapat separuh harta Galang. Dan jumlahnya sangat banyak, karena dia adalah pemilik salah satu perusahaan ternama di Jakarta.Keputusan itu aku pilih bukan mengandalkan naluri. Saat hakim akan mengambil keputusan, aku menerima pesan dari Detektif Parkin. Dia adalah orang yang aku minta untuk mencari informasi tentang Dewi. Informasi itu datang tepat pada waktunya.'Dewi adalah seorang foto model profesional. Saya belum bisa memastikan, tapi sejauh penyelidikan saya dia bukan wanita panggilan.'Dari informasi
Hana, Jakarta.Kamar rias pengantin adalah tempat yang sakral bagi mempelai wanita. Jangankan orang lain, bahkan mempelai pria pun tidak boleh memasukinya. Dan sebab itu sebagian besar wanita belum pernah berada di dalamnya. Termasuk aku, baru kali ini aku berada di kamar itu. Karena memang akulah sang mempelai wanita.Di luar sana, semua orang sibuk menyiapkan acara. Dimulai dari akad nikah, makan bersama keluarga, sampai acara resepsi. Pagi ini belum terlalu ramai karena memang hanya keluarga dan beberapa relasi dekat yang hadir. Tapi siang nanti, dua ribu undangan telah disebar dan biasanya mereka hadir membawa pasangan.Karena ayah sudah tiada, yang menjadi waliku adalah paman. Ketiga orang itu telah duduk di satu meja. Paman, Galang dan penghulu. Sebelum akad nikah, penghulu menjelaskan teknis acara. Agar suasana menjadi cair, penghulu itu mencoba bergurau."Sebelumnya saya ingin bertanya. Apakah Pak Galang sudah pernah menikah?"Galang berpik
Mila, Bandung.Suasana kafe di salah satu sudut kota Bandung masih sepi. Sebenarnya kafe ini cukup banyak pelanggannya, tapi hari ini bukan akhir pekan dan waktu juga masih sore. Jadi wajar saat ini hanya ada aku, Galang dan dua orang pengunjung lain.Galang mengajak aku ke sini bukan tanpa alasan. Biasanya kami ke sini jika dia ingin mengobrol agak serius. Benar saja, setelah kami duduk dan memesan makanan Galang langsung mengutarakan maksudnya."Mila pasti sudah pernah mendengar bahwa aku bekerja sambil kuliah. Dan saat ini aku sudah lulus. Orang tuaku sudah menanyakan kapan aku akan menikah. Karena itu beberapa pekan lalu aku melamar Sisca." kata Galang membuka percakapan."Jadi, kapan kalian akan menikah?" Aku bertanya dengan suara serak saking gemetar menahan penasaran."Dia menolak lamaranku. Jadi bisa dikatakan kami sudah tidak memiliki hubungan apa-apa lagi. Dan aku bebas memilih siapa saja untuk menjadi pendamping.""Saya rasa tidak
Hana, Jogjakarta.Kesibukan santri di akhir semester memang luar biasa. Selain mengikuti ujian, para santri juga harus menyetor hafalan yang menjadi target kami. Tidak heran jam tidur kami jadi jauh berkurang. Sering kali kami tidur setelah larut malam dan bangun sebelum ayam jantan berkokok.Bagi santri yang berlatar belakang pendidikan umum, kami harus berusaha lebih giat lagi. Selain karena kami harus mempelajari bahasa arab terlebih dahulu, jumlah hafalan kami juga kalah jauh dibanding santri lain. Akibatnya selama seminggu ini aku hanya tidur tiga jam sehari.Untunglah masa itu sudah selesai. Kini adalah masa liburan. Kebanyakan santri daerah pulang ke kotanya masing-masing. Tapi aku memutuskan untuk tetap di pesantren. Bisnis yang diwariskan ayah bisa dibilang sudah autopilot, jadi ibu tidak terlalu repot mengurusnya. Karena itu, ibu bebas jika ingin ke mana saja dan jadi sering menginap di tempatku.Berbeda dengan santri lain, aku tidak pe