Aku akhirnya mengusir adikku pulang ke London dan menahan Brian untuk menginap di rumahku.
Oh, tentu saja ayah protes karena dia tak mengenal Brian.
Tapi aku mengabaikannya dan mengancam aku akan kabur ke London kalau dia masih melarangku ini itu.
“Dia memanipulasi emosiku.”
Tanpa tahu malu aku membela diri di depan Brian yang auranya langsung berbeda ketika hanya tinggal kami berdua.
Karena aku tahu dia tak benar-benar marah padaku terkait insiden malaikat sinting itu walau sekarang seluruh tubuhnya berkata, “Aku marah.”
Dia hanya menggumam tak jelas sambil menonton kartun Spongebob Squarepants yang sedari tadi masih terputar sejak adikku pergi. A
Aku mengalihkan topik. “Apa kau tahu identitas Anastasia Solovyova?” “Fisikawan jenius itu? Bukannya dia juga penjelajah dimensi?” Brian melirikku sesaat sebelum kembali fokus ke layar yang menampilkan adegan Tuan Krab sedang mandi uang. Untung saja dia tak melihatku yang keringat dingin. Mengerikan, menyebut namanya saja aku ditekan dunia separah ini. Padahal kami masih berada di dalam pelindung yang dibuat Brian. “Aku tahu namanya dari seseorang di Pseudotopia.” Aku mendekatkan mulutku ke telinganya. “Dia sekarang seorang penjelajah dunia.” “Kau gila?!” Dia tiba-tiba meneriakku. Aku hampir saja jantungan. Apa dia tak bisa bicara lebih santai? Kan aku juga jadi ikutan emosi. Sambil menenangkan jantungku yang berdetak cepat, aku menatap Brian dengan ekspresi ingin menangis. “Dengarkan dulu, sialan.” Aku mencomot kacang panggang yang tinggal sedikit itu dan lanjut bicara sambil mengunyah. “Dia kehilangan identitasnya bukan karena diusir tapi dia sendiri yang
Beberapa jam setelah insiden itu, Brian yang mengotot menjagaku di samping kasur. Karena aku menolak keras dia membawaku ke rumah sakit—lagi pula itu kondisi yang tak bisa diatasi oleh dokter biasa. Lalu diseret ayahku keluar dan diancam habis-habisan. Ini pertama kalinya keberadaaan ayahku itu ada gunanya. Jadi aku senang-senang saja menyapa ayahku, yang tentunya membuat ayahku semakin tinggi dagunya saat mengancam Brian. Aku hanya senyum saat Brian menatapku lama. Tahu kan rasanya saat kita bertatapan dengan mayat yang matanya terbuka lebar? Itulah yang kurasakan saat bertatapan dengan Brian. Bisa dibilang, sangat sulit membuat senyumanku terlihat natural di hadapannya. “Aku akan mengecek lagi besok.” Untung saja dia tak bilang apa-apa pada ayahku apa yang terjadi padaku, aku tak ingin situasinya menjadi lebih kacau. Pada akhirnya dia hanya bisa kembali ke kamar tamu dengan wajah kosong. Lalu aku membuka jendela kamar dan mendapati angin sejuk bertiup, membuat rambu
Aku keluar diam-diam saat melihat sebuah taksi yang memasuki kawasan perumahan. Itu bukan hal yang mudah, karena aku bukan asasin. Jantungku berulang kali ingin lepas karena berbagai macam suara yang muncul entah dari mana itu. 'Cath, aku di depan.' “Tunggu sebentar…” bisikku perlahan sambil membuka kunci pintu depan. Klik. Jantungku kali ini benar ingin lepas karena suara kunci terbuka. Tapi aku memberanikan diri untuk mengayunkan gagang pintu. Klak. Kriekk. …Rumah mahal macam apa punya pintu bersuara nyaring seperti ini! Padahal biasanya aku tak pernah mendengarnya berbunyi saat dibuka. Aku yang pengecut ini tak berani menutup pintu dan membiarkannya saja terbengkalai. Lari secepat kilat ke gerbang depan. Tak lupa memastikan Nanda lah orang yang keluar dari taksi. “Nanda?” “Ini aku.” 'Ini aku.' Aku juga mendengar suaranya di telepon. “Oh, tunggu sebentar.” Tahu kalau tak ada gunanya aku bergerak pelan-pelan, aku tak peduli jika aku membuka gerbang secara berisik
“Ayo kuantar ke sekolahmu.”Itulah yang kudengar saat aku keluar dari kamar hendak ke dapur. Dengan rambut berantakan, belum mandi. Aku kelepasan menguap dan melihat Brian dari sudut mataku. Bukannya aku malu karena dia yang tiba-tiba muncul di depan kamarku, hanya agak kaget.“Buat apa kau berdiri di sini sepagi ini?”Aku mendahuluinya dan menuju dapur. Melihat kotak bekal di atas meja telah menghilang, sepertinya ayahku berangkat pagi lagi. Brian mengikutiku di belakang lalu duduk di meja makan. Tak lupa menuang air untuk dirinya sendiri seolah ini adalah ruma
Aku melamun di bangku halte bus ketika sebuah taksi berhenti persis di depanku.Mau tak mau aku terbangun dan menatap pintu belakang taksi yang perlahan terbuka dan menampilkan sosok Nanda dengan jaket tebalnya.Membuatku jadi merasa dingin dan sensitif pada angin yang berhembus.Aku mengeratkan jaketku sendiri saat menyapanya.“Kau datang?”Dia berdiri di depanku dengan mata yang terus-terusan naik turun seolah mencari sesuatu dari penampilanku.Tanpa sadar aku kembali memikirkan seperti apa penampilanku saat keluar tadi.“...Kau tak apa-apa. Syukurlah.”'...Kau
Catatan untuk pembaca sebelum memutuskan membaca cerita ini: Akhirnya 30k kata tercapai juga… Karena itu aku buat catatan ini sebagai panduan dalam bentuk QnA untuk pembaca, cerita macam apa sih “Cara Berhenti Menyukai Gebetan dalam 1 Bulan” (CBMGSB) ini. _______________ Q: Kenapa judulnya CBMGSB padahal sampai bab 40an lebih ML-nya aja masih belum ketahuan?! A: Aku gak bisa kasih tau ‘kenapa’ karena itu spoiler di chapter mendatang tapi CBMGSB itu dikutip dari plot yang akan datang yang aku gak yakin kalian masih sanggup nunggunya karena romansanya baru mulai muncul di chapter … sangat jauh. Jadi kalian yang mau baca cerita ini karena tertarik romansa ringan, mikir-mikir dulu deh. Q: Ini kenapa tiap mau menyentuh konflik cerita, MC-nya malah pindah dan ganti konflik lagi? Cerita macam apa ini?! A: Gimana ya ngejelasinnya… Anggap aja cerita yang biasa kalian baca itu kaya garis lurus dengan dua titik, awal dan akhir. Dari awal perkenalan atau langsung konflik lalu bergerak menuju
Lagi, aku melamun tanpa memikirkan apa-apa setelah Nanda pergi dengan alasan menemui pasiennya. Entah berapa lama, saat ponselku berbunyi barulah aku berhenti melamun.Telepon dari nomor tak dikenal.Aku mengangkatnya sambil bersandar ke sandaran kasur. “Ini Cath.”‘Juff Catherine Brunner?’“Benar.”‘Apa Juffrouw terhalang sesuatu sehingga tak bisa ke sekolah?’“Ah…” Aku baru ingat itu. “Maaf, saya lupa mengabari sekolah.”‘Tidak apa-apa. Juffrouw bisa mengabari secara formal maksimal seminggu setelah hari yang tak bisa Juffrrouw hadiri. Telepon ini hanya pengingat secara informal saja.’“Begitu ya… Saya saat ini sedang berada di rumah sakit. Berkas pembuktiannya akan saya kirimkan ke sekolah dalam beberapa jam.”Aku mematikan telepon beberapa saat setelah itu. Intinya aku perlu memberitahu ketika tak bisa ke sekolah agar tak mempengaruhi rapor akhirku.Sekolah yang aneh… Itulah pendapat jujurku karena mendapat telepon seperti ini hanya karena sehari bolos. Aku tak tahu apa itu
[BAB V] BERALUR DEMI MENELUSURI RUANG_______________“Hei, Juffrouw! Apa yang kau lakukan di sini? Ini kawasan terlarang.”Seseorang yang kuyakini adalah satpam menepuk bahuku sambil menunjuk papan tanda peringatan. Aku yang sedari tadi fokus mencari fluktuasi gelombang gerbang sambil mengeluh dalam hati menoleh pada satpam itu. Aku tak suka diganggu jika sedang fokus.“Aku tak melihatnya… Kunci kendaraanku terjatuh di sekitar sini. Meneer bisa membantu saya mencarinya juga supaya saya bisa keluar secepatnya?”Kemampuan bicara omong kosong sepertinya ada di dalam darahku. Tapi aku tak peduli. Aku merasakan gerbang yang kucari ada di sekitar sini, hanya tak tahu posisi tepatnya di mana.Dan aku sedang tergesa-gesa karena Brian mungkin saja menemukanku. Tadi saja aku keluar dari rumah sakit diam-diam dan berjalan agak lari menuju stasiun pusat.“Benarkah? Apa ada gantungannya? Deskripsikan seperti apa.” Tapi intuisiku mengatakan yang sedang mencariku bukan Brian. Mau tak mau aku
Yang memenuhi pandanganku hanyalah baju biru polos yang menutupi punggung bidang Brian. Aku bisa mendengar mereka berdebat dengan kalimat memutar-mutar karena Brian yang terus-terusan mengalihkan topik. Bukan berarti Archer tak paham maksud Brian, mereka berteman bertahun-tahun, mustahil jika Archer tak mengenal Brian dengan baik.“Kita tak memerlukan itu.”“Kau tak pernah dengar tentang darling, Arsh?”“Tidak ada makhluk yang omnipoten, menyingkirlah.”“Sepertinya—”Brian berhenti bicara saat aku mengetuk punggungnya dengan telunjukku yang tak berdarah beberapa kali. Dia memalingkan wajahnya dari Archer dan melihat ke arahku. Mata kami bertemu.“Tak perlu melakukan itu.”Brian mengangkat sebelah alis sesaat, jika aku tak sedang mengamatinya aku akan kelewatan detail itu. Dia diam beberapa sebelum bergeser dari hadapanku sambil berujar, “Kau yang bilang.” Aku tak lagi menanggapinya karena sibuk mengelap mulutku yang berdarah dengan ujung lengan bajuku. Entah kenapa bau amis yan
“Apa kau pikir kami akan mengikuti keinginanmu begitu saja?” “…Tidak.” Tentu saja tidak, dia pikir aku gila? Aku tak pernah sekali pun punya niat begitu! Yang terakhir kuingat tentang mereka itu aku hanya kelahi dari mereka dan mereka menjauhiku! …Atau begitu adanya dari ingatanku. Brian menimpali sambil melirikku. “Dia bahkan berani mengambinghitamkan Uriel.” Aku ingin membantah tapi instingku berteriak keras untuk tidak melakukannya, jadi aku menutup mulutku rapat-rapat bahkan ketika Archer mengalihkan topik dan mulai membahas tentang Pseudotopia. “Kau sama sekali tak mau cerita?” Aku mau… Tidak! Aku tak mau. Meskipun aku tahu mereka tahu apa yang terjadi secara garis besar, mendengarnya langsung dariku tetap saja… Aku tak mau mereka tahu. Beberapa helai rambutku tertiup angin dan nyaris menyakiti mataku, untung saja aku segera merapikannya sambil menatap Archer lurus. Ini pertama kalinya aku benar-benar melihat wajahnya semenjak dari rumah sakit beberapa bulan lal
Aku duduk tegak seperti murid teladan. Sambil menjelaskan apa-apa saja yang kuingat pada dua orang yang terdiam semenjak aku mengutarakan kecurigaan yang sebelumnya kubahas dengan Tahoka. Mereka tahu sekarang separah apa masalah yang sedang aku hadapi—bukan, kita hadapi. “…Karena itu, meski pun ingatanku kacau balau. Jangan beritahu aku, jangan koreksi ingatanku yang salah. Sepertinya ‘aku’ berpikir kemampuanku tak boleh dipakai, setidaknya sampai Ragnarök berakhir.” “Kau pikir mungkin ada seseorang yang memakai visi untuk menebak semua tindakanmu.” Aku mengangguk setuju pada komentar Brian ketika Archer sekali lagi menusukku dengan pertanyaan tajamnya yang sama sekali tak kusangka.
“Kenapa malah kau yang marah?” Aku tertawa, berpikir bahwa pria bersisik di hadapanku saat ini terlihat sangat menggemaskan. Ah, membuatku teringat pada Cindy… Jadinya aku tertawa sambil merengut. “Aku tak suka, hng … valkeri.” Tahoka menatapku curiga. “Kenapa ekspresimu, hng … begitu?” “...Kau terlihat menakutkan saat marah.” “Tentu saja, hng … keturunan hidra harus, hng … terlihat menakutkan!” Tapi kau terlihat menggemaskan? Nyaris saja aku keceplosan mengatakannya melihat mata
Tahoka menepuk meja pelan sambil mengunyah kue kering yang saat ini tinggal setengah. “Ayahku, hng … bilang dunia berwujud, hng … segalanya. Aku tak paham, hng … apa, hng … kau paham?” Aku menggumam mengulang perkataan Tahoka. “Berwujud segalanya…” Mataku berkilat saat bertanya, “Bagaimana orang tuamu bisa tersesat masuk Pseudotopia?” “Katanya, hng … mencari pintu masuk, hng … Shangri-La.” “Pintu masuk? Bukannya satu-satunya cara menyebrang ke Shangri-La itu melalui gerbang dimensi di Lemuria?” “Bukan itu, Cath. Hng … Tapi pintu yang, hng … mengabaikan aturan, hng … hukum Shangri-La.” “Pintu seperti itu benaran ada?” Aku tak percaya. Mengabaikan aturan hukum dunia itu sama saja seperti pencipta semesta dan pencipta semesta itu adalah mitos. Itu sudah seperti rahasia umum. Aku tak paham kenapa orang tua Tahoka senang sekali bepergian dan meninggalkan anak kesayangannya jadi tukang pungut mayat begini. Yang membuatku tak bisa berkata-kata, Tahoka menyukai kegiatannya i
Tahoka merengut. Dia mengamatiku dari atas sampai ke bawah sebelum bertanya yang terdengar seperti menuduh.“Apa yang kau lakukan, hng … hingga tubuhmu, hng … kacau begini?”Aku mengangkat bahu. Dia masih sama, kebiasaannya membuang napas nyaring di tengah-tengah kalimat. Kupikir dia sudah berhenti melakukan itu, ternyata tidak. “Kita bicara di bahteramu saja.”Tahoka membawaku ke kapalnya sambil mengomel. “Berapa kali kubilang, hng … namanya Vila, hng … bukan bahtera.”Aku pura-pura tak dengar, mengikuti di belakangnya sambil mengamati kapal yang sekarang sudah berubah eksterior lagi. Lupakan vila, melihat kapal yang besarnya keterlaluan ini, lebih baik namanya istana saja sekalian. Lihatlah kilauan perak di dindingnya.Saat pertama kali aku masuk ke dalam kapal ini, kupikir interiornya akan serupa dengan kapal pesiar mewah yang sering kulihat dalam iklan. Tapi kenyataan itu kejam.Selain ruang pribadinya yang memakan tempat sekitar seperempat kapal, sisanya merupakan tempat
[BAB V] BERALUR DEMI MENELUSURI RUANG_______________“Hei, Juffrouw! Apa yang kau lakukan di sini? Ini kawasan terlarang.”Seseorang yang kuyakini adalah satpam menepuk bahuku sambil menunjuk papan tanda peringatan. Aku yang sedari tadi fokus mencari fluktuasi gelombang gerbang sambil mengeluh dalam hati menoleh pada satpam itu. Aku tak suka diganggu jika sedang fokus.“Aku tak melihatnya… Kunci kendaraanku terjatuh di sekitar sini. Meneer bisa membantu saya mencarinya juga supaya saya bisa keluar secepatnya?”Kemampuan bicara omong kosong sepertinya ada di dalam darahku. Tapi aku tak peduli. Aku merasakan gerbang yang kucari ada di sekitar sini, hanya tak tahu posisi tepatnya di mana.Dan aku sedang tergesa-gesa karena Brian mungkin saja menemukanku. Tadi saja aku keluar dari rumah sakit diam-diam dan berjalan agak lari menuju stasiun pusat.“Benarkah? Apa ada gantungannya? Deskripsikan seperti apa.” Tapi intuisiku mengatakan yang sedang mencariku bukan Brian. Mau tak mau aku
Lagi, aku melamun tanpa memikirkan apa-apa setelah Nanda pergi dengan alasan menemui pasiennya. Entah berapa lama, saat ponselku berbunyi barulah aku berhenti melamun.Telepon dari nomor tak dikenal.Aku mengangkatnya sambil bersandar ke sandaran kasur. “Ini Cath.”‘Juff Catherine Brunner?’“Benar.”‘Apa Juffrouw terhalang sesuatu sehingga tak bisa ke sekolah?’“Ah…” Aku baru ingat itu. “Maaf, saya lupa mengabari sekolah.”‘Tidak apa-apa. Juffrouw bisa mengabari secara formal maksimal seminggu setelah hari yang tak bisa Juffrrouw hadiri. Telepon ini hanya pengingat secara informal saja.’“Begitu ya… Saya saat ini sedang berada di rumah sakit. Berkas pembuktiannya akan saya kirimkan ke sekolah dalam beberapa jam.”Aku mematikan telepon beberapa saat setelah itu. Intinya aku perlu memberitahu ketika tak bisa ke sekolah agar tak mempengaruhi rapor akhirku.Sekolah yang aneh… Itulah pendapat jujurku karena mendapat telepon seperti ini hanya karena sehari bolos. Aku tak tahu apa itu
Catatan untuk pembaca sebelum memutuskan membaca cerita ini: Akhirnya 30k kata tercapai juga… Karena itu aku buat catatan ini sebagai panduan dalam bentuk QnA untuk pembaca, cerita macam apa sih “Cara Berhenti Menyukai Gebetan dalam 1 Bulan” (CBMGSB) ini. _______________ Q: Kenapa judulnya CBMGSB padahal sampai bab 40an lebih ML-nya aja masih belum ketahuan?! A: Aku gak bisa kasih tau ‘kenapa’ karena itu spoiler di chapter mendatang tapi CBMGSB itu dikutip dari plot yang akan datang yang aku gak yakin kalian masih sanggup nunggunya karena romansanya baru mulai muncul di chapter … sangat jauh. Jadi kalian yang mau baca cerita ini karena tertarik romansa ringan, mikir-mikir dulu deh. Q: Ini kenapa tiap mau menyentuh konflik cerita, MC-nya malah pindah dan ganti konflik lagi? Cerita macam apa ini?! A: Gimana ya ngejelasinnya… Anggap aja cerita yang biasa kalian baca itu kaya garis lurus dengan dua titik, awal dan akhir. Dari awal perkenalan atau langsung konflik lalu bergerak menuju