"Sini," Rai memilih berbaring di ranjang, meminta Gendhis ikut tidur di sebelahnya."Kamu bukannya mau mandi?" gumam Gendhis heran, tapi ia ikut juga berbaring. "Bentar, masih kerasa gerah," balas Rai. "Nanti sekalian kalau udah mau malem," tambahnya."Ane-san masih di bawah?" "Masih kayaknya. Dia nunggu Ben, kami berangkat bareng nanti malem," cerita Rai. "Artinya kamu bakalan tetep berangkat ya," lirih Gendhis tersendat. "Aku bikinin kamu minum dulu," ujarnya siap melarikan diri tapi Rai menahan lengannya. "Di sini dulu," pinta Rai. "Aku tetep pergi bukan karena nggak menghormati permintaan kamu, tapi aku nurutin perintah Ketua, Ben dan juga Ane-san. Mereka ada di pihak kita, jadi sepengetahuanku, ini nggak bakal merugikan. Ada Mami Eris nanti, keluarga kandungku juga. Ben adalah tipe orang yang penuh kejutan, kita liat apa yang bakalan dia lakuin buat kita nantinya," ceritanya meyakinkan Gendhis. "Aku sadar posisiku, tadi aku minta kamu nggak pergi bukan apa-apa, spontanitas a
Selesai dirawat dan diobati oleh Rai, Gendhis tertidur pulas hingga hampir malam. Saat ia bangun, Rai sudah tidak ada di rumah, hanya meninggalkan pesan melalui chat WA bahwa ia berangkat untuk acara dinner. Tidak dapat Gendhis pungkiri, ia tak rela Rai hanyut dalam acara semi resmi dua keluarga besar itu. Namun, ia harus menekan rasa egoisnya demi kebaikan bersama. Menjelang tengah malam, Rai baru pulang. Ia datang sendirian, Ann dan Ben tidak ikut kembali bersamanya. Khawatir dengan kondisi Gendhis, Rai langsung menuju kamarnya. Namun, Gendhis tidak ada di sana, membuatnya sedikit khawatir. "Kenapa, Rai?" tegur Gendhis tepat saat Rai keluar dari pintu kamar. "Dari mana?" tanya Rai tak bisa menyembunyikan wajah paniknya. Senyum Gendhis terkembang, "Aku nggak akan kabur," katanya menahan tawa. "Aku laper, jadi rada nggak fokus, bukan takut kamu kabur," elak Rai gengsi."Bukannya abis dinner? Gimana sih.""Aku nggak makan banyak, masih ada makanan apa?" Rai menghindar, ia beranjak
"Selamat pagi!" sapa Gendhis saat turun dari kamar ke ruang makan dan Rai sudah duduk menikmati secangkir teh melatinya. "Pagi!" senyum Rai terkembang. "Tidurku nyenyak banget, dan nyeri di bawah sana udah nggak terlalu kerasa," sebut Gendhis senang. "Sarapan dulu," tawar Rai. "Kamu yang masak?" "Menurutmu siapa lagi?" Gendhis manggut-manggut, "Calon ketua perkumpulan harus bisa apa aja ya," pujinya. "Itu tuntutan basic skill yang kudu dikuasai semua calon," terang Rai. "Kalau masak jadi basic skill, yang expert skill-nya apaan?"Rai menyeringai, "Kamu nggak mau tau, Ndhis," ucapnya misterius. Gendhis mencembikkan bibirnya, lantas mengambil nasi goreng dan ayam bumbu mentega hasil karya Rai. Sebelum menyuap makanannya, Gendhis sengaja melirik pada sang cinta pertama. Rai tampak mengenakan setelan yang cukup santai hari ini, tanpa kemeja hitam andalannya. "Kamu nggak ada praktik di poli hari ini?" tanya Gendhis. Rai menggeleng, "Nanti sore cuma satu rumah sakit aja," tuturny
"Kamu mungkin bisa cinta sama Kiara seiring berjalannya waktu Rai, apalagi nanti kalau kalian udah suami-istri," bisik Gendhis. Menikmati sore hanya di rumah besar, menghabiskan waktu di kamar, mengobrol sambil berpelukan. Sungguh, Gendhis tidak pernah membayangkan akan menikmati momen semacam ini, damai sekali hatinya. "Nggak akan," balas Rai yakin. "Cintaku abis di kamu," tambahnya tanpa keraguan. "Bisa gitu ya?" senyum Gendhis terkembang, ia senang karena Rai menjadi lebih terbuka perihal perasaannya sekarang. "Nyatanya bisa kan? Nggak ada yang baik dari perjodohan kami selain dapet keuntungan dari bisnis yang udah lama dirintis, Ndhis.""Aneh kan tapi? Calon istri kamu adalah calon dokter spesialis, cantik, kaya raya, punya banyak koneksi, tapi kamu malah milih nyembunyiin pelacur kayak aku di rumah kamu," ucap Gendhis tertawa getir."Karena pelacur ini duniaku," sebut Rai sembari mengecup pucuk kepala Gendhis sayang. "Sedangkan Kiara cuma bagian sangat kecil di dalamnya," lan
"Kamu bisa belanja baju dan keperluan kamu lainnya pake ini," ujar Rai meletakkan satu kartu ATM di nakas. Gendhis yang tengah menyisir rambutnya di depan cermin, menoleh. Ia beranjak dan mendekati nakas, meneliti kartu yang Rai letakkan di atasnya. "Mami terus nelepon sejak subuh tadi. Kayaknya dia udah dengar soal masalah Mario kemarin itu," sebut Gendhis lalu meraih kartu ATM dari Rai dan menyimpannya. "Dia pasti kalang kabut," tambahnya. "Biar nanti orangku yang urus," balas Rai. "Satu jam lagi kukirim sopir buat anter kamu belanja. Maaf aku nggak bisa nemenin, ada jadwal poli hari ini di dua rumah sakit," katanya. Gendhis menghela napas panjang. Belum lama, belum ada sebulan juga ia tinggal di rumah besar milik Rai. Ada setidaknya dua ART yang membersihkan setiap sudut rumah dengan jobdesc yang berbeda. Pun, mereka tidak pernah sengaja mencari tahu siapa gerangan sosok Gendhis. Privasi Rai di rumahnya sendiri benar-benar terjaga, para pekerjanya sangat menghormatinya. "Ada m
Gendhis berdiri mematung di ujung tangga, ia baru saja keluar dari dalam kamar Rai saat menyadari bahwa ada seseorang yang masuk ke dalam rumah. Tahu bahwa hal seperti ini pasti akan terjadi suatu saat, Gendhis berusaha terlihat kuat. Ia sudah mempersiapkan hatinya, tp ternyata, diam pun tidak cukup untuk membuat hatinya tenang. "Sejak kapan kamu tinggal di sini?" tanya sosok perempuan berambut panjang berumur sekitar 50 tahunan itu pada Gendhis. "Dua mingguan, Tante," jawab Gendhis jujur. "Ah, jadi kamu pelacur itu?" Gendhis bungkam. "Aku Eriska, keluarga kandungnya Christ kalau kamu penasaran. Kamu mau pergi sendiri atau nunggu kuusir dari sini?" tanya Eriska, perempuan yang selalu Rai sebut dengan panggilan 'Mami Eris' itu. Gendhis tertegun sesaat, berusaha mencerna situasi yang tengah dihadapinya. Eriska bukan salah satu orang yang ada di pihaknya, ia tidak satu kubu dengan Ann dan Ben. Oleh karena itu, Gendhis harus hati-hati dan tidak asal menjawab. "Berapa juta yang kamu
"Mami uring-uringan, lo pulang tapi nggak mau nerima bookingan," Rose, teman satu angkatan Gendhis di rumah bordil masuk begitu saja ke dalam kamar."Gue lagi pengin tidur doang di kamar, seminggu kayaknya enak deh," jawab Gendhis masih membenamkan wajahnya di balik bantal. "Sugar, VVIP yang make lo kemarin, gila banget ya?" tanya Rose hati-hati. "Lo numbalin diri lo biar dia nggak booking anak-anak baru," desisnya. "Mario minta gue yang dateng, Rose. Lo tau sendiri rumah bordil ini di-backing penuh sama kekuasaannya Mario. Dan Mario tau kalau dari kita semua, cuma gue yang hafal dan tau kebiasaannya," ucap Gendhis. "Lo gimana? Aman semuanya kan?" Rose mengangguk, "Gue mau nikah. Jadi istri siri," tandasnya mengejutkan. "Jangan gila ya lo!" sengal Gendhis segera menarik bantal yang menutupi wajahnya. Ia seketika bangun dari posisi berbaringnya. "Istri siri itu nggak aman buat kita, Rose. Apalagi posisi kita sebagai istri kedua," ujarnya. "Gue jatuh cinta sama Mas Arul, Sugar. Sat
"Mami Eris ngusir kamu?" tanya Rai, ia duduk di ranjang menghadapi Gendhis yang berdiri tegang tanpa suara.Gendhis membasahi bibirnya, tak langsung memberi jawaban. Ia melangkah ke arah sofa tamu, menjatuhkan diri di sana. "Aku pulang ke sini atas kemauanku sendiri, bukan karena diusir," jawab Gendhis. "Aku tau Mami Eris pasti ngomong yang enggak-enggak ke kamu, makanya kamu mutusin buat keluar dari rumahku, iya kan?" "Selayaknya seorang keluarga yang nggak rela anggota keluarga lainnya terjerumus ke neraka," sahut Gendhis. "Aku tau diri Rai, jadi, kamu nggak perlu nyari aku ke sini dan ngasih penjelasan apapun," tambahnya. "Aku ke sini bukan buat ngasih kamu penjelasan. Ini sekadar pengumuman, kamu bisa kasih tau ke yang lain kalau kepemilikan rumah bordil ini udah pindah tangan atas nama Wisanggeni," ujar Rai. "Jadi, kalau ada masalah apapun yang nantinya melibatkan rumah bordil ini, aku yang bertanggungjawab!" tegasnya.
"Apa yang bakalan terjadi kalau Mami Eris-mu itu tau soal acara pernikahan kita, Rai?" tanya Gendhis hati-hati. Setelah selesai prosesi pernikahan yang sangat privat dan rahasia itu, Rai dan Gendhis memilih untuk tinggal lebih dulu di hotel. Sementara Rai pergi bekerja nanti sore, akan lebih aman jika Gendhis menunggu sang suami di kamar hotel dengan penjagaan beberapa orang suruhan Ben. Nanti, jika sudah selesai pekerjaan yang menjadi tanggung jawab Rai, mereka baru akan pulang ke rumah besar di mana Rai menobatkan Gendhis sebagai nyonya rumahnya. "Aku juga nggak punya bayangan, yang pasti, kamu yang paling terancam kalau Mami sampe tau," jawab Rai menoleh perempuan yang berbaring damai di sebelahnya. "Aku nggak kasih tau siapapun dari pihakku soal pernikahan kita. Cuma berusaha untuk nggak membuka kemungkinan kalau pernikahan ini justru bakalan bocor dari pihakku," desis Gendhis. "Mamiku tadi sempat WA. Mario nyariin aku, dia mau booking buat lusa," ceritanya. "Terus kamu bilang
Tidak dapat dipungkiri, menikah adalah bentuk kebahagiaan lain yang selalu didambakan Gendhis demi bisa meninggalkan dunia pelacuran yang menghidupinya. Senyumnya tak berhenti terkembang, apalagi saat dengan saksama Rai yang ada di sampingnya mengucap ikrar setia dan berjanji pada Tuhan untuk menjaga dan melindunginya hingga ajal. Tidak ada terlintas sedikitpun dalam bayangan Gendhis bahwa ia akan secepat ini menikah, dengan Rai, cinta dalam hidupnya. "Perempuan ini, Gendhis Kemuning Btari, aku nikahi, tidak peduli bagaimana keadaan kesehatannya, latar belakangnya. Aku akan mencintainya, melindunginya, menjaganya, menghiburnya, menghormatinya sampai mati. Aku bersumpah akan menjaga kesetiaan sampai mati," ikrar Rai begitu menusuk di hati Gendhis hingga merinding sekujur tubuh. "Lelaki ini, Rai Damian Christopher Wisanggeni, aku nikahi, tidak peduli latar belakangnya, bagaimana keadaan kesehatannya. Aku akan mencintainya melindunginya, menjaganya, menghiburnya, menghormatinya, samp
"Ini langkah gila, Christ," gumam Bastian, kakak kedua Ben, paman angkat Rai di keluarga Wisanggeni. "Aku nggak bisa lepasin Gendhis, nggak bisa setelah semua yang terjadi di masa lalu," desah Rai sembari membenahi dasi yang ia kenakan. "Kalau Taka-sama denger soal ini, posisimu terancam, Bocil!" "Makanya jaga jangan sampe tau, Paman," balas Rai setengah bercanda. "Kalau Taka-sama tau soal ini, bukan cuma posisiku yang ada dalam bahaya, tapi kalian semua yang mendukungku juga bakalan kena," ujarnya. "Dulu, pas belum masuk circle para tetua, Taka-sama termasuk orang yang fleksibel. Tapi sekarang karena usianya udah semakin tua, Mama juga meninggal lebih dulu, Taka-sama jadi lebih ketat ke kita semua. Yang dia miliki tinggal klan kita, kamu harus paham. Taka-sama nggak mau klan kita jatuh ke tangan orang yang salah," ungkap Bastian. "Perempuan ini, layak kan untuk diperjuangkan?" "Kalau dia nggak layak, aku nggak mungkin melibatkan lusinan orang buat prosesi ini, Bro," sahut Rai se
"Aldi bilang, kamu pulang naik taksi semalem, WA-ku nggak kamu bales juga," ujar Rai menyambut Gendhis yang baru keluar dari kamar mandi, keesokan paginya."Kamu lama sih, jadi aku pulang duluan. Dan aku capek banget pas sampe rumah, makanya langsung ketiduran," sahut Gendhis. "Ane-san udah siap? Kami harus jalan ke venue dulu, MUA-nya standby di sana," ujarnya. "Kamu ketemu Kiara ya, Ndhis?" tanya Rai straight to the point. "Dia bilang ke aku kalau udah berhasil ngusir kamu," ceritanya. "Emang dia siapa bisa asal ngusir aku dari rumah sakit," gumam Gendhis menyeringai. "Aku pulang setelah ngasih tau dia, seberapa hebatnya aku muasin kamu.""Kamu bilang gitu?" Rai tersenyum, jelas sekali ekspresinya tampak bangga. "Iya, aku harus ngelawan dong. Cuma itu yang bisa aku banggain ke dia.""Makasih untuk nggak kalah sama liciknya Kiara," ucap Rai tulus. "Aku nggak bisa diem aja dan ngebiarin dia ngehina aku, Rai. Harga diri aku udah nggak punya, ngelawan dan bersikap gila adalah caraku
Gendhis memilih untuk menyibukkan diri dengan memainkan ponselnya. Sambil menunggu Rai visit pasien menjelang malam itu, ia tidak bisa menolak ajakan sang calon suami. Benar, hatinya terasa tergelitik saat memikirkan bagaimana esok pagi dirinya akan resmi menjadi seorang istri dari Rai Damian Christopher Wisanggeni. "Siap nggak siap, lo harus punya kekuatan dan keyakinan buat ngehadapin besok pagi, Ndhis," gumam Gendhis memberi semangat pada dirinya sendiri. Suasana rumah sakit memang cenderung lengang, apalagi di akhir pekan seperti ini. Hanya ada beberapa penunggu pasien yang tampak sedang memesan makanan untuk makan malam mereka seadanya karena foodcourt pun tampaknya sudah hampir tutup. "Hei," secara mengagetkan, Rai datang dari arah belakang Gendhis, sudah siap dengan stetoskop andalan di lehernya, "Kalau mau pesen jajan atau makanan, kamu pake kartu makanku," tukasnya memberikan sebuah kartu berwarna hijau di mana foto tampannya terpampang nyata. "Kamu nggak jadi visit?" tan
"Maaf ya Gendhis, kamu jadi harus merajam tubuhmu dan sedikit menodai kulit mulus kamu," ucap Ann sungkan. Gendhis mengulum senyumnya, rasa perih di perut sebelah kanannya masih tersisa, kulit sekitarnya masih terlihat memerah. Namun, ada satu tato baru yang melekat di sana, tato identitas keluarga. Dalam tradisi keluarga Takahashi, siapapun itu yang akan masuk menjadi anggota klan, apalagi menantu, ia harus rela merajam tubuhnya dengan satu simbol warisan keluarga. Meski sempat ragu untuk melakukannya, Gendhis akhirnya setuju dan bersedia, apalagi saat Rai berkata bahwa Kiara tidak sudi melakukan itu karena merasa derajat keluarganya lebih tinggi dari keluarga Rai. Pun dengan menganggap bahwa klan Takahashi ada di bawah kendalinya."Kamu juga bisa minta Aiko buat tato bekas luka operasimu," bisik Ann memberi saran. "Ini hasil karya Rai, Ane-san. Aku nggak akan ngerubah apapun dari itu, sebagai pengingat kalau dia yang nyelametin aku," kata Gendhis bangga. "Dia pasti seneng banget
"Axel bukan saingan, Rai," bisik Gendhis timbul-tenggelam. Ia berusaha memberi pengertian pada Rai yang tengah menindih tubuhnya di ranjang sambil mengecupi lehernya ini. "Kamu tau aku nggak bisa berpaling dari kamu," tandasnya."Aku tau," Rai mendongak, "tapi kamu bisa tidur sama siapapun yang membayarmu dulu, Ndhis. Itu yang nggak bisa nenangin isi kepalaku," ujarnya. "Sejak awal aku udah kasih peringatan kan Rai? Kenapa kamu masih ngotot buat ngejalanin hubungan sama aku kalau ujungnya begini? Aku ini pelacur, riwayat hidupku nggak akan pernah bisa bersih. Kenyataan kayak gini bakalan terus kita bahas kalau kita beneran jadi nikah. Biar tenang isi kepalamu, cukup nikah sama Kiara aja. Dia bersih kan?""Dan aku yang gila kalau harus tanpa kamu!" sahut Rai yakin. "Aku nggak suka kamu berinteraksi sedekat itu sama Axel, bisa kuminta kamu buat membatasi diri?" "Aku lagi ngusahain itu semua kan? Kamu nggak liat gimana aku berjuang buat nggak lagi nerima pelanggan? Aku nurutin semua m
Persis 2 jam selama perjalanan pulang ke rumah Rai, Gendhis tak bicara apapun. Rai juga memilih sibuk pada kemudinya, tak mau membuka percakapan. Hingga keduanya sampai di halaman rumah besar Rai, hanya kebisuan yang merebak. Ini kali pertama mereka saling mendiamkan, sepertinya ego yang tercipta setelah perasaan terungkap justru membesar seiring besarnya cinta. "Ini yang aku takutin sejak awal terlibat hubungan sama kamu, karena aku pelacur, harga diriku nggak penting buat kamu," keluh Gendhis angkat bicara. "Siapa yang nganggep itu nggak penting? Kamu asal nyimpulin," sahut Rai. Gendhis mendesah lelah, ia abaikan tanggapan Rai dan memilih untuk menjatuhkan diri di sofa tamu. Tak ingin saling mendiamkan berlarut-larut, Rai mengambil duduk di sebelah perempuannya. Sambil menatap langit-langit ruang tamu, ia toleh Gendhis yang memejamkan matanya damai, mulutnya terkatup rapat. "Kamu sakit hati karena ucapanku?" tanya Rai, nada bicaranya sudah jauh lebih lembut ketimbang sebelumnya.
Hari minggu, hari libur untuk Rai dari segala praktik poli dan pekerjaan sampingan di mana ia bertanggungjawab di beberapa sektor warisan keluarga. Ia sengaja mengajak Gendhis pergi keluar, selain mengunjungi kasino yang kemarin ia bicarakan, ia juga berniat membawa Gendhis bertemu seorang tattoo artist, langganan keluarga Takahashi. Mengingat tanggal pernikahan mereka yang sudah ditentukan besok lusa, jadi persiapan minimalis itu dikebut secepatnya. "Nggak akan ada yang ngasih dia perlakuan istimewa, termasuk gue," ucap Danisha, bungsu Takahashi, tante dari Rai yang mengelola kasino secara langsung. "Gue nggak minta dia diperlakukan istimewa," ujar Rai santai. "Lo tau dia berarti buat gue, jadi gue yakin lo juga paham gimana cara memperlakukannya," tandasnya. "Lo serius mau beristri dua? Brengsek amat lo, lebih brengsek dari bapak lo!" cecar Danisha takjub. "Apa gue minta buat dibatalin aja perjodohan sama Kiara, gitu Tante?" "Anjing! Jangan panggil gue Tante!" sergah Danisha ge