Tika berjalan cepat keluar dari cafe, sesekali ia menghembuskan nafas kasar, menahan air mata serta sesak didada. Niat hati ingin melegakan pikiran malah menambah beban pesakitan.
Sungguh kesedihan yang Tika rasakan selalu saja tak berkesudahan, seakan alam mengutuknya untuk menjadi tokoh paling menyedihkan didunia ini.
Leo yang baru saja hendak berjalan memasuki cafe begitu terkaget melihat Tika yang keluar dengan raut wajah yang tidak baik-baik saja.
Segera ia berlari menghampiri dengan khawatir, "Tik, lo kenapa?" tanya Leo cemas.
Tika mendongak, ditatapnya Leo dengan mata sendu. Kemudian ia menggeleng sebagai jawaban.
"Apa ini ulah Marten?" tanya Leo dengan
Malam ini setelah aktivitas Ayana dan Candra selesai, keduanya memutuskan untuk pergi kerumah Candra. Menjenguk sang ibu yang katanya begitu rindu dengan anak mantunya. Jadi mau gak mau Ayana dan Candra harus menyempatkan waktu mengunjunginya."Nanti kalau ibu tanya tentang kita, kamu diam aja biar aku yang jawab" pesan Candra saat Ayana memasuki mobil.Ayana mengangguk, memakaikan seat beltnya sebelum mobil yang ditumpangi segera berjalan."Terus kalau ibu tanya masalah cucu, kamu jawab kita masih usaha aja. Jangan buat dia kecewa," Candra kembali lagi berpesan dengan menyalakan mesin mobilnya bersiap untuk berangkat menuju rumahnya."Kenapa, kok diam dari tadi?" Candra menoleh pada Ayana sebentar ketika semua pesa
Benar dugaan Candra, mood Ayana rusak sedari supermarket tadi. Lebih tepatnya ketika obrolan dimobil tadi. Sejak kedatangannya kerumah orang tua Candra sampai mereka memutuskan untuk bermalam disana. Ayana tak sedikit pun mengeluarkan suara saat dengannya berbeda dengan ayah dan ibunya tadi, Ayana begitu akrab dengan mereka."Oh shit! Dia mungkin cemburu dengan masalalu ku," ucap Candra sendu dari balik pintu kamar."Terus aku harus gimana? Masalah hatikan tidak bisa dipaksakan," gumamnya tanpa sadar memukul tembok dengan keras.Kini Candra berpikir keras, bagaimana ia bisa mengembalikan mood baik Ayana. Tiba-tiba saja ia teringat sesuatu, ibunya! Ya, hanya dia yang bisa membantunya saat ini.Candra bergegas mencari
Hampir semua mahasiswa/i sepagi ini mengerubungi mading kampus dengan syoknya. Sebuah Artikel mengejutkan lengkap dengan foto-foto tak baik terpajang disana.Ayana dan Bisma yang baru saja memasuki area kampus nampak kebingungan saat semua orang menatapnya dengan tatapan jijik."AYA," di depan sana nampak Asep berteriak, raut wajahnya menggambarkan raut kemarahan disana.Alis ayana terangkat tinggi, seolah bertanya "kenapa?""Ikut gue," tegas Asep menarik paksa Ayana untuk mengikuti langkahnya.Ayana terkesiap, tubuhnya seakan terseret oleh tenaga Asep yang begitu kuat kali ini. Tak biasanya."Apaan sih lo
"AYAH!"Teriakan Adinda mampu mengagetkan seisi rumah."AYAH!" teriaknya lagi dengan menuruni anak tangga, ponsel yang ia genggam pun bahkan di angkat ke udara seakan ada hal penting yang ingin ia tunjukan pada ayahnya.Herlan yang baru saja sampai dirumah, menautkan kedua alisnya terheran-heran melihat putri pertamanya berlari dengan raut wajah senang."Kenapa?" tanya Herlan, kedua tangannya bersedekap dada.Adinda menghampiri sang ayah dengan memberikan ponsel ditangannya."Lihat, apakah dia masih pantas disebut sebagai putri kesayanganmu?" tanya Adinda manja.
Alih-alih melihat suaminya tenngah memberi hukuman terhadap anak bungsunya, Heni justru melihat kehangatan disana. Herlan, Candra dan Ayana tengah asik mengobrol dengan sesekali melemparkan candaan. Bahkan Heni melihat bahwa suaminya sangat perhatian terhadap Ayana, buktinya ia lihat Herlan begitu sangat telaten mengobati luka dikaki Ayana."Syukurlah," gumam Heni kembali berputar balik.Bugh...Heni begitu terkejut saat tubuhnya menabrak tubuh atletis milik putra sematawayangnya.Asa terheran melihat kekagetan sang ibu. Sebelah alisnya terangkat seolah bertanya 'kenapa?'"Ayo kita pulang" ajak Heni menarik lengan putranya."Loh," Asa masih tak berkutik, ia berdiri di depan pintu rumah Ayana dengan bingung memikirkan kelakuan ibunya yang terasa aneh. Bukannya dari rumah ia ngotot untuk segera mengejar sang ayah, lalu setelah sampai mengapa ia malah terburu-buru mengajaknya pulang? Asa begitu bingung saat ini."Malah bengong, ayo antarkan ibu pulang" ajak Heni menarik lengan Asa.Asa
Selesai dengan kegiatan kampus yang cukup menyita waktu Ayana seharian ini, ia memutuskan untuk pergi ke kafe favoritnya untuk sekedar mengisi amunisi tubuhnya yang lelah ini.Ia berjalan dengan pikiran kosong, menyebrangi jalanan yang cukup padat. Hembusan napas lelahnya begitu kentara. Hanya membutuhkan waktu lima menit saja, Ayana telah sampai di kafe tersebut.Sebelum memasuki kafe, ia disambut dengan hangat oleh beberapa karyawan yang hendak mengantarkan makanan dilevery pada customernya. Wajah Ayana cukup tak asing bagi pegawai kafe, hampir semua mengenalnya dan memperlakukan Ayana bak pemilik kafe tersebut bila mengunjungi.Pandangan Ayana menyapu kesekeliling ruangan, nampak terlihat begitu banyak pengunjung yang tengah asik dengan dunia mereka. Kafe yang biasanya terkesan tenang itu, kini telah ramai dengan ditambahi iringan musik mengalun lembut di kafe yang ia kunjungi ini.Ayana mendesah kecewa saat meja favoritnya sudah diisi seseorang yang membelakanginya. Ingin ia kemba
Sudah hampir tiga bulan lamanya setelah kejadian buruk menimpa Ayana. Kini dirinya hanya bisa pasrah dengan takdir yang akan membawa hidupnya entah kemana, persahabatan yang dibangun susah payah selama belasan tahun bahkan kini sudah hancur. Ayana tak lagi bersama mereka, ia kini hidup dalam kepingan luka yang berusaha ia sembuhkan, beruntung Candra sebagai suami selalu mensuportnya dalam kebaikan, selalu jadi pengganti para sahabatnya yang tega meninggalkan dia.Sedangkan Bisma, dia sudah menerima kenyataan dengan baik bahkan kini semakin dekat dengan Ayana meski Candra selalu memberi peringatan agar Bisma tak merebut kebahagiaannya."Hey, sendirian aja nih?" tanya Bisma yang tak sengaja melihat ayana tengah asik membaca buku di taman kampus.Ayana mengerjap, segera ditutupnya buku yang ia baca itu dengan cepat. "Kelihatannya?" tanya Ayana menajamkan penglihatannya.Bisma meringis, seakan menyadari jika pertanyaan yang ia lontarkan itu salah."Iya deh, gimana sebulan lagi kita udah
Wajah Ayana berubah semakin cerah kala mendapati Candra tengah menunggunya di depan rumah sakit. Bahkan senyuman Candra yang mengembang saat keduanya bersitatap membuat degup jantung Ayana tak karuan, ia seperti baru pertama kali merasakan jatuh cinta lagi. "Maaf ya Mas nunggu lama," ucap Ayana bergegas menghampiri Candra. Candra mengangguk dengan senyum, segera ia menggenggam tangan Ayana untuk berjalan beriringan bersamanya. "Mas, tadi katanya di kantor udah banyak makanan. Dari siapa?" celoteh Ayana saat keduanya menunggu lift terbuka. "Biasa dek, itu dari Sri sama Haris. Barusan mereka pamit buat pulang lebih awal jadi makanan yang baru saja mereka pesan dikasih Mas semua deh," jelas Candra panjang lebar. Kalau tidak begitu Ayana pasti akan banyak bertanya seperti gadis kecil yang baru saja tumbuh dengan rasa keingin tahuannya yang besar. Ayana hanya ber-oh ria dengan memasuki lift yang sudah terbuka, matanya membulat saat tak sengaja melihat sang kakak dengan lelahnya berjala
"Bunda! Bangun, shalat subuh yuk"Teriakan dua orang yang berbeda nada suara itu begitu mengganggu waktu tidur Ayana pagi ini. Bukannya bangun, Ayana malah sengaja menarik selimutnya hingga menutupi seluruh tubuhnya membuat kedua laki-laki beda usia itu berkacak pinggang tak terima. Keduanya saling menatap lekat seolah memberi pesan jika keduanya telah merencanakan sesuatu. SatuDuaTiga"Ayo bangun Bunda, nanti subuhnya telat!"Keduanya kembali berteriak dengan menarik kuat selimut yang tengah Ayana kenakan. Sabiru sudah tidak sabar, ia menaiki ranjang dan memeluk Ayana erat. "Bunda, ayo dong" Sabiru kembali membangunkan Ayana dengan mencium wajah cantiknya. Menyadari ada yang tidak beres membuat Ayana segera membuka mata, ia memeluk Sabiru erat. "Sayang, Ummah masih ngantuk. Kalian duluan aja ya nanti Ummah nyusul" Sabiru menggeleng, ia menarik lengan Ayana untuk segera bangun dari pembaringan. "Ayo bunda, kita berjamaah sama Ayah"Kedua mata Ayana memicing, indra pendengarann
Mata Bisma menyala, jarum suntik yang ia pegang pun mampu dipatahkannya. Ia semakin tersulut emosi, dimana otak Ayana kali ini? Bukankah telat satu jam saja nyawa Sabiru taruhannya sementara jarak pesantren dan rumah sakit ini bisa ditempuh tiga puluh menit belum proses pengecekan golongan darah dan kesehatan. "TOLONGLAH PAHAM, AYA! DIA AYAHNYA, DIA YANG PALING BERHAK MENOLONG SABIRU!" teriak Bisma begitu kencang. Candra begitu syok mendengar pernyataan Bisma, ia pun turun dari ranjang pasien menghampiri Ayana yang berdiri kaku diambang pintu."Apakah yang Bisma katakan itu benar?" tanya Candra tak percaya. Ayana masih membeku enggan menjawab. Kedua tangan Candra terangkat, ia mengguncang tubuh Ayana. "Jawab Aya, apakah itu benar?"Melihat pemandangan tersebut membuat Bisma semakin geram, ia tidak mau membuang banyak waktu hanya karena ini. Yang ia pikirkan saat ini hanyalah Sabiru, ia ingin Sabirunya selamat. "Aya aku tidak akan pernah memaafkamu jika Sabiruku tidak selamat," lir
Selepas kepergian Candra, Ayana menangis sesenggukan dengan Sabiru yang sudah tertidur dipelukannya. Dengan datar Bisma mengambil sabiru untuk ia tidurkan lalu menyuruh Ayana untuk menjauh agar tidak mengganggu Sabiru. Ayana menurut, ia menjauh dari Sabiru dan terduduk di kursi tunggu yang tersedia diruangan tersebut. "Kenapa tidak jujur saja? pernyataan yang kamu lontarkan itu suatu kebohongan yang suatu saat akan merugikan kamu sendiri" Bisma menyodorkan tisu pada Ayana dengan kecewa. Kenapa Ayana seolah-olah kembali memberikan harapan besar padanya padahal jelas-jelas ia akan kembali merasakan sakitnya kembali ditolak oleh Ayana. Ayana mendongak, ia menerima tisu tersebut untuk menghapus ingusnya. Bisma duduk disampinya, mendengarkan tangis Ayana yang tidak mau berhenti itu dengan setia."Kenapa dia datang disaat aku hampir saja berhasil melupakannya?" tanya Ayana disela tangisnya. "Yang dia bilang itu benar Ya, pertemuan kalian itu sudah menjadi takdir Tuhan. Kamu tidak bisa
Tiga tahun berlaluSenja, kelabu masih saja menjadi peneman hari-hari Candra sejak tiga tahun terakhir setelah ia tidak pernah menemukan Ayana dimana pun. Kedua orangtua pun tidak ada yang memberitahu kemana perginya Ayana sebenarnya. Sejak tigak tahun terakhir pula, hidup Candra diambang keputus asaan. Ia begitu bingung ingin melanjutkan hidupnya seperti apa sementara kehidupan telah berakhir sejak penyesalan terbesarnya itu."Sudah tiga tahun loh, lu gak mau bangkit melupakannya? Gue aja udah punya anak tiga loh" sindir Haris menemui Candra yang tengah terduduk di balkon kantornya. Ya, Candra kembali bekerja di rumah sakit miliknya sebagai CEO sejak ayahnya mengetahui jika Candra sudah putus dengan Hanin. Candra tak tergerak untuk menjawab, ia masih saja menikmati senja yang akan kembali digantikan dengan gelapnya malam. "Gue masih menunggu dia balik, sekali pun dia sudah bukan jadi istri gue tapi gue akan tetap menjadi miliknya. Gue gak mau nikah dengan siapa pun kecuali dengan
Hari-hari berikutnya adalah penderitaan bagi Candra, sesak yang menggunung dihatinya tidak akan pernah runtuh sebelum ia meminta maaf pada Ayana dan Ayana memaafkannya. Menyesal, merasa bersalah dan rindu yang amat besar membuat hari-hari Candra menjadi sangat kelabu.Untuk menuntaskan semuanya pagi ini bahkan Candra bergegas untuk menjemput Ayana dan meminta maaf padanya, wajah yang sayu itu kini sudah menatap sendu pekarangan rumah Herlan. Disana nampak begitu sepi pagi ini dan Candra tidak begitu yakin kalau Herlan akan mengizinkannya masuk. Namun bukan Candra namanya kalau tidak mencoba. Ia berusaha menguatkan hatinya, bersikap bodo amat memarkirkan mobilnya di pekarangan rumah tersebut. Beberapa penjaga bahkan menyambutnya dengan ramah. Menghela nafas dalam, Candra keluar dari mobil dan berjalan menuju depan pintu rumah tersebut. Belum sempat Candra mengetuk pintu tiba-tiba Adinda keluar dari rumah tersebut dengan pakaian dinasnya. "Kamu, sedang apa disini?" tanya Adinda beg
Sudah hampir tiga bulan sejak perpisahan Candra dengan Ayana, kini dirinya sudah kembali terbiasa menjalani hari-hari. Melakukan pekerjaan rumah tanpa di bantu oleh Ayana. Keterbiasaan itu entah kenapa menjadikan hatinya suram untuk menjalani hari-hari. Ia merasa harinya kurang lengkap tanpa ada pengganggu di hidupnya. Siapa lagi kalau bukan Ayana. Sudah hampir tiga bulan juga Candra tak lagi menjadi seorang CEO dirumah sakit miliknya atau pun di perusahaan milik ayahnya. Hidup Candra kembali lagi kemassa dimana ia hanyalah seorang pegawai rumah sakit biasa di salah satu rumah sakit swasta. Haris, yang merupakan sahabatnya pun tak peduli dengannya. Entah, mungkin ini memang hukuman baginya atas apa yang ia lakukan pada Ayana dulu. Candra menarik napas dalam, menatap kearah sebrang rumah sakit. Dimana ia melihat seseorang yang tidak asing baginya, perempuan yang sedari dulu ia cintai tengah menunggunya duduk santai menikmati secangkir kopi andalan yang disajikan di kafe tersebut.
Rembulan malam telah tenggelam, menghilang di gantikan dengan sinar matahari yang terbit dengan malu-malu. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi, tapi Candra masih asik duduk melamun di kursi meja makan. Ada hati kecil yang menyesal saat ini, luka di wajahnya bahkan masih terasa perih. Setelah malam itu, sepertinya Candra akan benar-benar kehilangan Ayananya. Kemarahan Herlan nampaknya akan mengibarkan bendera permusuhan. Pikirnya. Candra meringis saat melihat pemandangan rumah yang begitu acak-acakan tidak seperti biasanya yang nampak rapi dan harum. Ia menghembuskan nafas kasar ketika cucian yang menggunung seperti melambai-lambai kearahnya. Ini baru beberapa hari Ayana pergi dari rumahnya namun Candra sudah dibuat stres dengan pekerjaan rumah yang menggunung. Kenapa harus takut jika Ayana pergi kan ada Hanin yang akan merawatnya, menggantikan posisi Ayana. Pikirnya Candra begitu dulu tapi Candra salah. Setelah malam itu, Hanin malah seperti terkesan menjauh. Ia begitu sulit d
Mobil berplat nomor dinas itu berhenti tepat di pekarangan rumah Candra. Nampak Herlan bersama kedua ajudannya keluar dari mobil tersebut, mata Herlan memejam lama saat kakinya hendak melangkah ke depan pintu rumah yang sedikit terbuka. Samar-samar Herlan mendengar suara perempuan yang tengah asik berbincang dengan menantunya itu, tentu saja bukan Ayananya. Tangan Herlan terangkat hendak mengetuk pintu, namun dihalangi oleh kedua ajudannya."Izin komandan, sebaiknya jika memang komandan ingin memastikan benar tidaknya jika menantu komandan itu berselingkuh sebaiknya kita tunggu dulu jangan dulu masuk, kita intip saja dari jendela dan dengarkan percakapannya" ujar Roni salah satu ajudan yang paling keluarga Herlan percayai.Herlan menurunkan tangannya, ia menuruti apa yang dikatakan Roni. "Ayo tuan sebaiknya kita intip disini," ajak Roni sedikit menjauhi pintu utama tepat pada jendela besar yang hanya di tutupi kain gorden yang sangat tipis. Dari sana terlihat jelas Candra tengah du
Lantunan surat Al-Baqarah terdengar melangalun lembut menghiasi kamar kos-koasan berukuran 2.5 m kali 3 m itu.Si pembaca begitu menjiwai setiap ayat demi ayat yang ia lantunkan. Apalagi saat ia membaca dan merenungi salah satu arti dari surat al-baqarah ayat 216 yang berbunyi :كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْ ۚ وَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۚ وَعَسٰٓى اَنْ تُحِبُّوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ ࣖ“Diwajibkan atasmu berperang, padahal itu kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui”Melalui surat Al Baqarah 216 Allah telah menjelaskan bahwa kewajiban perang harus dilaksanakan meski hal tersebut bukan sesuatu yang menyenangkan. Dalam ayat tersebut menyebutkan bahwa “boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu” yang berarti peperangan