Wajah Ayana berubah semakin cerah kala mendapati Candra tengah menunggunya di depan rumah sakit. Bahkan senyuman Candra yang mengembang saat keduanya bersitatap membuat degup jantung Ayana tak karuan, ia seperti baru pertama kali merasakan jatuh cinta lagi. "Maaf ya Mas nunggu lama," ucap Ayana bergegas menghampiri Candra. Candra mengangguk dengan senyum, segera ia menggenggam tangan Ayana untuk berjalan beriringan bersamanya. "Mas, tadi katanya di kantor udah banyak makanan. Dari siapa?" celoteh Ayana saat keduanya menunggu lift terbuka. "Biasa dek, itu dari Sri sama Haris. Barusan mereka pamit buat pulang lebih awal jadi makanan yang baru saja mereka pesan dikasih Mas semua deh," jelas Candra panjang lebar. Kalau tidak begitu Ayana pasti akan banyak bertanya seperti gadis kecil yang baru saja tumbuh dengan rasa keingin tahuannya yang besar. Ayana hanya ber-oh ria dengan memasuki lift yang sudah terbuka, matanya membulat saat tak sengaja melihat sang kakak dengan lelahnya berjala
Candra menatap dingin wanita yang tengah terbaring lemas di ranjang pesakitan, dengan selang infus terpasang di tangannya. Rasanya ingatan tentang wanita di hadapannya kembali berputar, berulang-ulang."Seharusnya kamu tak pernah kembali, Han. Ini membuatku sungguh menyakitkan,"Candra berkata begitu pilu, tubuhnya meluruh di hadapan gadis tersebut."Apa ini alasan kamu tidak lagi menemuiku bahkan menghilang tanpa kabar?" Begitu lirih Candra bertanya, di raihnya tangan itu dengan lembut."Maaf, maaf karna aku telah mengkhianati mu" lanjut Candra dalam hati.Merasa terganggu, wanita tersebut pun akhirnya membuka mata. Wajah pucatnya begitu cantik saat seulas senyum seketika terbit di wajahnya."Mas-" sapanya gugup.Candra mengangguk, buru-buru ia menghapus air matanya."Maaf," ucapnya yang segera Candra hentikan."Jangan terlalu banyak bicara, kamu masih harus beristirahat total. Maaf, aku mengganggu istirahatmu" ujar Candra berdiri dari duduknya."Tapi-""Sudahlah Hanin, tak perlu la
Kelopak mata Ayana terbuka sedikit, tangannya bergerak mematikan alarm ponsel yang berbunyi sejak satu menit yang lalu, tepat di sampingnya.Selang lima menit, adzan subuh pun terdengar berkumandang saling bersautan. Gegas Ayana bangun dari pembaringan, ia menatap jarum jam dengan napas berat."Dia benar-benar tidak pulang," kesal Ayana yang dari semalam ia begitu cemas dengan Candra yang tak bisa di hubungi."Apa pagi ini dia juga tidak akan pulang?" tanya Ayana dalam hati sebelum ia pergi untuk membersihkan diri untuk melaksanakan shalat subuh.Seperti biasa, usai melaksanakan shalat subuh ia pun melaksanakan semua tugasnya sebagai ibu rumah tangga. Dari mulai mencuci sampai memasak kini ia kerjakan sendiri tanpa di bantu Candra."Dia kemana sih, masa iya gak ingat pulang"Ayana terus saja menggerutu, makanan yang baru saja ia masak pun segera ia santap tanpa mempedulikan Candra. Ya, ia kesal sekarang.Sudah hampir pukul delapan, namun masih tak ada tanda-tanda jika Candra akan pul
Ayana mematung di bibir pintu, menyaksikan perdebatan kecil antara suaminya dengan Haris yang berujung Haris mengalah dan meninggalkan suaminya. Haris yang terlampau kesal pun hanya menyapa Ayana dengan senyum paksanya.Sementara itu Ayana melihat Candra tengah mengusap kasar wajahnya dan memandang lekat kearah pintu keluar tepat ke arahnya.Ayana berdehem, ia mulai melangkah, menghampiri Candra."Ada masalah apa kamu sama kak Haris, Mas?" tanya Ayana.Candra begitu gelagapan, takut pertengkaran Haris dan dirinya di dengar Ayana secara detail."Apa kamu menguping?" tuduh Candra.Ayana mengedikkan bahu, duduk di sofa sembari melepaskan ranselnya."Gak sengaja dengar, tapi kok dia bicaranya mengarah ke topik yang jangan sia-siakan aku. Kenapa emangnya Mas, kamu selingkuh?" selidik Ayana dengan mata yang menyipit.Candra terkesiap, buru-buru ia mengubah air mukanya yang kusut menjadi ceria lagi. "Enggaklah, gak mungkin aku selingkuhin kamu. Tadi tuh Haris ngomong gitu karena Mas bah
Seperti malam-malam sebelumnya, setiap kali Marteen turun kejalanan ia selalu menjadi nomor satu diantara pebalap yang lain bahkan Leo mengakui jika Marteen berhak menjadi pebalap dunia. Saat ia sampai di garis finish Leo dan Guntur begitu antusias, para wanita yang berperawakan seperti gitar spanyol pun menghampirinya, dengan tubuh di elok-elokan untuk menggoda Marteen."Lo menang lagi Ten, kita bangga sama lo. Yakan?" Seru Guntur meminta persetujuan dari kedua sahabatnya.Jelas Leo mengangguk setuju, hanya Asep yang menghela napas berat dengan istigfarnya berkali-kali."Ten, lu gak henti-hentinya ya buat jantung gue gak aman. Gak Ayana, gak Lu sama aja deh. Kalau lu mau jadi pembalap ya harusnya lu daftar aja, jangan jadi pembalap liar kaya gini ya. Gue mohon," khawatir Asep dengan menepuk pundak Marteen pelan.Dengan dinginnya Marteen turun dari motor, menerima sejumlah uang dari lawan yang jumlahnya tidak sedikit. Satu unit motor matic bahkan berhasil Marteen dapatkan."Tenang aja
Dering telepon berkali-kali mengganggu tidur Leo dan Guntur bahkan kenyaringan suaranya mampu mengganggu konsentrasi Asep yang tengah menjalankan shalat subuh yang terpaksa ia laksanakan di kamar kost Leo yang jauh dari mesjid."Siapa sih, ganggu aja. Baru juga tidur," gerutu Guntur mematikan ponselnya dan melanjutkan tidurnya kembali.Belum lima menit, kini giliran ponsel Leo yang berdering, suaranya tak kalah nyaring dari ponsel milik Guntur barusan.Dengan setenga sadar, Leo berdecak mengangkat panggilan yang masuk ke ponselnya."Hallo, kenapa? Ini siapa, ganggu orang tidur aja!"{Leo, kamu dimana? Sama yang lainkan? Cepetan kerumah sakit, Ibunya Marteen meninggal}"Becanda lu garing, mana ada." Bantah Leo.{Saya serius, cepetan kesini. Kabari yang lain juga!}"Iya," malas Leo mematikan teleponnya secara sepihak. Niat hati ingin kembali melanjutkan tidurnya, namun beberapa notif pesan dari Ayana yang sudah lama tak ada kini bertengger di ponselnya membuat ia penasaran.Untuk apa Ay
Dengan setelan serba hitam, Marteen termenung menatap gundukan tanah merah yang masih basah itu, matanya tak henti-hentinya meneteskan cairan bening di pipi tirusnya. Tangannya bahkan memeluk erat batu nisan yang terpasang rapi di atas gundukan tanah tersebut."Mah, kenapa harus secepat ini? Bahkan Marteen belum sempat loh buat mamah bangga" batinnya berteriak, penyesalan demi penyesalan datang beruntun memenuhi kepalanya."Marteen, cucuku. Bangun nak, ikhlaskan kepergian ibumu. Biarkan dia beristirahat dengan tenang, bukan hanya kamu yang kehilangan tapi oma sama oppa juga. Kami kehilangan anak semata wayang kami saat ini, bangkitna"Pilu, begitu pilunya nenek Marteen berkata. Bahkan semua sahabat Marteen yang masih setia menunggunya kini ikut menangis menyaksikannya, tak terkecuali Tika. Ia bahkan seperti begitu amat merasakan kesedihan yang tengah Marteen rasakan, ikatan batin keduanya bahkan seolah terikat kuat. Perih, amat perih sekali rasanya. Apa ini yang tengah Mart
Setelah kepergian Candra yang menghampiri Marteen, Ayana bergegas menghampiri Tika, menerobos hujan yang tiada henti. Wajah Tika begitu syok, tangannya gemetar. Bajunya bahkan sudah di penuhi dengan cipratan tanah, kotor. Bahkan kali ini tubuhnya meluruh, terduduk di permukaan tanah dengan wajah menunduk. "Gak mungkin, ini gak mungkin" desisnya menepis semua kenyataan yang ada. Dengan ragu Ayana memberikan payung padanya, "Jangan menyiksa diri dengan sengaja berdiam diri di tengah-tengah hujan" ujar Ayana dingin. Sulit baginya untuk bisa bersikap ramah seperti sebelum-sebelumnya, luka yang Tika ciptakan padanya begitu membekas di ingatan. Fitnah, itu yang paling Ayana benci. Fitnah yang Tika ciptakan terhadapnya begitu keterlaluan.Tika mendongak, ia mengusap wajahnya kasar. "Tidak usah so peduli, gue gak mau hutang budi" ketusnya. Ayana menghela napas jengah, perlahan tubuhnya ia bungkukkan mensejajarkan diri dengan Tika. "Bisa-bisanya ya lo masih mikir hutang budi. Gue g
"Bunda! Bangun, shalat subuh yuk"Teriakan dua orang yang berbeda nada suara itu begitu mengganggu waktu tidur Ayana pagi ini. Bukannya bangun, Ayana malah sengaja menarik selimutnya hingga menutupi seluruh tubuhnya membuat kedua laki-laki beda usia itu berkacak pinggang tak terima. Keduanya saling menatap lekat seolah memberi pesan jika keduanya telah merencanakan sesuatu. SatuDuaTiga"Ayo bangun Bunda, nanti subuhnya telat!"Keduanya kembali berteriak dengan menarik kuat selimut yang tengah Ayana kenakan. Sabiru sudah tidak sabar, ia menaiki ranjang dan memeluk Ayana erat. "Bunda, ayo dong" Sabiru kembali membangunkan Ayana dengan mencium wajah cantiknya. Menyadari ada yang tidak beres membuat Ayana segera membuka mata, ia memeluk Sabiru erat. "Sayang, Ummah masih ngantuk. Kalian duluan aja ya nanti Ummah nyusul" Sabiru menggeleng, ia menarik lengan Ayana untuk segera bangun dari pembaringan. "Ayo bunda, kita berjamaah sama Ayah"Kedua mata Ayana memicing, indra pendengarann
Mata Bisma menyala, jarum suntik yang ia pegang pun mampu dipatahkannya. Ia semakin tersulut emosi, dimana otak Ayana kali ini? Bukankah telat satu jam saja nyawa Sabiru taruhannya sementara jarak pesantren dan rumah sakit ini bisa ditempuh tiga puluh menit belum proses pengecekan golongan darah dan kesehatan. "TOLONGLAH PAHAM, AYA! DIA AYAHNYA, DIA YANG PALING BERHAK MENOLONG SABIRU!" teriak Bisma begitu kencang. Candra begitu syok mendengar pernyataan Bisma, ia pun turun dari ranjang pasien menghampiri Ayana yang berdiri kaku diambang pintu."Apakah yang Bisma katakan itu benar?" tanya Candra tak percaya. Ayana masih membeku enggan menjawab. Kedua tangan Candra terangkat, ia mengguncang tubuh Ayana. "Jawab Aya, apakah itu benar?"Melihat pemandangan tersebut membuat Bisma semakin geram, ia tidak mau membuang banyak waktu hanya karena ini. Yang ia pikirkan saat ini hanyalah Sabiru, ia ingin Sabirunya selamat. "Aya aku tidak akan pernah memaafkamu jika Sabiruku tidak selamat," lir
Selepas kepergian Candra, Ayana menangis sesenggukan dengan Sabiru yang sudah tertidur dipelukannya. Dengan datar Bisma mengambil sabiru untuk ia tidurkan lalu menyuruh Ayana untuk menjauh agar tidak mengganggu Sabiru. Ayana menurut, ia menjauh dari Sabiru dan terduduk di kursi tunggu yang tersedia diruangan tersebut. "Kenapa tidak jujur saja? pernyataan yang kamu lontarkan itu suatu kebohongan yang suatu saat akan merugikan kamu sendiri" Bisma menyodorkan tisu pada Ayana dengan kecewa. Kenapa Ayana seolah-olah kembali memberikan harapan besar padanya padahal jelas-jelas ia akan kembali merasakan sakitnya kembali ditolak oleh Ayana. Ayana mendongak, ia menerima tisu tersebut untuk menghapus ingusnya. Bisma duduk disampinya, mendengarkan tangis Ayana yang tidak mau berhenti itu dengan setia."Kenapa dia datang disaat aku hampir saja berhasil melupakannya?" tanya Ayana disela tangisnya. "Yang dia bilang itu benar Ya, pertemuan kalian itu sudah menjadi takdir Tuhan. Kamu tidak bisa
Tiga tahun berlaluSenja, kelabu masih saja menjadi peneman hari-hari Candra sejak tiga tahun terakhir setelah ia tidak pernah menemukan Ayana dimana pun. Kedua orangtua pun tidak ada yang memberitahu kemana perginya Ayana sebenarnya. Sejak tigak tahun terakhir pula, hidup Candra diambang keputus asaan. Ia begitu bingung ingin melanjutkan hidupnya seperti apa sementara kehidupan telah berakhir sejak penyesalan terbesarnya itu."Sudah tiga tahun loh, lu gak mau bangkit melupakannya? Gue aja udah punya anak tiga loh" sindir Haris menemui Candra yang tengah terduduk di balkon kantornya. Ya, Candra kembali bekerja di rumah sakit miliknya sebagai CEO sejak ayahnya mengetahui jika Candra sudah putus dengan Hanin. Candra tak tergerak untuk menjawab, ia masih saja menikmati senja yang akan kembali digantikan dengan gelapnya malam. "Gue masih menunggu dia balik, sekali pun dia sudah bukan jadi istri gue tapi gue akan tetap menjadi miliknya. Gue gak mau nikah dengan siapa pun kecuali dengan
Hari-hari berikutnya adalah penderitaan bagi Candra, sesak yang menggunung dihatinya tidak akan pernah runtuh sebelum ia meminta maaf pada Ayana dan Ayana memaafkannya. Menyesal, merasa bersalah dan rindu yang amat besar membuat hari-hari Candra menjadi sangat kelabu.Untuk menuntaskan semuanya pagi ini bahkan Candra bergegas untuk menjemput Ayana dan meminta maaf padanya, wajah yang sayu itu kini sudah menatap sendu pekarangan rumah Herlan. Disana nampak begitu sepi pagi ini dan Candra tidak begitu yakin kalau Herlan akan mengizinkannya masuk. Namun bukan Candra namanya kalau tidak mencoba. Ia berusaha menguatkan hatinya, bersikap bodo amat memarkirkan mobilnya di pekarangan rumah tersebut. Beberapa penjaga bahkan menyambutnya dengan ramah. Menghela nafas dalam, Candra keluar dari mobil dan berjalan menuju depan pintu rumah tersebut. Belum sempat Candra mengetuk pintu tiba-tiba Adinda keluar dari rumah tersebut dengan pakaian dinasnya. "Kamu, sedang apa disini?" tanya Adinda beg
Sudah hampir tiga bulan sejak perpisahan Candra dengan Ayana, kini dirinya sudah kembali terbiasa menjalani hari-hari. Melakukan pekerjaan rumah tanpa di bantu oleh Ayana. Keterbiasaan itu entah kenapa menjadikan hatinya suram untuk menjalani hari-hari. Ia merasa harinya kurang lengkap tanpa ada pengganggu di hidupnya. Siapa lagi kalau bukan Ayana. Sudah hampir tiga bulan juga Candra tak lagi menjadi seorang CEO dirumah sakit miliknya atau pun di perusahaan milik ayahnya. Hidup Candra kembali lagi kemassa dimana ia hanyalah seorang pegawai rumah sakit biasa di salah satu rumah sakit swasta. Haris, yang merupakan sahabatnya pun tak peduli dengannya. Entah, mungkin ini memang hukuman baginya atas apa yang ia lakukan pada Ayana dulu. Candra menarik napas dalam, menatap kearah sebrang rumah sakit. Dimana ia melihat seseorang yang tidak asing baginya, perempuan yang sedari dulu ia cintai tengah menunggunya duduk santai menikmati secangkir kopi andalan yang disajikan di kafe tersebut.
Rembulan malam telah tenggelam, menghilang di gantikan dengan sinar matahari yang terbit dengan malu-malu. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi, tapi Candra masih asik duduk melamun di kursi meja makan. Ada hati kecil yang menyesal saat ini, luka di wajahnya bahkan masih terasa perih. Setelah malam itu, sepertinya Candra akan benar-benar kehilangan Ayananya. Kemarahan Herlan nampaknya akan mengibarkan bendera permusuhan. Pikirnya. Candra meringis saat melihat pemandangan rumah yang begitu acak-acakan tidak seperti biasanya yang nampak rapi dan harum. Ia menghembuskan nafas kasar ketika cucian yang menggunung seperti melambai-lambai kearahnya. Ini baru beberapa hari Ayana pergi dari rumahnya namun Candra sudah dibuat stres dengan pekerjaan rumah yang menggunung. Kenapa harus takut jika Ayana pergi kan ada Hanin yang akan merawatnya, menggantikan posisi Ayana. Pikirnya Candra begitu dulu tapi Candra salah. Setelah malam itu, Hanin malah seperti terkesan menjauh. Ia begitu sulit d
Mobil berplat nomor dinas itu berhenti tepat di pekarangan rumah Candra. Nampak Herlan bersama kedua ajudannya keluar dari mobil tersebut, mata Herlan memejam lama saat kakinya hendak melangkah ke depan pintu rumah yang sedikit terbuka. Samar-samar Herlan mendengar suara perempuan yang tengah asik berbincang dengan menantunya itu, tentu saja bukan Ayananya. Tangan Herlan terangkat hendak mengetuk pintu, namun dihalangi oleh kedua ajudannya."Izin komandan, sebaiknya jika memang komandan ingin memastikan benar tidaknya jika menantu komandan itu berselingkuh sebaiknya kita tunggu dulu jangan dulu masuk, kita intip saja dari jendela dan dengarkan percakapannya" ujar Roni salah satu ajudan yang paling keluarga Herlan percayai.Herlan menurunkan tangannya, ia menuruti apa yang dikatakan Roni. "Ayo tuan sebaiknya kita intip disini," ajak Roni sedikit menjauhi pintu utama tepat pada jendela besar yang hanya di tutupi kain gorden yang sangat tipis. Dari sana terlihat jelas Candra tengah du
Lantunan surat Al-Baqarah terdengar melangalun lembut menghiasi kamar kos-koasan berukuran 2.5 m kali 3 m itu.Si pembaca begitu menjiwai setiap ayat demi ayat yang ia lantunkan. Apalagi saat ia membaca dan merenungi salah satu arti dari surat al-baqarah ayat 216 yang berbunyi :كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْ ۚ وَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۚ وَعَسٰٓى اَنْ تُحِبُّوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ ࣖ“Diwajibkan atasmu berperang, padahal itu kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui”Melalui surat Al Baqarah 216 Allah telah menjelaskan bahwa kewajiban perang harus dilaksanakan meski hal tersebut bukan sesuatu yang menyenangkan. Dalam ayat tersebut menyebutkan bahwa “boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu” yang berarti peperangan