"Silahkan masuk saja pak."
Tap tap tap
Terdengar suara langkah kaki seseorang memasuki kelas ku.
Saat orang tersebut sudah masuk, semua murid terutama para siswi membelalakan mata seraya berkata "woaaah." Mereka takjub akan kedatangan guru baru itu.
Rupanya tampan, wajahnya bercahaya, ototnya kekar. Dia adalah Anhar alias Predi.
Apa hidup seorang rakyat jelata selalu banyak kejutan ya?
Belum juga selesai dengan Tasya, sudah diberi kejutan baru yaitu Predi.
Pak Budi memperkenalkan Predi sebagai guru baru disana.Sekarang aku mengerti kenapa Predi memasukan mobilnya ke parkiran, aku mengerti kenapa Predi ikut masuk ke dalam. Dan aku juga sudah mengerti maksud Predi yang memiliki tugas disini, di kota ini.
Yang aku tidak tahu adalah, memangnya jurusan hukum bisa menjadi guru? Setahuku hal-hal yang berbau dengan jurusan hukum itu seperti hakim, jaksa dan masih banyak lagi lainnya akan tetapi bukan guru.
<Aku menatap Predi tanpa berkedip sekalipun setelah ia mengatakan bahwa dirinya tahu dimana Abay. Kenapa Predi ini penuh rahasia dimataku. Selain tiba-tiba menjabat menjadi seorang guru di sekolahku, kini ia juga tahu keberadaan Abay yang seorang pun tidak tahu.Rasa takut dan curiga perlahan mulai menghampiriku. Entahlah, aku hanya merasa ada yang sedikit aneh dan berbeda dari Predi ini."Abay dimana? Bapak tahu dari mana?" Aku bertanya sambil berancang-ancang. Kuletakan tanganku di klop pembuka pintu. Kalau Predi tiba-tiba berubah menjadi vampire atau serigala aku bisa lebih mudah untuk keluar sebelum dia menggigitku."Kita sudah diluar sekolahan. Bisa berhenti panggil aku bapak?.""Baiklah. Dimana Abay?""Dirumah sakit." Ujarnya dingin.Dingin tapi mematikan, dingin tapi seperti ujung besi yang dilelehkan lalu ditusukan ke bagian perut ku hingga menembus dan mengeluarkan urine-urine yang ada didalamnya."Ma-maksudnya? Siapa ya
Semua jawaban kebingungan ku ada didalam ruangan dimana Abay dirawat. Setelah aku dan Predi menyusuri lorong rumah sakit yang menyengat dengan bau obat akhirnya kami sampai didepan pintu ruangan Abay dirawat.Aku menarik nafas panjang, menutup mata seraya membaca bismillah. Semoga saja Predi ini bukan serigala dan tisak ada bekasan cakaran di muka Abay dan Abay tidak akan berubah menjadi serigala yang terbakar oleh panasnya sinar matahari. Ah sudahlah, pikiranku sudah kacau kemana-mana."Abay?!"Aku main masuk saja membukakan pintu tanpa menunggu aba-aba dari Predi lagi.Aku membungkam mulutku dan hampir berteriak kala melihat kondisi Abay saat itu."Aaaaaa!" Bukan hampir, aku memang sudah berteriak.Disana, berbaring seseorang dengan kaki yang patah dan mata yang ditutup perban. YaAllah, apa yang telah Predi perbuat pada Abay? Satu lagi, selain kaki dan mata yang dibaluti perban, Abay juga botak.Aku tidak bisa menahan tangisanku, sa
Aku dan Predi masih membisu bahkan saat kami sudah keluar dari rumah sakit dan sudah sampai didalam mobil. Sesekali Predi sempat melirik ku, tapi aku bepura-pura tidak melihatnya saja. Aku masih belum bisa berdamai dengan hatiku yang panas ini. Perasaanku masih berkecamuk. Campuran antara rindu, marah, khawatir sekaligus kecewa.Dulu aku pernah berpikir bahwa aku akan baik-baik saja dengan cinta. Dulu aku berpikir bahwa hidupku akan selamanya bahagia dengan Abay meski kami saling tidak mengakui perasaan masing-masing.Tidak sampai dengan datangnya Tasya. Tasya seperti jin yang datang tiba-tiba kedalam hidupku dan menghancurkannya.Sekarang, perasaan ingin menjambak keras rambut Tasya mulai keluar.Kalau sudah seperti ini, hanya kata 'andai saja' yang mampu membuatku senang.Andai saja aku kayaAndai saja aku cantikAndai saja Abay ditakdirkan untuk kuAndai saja aku bisa bahagia bersamanya.Hush, sudahlah.A
Saat pagi sudah menyingsing dan Adzan shubuh sudah dikumandangkan, ibu sudah beres-beres rumah dan masak sepagi ini.Ibu sengaja beres-beres rumah lebih awal karena jika pekerjaan rumah sudah selesai ibu tinggal menungguku berangkat sekolah dan ia akan pergi ke rumah Abay.Semalaman aku berpikir keras apa reaksi Abay terhadap kedatangan ibu.Aku harap, Abay tidak mengacuhkan ibu sebagaimana dia mengacuhkanku. Aku berdo'a untuk kedewasaan Abay saat ini.Urusanku dengannya biarlah menjadi urusan kami berdua. Jangan sampai ibu tahu, jangan tambahkan lagi hati yang akan tersakiti.Aku keluar kamar dan melihat bagaimana senang dan antusiasnya ibu saat ia sedang bersiap-siap hendak pergi ke rumah Abay.Ibu tampak senang padahal ia adalah seorang pembantu yang kalau kata orang-orang pembantu adalah kerjaan rendahan yang dimana kerjanya mengikuti ujung jari telunjuk orang.Tapi bagi ibu dirinya lebih dari seorang pembantu. D
Aku dan Predi sudah sampai disekolah. Tidak ada obrolan lain lagi diantara kami. Yang terakhir adalah saat Predi mengatakan bahwa ia akan mulai memanggilku Debi mulai hari ini.Aku sedikit deg-degan dan gugup oleh karena hal tersebut. Bagaimana rasanya dipanggil Debi oleh orang lain. Pasti akan asing rasanya.Mobil Predi sudah terparkir ditempat yang sama saat kemarin dia parkir disini. Bedanya, didepan mobil Predi sudah terdapat mobil Abay. Mobil Abay yang biasanya dipakai untuk menjemputku.Kulirik arloji hitam yang merupakan pemberian Abay dihari ulang tahunku. Arlojiku itu menunjukan pukul 6:15. Bisa terbilang masih sangat pagi.Aku dan Predi memang sengaja datang pagi sekali karena ada yang harus Predi kerjakan selaku guru magang yang baru.Lalu ada apa dengan Abay? Dulu, kami paling pagi kesekolah jam 6:30. Tapi dia bahkan sudah mendahuluiku pagi ini."Mau diantar ke kelas gak?" Tanya Predi saat kami sudah turun dari mobil.
Setelah pertikaian ku dengan Abay selesai, aku memasuki kelas dengan langkah terhuyung dan muka yang murung bahkan lebih murung dibandingkan hari kemarin, hari saat Abay tidak ada dan sedang bersama Tasya."Abay kepergok lagi grepe sama Tasya yah Ley?"Itu Ina. Dia berdiri diambang pintu sambil memegangi kipas manual yang katanya dibeli di Jepang saat dia masih dalam kandungan. Pertanyaan dan perkataan Ina memang selalu nyelekit.Aku menggeleng pelan tanda menyangkal bahwa yang Ina katakan tidak lah benar."Terus?"Sepertinya Ina kepo alias ingin tahu soal urusan Abay ini. Aku mulai memutar otak ingin mencari alasan yang bagus untuk diberikan kepada Ina. Aku tidak mau Ina mengetahui kejadian aslinya karena itu menyangkut Predi. Predi masih baru disekolah ini, jangan sampai dia kena hukuman akibat skandal yang beredar."Kepo lo!" Ujar seseorang yang berada dibelakangku.Aku menarik nafas lega karena tidak jadi harus berboho
Meski yang kumakan dikantin tadi adalah gehu pedas dan hangat buatan bi Susum tapi makan ku tidak lahap. Padahal perutku sangat lapar dan mulutku meminta makan. Tapi hatiku enggan untuk mendengarkan. Hatiku justru malah gusar, tidak dapat menikmati enaknya olahan tangan bi Susum ini.Alhasil, jika biasanya aku habis gehu 3 tapi tadi 1 saja masih tersisa terigu-terigu krispy nya.Alasan tidak enak nya makan ku apalagi kalau bukan memikirkan Abay.Aku sampai tidak enak dengan Predi. Aku merasa bahwa aku telah mengacuhkannya tadi. Ragaku ada bersama nya tapi jiwaku entah dimana. Apa yang Predi katakan tidak dapat kutangkap jelas karena aku sibuk melamun. Bahkan tak jarang Predi memanggil-manggil namaku dan menepuk bahuku untuk menyadarkanku.Istirahat telah usai. Aku tidak tahu Abay dimana. Dikantin tadi aku tidak melihatnya. Apa jangan-jangan dia tidak makan? Ah sudahlah tidak usah dipikirkan.Ina pernah berkata bahwa Abay sudah besar dan ia bi
Seperti biasanya, aku pulang dengan Predi mengenakan mobil hitam nya yang kupredisikan selama seminggu ini belum dicuci. Atau mungkin lebih dari seminggu, ban-bannya sudah seperti sehabis dibawa balap di adrenalin lapangan bola yang baru surut dari banjir bandang.Predi masih dalam keadaan seperti biasanya, yakni mengemudi dengan senyum yang merekah."Tadi Esa ngapain?"Entah kenapa ia tiba-tiba jadi menanyakan perihal Abay."Ngajakin pulang bareng." Ujarku."Oh, terus gak kamu terima?"Aku mengerutkan kening tanda tak mengerti pertanyaannya ini. Kalau aku terima artinya saat ini pasti aku sudah pulang bersama Abay dan tidak bersamanya."Nggak." Aku menjawab sangat singkat. Lagipula mau apa lagi yang harus aku katakan."Kenapa?""Kan aku pulang bareng kamu."Senyum Predi semakin mengembang kala aku berkata begitu. Bukan maksud ku kepedean, tapi aku bisa menyadarinya dari garis senyum di pinggir b
Aku kembali pulang ke rumah dengan diantar Max. Ia benar-benar baik. Baik di depan Ibu nya maupun di belakanh Ibu nya, ia selalu murah senyum dan seseoali mengajak ku berbicara, tidak ada kecanggungan diantara kami berdua."Gak usah repot-reoit nganterin, gue bisa pulang naik ojek." Aku menghentikan langkahku sesaat untuk sekedar menolak tawaran Max, aku hanya takut merepotkan dirinya."Gakpapa. Gue yang bawa lo kesini maka gue juga yang harus bawa lo pulang.""Gakpapa kok. Mungkin lo mau nemenin tante Puji aja?" Tanyaku padanya."Gakpapa, Mamah lagi istirahat. Gue mau nganterin lo aja."Sebuah keputusan yang tidak bagus untuk dibantah. Karena itu akhirnya aku menyetujui usulnya untuk mengantarkanku pulang karena ia sendiri yang mau dan merasa tidak direpotkan.Kami tidak banyak bicara sepanjang perjalanan, hanya sesekali saja Max mengajak ku berbicara."Leyka?" Tanyanya dengan setengah berteriak."Ya?' Jawabku."K
"Bay?""Hmm?""Cuek gitu.""Masalah?""Ya nggak sih."Dari tadi aku terus memperhatikan Abay makan tapi ia sama sekali tidak memperhatikanku hingga aku jera sendiri."Gue cuman mau ngomong nanti siang jangan ke rumah."Setelah berkata begitu, barulah ia menghadapku dan menghentikan aktivitasnya memakan gehu."Kenapa?" Tanyanya dengan alis yang mulai meruncing."Gue mau pergi sama Max.""Kemana?""Rumah sakit.""Oh."Tidak hanya kata saja yang dingin, ia juga ternyata enyah dari hadapanku beserta mangkok bakso yang menjadi menu makan siangnya.Sejauh ini aku masih belum nengerti pada tingkah aneh mereka berdua. Maksudku Predi dan Abay.Disaat aku sedang fokus memikirkan apa yang menimpa Abay dan Predi, orang yang menurut Ina penyebab kebakaran ini terjadi datang. Ya, dia adalah Max.Tanpa izin lagi, dia duduk disampingku dengan membawa dua mangkok mie.Kini sem
"Wihh pake parfum banyak banget gitu." Ibu datang dan langsung mengkritik ku yang memang menggunakan parfum hampir setengah botol."Iya hehe." Aku tidak ada kata lain selain cengengsan."Yang pria kemarin itu siapa Ley?"Aku menghentikan aktivitas menata diriku dan mencoba mengingat siapa pria yang Ibu maksud."Ohh yang itu, Leyka ingat. Namanya Max bu, temen baru Leyka."Aku dan Max sudah berjanji tidak akan memberitahukan pasal hubungan palsu kami pada Ibu. Bukan apa-apa, aku takut Ibu tidak setuju kalau kami berbohong mengenai hubungan kami, sementara kalau aku mengatakan bahwa aku pacar nyata Max aku takut Ibu malah menyuruh Abay untuk menyelidiki Max lebih jauh karena kami belum saling mengenal dalam jangka waktu lama.Maka dari itu ada baiknya jika aku hanya diam saja dan mengatakan bahwa Max hanya sekedar berteman denganku. Tidak lebih dan mungkin tidak akan pernah lebih."Ohh. Anak nya sopan yah, Ibu suka."Prasangka ku
Pagi-pagi sekali Ibu sudah membangunkanku lebih pagi dari biasanya. Kulirik jam dinding dimana waktu masih menunjukan jam 7 pagi hari. Ini asalah hari sabtu atau tepatnya hari libur. Setelah selewai shalat shubuh tadi, aku kembali merebahkan diri diatas kasur dengan tubuh dirungkupi selimut tebal yang membantuku memberikan kehangatan."Ada apa sih, Bu?" Tanyaku dengan mata yang masih tertutup dan nyawa setengah sadar."Bangun dulu tuh ada temen nya."Bukannya bangun, aku semakin merapatkan tubuhku dan mempererat pelukanku pada guling kala mendengar nama 'teman' disebut. Teman mana pula yang datang sepagi ini di hari libur."Paling Abay kan? Suruh pulang aja bu, semalam Leyka gadang masih mau tidur.""Oh yaudah."Ibu pergi setelah gagal membangunkanku, selimut yang tadi sempat tersibak kembali kutarik untuk melingdungi diriku dari dinginnya udara pagi.Baru juga aku kembali terlelap dalam mimpi, suara Ibu sudah terdengar ny
"Lo kenapa sih Deb?"Abay menghentikan langkahku ketika kami hendak pergi ke kantin."Apanya yang kenapa?" Tanyaku dengan kening yang mulai mengerut."Kayak orang lagi banyak masalah tapi berusaha disembunyiin gitu."Aku menatap Abay tidak percaya, mataku bulat sempurna. Aku tidak menyangka bahwa Abay ternyata mengetahui wajah asli dibalik topeng yang sedang ku pakai ini.Aku salah, aku salah ketika aku berpikir bahwa berpura-pura bahagia itu ternyata mudah. Ternyata salah, salah besar dan itu sangat susah.Tidak perduli seberapa kencang aku tertawa, selebar apa aku tersenyum, sesibuk apa pekerjaan yang kulakukan masalah tetaplah masalah yang senantiasa muncul kapan saja dan dimana saja lalu sulit untuk disembunyikan begitu saja."Whoa ya enggak dong! Gak bisa bedain orang yang lagi bahagia sama orang yang lagi sedih?" Meski sudah ketahuan, aku masih berusaha untuk terus beralibi."Bisa. Bisa banget bedain orang yang senyumnya
"Hallo guys."Impianku mendapatkan pria dan cinta yang kuinginkan tidak terwujud setidaknya aku tetap bahagia.Aku menghampiri Ina, Daffa, Abay yang saat ini sedang duduk di satu kursi di kantin sana."Heboh banget lu, pake guys guy segalanya." Tukas Ina, ia memang sewot kalau aku sewot."Woiya dong. Kalau orang lagi happy kan heboh."ujarku.Tanpa dipersilahkan, aku langsung duduk dengan begitu anggun dan mengibaskan rambut ku sehingga terbang ke belakang."Tuh rambut lu terbang, awas gak balik lagi." Ujar Daffa, sama nyinyirnya dengan Ina."Iya dong. Rambut gue terbang gara-gara hati gue terbang." Ujar ku sambil cengengesan dan tersenyum sangat lebar.Bagaimana? Langkah awal ku berpura-pura hebat kan? Orang mana yang saat ini tahu bahwa aku sedang sedih? Tidak ada kan?"Bu Susum, gehu 10, nasi goreng satu piring pake acar 3 kantong terus risol 10 sambal nya jangan lupa sesendok ya terus bakso 3!"Aku memesa
Pertanyaan Abay barusan seperti mesin waktu yang dapat menghentikan waktu untuk sesaat.Kami diam mematung. Ada yang melihat Abay, melihatku dan juga melihat Predi.Aku sendiri tidak habis pikir. Maksudku, jika memang benar ciri-ciri nya mirip denganku, haruskah Abay menanyakannya sekarang? Kita memiliki waktu yang banyak untuk bersama saat di luar sekolah nanti. Abay bisa mengatakan wakru twrsebut.Kecuali ada sesuatu yang ia maksud dari pertanyaannya itu."Kenapa diam? Pertanyaannya cukup sulit ya?" Tanya Abay lagi dengan bertambah lantang."Ekhem. Maksud Anda Debi yang mana? Siapa? Ada begitu banyak nama Debi di muka bumi ini." Tanya Predi."Nama lengkapnya adalah Leyka Mutiara Anatasya, nama panggilannya Debi. Gadis 17 tahun yang kini sedang duduk di samping saya."Mata Abay tertuju padaku, begitupun mataku. Aku masih menatapnya tidak percaya."Oh itu haha. Bagaimana Anda bisa mengira itu dia?" Tanya Predi sambil sala
"Debi?!" Tanpa sadar, ternyata Abay sudah memanggilku sedari tadi. Aku terlalu sibuk melamun hingga tidak sadar akan seruannya."Eh iya?" Ujarku gelagapan."Kenapa sih? Kok ngelamun mulu kayak nya?"Aku tersenyum, lalu dengan lantang aku nengatakan."Bay, kita udahan aja." Ujarku seperti sedang memutuskan seorang pacar."Udahan apa nya? Kan belum nyampe. Lo kebelet, terus mau berhenti di jalan?" Aku tahu bahwa Abay akan salah tangkap."Eh enggak deh."Tidak. Meski aku akan menyudahi oengorbanan dan perjuangan ku sebagai seseorang yang akan membahagiakan Abay, aku tidak boleh memberitahu nya.Sebagaimana keadaan yang memberitahu ku, aku juga akan membiarkan keadaan yang memberitahu perubahan ku.Perlahan tapi pasti, Abay pasti akan menyadari perubahan yang terjadi pada diriku. Perubahan diriku yang mulai menjauhinya.Meski aku akan berhenti mencintainya, bukan berarti aku bisa menyakitinya. Dengan menga
Aku menata diriku, mengenakan baju seragam sekolah dan memasukan buku-buku yang akan digunakan untuk hari ini. Sebelum beranjak pergi, aku berjanji pada diriku sendiri bahwa hari ini aku harus bahagia. Tidak boleh ada kesedihan apapun, tidak boleh menangis. Tidak boleh terluka karena Abay. Aku bisa mendapatkan kebahagiaan yang tidak hanya bisa diberikan oleh pria. Lewat teman, aku juga bisa bahagia. *** "Pagi Deb." Pagi-pagi sekali Abay sudah datang menjemputku. Aku tidak menyangka bahwa dirinya yang akan datang, kupikir akan Predi yang datang. Tapi tidak masalah. Siapa yang datang lebih awal, maka ia yang pergi denganku. Yang terpenting aku bisa sampai disekolah. "Bareng gue yuk." Ajaknya padaku. Aku mengangguk, tidak ingin ada penolakan pagi ini. Abay rupanya belum selesai dengan sepeda motornya, ia masih menggunakan itu. Mungkin dirinya nyaman. "Deb?" "Hmm?" "Maaf." Gumamny