“Daddy?” Star memanggil sambil mengetuk pintu kamar mandi. Tidak ada sahutan dari Harvie, membuat Star menggigit bibir bawahnya dengan perasaan bersalah. Apa pun yang ingin dilakukan Harvie tadi gagal total Bagaimana bisa berhasil kalau Star terlalu tegang. Saking tegangnya, dia memejamkan mata terlalu rapat dan mengatupkan kedua tangan di depan dada. Persis seperti orang yang sedang berdoa dengan serius. Membuat ciuman panas membara Harvie terhenti karena merasa Star terlalu tegang. Star bahkan bisa mendengar suara Harvie yang susah payah menahan tawa ketika matanya masih terpejam rapat. Setelah itu Harvie hanya tersenyum dan minta izin untuk pergi ke kamar mandi. Meninggalkan Star yang merasa sangat malu setengah mati karena kelakuannya yang bodoh itu. “Dasar bodoh.” Star bergumam sambil mengetuk keningnya dengan keras. “Kalau kau setegang itu, bagaimana bisa membantu Daddy? Sekarang Daddy jadi kesulitan gara-gara kamu Star.” Star kembali mengetuk keningnya beberapa kali. T
Pagi-pagi sekali, Brian sudah melajukan mobil pribadinya ke kediaman Carlton. Tujuannya hanya satu, mengambilkan pakaian ganti untuk Harvie dan Star. Tapi siapa sangka, Brian langsung disambut oleh teriakan marah Peter. "Di mana Harvie?" tanya Peter dengan wajah merah akibat marah. "Masih di hotel, Pak." Brian bingung melihat situasi di rumah ini. Belum jam enam pagi, tapi sudah kacau. "Hotel katamu? Kau tahu dia di hotel dengan perempuan lain dan kau diam saja?" Peter makin marah. "Maksudnya bagaimana ya, Pak?" tanya Brian makin bingung saja. "Apa kau tidak membaca berita yang muncul dari semalam?" Pertanyaan Peter tentu membuat Brian bingung, tapi lelaki itu memang profesional. Brian segera mengambil ponselnya dan membuka chat yang tidak sempat dibacanya kemarin malam dari tim PR. 'Setelah lamaran yang romantis, Harvie Carlton mabuk dan menghabiskan malam dengan wanita lain.' Brian menganga membaca headline berita yang muncul di berbagai media sosial itu. Belum lagi de
Kamar president suite yang dipesan Brian untuk Harvie terletak tidak jauh dari lift. Tidak heran jika teriakan marah Harvie mampu terdengar oleh Brian ketika dia melangkah keluar dari lift. Apalagi karena pintu kamar itu terbuka lebar. Tanpa perlu diperintah lagi, Brian dan Irina berlari ke arah kamar atasan mereka. Dan betapa terkejutnya dua orang asisten itu ketika melihat segerombolan wartawan menyerbu kamar tuanya. “Usir mereka semua dari sini.” Brian memerintahkan dua orang pengawal yang dibawanya untuk berjaga di koridor. Walau sudah memberi perintah, Brian dan Irina masih harus turun tangan langsung. Biar bagaimanapun para wartawan itu cukup banyak, hampir selusin. Brian kini menyesal tidak membawa semua pengawal yang dibawanya naik ke kamar. “Bagaimana bisa ada wartawan di president suite?” teriak Harvie tidak sabaran setelah berpakaian rapi. “Maaf, Pak. Saya kurang hati-hati, tapi ini mungkin berkaitan dengan berita yang muncul dari semalam.” Brian meyerahkan tabletnya p
Helena menyipitkan mata begitu melihat anak dan calon menantunya tiba di rumah setelah konferensi pers romantis tadi. Dua orang itu bergandengan tangan, tapi Star masih terlihat malu-malu setelah dicium di depan umum. Belum lagi foto yang itu yang diposting di berbagai media sosial dengan caption romantis. “Apa yang kalian lakukan?” tanya Helena dengan ekspresi wajah menuduh. Lebih tepatnya menuduh Harvie karena Helena hanya menatap putranya. “Mama gak lihat konferensi persnya? Harvie sudah menjelaskan semuanya di sana,” jawab Harvie santai saja sambil menggiring Star ke arah tangga.Niatnya sih membawa Star ke kamar dan mereka bisa saling bermanja-manja ria di sana, tapi tentu saja Helena tidak mengizinkan. Helena menyerang Harvie dengan membabi buta, memukul anaknya dengan sekuat tenaga. “Kamu pikir Mama percaya begitu saja? Setelah apa yang terjadi di akhir konferensi pers itu?” Helena terdengar geram dan tak berhenti memukuli Harvie. “Auw, Ma. Aduh. Kok aku dipukuli sih? Harvi
"Apa yang membuat Nona terus-terusan memegang bibir anda?" Karin yang baru masuk membawa keranjang laundry bertanya. "Oh, Karin. Tidak ada apa-apa kok." Star segera menurunkan tangannya dan mencari kegiatan lain. Namun, itu hanya bertahan sebentar saja. Belum juga semenit Star memainkan ponsel, dirinya sudah gelisah. Dia menggigit bibir bawahnya dan kembali memegang bibirnya dengan gelisah, tanpa disadarinya. "Masih memikirkan yang kemarin?" Karin bertanya setelah keranjang laundry diambil alih oleh Irina, yang segera pergi ke walk in closet untuk menata pakaian Star yang baru selesai disetrika. "Hah?" Star yang baru menyadari kelakuannya segera menjauhkan tangannya dari wajah. "Aku tidak memikirkannya sama sekali kok," kilah Star cepat. "Kalau tidak dipikirkan, kenapa bibirnya dipegangi terus?" "Aku tidak melakukan itu Karin. Perasaanmu saja kali," Star masih belum mau mengakui. Namun, menit berikutnya Star mengumpat pelan ketika lagi-lagi Karin menegurnya dengan
“Selamat pagi, Tante.” Marcus menyapa Helena yang mengawasi koki di dapur. “Selamat pagi juga Mark. Mau main sama Harvie?” tanya Helena biasa saja. Tidak mengherankan melihat Marcus di rumah ini pada akhir pekan. Dia dan Harvie memang biasa pergi bermain golf bersama sedari pagi, jika tidak ada kegiatan lain. “Iya, Tante. Harvie sudah bangun? Soalnya kami tidak janjian.” “Wah, Harvie belum bangun sih. Soalnya belakangan ini dia sibuk banget.” Kemarin Harvie memang baru naik ke kamar agak malam. Dia mengurus dan memeriksa beberapa berkas terkait persiapan pernikahan. Harvie juga memilih lembur agar pekerjaannya tidak terlalu terganggu dengan persiapan pernikahan. “Oh, ya? Perasaan kantor lagi gak terlalu sibuk deh. Apa Harvie sudah mulai mempersiapkan pernikahan?” Marcus bertanya dengan perasaan was-was. Dia belum menemukan ide lain untuk Harvie dan tidak ingin juga kecolongan. “Kalau untuk itu Tante sih kurang tahu ya. Harvie sama Star belum bilang-bilang.” Helena mengikuti pe
"Begini?" tanya Star pada Harvie. "Seperti ini, Sayang." Harvie mengambil posisi di belakang Star untuk memperbaiki postur tubuh gadis itu dan membantunya memukul bola golf yang kecil dengan benar. Star mungkin pintar secara akademik, tapi untuk urusan seperti ini dia masih butuh banyak belajar. Star sudah berhasil memukul bolanya sedikit dan langsung kegirangan. Seperti anak kecil yang baru saja dibelikan mainan baru oleh orang tuanya. Star memang bisa berubah jadi anak kecil jika berada disekitar Harvie. "Astaga. Nyesal juga aku ikut ke sini. Benar-benar bikin sakit mata." Peter berdecak melihat tingkah laku anak dan menantunya itu. "Mesra banget ya, Om?" tanya Marcus berusaha untuk tenang. Dia juga merasa menyesal mengajak Harvie main golf hari ini. Lebih baik Marcus di rumah saja memikirkan rencana lain untuk merebut Star. "Bukan mesra lagi iu namanya, tapi bucin. Rasanya dulu Om gak sebucin itu deh, dari mana Harvie dapat gen bucin ya?" Peter tertawa dengan candaanya sendi
Star sudah ngotot mau pulang ke rumah karena malas melihat para caddy centil itu. Tapi begitu sampai di rumah, mood Star langsung jatuh begitu melihat siapa yang sedang ngobrol dengan Helena. "Stat udah pulang, Nak? Ini adiknya Irina datang loh." Helena langsung berdiri menyambut anak mantunya. "Halo." Irish menyapa Star dengan santainya. "Ngapain kamu ke sini?" tanya Star sedikit kesal. Teringat dengan kelakuan Irish waktu itu. Waktu Star diminta tinggal di rumah keluarga Carlton, dia memang tidak membawa Irish. Toh dia sendiri yang tidak mau bekerja lagi padanya. Jadi Star meninggalkan Irish di apartemen. . Itupun sudah syukur diberi tempat tinggal. Kalau Irish bukan anak Karin dan adik Irina, sudah pasti anak itu akan ditendang Star sejauh mungkin. "Katanya Irish ingin kembali bekerja padamu, makanya dia datang ke sini. Jadi Mama sekalian saja tanya-tanya, apa Irish mau sekalian bantu-bantu di rumah ini seperti Karin dan Irina." "Hah?" seru kaget Star mendengar p
Tidak ada satu manusia pun yang tahu apa yang direncanakan oleh Tuhan. Semisal tentang jangka waktu hidup seorang manusia. Setelah kematian Ronald Arwen yang sudah diprediksi. Berita duka yang lain datang dua tahun kemudian. Secara tiba-tiba Peter Carlton meninggal dalam kecelakaan kerja, saat sedang meninjau lokasi pembangunan. Tepat di saat cucu keempatnya lahir. Anak itu kemudian diberi nama Peter Carlton Jr. Ada juga kejadian tak terduga lain ditahun yang sama. Ketika Marvel Leonard Carlton masuk rumah sakit karena ada masalah pada jantungnya. Lubang di jantung yang dulu membuatnya harus masuk NICU, nyatanya tidak berhasil menutup sempurna. Hal itu baru diketahui ketika berumur tujuh tahun. Untungnya, tidak ada yang membuat nyawanya terancam. Marvel hanya perlu operasi untuk menyumbat lubang tersebut, setelahnya Marvel bisa hidup normal. Hal lain yang perlu dirawat dari Marel hanya matanya. Dari usia enam tahun dia sudah harus menggunakan kacamata tebal. Itu terjadi bukan
Marvel menunduk dengan wajah terpesona. Matanya dan bibirnya membuka dengan lucunya, saking terpesonanya dia pada adik bayinya yang baru lahir. Marvel tiap hari bertemu dengan adiknya, tapi tetap saja berekspresi seperti itu. "Eh, Marvel. Pipinya adiknya jangan ditusuk-tusuk gitu dong, Nak." Star mengambil tangan anaknya dengan lembut, agar tidak lagi menjahili si kecil July. Dilarang menggunakan jarinya, kini Marvel kembali mengganggu adiknya dengan cara lain. Kali ini si kecil marvel mengecup pipi July dengan gemas. "Astaga, kecil-kecil sudah ada bibit playboynya." Gumaman asal Helena membuat semua orang tertawa. Helena kembali mengadakan acara syukuran kecil-kecilan untuk cucu ketiganya yang cantik, tepat sebulan setelah kelahirannya. Seperti biasa, bukan hanya Carlton dan Arwen saja yang datang. Keluarga besar Langton juga datang. "Ma, tolong jangan didoaiin yang aneh-aneh dong." Harvie langsung protes mendengar Helena berkata seperti itu. Harvie mengakui kalau dulu dia m
"Mari kita dengar sambutan dari siswa paling berprestasi kita." Seseorang diatas podium mempersilakan Star bergabung. Star berdiri dari tempatnya duduk di barisan paing depan. Dia tersenyum lebar dan berjalan pelan ke atas podium dengan perutnya yang sudah mulai membuncit. "Pertama-tama saya ingin mengucapkan terima kasih pada Tuhan Yang Maha Esa." Star memulai pidatonya dengan ucapan terima kasih pada berbagai pihak. "Terakhir terima kasih untuk keluargaku. Papa, Mama, adik-adik, Mertua, serta suami dan anak-anakku." Star tersenyum penuh haru ke arah keluarganya duduk. Hanya ada Harvie dan kedua orang tua Star di sana, tapi itu saja sudah lebih dari cukup. Lagi pula akan sangat merepotkan kalau anak-anak juga ikut ke acara wisudanya, jadi Helena dan Peter yang mendapat jatah menjaga anak-anak. "Mungkin banyak yang bingung bagaimana saya membagi waktu jadi ibu rumah tangga dan kuliah, tapi ... Saya bisa jadi seperti ini karena keluarga saya. Karena punya suami yang mendukung ser
"Star ada diatas main sama anak-anak." Hera memberitahu ketika melihat Harvie. "Thank you, Ma." Harvie segera berlari ke lantai atas, tempat anak-anak biasa bermain. Ini sudah hari ketiga sejak Star menginap di rumah orang tuanya dan dia sudah amat sangat rindu dengan keluarga kecilnya. "Star?" Harvie membuka pintu ruang bermain dengan pelan dan menemukan kalau semua penghuninya tengah tertidur di atas karpet tebal. Star tertidur dengan laptop yang terbuka, dikelilingi oleh Yvonne, Marvel, Amora dan Benedict. Pemandangan yang sangat manis dan Harvie sungguh berharap bisa punya keluarga besar seperti ini. Tidak ingin mengganggu istirahat mereka, Harvie mengendap-ngendap untuk mematikan laptop Star. Dan dia mulai memindahkan satu persatu manusia itu ke kamar masing-masing. *** "Sudah bangun?" Star mengerjap perlahan mendengar suara Harvie yang sudah dia rindukan. Star pikir dia masih bermimpi dan mengeratkan pelukannnya pada Harvie. "Masih ngantuk ya?" Harvie bertanya de
Star mengetukkan kaki ke teras rumah dengan wajah amat kesal. Irina yang berdiri di sebelahnya dengan memegang setumpuk kertas, tidak berani menatap bosnya itu. "Daddy ke mana sih?" tanya Star dengan ketus. "Biar saya teleponkan." Irina segera bergerak cepat mengambil ponselnya dan menyerahkannya pada Star untuk bicara. "Daddy tahu sudah berapa lama aku nungguin?" tanya Star dengan luar biasa ketusnya. "Maaf, Sayang. Rapatnya selesai lebih lama dar ..." "I don't care. Kan aku sudah bilang berhenti kerja dan suruh Brian yang urus semuanya. Susah banget ya gak kerja selama beberapa bulan?" "Gak bisa gitu, Sayang. Soalnya ini proyek be ...." "Lebih penting proyek atau anakmu? Datang dalam lima menit atau aku pulang ke rumah Mama." Star mematikan sambungan secara sepihak. Setelah penolakan yang dilakukan Star tempo hari, dia akhirnya melakukan test kehamilan karena merasa khawatir. Tentu saja hasilnya positif, dan membuat Star mengamuk. Sekali lagi, Star bukannya tidak mau punya
"Mami. Mami." Marvel berlari-lari untuk menghampiri ibunya yang sedang mengerjakan tugas akhir kuliahnya. Star yang sedang sakit kepala pun refleks tersenyum melihat bocah empat tahun itu. "Kenapa sayang?" Star mengangkat Marvel dan mendudukkan anak yang kini sudah membulat itu di pangkuannya. "Vel mo ade." Usia Marvel sudah empat tahun lebih, tapi belum bisa bicara lancar seperti Yvonne dulu. Dia memang terlambat mulai bicara, jadi kosakatanya masih minim. "Marvel mau adek?" tanya Star dengan ekspresi sedikit horor. "Maksudnya mau punya adek?" Ekspresi Star terlihat makin horor saja ketika anak bungsunya ini mengangguk. Kenapa juga si Marvel bisa tiba-tiba minta adek? "Kenapa Marvel mau minta adek?" tanya Star penasaran. "Lion punya ade," jawab Marvel dengan senyum mengembang. Sepertinya pria kecil Star itu mulai memikirkan indahnya punya adik lagi. “Rion?” Star mengumpat dalam hati. Lain kali Star tidak akan membiarkan Marvel main dengan Rion. “Kakak Von uga.” "Ka
“DONI.” Doni menggeram kesal mendengar suara ayahnya yang menggelegar. Dengan sangat terpaksa, dia meninggalkan permainan game onlinenya dan menghampiri sang ayah. “Kamu ini sebenranya ngapain sih?” tanya sang ayah dengan wajah terlihat sedikit kesal. “Maksud Ayah apaan sih?” tanya Doni bingung. Tapi tiba-tiba saja ayahnya tersenyum. “Kita sekeluarga diundang untuk grand opening mal. Kerjasama Olympus Grup dan Constate Enterprise.” Ayah Doni berteriak riang sambil memeluk anaknya. Bagi para pengusaha, diundang oleh perusahaan kondang saja merupakan suatu kebanggaan. Apalagi yang mengundang ini merupakan perusahaan kelas dunia. “Lalu? Hubungannya denganku apa?” tanya Doni makin bingung. “Katanya pimpinan Constate dan anak tertua dari Olympus Grup mengenalmu secara pribadi, makanya mereka mau mengundang. Ini kesempatan yang sangat baik Doni.” “Apanya?” tanya Doni makin bingung. “Kamu ini gimana sih? Kuliah bisnis, tapi tidak tahu apa-apa soal bisnis. Katanya pemimpin Olympus,
Waktu bergulir dengan cepat. Tidak terasa ujian semester pertama sudah dekat dan Star mah didera banyak masalah yang membuatnya tidak fokus. Marvel terserang flu berat dan menulari Yvonne. Karena Marvel punya masalah pada jantungnya, dia terpaksa harus diinapkan di rumah sakit. Lalu karena Yvonne juga merengek ingin menginap di rumah sakit, dia juga terpaksa dirawat. Kata dokter sih tidak ada masalah karena Star dan Harvie membawa mereka ke rumah sakit tepat waktu, tapi tetap saja Star khawatir dan mempengaruhi fokusnya untuk kuliah. Belum lagi gosip-gosip yang mulai bermunculan. Sama seperti dulu, banyak yang menggosipkannya sebagai wanita panggilan, hamil diluar nikah, peliharaan om-om dan lain sebagainya. Kehadiran Yvonne dan Marvel yang selalu datang menjemput jadi pemicunya. Bukan berarti Star menyalahkan anak-anak. Dia dulu juga sudah digosipkan seperti itu dan kebetulan saja kemunculan anak-anak seolah jadi pembenar gosip itu. Selain itu, Doni yang sudah lama tidak me
"Kok sedari tadi kamu cemberut sih?" Harvie yang baru pulang langsung mengecup puncak kepala Star yang masih menemani anak-anak main. Dua anak kecil itu juga ikut-ikutan minta dikecup oleh ayah mereka. Hanya dikecup, tidak di peluk apalagi digendong karena Harvie belum mandi. "Tante Nadine udah mau balik ke Inggris." Star menjawab dengan jujur. "Terus?" "Terus aku jadi gak punya teman ngobrol seasik dia lagi. Jadinya kalau lagi pusing urusin anak-anak, gak ada teman curhat." Bibir Star maju sedikit, membuat wajahnya makin cemberut saja. "Kalau cuma curhat kan ada banyak orang yang bisa ditemani curhat. Lagi pula kan masih bisa saling telepon atau chat. Beda waktu Indonesia - Inggris kan tidak terlalu jauh." "Oh, iya juga ya. Baru sadar." Cengiran Star membuat Harvie menggeleng pelan. "Tapi kalau kamu memang butuh pengalihan ketika merasa lelah dengan anak-anak, Daddy punya ide yang bagus untuk itu." Harvie tersenyum melihat wajah bingung Star yang selalu membuatnya gemas