Duh, Valery.🤬
"Kau bilang apa?" Star menatap Valery dengan tatapan tajam. Dirinya sudah tidak peduli lagi dengan orang-orang yang memandangi mereka sedari tadi. Yang kini ada di kepala Star hanyalah membuat Valery jera. "Kurasa ada perempuan tidak tahu diri di sini," ucap Star dengan senyum miring menyeramkannya. "Gak salah? Bukannya kau yang gak tahu diri?" Valery balas bertanya. "Ngakunya anak orang kaya, tunangan sama orang kaya. Tapi pada kenyataannya jual diri di app sugar baby. Gak usah ngelak ya, aku punya bukti." Valery terlihat sangat jemawa saat ini. Sungguh Star ingin tertawa melihat sikap sombong Valery. Dia menghina orang yang jelas lebih tinggi darinya. Valery seperrinya tidak tahu kalau Star juga memegang rahasia besarnya. "Aku memberimu kesempatan ...." Star enggan bersikap sopan lagi pada Valery. "Kesempatan untuk meminta maaf. Jika kamu mau minta maaf dengan tulus, maka aku akan menyimpan rahasiamu dengan aman." Star tersenyum cukup menyeramkan pada Valery. Tapi buk
"Sejak kapan kamu punya cafe?" Star yang sedang berbaring di ranjang sambil bermain ponsel, menoleh ke arah pintu dan menemukan Harvie bersandar di kusen pintu. "Daddy baru pulang kantor?" tanya Star senang. Star segera berdiri menghampiri Harvie dengan senyum merekah. Belum juga sehari tidak bertemu, tapi Star sudah kangen setengah mati. Membuat Star langsung memeluk Harvie dengan erat. "Kamu belum jawab pertanyaanku, Star." Harvie memprotes, tapi tetap membalas pelukan Star sama eratnya. Bahkan Harvie sedikit membungkuk untuk mengecup puncak kepala Star. "Harus banget ya baru pulang langsung omongin itu?" tanya Star sedikit cemberut. "Daddy udah pulang dari tadi, bahkan sudah mandi. Jadi boleh lah ngobrol sekarang," kilah Harvie dengan senyum lebar. "Ck. Nyebelin." Star berdecak kesal, tapi tetap saja membiarkan Harvie menggiringnya masuk ke dalam kamar. Bahkan dengan isengnya, Star berpijak di kedua kaki Harvie dan membiarkan lelaki itu membawanya melangkah
"Maaf."Star dan Harvie menunduk dalam ketika mengucap satu kata itu. Tidak mau menatap wajah Helena yang menatap mereka berdua dengan tajam. Sepertinya Helena belum puas memukuli dan memarahi dua orang itu semalam. Saking geramnya Helena kemarin malam, dia menolak meninggalkan kamar Star. Lalu mulai kemarin malam, sampai h-1 pernikahan Helena memutuskan akan tidur di kamar Star. Dia tak akan membiarkan lagi Harvie mengambil keuntungan. "Pagi-pagi gini kok suram banget sih ini meja makan." Peter yang belum tahu apa-apa langsung memprotes. Sebenarnya Peter sendiri merasa kesal. Dia ditinggal tidur di kamar sendirian tanpa ada penjelasan apapun. Lalu ketika bergabung di meja makan, semua orang malah muram dan dia jadi orang yang paling tidak tahu apa-apa. "Coba kalau Papa tahu anaknya habis ngapain semalam, Papa gak akan ngomong setenang itu." Helena jelas sekali masih kesal dengan kelakuan Harvie. "Emang dia kenapa?" tanya Peter penasaran. "Mereka ini hampir aja berbuat ya
Star dan Harvie telah sampai di cafe yang jadi perbincangan dua hari ini. Sebelumnya, mereka juga sudah mencari tahu tempat ini dari internet. Jika dilihat-lihat dari fotonya, tempat itu memang bagus dan sesuai dengan selera Star. Tapi saat mereka melihatnya sendiri, tempat itu terlihat sangat cantik. "Tempat ini kamu banget," bisik Harvie sembari merangkul Star. Harvie memang belum lama berkenalan dengan Star, tapi dirinya tahu selera tunangannya itu. Dua rumah Star yang pernah dikunjunginya memiliki nuansa warna yang sama dengan cafe ini. Dominan putih. "Dilarang pegang-pegang," hardik Star jutek. Dia masih belum mau berbicara dengan Harvie, padahal lelaki itu udah minta maaf. "Jangan marah lagi dong, Babe. Daddy kan udah minta maaf," gumam Harvie menyesal. Star tidak menanggapi Harvie sama sekali. Gadis itu mulai melangkah mendekati pintu masuk cafe. "Oke deh. Karena sepertinya aku gak diinginkan di sini. Aku pulang saja deh." Harvie berucap, sambil menekan kunci otomatisnya
"Ini apa?" Pandangan Star tidak bisa lepas dari barang-barang yang dipegangnya sekarang. Star cukup tercengang melihat benda yang diberikan Adrian tadi, belum ditambah kata-katanya soal cafe itu. Seperti yang sudah diduga Star sebelumnya, amplop kecil itu berisi kunci dan kartu. Di kartunya tertera nama sebuah bank dan sebaris angka. Star menduga itu adalah kartu dan kunci safe deposit box. Entah kebetulan atau apa, lokasi banknya tidak jauh dari cafe. Karena itu Star meminta Harvie mengantarnya ke sana. Di sana Star menemukan cukup banyak hal. Ada sertifikat rumah, perhiasan dan buku tabungan serta atm. Yang paling mencengangkan adalah angka yang tercetak di buku itu. Terlalu banyak nol yang berjejer di sana. "Apa ini dari Papa atau Mama?" tanya Star pada Harvie yang masih serius menyetir. "Kamu ingin jawaban jujur atau tidak?" Harvie bertanya balik, tetap fokus pada jalanan. "Walau menyakitkan, tapi aku memilih jujur." Star menoleh pada Harvie dengan wajah serius yan
"Kok lesu, Star?" Helena menegur mantunya yang baru bergabung di meja makan. Hari ini tidak seperti biasanya, Star terlambat bangun. Atau lebih tepatnya dia tiak bisa tidur karena kata-kata Helena soal bulan madu. Yang dikatakan Helena itu tidak salah. Wajar jika pengantin baru pergi bulan madu untuk bermesraan. Tapi masalahnya, tiba-tiba Star merasa belum siap untuk melakukan 'itu'. Mengingat hal yang terjadi dua hari lalu saja masih memalukan bagi Star. Apalagi jika nanti saat bulan madu dia dan Harvie harus melakukannya lagi. Mengingatnya saja sudah membuat wajah Star merona. "Kamu sakit, Babe?" tanya Harvvie khawatir. Harvie bahkan menunduk mengikuti Star, hanya untuk melihat wajah kekasihnya. Tak lupa juga Harvie memeriksa suhu tubuh perempuan itu dengan cara menyentuh kening. Membuat jantung Star yang sedari tadi berulah, makin berdebar kencang. "'Gak demam. Tapi kok wajahmu merah ya?" Harvie perlu menyibak rambut Star yang menutupi wajah, untuk melihat dengan lebih jelas
"Star, Babe?" Harvie mengetuk pintu kamar Star pelan. "Sayang, buka pintunya dong. Ini sudah pagi loh. Gak mau kuliah?" Harvie mengetuk sekali lagi. Sudah jadi kebiasaan Harvie mengetuk pintu kamar Star setiap pagi. Tidak selalu Star yang membuka pintu, tapi setidaknya Harvie bisa tahu keadaan atau keberadaan Star. Tapi hari ini tidak ada yang membukakannya pintu. "Karin. Star mana ya?" Harvie sengaja mencari Karin hanya untuk menanyakan Star yang tidak terlihat di mana pun. "Nona Star baru saja berangkat, Tuan." "Berangkat? Berangkat ke kampus?" tanya Harvie heran. Ini belum jam tujuh pagi, tapi Star sudah berangkat? Bukannya ini sedikit aneh? Seingat Harvie kuliah jam pertama biasanya mulai jam sembilan pagi. "Katanya ada yang Nona mau urus bersama dengan teman-temannya." Karin memberi tahu. "Oh, oke." Harvie mengangguk mengerti. Karena Star sudah berangkat. Maka Harvie juga memutuskan untuk berangkat lebih pagi. Banyak hal yang harus diselesaikannya hari in
"Aku pengen kasih kalian sesuatu, tapi jangan ribut ya," bisik Star pada Hillary dan Tere. "Ini kan di perpustakaan, Star. Gimana bisa ribut?" Tere memutar bola matanya dengan gemas. Star tidak terlalu menanggapi dan hanya tersenyum saja sambil merogoh tasnya. Dia kemudian mengulurkan dua amplop berwarna abu-abu pada dua sahabatnya. "Apa maksudnya ini, Star?" Hillary melongo melihat amplop abu-abu yang baru diberikan sahabatnya itu. "Undangan pernikahan. Besok aku nikah," ucap Star semringah. "What?" "Sst." Star langsung berdesis mendengar pekikan dua orang itu. "Tadi kan aku udah bilang jangan ribut." "Kamu hamil?" tanya Tere dalam bisikan. "Gak lah. Ini emang sudah direncanakan sebelumnya kok. Dan ingat ya, jangan ribut. Soalnya ini acaranya cuma buat keluarga dan teman terdekat saja." "Terlalu mencurigakan," Hillary menyipit curiga pada Star. Baru Star akan protes ponselnya bergetar, menampilkan nama Harvie di sana. Melihatnya mata Star langsung membulat dan perlahan waja
Tidak ada satu manusia pun yang tahu apa yang direncanakan oleh Tuhan. Semisal tentang jangka waktu hidup seorang manusia. Setelah kematian Ronald Arwen yang sudah diprediksi. Berita duka yang lain datang dua tahun kemudian. Secara tiba-tiba Peter Carlton meninggal dalam kecelakaan kerja, saat sedang meninjau lokasi pembangunan. Tepat di saat cucu keempatnya lahir. Anak itu kemudian diberi nama Peter Carlton Jr. Ada juga kejadian tak terduga lain ditahun yang sama. Ketika Marvel Leonard Carlton masuk rumah sakit karena ada masalah pada jantungnya. Lubang di jantung yang dulu membuatnya harus masuk NICU, nyatanya tidak berhasil menutup sempurna. Hal itu baru diketahui ketika berumur tujuh tahun. Untungnya, tidak ada yang membuat nyawanya terancam. Marvel hanya perlu operasi untuk menyumbat lubang tersebut, setelahnya Marvel bisa hidup normal. Hal lain yang perlu dirawat dari Marel hanya matanya. Dari usia enam tahun dia sudah harus menggunakan kacamata tebal. Itu terjadi bukan
Marvel menunduk dengan wajah terpesona. Matanya dan bibirnya membuka dengan lucunya, saking terpesonanya dia pada adik bayinya yang baru lahir. Marvel tiap hari bertemu dengan adiknya, tapi tetap saja berekspresi seperti itu. "Eh, Marvel. Pipinya adiknya jangan ditusuk-tusuk gitu dong, Nak." Star mengambil tangan anaknya dengan lembut, agar tidak lagi menjahili si kecil July. Dilarang menggunakan jarinya, kini Marvel kembali mengganggu adiknya dengan cara lain. Kali ini si kecil marvel mengecup pipi July dengan gemas. "Astaga, kecil-kecil sudah ada bibit playboynya." Gumaman asal Helena membuat semua orang tertawa. Helena kembali mengadakan acara syukuran kecil-kecilan untuk cucu ketiganya yang cantik, tepat sebulan setelah kelahirannya. Seperti biasa, bukan hanya Carlton dan Arwen saja yang datang. Keluarga besar Langton juga datang. "Ma, tolong jangan didoaiin yang aneh-aneh dong." Harvie langsung protes mendengar Helena berkata seperti itu. Harvie mengakui kalau dulu dia m
"Mari kita dengar sambutan dari siswa paling berprestasi kita." Seseorang diatas podium mempersilakan Star bergabung. Star berdiri dari tempatnya duduk di barisan paing depan. Dia tersenyum lebar dan berjalan pelan ke atas podium dengan perutnya yang sudah mulai membuncit. "Pertama-tama saya ingin mengucapkan terima kasih pada Tuhan Yang Maha Esa." Star memulai pidatonya dengan ucapan terima kasih pada berbagai pihak. "Terakhir terima kasih untuk keluargaku. Papa, Mama, adik-adik, Mertua, serta suami dan anak-anakku." Star tersenyum penuh haru ke arah keluarganya duduk. Hanya ada Harvie dan kedua orang tua Star di sana, tapi itu saja sudah lebih dari cukup. Lagi pula akan sangat merepotkan kalau anak-anak juga ikut ke acara wisudanya, jadi Helena dan Peter yang mendapat jatah menjaga anak-anak. "Mungkin banyak yang bingung bagaimana saya membagi waktu jadi ibu rumah tangga dan kuliah, tapi ... Saya bisa jadi seperti ini karena keluarga saya. Karena punya suami yang mendukung ser
"Star ada diatas main sama anak-anak." Hera memberitahu ketika melihat Harvie. "Thank you, Ma." Harvie segera berlari ke lantai atas, tempat anak-anak biasa bermain. Ini sudah hari ketiga sejak Star menginap di rumah orang tuanya dan dia sudah amat sangat rindu dengan keluarga kecilnya. "Star?" Harvie membuka pintu ruang bermain dengan pelan dan menemukan kalau semua penghuninya tengah tertidur di atas karpet tebal. Star tertidur dengan laptop yang terbuka, dikelilingi oleh Yvonne, Marvel, Amora dan Benedict. Pemandangan yang sangat manis dan Harvie sungguh berharap bisa punya keluarga besar seperti ini. Tidak ingin mengganggu istirahat mereka, Harvie mengendap-ngendap untuk mematikan laptop Star. Dan dia mulai memindahkan satu persatu manusia itu ke kamar masing-masing. *** "Sudah bangun?" Star mengerjap perlahan mendengar suara Harvie yang sudah dia rindukan. Star pikir dia masih bermimpi dan mengeratkan pelukannnya pada Harvie. "Masih ngantuk ya?" Harvie bertanya de
Star mengetukkan kaki ke teras rumah dengan wajah amat kesal. Irina yang berdiri di sebelahnya dengan memegang setumpuk kertas, tidak berani menatap bosnya itu. "Daddy ke mana sih?" tanya Star dengan ketus. "Biar saya teleponkan." Irina segera bergerak cepat mengambil ponselnya dan menyerahkannya pada Star untuk bicara. "Daddy tahu sudah berapa lama aku nungguin?" tanya Star dengan luar biasa ketusnya. "Maaf, Sayang. Rapatnya selesai lebih lama dar ..." "I don't care. Kan aku sudah bilang berhenti kerja dan suruh Brian yang urus semuanya. Susah banget ya gak kerja selama beberapa bulan?" "Gak bisa gitu, Sayang. Soalnya ini proyek be ...." "Lebih penting proyek atau anakmu? Datang dalam lima menit atau aku pulang ke rumah Mama." Star mematikan sambungan secara sepihak. Setelah penolakan yang dilakukan Star tempo hari, dia akhirnya melakukan test kehamilan karena merasa khawatir. Tentu saja hasilnya positif, dan membuat Star mengamuk. Sekali lagi, Star bukannya tidak mau punya
"Mami. Mami." Marvel berlari-lari untuk menghampiri ibunya yang sedang mengerjakan tugas akhir kuliahnya. Star yang sedang sakit kepala pun refleks tersenyum melihat bocah empat tahun itu. "Kenapa sayang?" Star mengangkat Marvel dan mendudukkan anak yang kini sudah membulat itu di pangkuannya. "Vel mo ade." Usia Marvel sudah empat tahun lebih, tapi belum bisa bicara lancar seperti Yvonne dulu. Dia memang terlambat mulai bicara, jadi kosakatanya masih minim. "Marvel mau adek?" tanya Star dengan ekspresi sedikit horor. "Maksudnya mau punya adek?" Ekspresi Star terlihat makin horor saja ketika anak bungsunya ini mengangguk. Kenapa juga si Marvel bisa tiba-tiba minta adek? "Kenapa Marvel mau minta adek?" tanya Star penasaran. "Lion punya ade," jawab Marvel dengan senyum mengembang. Sepertinya pria kecil Star itu mulai memikirkan indahnya punya adik lagi. “Rion?” Star mengumpat dalam hati. Lain kali Star tidak akan membiarkan Marvel main dengan Rion. “Kakak Von uga.” "Ka
“DONI.” Doni menggeram kesal mendengar suara ayahnya yang menggelegar. Dengan sangat terpaksa, dia meninggalkan permainan game onlinenya dan menghampiri sang ayah. “Kamu ini sebenranya ngapain sih?” tanya sang ayah dengan wajah terlihat sedikit kesal. “Maksud Ayah apaan sih?” tanya Doni bingung. Tapi tiba-tiba saja ayahnya tersenyum. “Kita sekeluarga diundang untuk grand opening mal. Kerjasama Olympus Grup dan Constate Enterprise.” Ayah Doni berteriak riang sambil memeluk anaknya. Bagi para pengusaha, diundang oleh perusahaan kondang saja merupakan suatu kebanggaan. Apalagi yang mengundang ini merupakan perusahaan kelas dunia. “Lalu? Hubungannya denganku apa?” tanya Doni makin bingung. “Katanya pimpinan Constate dan anak tertua dari Olympus Grup mengenalmu secara pribadi, makanya mereka mau mengundang. Ini kesempatan yang sangat baik Doni.” “Apanya?” tanya Doni makin bingung. “Kamu ini gimana sih? Kuliah bisnis, tapi tidak tahu apa-apa soal bisnis. Katanya pemimpin Olympus,
Waktu bergulir dengan cepat. Tidak terasa ujian semester pertama sudah dekat dan Star mah didera banyak masalah yang membuatnya tidak fokus. Marvel terserang flu berat dan menulari Yvonne. Karena Marvel punya masalah pada jantungnya, dia terpaksa harus diinapkan di rumah sakit. Lalu karena Yvonne juga merengek ingin menginap di rumah sakit, dia juga terpaksa dirawat. Kata dokter sih tidak ada masalah karena Star dan Harvie membawa mereka ke rumah sakit tepat waktu, tapi tetap saja Star khawatir dan mempengaruhi fokusnya untuk kuliah. Belum lagi gosip-gosip yang mulai bermunculan. Sama seperti dulu, banyak yang menggosipkannya sebagai wanita panggilan, hamil diluar nikah, peliharaan om-om dan lain sebagainya. Kehadiran Yvonne dan Marvel yang selalu datang menjemput jadi pemicunya. Bukan berarti Star menyalahkan anak-anak. Dia dulu juga sudah digosipkan seperti itu dan kebetulan saja kemunculan anak-anak seolah jadi pembenar gosip itu. Selain itu, Doni yang sudah lama tidak me
"Kok sedari tadi kamu cemberut sih?" Harvie yang baru pulang langsung mengecup puncak kepala Star yang masih menemani anak-anak main. Dua anak kecil itu juga ikut-ikutan minta dikecup oleh ayah mereka. Hanya dikecup, tidak di peluk apalagi digendong karena Harvie belum mandi. "Tante Nadine udah mau balik ke Inggris." Star menjawab dengan jujur. "Terus?" "Terus aku jadi gak punya teman ngobrol seasik dia lagi. Jadinya kalau lagi pusing urusin anak-anak, gak ada teman curhat." Bibir Star maju sedikit, membuat wajahnya makin cemberut saja. "Kalau cuma curhat kan ada banyak orang yang bisa ditemani curhat. Lagi pula kan masih bisa saling telepon atau chat. Beda waktu Indonesia - Inggris kan tidak terlalu jauh." "Oh, iya juga ya. Baru sadar." Cengiran Star membuat Harvie menggeleng pelan. "Tapi kalau kamu memang butuh pengalihan ketika merasa lelah dengan anak-anak, Daddy punya ide yang bagus untuk itu." Harvie tersenyum melihat wajah bingung Star yang selalu membuatnya gemas