Kata-kata Zeus seperti petir disiang bolong bagi Irish. Irish sebenarnya sudah bisa menyangka akan ada penolakan dari tetua Arwen, tapi tidak pernah menyangka Zeus akan mengatakan hal seperti itu. Selama ini Zeus terlihat sangat bergantung pada Irish untuk urusan ranjang, jadi Irish pikir dia pasti akan dibela. “Apa maksudmu?” desis Irish menahan kesalnya pada Zeus. Zeus mendengkus kesal. Kenapa hari ini semua orang bertanya dua kali padanya? Apa kata-kata yang dia ucapkan tidak cukup jelas. “Kau akan jadi istri kedua Irish. Kurasa kata-kataku tadi sudah cukup jelas.” Zeus ikut mendesis marah. “Aku hamil anakmu loh,” desis Irish tidak terima. “So? Memangnya Callista bukan anakku?” Zeus bertanya. “Lagi pula kita belum tes DNA.” Baik Star maupun Hera mengangkat kedua alisnya. Hanya sebentar saja, tapi Harvie bisa melihat gestur Star dari sudut mata dan melihat Hera ketika tidak sengaja melirik ibu mertuanya. “Tes DNA?” tanya Irish tidak percaya. “Kenapa harus sekaget itu?” Hera
“Mana Star?” Helena bertanya ketika melihat menantunya melewatkan sarapan pagi. “Masih tidur,” jawab Harvie santai. Tidak peduli sama sekali dengan pandangan menuduh ibunya. “Kamu tuh ya. Istrinya jangan suka disiksa seperti itu,” protes Helena. “Emang aku ngapain dia?” tanya Harvie mengangkat kepala dari ponselnya dengan tampang tak bersalah. Harvie memang tidak punya salah apa-apa, selain membuat Star kelelahan. “Kamu tuh ya. Dibilangin baik-baik, malah balik ngejek.” “Ya. Demi kejar setoran, Ma. Aku gak mau kalah dong dari papa mertuaku. Dia udah mau tambah anak, masa aku gak?” Peter yang sedang menyeruput kopi sambil menonton berita disabtu pagi ini langsung menoleh ke arah anaknya. Peter dan Helena memandang Harvie dengan tatapan bertanya. “Apa maksud kata-katamu itu?” Helena yang bersuara. “Mama ingat Irish?” “Pelayan Star itu kan?” “Dia hamil adiknya Star. Katanya bakal jadi istri kedua Papa Zeus,” balas Harvie kembali menkuri ponselnya. “APA?” Peter dan Helena sere
Suara tangisan tertahan Star sedikit teredam karena dia menenggelamkan wajahnya dalam pelukan Harvie. Sudah dari tadi Star menangis tanpa henti. "Sudah dong, Sayang. Mama pasti gak apa-apa kok." Harvie mencoba menenangkan sambil mengelus rambut Star dengan pelan. "Tapi ... tapi ..." Star terbata-bata, tidak bisa mengatakan apa yang ingin dikatakannya. Harvie masih ingin menenangkan istrinya, tapi pintu ruangan yang sedari tadi mereka tunggui terbuka. Star refleks berbalik dan melepas pelukannya dengan perlahan, ketika ranjang rumah sakit yang berisi ibunya didorong keluar. "Kenapa kamu cengeng banget sih? Orang sehat walafiat aja ditangisi, mau Mama cepat mati ya?" Hera menegur anaknya dengan ketus, membuat Star makin terisak. "Habisnya, Mama kan nolongin aku. Aku bakal merasa bersalah banget kalau Mama kenapa-kenapa." Star menjawab setelah tangisannya reda. "Eh, kamu ini punya mata gak sih? Mama ini sehat, cuma lecet. Malah dipaksa pemeriksaan kesehatan lengkap. Cuma masuk
"Sorry?" tanya Hera pada dokter yang datang membacakan hasil tesnya. "Menurut pemeriksaan darah dan urinnya, semua terlihat baik. Tapi kadar hcg dalam darah dan urin anda mengindikasikan kehamilan." "Kami ucapkan selamat ya, Bu." Hera dan Star menatap dokternya dengan mata membulat besar. Seolah-olah bola matanya akan melompat keluar dari rongganya. "Yang benar saja," teriak Hera dan Star bersamaan. Si dokter dan perawat terkejut dengan teriakan itu. Jangankan tenaga kesehatan yang berkunjung, Harvie saja terkejut dan menunduk malu. Harus banget ya dua orang itu berteriak seperti itu? "Kok bisa sih, Ma?" tanya Star dengan tatapan kesal. "Lah. Kok Mama yang dimarahin? Seharusnya kamu memarahi Papamu," hardik Hera ikutan kesal. "Terima kasih kunjungannya, Dok." Harvie segera mendorong dokter dan perawat keluar, enggan mempertontonkan kegilaan istri dan mertuanya. "Bukannya Mama punya selingkuhan juga ya? Yakin bukan anak selingkuhannya?" tanya Star tanpa canggung dan ra
“Yakin gak mau ke dokter saja?” tanya Harvie khawatir. “Gak kok. Cepat sekitar seminggu sih, tapi harusnya masih normal kok. Daddy tidak perlu khawatir.” Star tersenyum pada Harvie yang sudah rapi hendak ke kantor. Star yang masih betah duduk bersandar di kepala ranjang, kini menepuk ranjang. Meminta Harvie untuk duduk sejenak di sana dan merapikan dasi suaminya yang sedikit miring. “Daddy gak usah khawatir. Ini beneran masih termasuk normal kok di dunia kesehatan.” Star menepuk pelan bahu suaminya. “Ya, udah. Tapi nanti banyak istirahat saja ya. Kalau kram perut, mending gak usah ke kampus. Hari ini masuk siang kan?” “Iya, tapi mau jenguk Mama dulu. Mau pastiin dia istirahat dengan baik dulu.” Star memberitahu dan Harvie mengangguk setuju. Bagi Harvie, memang lebih baik jika Star berinteraksi dengan ibunya. Mungkin saja mereka bisa berbaikan lagi, walau harus diawali dengan adu argumen sebagai permulaan. *** “Maaf, Mbak. Mau jenguk ibunya yang di kamar VIP lima ya?” Se
"Istriku tersayang lagi ngapain? Katanya gak ikut makan malam ya." Harvie yang baru pulang langsung menyapa istrinya dengan manja. Harvie mengecup kening Star yang duduk di salah satu sofa tunggal dekat jendela, berhadapan dengan boneka beruang kesayangannya. "Babe?" Harvie memanggil Star sekali lagi karena istrinya itu tidak bergerak sama sekali. Sedari tadi Star duduk tegap memandangi boneka beruangnya dengan tatapan kosong. Kedua tangannya mengepal sangat erat di atas pangkuannya. "Sayang. Kamu kenapa? Ada masalah di kampus?" Harvie kembali bertanya setelah meletakkan jasnya secara sembarangan di atas meja kecil, di depan Star. Harvie berjongkok di depan sang istri, menggenggam kepalan tangan Star dan mengelusnya pelan. Sebelah tangan Harvie menjangkau pipi Star dan juga mengusapnya pelan. "Kalau ada masalah ngomong dong. Siapa tahu Daddy bisa bantu. Mama Hera buat kamu marah lagi? Atau ada teman kampusmu yang kurang ajar? Dosen yang nyebelin?" Harvie berusaha menebak
“Selamat pagi.” Star menatap orang yang berdiri di depan pintu kamarnya dengan tatapan bingung. Star menatap Harvie yang tadi membukakan pintu kamar untuk tamu mereka, dengan tatapan bingung. “Kak Bella?” “Yes, I am. Aku datang untuk konsultasi pagi. Boleh aku masuk?” Kalimat terakhir ditujukan untuk Harvie. Harvie menyingkir sedikit dan mempersilakan Bella Rayner untuk masuk ke dalam kamar mereka. Setelahnya, Harvie bergabung dengan Star yang masih menyandar malas di kepala ranjang. Star segera menoleh ke arah suaminya meminta penjelasan atas kehadiran Bella. “Kan katanya kamu gak mau ke rumah sakit dan mau terapi di rumah saja. Jadi ya ini aku bawa dokternya ke rumah saja. Nanti siang akan ada dokter kandungan yang datang.” “Apa itu artinya Mama Helena sudah tahu?” tanya Star mulai cemberut. “Aku belum mengatakan apa pun,” jawab Harvie dengan senyum tipis. “Mama cuma tahu kamu sedang tidak enak badan dan perlu istirahat tanpa ada gangguan, kecuali jika ada dokter yang berkunj
"Aku hamil," bisik Hera dengan wajah tertunduk. "Apa?" Zeus yang sedang duduk di kursi kerja ruanganya yang baru langsung berdiri. "Sudah dua bulan," sambung Hera masih menundukkan wajahnya. "Gugurkan saja," jawab Zeus tanpa perasaan. Seketika saja Hera muda mendongak mendengar kata-kata kekasihnya itu. Dia menatap Zeus yang juga menatapnya dengan tatapan datar. Bagaimana mungkin lelaki yang di pacarinya selama enam bulan ini tega berkata seperti itu. Padahal waktu 'melakukannya', Zeus selalu menjanjikan hal-hal yang manis. "Yang benar saja, Zeus. Kamu kira menggugurkan kandungan itu mudah?" Zeus mendengus kasar. Dia memang menyukai Hera, tapi dirinya masih cukup muda. Baru dua tujuh dan karirnya sedang bagus di perusahaan keluarganya. Dia baru saja memenangkan tender besar dan ada kemungkinan naik jabatan. Menikah dan punya anak adalah hal terakhir yang ingin dipikirkannya sekarang ini. Bagi Zeus karirnya sekarang ini jauh lebih penting dari apa pun juga. "Dari ma
Tidak ada satu manusia pun yang tahu apa yang direncanakan oleh Tuhan. Semisal tentang jangka waktu hidup seorang manusia. Setelah kematian Ronald Arwen yang sudah diprediksi. Berita duka yang lain datang dua tahun kemudian. Secara tiba-tiba Peter Carlton meninggal dalam kecelakaan kerja, saat sedang meninjau lokasi pembangunan. Tepat di saat cucu keempatnya lahir. Anak itu kemudian diberi nama Peter Carlton Jr. Ada juga kejadian tak terduga lain ditahun yang sama. Ketika Marvel Leonard Carlton masuk rumah sakit karena ada masalah pada jantungnya. Lubang di jantung yang dulu membuatnya harus masuk NICU, nyatanya tidak berhasil menutup sempurna. Hal itu baru diketahui ketika berumur tujuh tahun. Untungnya, tidak ada yang membuat nyawanya terancam. Marvel hanya perlu operasi untuk menyumbat lubang tersebut, setelahnya Marvel bisa hidup normal. Hal lain yang perlu dirawat dari Marel hanya matanya. Dari usia enam tahun dia sudah harus menggunakan kacamata tebal. Itu terjadi bukan
Marvel menunduk dengan wajah terpesona. Matanya dan bibirnya membuka dengan lucunya, saking terpesonanya dia pada adik bayinya yang baru lahir. Marvel tiap hari bertemu dengan adiknya, tapi tetap saja berekspresi seperti itu. "Eh, Marvel. Pipinya adiknya jangan ditusuk-tusuk gitu dong, Nak." Star mengambil tangan anaknya dengan lembut, agar tidak lagi menjahili si kecil July. Dilarang menggunakan jarinya, kini Marvel kembali mengganggu adiknya dengan cara lain. Kali ini si kecil marvel mengecup pipi July dengan gemas. "Astaga, kecil-kecil sudah ada bibit playboynya." Gumaman asal Helena membuat semua orang tertawa. Helena kembali mengadakan acara syukuran kecil-kecilan untuk cucu ketiganya yang cantik, tepat sebulan setelah kelahirannya. Seperti biasa, bukan hanya Carlton dan Arwen saja yang datang. Keluarga besar Langton juga datang. "Ma, tolong jangan didoaiin yang aneh-aneh dong." Harvie langsung protes mendengar Helena berkata seperti itu. Harvie mengakui kalau dulu dia m
"Mari kita dengar sambutan dari siswa paling berprestasi kita." Seseorang diatas podium mempersilakan Star bergabung. Star berdiri dari tempatnya duduk di barisan paing depan. Dia tersenyum lebar dan berjalan pelan ke atas podium dengan perutnya yang sudah mulai membuncit. "Pertama-tama saya ingin mengucapkan terima kasih pada Tuhan Yang Maha Esa." Star memulai pidatonya dengan ucapan terima kasih pada berbagai pihak. "Terakhir terima kasih untuk keluargaku. Papa, Mama, adik-adik, Mertua, serta suami dan anak-anakku." Star tersenyum penuh haru ke arah keluarganya duduk. Hanya ada Harvie dan kedua orang tua Star di sana, tapi itu saja sudah lebih dari cukup. Lagi pula akan sangat merepotkan kalau anak-anak juga ikut ke acara wisudanya, jadi Helena dan Peter yang mendapat jatah menjaga anak-anak. "Mungkin banyak yang bingung bagaimana saya membagi waktu jadi ibu rumah tangga dan kuliah, tapi ... Saya bisa jadi seperti ini karena keluarga saya. Karena punya suami yang mendukung ser
"Star ada diatas main sama anak-anak." Hera memberitahu ketika melihat Harvie. "Thank you, Ma." Harvie segera berlari ke lantai atas, tempat anak-anak biasa bermain. Ini sudah hari ketiga sejak Star menginap di rumah orang tuanya dan dia sudah amat sangat rindu dengan keluarga kecilnya. "Star?" Harvie membuka pintu ruang bermain dengan pelan dan menemukan kalau semua penghuninya tengah tertidur di atas karpet tebal. Star tertidur dengan laptop yang terbuka, dikelilingi oleh Yvonne, Marvel, Amora dan Benedict. Pemandangan yang sangat manis dan Harvie sungguh berharap bisa punya keluarga besar seperti ini. Tidak ingin mengganggu istirahat mereka, Harvie mengendap-ngendap untuk mematikan laptop Star. Dan dia mulai memindahkan satu persatu manusia itu ke kamar masing-masing. *** "Sudah bangun?" Star mengerjap perlahan mendengar suara Harvie yang sudah dia rindukan. Star pikir dia masih bermimpi dan mengeratkan pelukannnya pada Harvie. "Masih ngantuk ya?" Harvie bertanya de
Star mengetukkan kaki ke teras rumah dengan wajah amat kesal. Irina yang berdiri di sebelahnya dengan memegang setumpuk kertas, tidak berani menatap bosnya itu. "Daddy ke mana sih?" tanya Star dengan ketus. "Biar saya teleponkan." Irina segera bergerak cepat mengambil ponselnya dan menyerahkannya pada Star untuk bicara. "Daddy tahu sudah berapa lama aku nungguin?" tanya Star dengan luar biasa ketusnya. "Maaf, Sayang. Rapatnya selesai lebih lama dar ..." "I don't care. Kan aku sudah bilang berhenti kerja dan suruh Brian yang urus semuanya. Susah banget ya gak kerja selama beberapa bulan?" "Gak bisa gitu, Sayang. Soalnya ini proyek be ...." "Lebih penting proyek atau anakmu? Datang dalam lima menit atau aku pulang ke rumah Mama." Star mematikan sambungan secara sepihak. Setelah penolakan yang dilakukan Star tempo hari, dia akhirnya melakukan test kehamilan karena merasa khawatir. Tentu saja hasilnya positif, dan membuat Star mengamuk. Sekali lagi, Star bukannya tidak mau punya
"Mami. Mami." Marvel berlari-lari untuk menghampiri ibunya yang sedang mengerjakan tugas akhir kuliahnya. Star yang sedang sakit kepala pun refleks tersenyum melihat bocah empat tahun itu. "Kenapa sayang?" Star mengangkat Marvel dan mendudukkan anak yang kini sudah membulat itu di pangkuannya. "Vel mo ade." Usia Marvel sudah empat tahun lebih, tapi belum bisa bicara lancar seperti Yvonne dulu. Dia memang terlambat mulai bicara, jadi kosakatanya masih minim. "Marvel mau adek?" tanya Star dengan ekspresi sedikit horor. "Maksudnya mau punya adek?" Ekspresi Star terlihat makin horor saja ketika anak bungsunya ini mengangguk. Kenapa juga si Marvel bisa tiba-tiba minta adek? "Kenapa Marvel mau minta adek?" tanya Star penasaran. "Lion punya ade," jawab Marvel dengan senyum mengembang. Sepertinya pria kecil Star itu mulai memikirkan indahnya punya adik lagi. “Rion?” Star mengumpat dalam hati. Lain kali Star tidak akan membiarkan Marvel main dengan Rion. “Kakak Von uga.” "Ka
“DONI.” Doni menggeram kesal mendengar suara ayahnya yang menggelegar. Dengan sangat terpaksa, dia meninggalkan permainan game onlinenya dan menghampiri sang ayah. “Kamu ini sebenranya ngapain sih?” tanya sang ayah dengan wajah terlihat sedikit kesal. “Maksud Ayah apaan sih?” tanya Doni bingung. Tapi tiba-tiba saja ayahnya tersenyum. “Kita sekeluarga diundang untuk grand opening mal. Kerjasama Olympus Grup dan Constate Enterprise.” Ayah Doni berteriak riang sambil memeluk anaknya. Bagi para pengusaha, diundang oleh perusahaan kondang saja merupakan suatu kebanggaan. Apalagi yang mengundang ini merupakan perusahaan kelas dunia. “Lalu? Hubungannya denganku apa?” tanya Doni makin bingung. “Katanya pimpinan Constate dan anak tertua dari Olympus Grup mengenalmu secara pribadi, makanya mereka mau mengundang. Ini kesempatan yang sangat baik Doni.” “Apanya?” tanya Doni makin bingung. “Kamu ini gimana sih? Kuliah bisnis, tapi tidak tahu apa-apa soal bisnis. Katanya pemimpin Olympus,
Waktu bergulir dengan cepat. Tidak terasa ujian semester pertama sudah dekat dan Star mah didera banyak masalah yang membuatnya tidak fokus. Marvel terserang flu berat dan menulari Yvonne. Karena Marvel punya masalah pada jantungnya, dia terpaksa harus diinapkan di rumah sakit. Lalu karena Yvonne juga merengek ingin menginap di rumah sakit, dia juga terpaksa dirawat. Kata dokter sih tidak ada masalah karena Star dan Harvie membawa mereka ke rumah sakit tepat waktu, tapi tetap saja Star khawatir dan mempengaruhi fokusnya untuk kuliah. Belum lagi gosip-gosip yang mulai bermunculan. Sama seperti dulu, banyak yang menggosipkannya sebagai wanita panggilan, hamil diluar nikah, peliharaan om-om dan lain sebagainya. Kehadiran Yvonne dan Marvel yang selalu datang menjemput jadi pemicunya. Bukan berarti Star menyalahkan anak-anak. Dia dulu juga sudah digosipkan seperti itu dan kebetulan saja kemunculan anak-anak seolah jadi pembenar gosip itu. Selain itu, Doni yang sudah lama tidak me
"Kok sedari tadi kamu cemberut sih?" Harvie yang baru pulang langsung mengecup puncak kepala Star yang masih menemani anak-anak main. Dua anak kecil itu juga ikut-ikutan minta dikecup oleh ayah mereka. Hanya dikecup, tidak di peluk apalagi digendong karena Harvie belum mandi. "Tante Nadine udah mau balik ke Inggris." Star menjawab dengan jujur. "Terus?" "Terus aku jadi gak punya teman ngobrol seasik dia lagi. Jadinya kalau lagi pusing urusin anak-anak, gak ada teman curhat." Bibir Star maju sedikit, membuat wajahnya makin cemberut saja. "Kalau cuma curhat kan ada banyak orang yang bisa ditemani curhat. Lagi pula kan masih bisa saling telepon atau chat. Beda waktu Indonesia - Inggris kan tidak terlalu jauh." "Oh, iya juga ya. Baru sadar." Cengiran Star membuat Harvie menggeleng pelan. "Tapi kalau kamu memang butuh pengalihan ketika merasa lelah dengan anak-anak, Daddy punya ide yang bagus untuk itu." Harvie tersenyum melihat wajah bingung Star yang selalu membuatnya gemas