"Istriku tersayang lagi ngapain? Katanya gak ikut makan malam ya." Harvie yang baru pulang langsung menyapa istrinya dengan manja. Harvie mengecup kening Star yang duduk di salah satu sofa tunggal dekat jendela, berhadapan dengan boneka beruang kesayangannya. "Babe?" Harvie memanggil Star sekali lagi karena istrinya itu tidak bergerak sama sekali. Sedari tadi Star duduk tegap memandangi boneka beruangnya dengan tatapan kosong. Kedua tangannya mengepal sangat erat di atas pangkuannya. "Sayang. Kamu kenapa? Ada masalah di kampus?" Harvie kembali bertanya setelah meletakkan jasnya secara sembarangan di atas meja kecil, di depan Star. Harvie berjongkok di depan sang istri, menggenggam kepalan tangan Star dan mengelusnya pelan. Sebelah tangan Harvie menjangkau pipi Star dan juga mengusapnya pelan. "Kalau ada masalah ngomong dong. Siapa tahu Daddy bisa bantu. Mama Hera buat kamu marah lagi? Atau ada teman kampusmu yang kurang ajar? Dosen yang nyebelin?" Harvie berusaha menebak
“Selamat pagi.” Star menatap orang yang berdiri di depan pintu kamarnya dengan tatapan bingung. Star menatap Harvie yang tadi membukakan pintu kamar untuk tamu mereka, dengan tatapan bingung. “Kak Bella?” “Yes, I am. Aku datang untuk konsultasi pagi. Boleh aku masuk?” Kalimat terakhir ditujukan untuk Harvie. Harvie menyingkir sedikit dan mempersilakan Bella Rayner untuk masuk ke dalam kamar mereka. Setelahnya, Harvie bergabung dengan Star yang masih menyandar malas di kepala ranjang. Star segera menoleh ke arah suaminya meminta penjelasan atas kehadiran Bella. “Kan katanya kamu gak mau ke rumah sakit dan mau terapi di rumah saja. Jadi ya ini aku bawa dokternya ke rumah saja. Nanti siang akan ada dokter kandungan yang datang.” “Apa itu artinya Mama Helena sudah tahu?” tanya Star mulai cemberut. “Aku belum mengatakan apa pun,” jawab Harvie dengan senyum tipis. “Mama cuma tahu kamu sedang tidak enak badan dan perlu istirahat tanpa ada gangguan, kecuali jika ada dokter yang berkunj
"Aku hamil," bisik Hera dengan wajah tertunduk. "Apa?" Zeus yang sedang duduk di kursi kerja ruanganya yang baru langsung berdiri. "Sudah dua bulan," sambung Hera masih menundukkan wajahnya. "Gugurkan saja," jawab Zeus tanpa perasaan. Seketika saja Hera muda mendongak mendengar kata-kata kekasihnya itu. Dia menatap Zeus yang juga menatapnya dengan tatapan datar. Bagaimana mungkin lelaki yang di pacarinya selama enam bulan ini tega berkata seperti itu. Padahal waktu 'melakukannya', Zeus selalu menjanjikan hal-hal yang manis. "Yang benar saja, Zeus. Kamu kira menggugurkan kandungan itu mudah?" Zeus mendengus kasar. Dia memang menyukai Hera, tapi dirinya masih cukup muda. Baru dua tujuh dan karirnya sedang bagus di perusahaan keluarganya. Dia baru saja memenangkan tender besar dan ada kemungkinan naik jabatan. Menikah dan punya anak adalah hal terakhir yang ingin dipikirkannya sekarang ini. Bagi Zeus karirnya sekarang ini jauh lebih penting dari apa pun juga. "Dari ma
Hera yang tadinya mengetuk pintu, kini membuka pintu kamar pasien setelah mendapat sahutan dari dalam. Besan dan menantunya menyambut dengan tatapan datar. Netra Hera memindai satu per satu orang yang ada di dalam ruangan itu. Sepertinya tidak ada yang menyukainya dan itu sebenarnya wajar saja, tapi setidaknya menantunya tidak menunjukkan ekspresi sekeras itu. "Kudengar Callista sedang sakit." Hera menatap putrinya yang tertidur dari dekat pintu. Masih merasa takut untuk mendekat. "Ya, tapi sekarang sudah baik-baik saja. Mama duduk dulu. Jangan berdiri terus." Harvie memberikan kursi yang tadi di dudukinya pada Hera. Hera menggeleng pelan. Dia ingin duduk di tempat Harvie yang tepat di samping ranjang pasien, tapi dirinya masih takut untuk mendekat. Takut akan membuat Star tidak nyaman. "Tidak perlu. Biar saya berdiri saja. Toh saya tidak akan lama karena sepertinya kehadiran saya tidak begitu diinginkan." Hera tersenyum ramah pada Peter dan Helena. Hera sama sekali tidak ad
Sarah berjalan dengan sempoyongan. Tadinya dia hendak menjenguk Star yang katanya sakit, tapi siapa yang menyangka akan mendengar percakapan ibu dan anak yang membuatnya sangat syok. "Mama kenapa?" Marcus bertanya ketika melihat ibunya masuk ke kamar rawat inapnya. Kebetulan saja Marcus dan Star dirawat di rumah sakit yang sama. Makanya Sarah langsung meluncur ke ruangan Star yang tidak jauh dari kamar Marcus. Marcus masih harus tinggal karena harus menjalani operasi besok. "Ma? Mama sakit?" Marcus kembali bertanya ketika tidak mendapat jawaban dari Sarah. "Kamu apaiin Star dan Harvie?" tanya Sarah tanpa basa-basi. "Maksud Mama apa?" tanya Marcus bingung. Belum memahami kata-kata Sarah. "Apa benar kamu yang berusaha mencelakai Star dan Harvie beberapa waktu yang lalu?" tanya Sarah dengan nada sedikit tinggi. "Mama tahu dari mana?" tanya Marcus datar. Tidak menyangkal, tidak juga mengiyakan. "Tadi Mama gak sengaja dengar Star ngobrol sama Mamanya soal ini. Hera bilang d
"Argh." Irish melempar benda apa pun yang bisa dijangkaunya. Tidak peduli jika akan ada banyak barang yang rusak di penthouse mahalnya. Karin sampai ikut histeris melihat putrinya yang mengamuk itu. "Irish berhenti. Kamu bisa terluka, Nak." "Berhentilah mempedulikanku. Sudah terlambat untuk Mama." Irish berteriak, bahkan menunjuk dengan tidak sopan. "Oke. Kalau kamu tidak peduli dengan dirimu sendiri, setidaknya pedulilah pada anakmu." Karin masih mencoba untuk menasihati. "Kenapa memangnya? Kenapa Mama harus peduli? Karena dia anaknya Zeus Arwen?" tanya Irish dengan mata melotot. "Irish." Karin ikut-ikutan berteriak. "Mama mungkin salah karena kurang memperhatikanmu, tapi jangan begitu pada anakmu sendiri." "Anak ini hanya alatku untuk membalas dendam pada Star. Dengan adanya anak ini, aku bisa merebut seluruh keluarganya. Merebut seluruh harta warisannya." Ya. Itu yang direncanakan Irish. tapi sayangnya tidak mudah mendapatkan itu semua. Keluarga Arwen sialan itu terlalu cur
"Apa ada sesuatu di wajah saya?" tanya Brian dengan sopan pada Star. "Tidak ada." Star menjawab dengan cepat dan bibir mencebik. Seperti biasa, Brian hari ini datang ke rumah sakit untuk bekerja dengan Harvie. Itu dilakukan karena Harvie enggan meninggalkan istrinya sendirian. "Dia begitu karena sudah tahu kelakuan bejatmu dengan Irish." Harvie membantu menjelaskan dengan kekehan riang, senang melihat wajah cemberut Brian. "Kenapa semua orang melihatku dengan jijik? Bahkan Nona Derina juga, padahal aku cuma menjalankan perintah anda." Brian mendelik kesal ke arah Harvie. "Kenapa jadi aku yang salah? Yang duluan memberi ide itu kau. Bukan aku." Harvie segera membantah dengan tegas, membuat Brian mengumpat dengan kesal. Kenyataannya memang begitu. Brian yang mengusulkan pada Harvie dan Brian pula yang mendatangi Irish duluan. Dia hanya ingin bersenang-senang karena baru saja diputuskan pacarnya, dengan alasan Brian terlalu sibuk. Kini sia menyesal sudah menyarankan ini.
"Brian." Irish berteriak memanggil asisten pribadi Harvie itu dengan nada riang. Yeah. Irish menjadi lebih riang ketika mendengar Brian behasil membawa Harvie ke hotel dalam keadaan setengah sadar. "Gimana?" tanya Irish sambil bergelayut manja pada Brian. "Kamu ini beneran suka sama aku atau Harvie sih?' tanya Brian sok cemburu, padahal sebenarnya dia sudah mau muntah. Untung saja Brian sudah terima 'DP' dari Irish, kalau gak mana mau dia akting seperti ini. "Aduh, Sayang. Aku kan cuma mau balas dendam sama Harvie. Yang penting kan endingnya sama kamu." Irish makin bersandar manja saja. "What the hell?" Suara familiar yang baru saja mengumpat itu, membuat Brian menoleh ke arah suara dan langsung ikut mengumpat. Derina memisahkan diri dari teman-temannya dan mendatangi Brian. Dia memandangi Brian dan Irish bergantian dengan padangan jijik. Derina mengenali Irish sebagai pemeran wanita di video yang pernah dilihatnya secara tidak sengaja di kantor Harvie. Derina waktu itu langsun
Tidak ada satu manusia pun yang tahu apa yang direncanakan oleh Tuhan. Semisal tentang jangka waktu hidup seorang manusia. Setelah kematian Ronald Arwen yang sudah diprediksi. Berita duka yang lain datang dua tahun kemudian. Secara tiba-tiba Peter Carlton meninggal dalam kecelakaan kerja, saat sedang meninjau lokasi pembangunan. Tepat di saat cucu keempatnya lahir. Anak itu kemudian diberi nama Peter Carlton Jr. Ada juga kejadian tak terduga lain ditahun yang sama. Ketika Marvel Leonard Carlton masuk rumah sakit karena ada masalah pada jantungnya. Lubang di jantung yang dulu membuatnya harus masuk NICU, nyatanya tidak berhasil menutup sempurna. Hal itu baru diketahui ketika berumur tujuh tahun. Untungnya, tidak ada yang membuat nyawanya terancam. Marvel hanya perlu operasi untuk menyumbat lubang tersebut, setelahnya Marvel bisa hidup normal. Hal lain yang perlu dirawat dari Marel hanya matanya. Dari usia enam tahun dia sudah harus menggunakan kacamata tebal. Itu terjadi bukan
Marvel menunduk dengan wajah terpesona. Matanya dan bibirnya membuka dengan lucunya, saking terpesonanya dia pada adik bayinya yang baru lahir. Marvel tiap hari bertemu dengan adiknya, tapi tetap saja berekspresi seperti itu. "Eh, Marvel. Pipinya adiknya jangan ditusuk-tusuk gitu dong, Nak." Star mengambil tangan anaknya dengan lembut, agar tidak lagi menjahili si kecil July. Dilarang menggunakan jarinya, kini Marvel kembali mengganggu adiknya dengan cara lain. Kali ini si kecil marvel mengecup pipi July dengan gemas. "Astaga, kecil-kecil sudah ada bibit playboynya." Gumaman asal Helena membuat semua orang tertawa. Helena kembali mengadakan acara syukuran kecil-kecilan untuk cucu ketiganya yang cantik, tepat sebulan setelah kelahirannya. Seperti biasa, bukan hanya Carlton dan Arwen saja yang datang. Keluarga besar Langton juga datang. "Ma, tolong jangan didoaiin yang aneh-aneh dong." Harvie langsung protes mendengar Helena berkata seperti itu. Harvie mengakui kalau dulu dia m
"Mari kita dengar sambutan dari siswa paling berprestasi kita." Seseorang diatas podium mempersilakan Star bergabung. Star berdiri dari tempatnya duduk di barisan paing depan. Dia tersenyum lebar dan berjalan pelan ke atas podium dengan perutnya yang sudah mulai membuncit. "Pertama-tama saya ingin mengucapkan terima kasih pada Tuhan Yang Maha Esa." Star memulai pidatonya dengan ucapan terima kasih pada berbagai pihak. "Terakhir terima kasih untuk keluargaku. Papa, Mama, adik-adik, Mertua, serta suami dan anak-anakku." Star tersenyum penuh haru ke arah keluarganya duduk. Hanya ada Harvie dan kedua orang tua Star di sana, tapi itu saja sudah lebih dari cukup. Lagi pula akan sangat merepotkan kalau anak-anak juga ikut ke acara wisudanya, jadi Helena dan Peter yang mendapat jatah menjaga anak-anak. "Mungkin banyak yang bingung bagaimana saya membagi waktu jadi ibu rumah tangga dan kuliah, tapi ... Saya bisa jadi seperti ini karena keluarga saya. Karena punya suami yang mendukung ser
"Star ada diatas main sama anak-anak." Hera memberitahu ketika melihat Harvie. "Thank you, Ma." Harvie segera berlari ke lantai atas, tempat anak-anak biasa bermain. Ini sudah hari ketiga sejak Star menginap di rumah orang tuanya dan dia sudah amat sangat rindu dengan keluarga kecilnya. "Star?" Harvie membuka pintu ruang bermain dengan pelan dan menemukan kalau semua penghuninya tengah tertidur di atas karpet tebal. Star tertidur dengan laptop yang terbuka, dikelilingi oleh Yvonne, Marvel, Amora dan Benedict. Pemandangan yang sangat manis dan Harvie sungguh berharap bisa punya keluarga besar seperti ini. Tidak ingin mengganggu istirahat mereka, Harvie mengendap-ngendap untuk mematikan laptop Star. Dan dia mulai memindahkan satu persatu manusia itu ke kamar masing-masing. *** "Sudah bangun?" Star mengerjap perlahan mendengar suara Harvie yang sudah dia rindukan. Star pikir dia masih bermimpi dan mengeratkan pelukannnya pada Harvie. "Masih ngantuk ya?" Harvie bertanya de
Star mengetukkan kaki ke teras rumah dengan wajah amat kesal. Irina yang berdiri di sebelahnya dengan memegang setumpuk kertas, tidak berani menatap bosnya itu. "Daddy ke mana sih?" tanya Star dengan ketus. "Biar saya teleponkan." Irina segera bergerak cepat mengambil ponselnya dan menyerahkannya pada Star untuk bicara. "Daddy tahu sudah berapa lama aku nungguin?" tanya Star dengan luar biasa ketusnya. "Maaf, Sayang. Rapatnya selesai lebih lama dar ..." "I don't care. Kan aku sudah bilang berhenti kerja dan suruh Brian yang urus semuanya. Susah banget ya gak kerja selama beberapa bulan?" "Gak bisa gitu, Sayang. Soalnya ini proyek be ...." "Lebih penting proyek atau anakmu? Datang dalam lima menit atau aku pulang ke rumah Mama." Star mematikan sambungan secara sepihak. Setelah penolakan yang dilakukan Star tempo hari, dia akhirnya melakukan test kehamilan karena merasa khawatir. Tentu saja hasilnya positif, dan membuat Star mengamuk. Sekali lagi, Star bukannya tidak mau punya
"Mami. Mami." Marvel berlari-lari untuk menghampiri ibunya yang sedang mengerjakan tugas akhir kuliahnya. Star yang sedang sakit kepala pun refleks tersenyum melihat bocah empat tahun itu. "Kenapa sayang?" Star mengangkat Marvel dan mendudukkan anak yang kini sudah membulat itu di pangkuannya. "Vel mo ade." Usia Marvel sudah empat tahun lebih, tapi belum bisa bicara lancar seperti Yvonne dulu. Dia memang terlambat mulai bicara, jadi kosakatanya masih minim. "Marvel mau adek?" tanya Star dengan ekspresi sedikit horor. "Maksudnya mau punya adek?" Ekspresi Star terlihat makin horor saja ketika anak bungsunya ini mengangguk. Kenapa juga si Marvel bisa tiba-tiba minta adek? "Kenapa Marvel mau minta adek?" tanya Star penasaran. "Lion punya ade," jawab Marvel dengan senyum mengembang. Sepertinya pria kecil Star itu mulai memikirkan indahnya punya adik lagi. “Rion?” Star mengumpat dalam hati. Lain kali Star tidak akan membiarkan Marvel main dengan Rion. “Kakak Von uga.” "Ka
“DONI.” Doni menggeram kesal mendengar suara ayahnya yang menggelegar. Dengan sangat terpaksa, dia meninggalkan permainan game onlinenya dan menghampiri sang ayah. “Kamu ini sebenranya ngapain sih?” tanya sang ayah dengan wajah terlihat sedikit kesal. “Maksud Ayah apaan sih?” tanya Doni bingung. Tapi tiba-tiba saja ayahnya tersenyum. “Kita sekeluarga diundang untuk grand opening mal. Kerjasama Olympus Grup dan Constate Enterprise.” Ayah Doni berteriak riang sambil memeluk anaknya. Bagi para pengusaha, diundang oleh perusahaan kondang saja merupakan suatu kebanggaan. Apalagi yang mengundang ini merupakan perusahaan kelas dunia. “Lalu? Hubungannya denganku apa?” tanya Doni makin bingung. “Katanya pimpinan Constate dan anak tertua dari Olympus Grup mengenalmu secara pribadi, makanya mereka mau mengundang. Ini kesempatan yang sangat baik Doni.” “Apanya?” tanya Doni makin bingung. “Kamu ini gimana sih? Kuliah bisnis, tapi tidak tahu apa-apa soal bisnis. Katanya pemimpin Olympus,
Waktu bergulir dengan cepat. Tidak terasa ujian semester pertama sudah dekat dan Star mah didera banyak masalah yang membuatnya tidak fokus. Marvel terserang flu berat dan menulari Yvonne. Karena Marvel punya masalah pada jantungnya, dia terpaksa harus diinapkan di rumah sakit. Lalu karena Yvonne juga merengek ingin menginap di rumah sakit, dia juga terpaksa dirawat. Kata dokter sih tidak ada masalah karena Star dan Harvie membawa mereka ke rumah sakit tepat waktu, tapi tetap saja Star khawatir dan mempengaruhi fokusnya untuk kuliah. Belum lagi gosip-gosip yang mulai bermunculan. Sama seperti dulu, banyak yang menggosipkannya sebagai wanita panggilan, hamil diluar nikah, peliharaan om-om dan lain sebagainya. Kehadiran Yvonne dan Marvel yang selalu datang menjemput jadi pemicunya. Bukan berarti Star menyalahkan anak-anak. Dia dulu juga sudah digosipkan seperti itu dan kebetulan saja kemunculan anak-anak seolah jadi pembenar gosip itu. Selain itu, Doni yang sudah lama tidak me
"Kok sedari tadi kamu cemberut sih?" Harvie yang baru pulang langsung mengecup puncak kepala Star yang masih menemani anak-anak main. Dua anak kecil itu juga ikut-ikutan minta dikecup oleh ayah mereka. Hanya dikecup, tidak di peluk apalagi digendong karena Harvie belum mandi. "Tante Nadine udah mau balik ke Inggris." Star menjawab dengan jujur. "Terus?" "Terus aku jadi gak punya teman ngobrol seasik dia lagi. Jadinya kalau lagi pusing urusin anak-anak, gak ada teman curhat." Bibir Star maju sedikit, membuat wajahnya makin cemberut saja. "Kalau cuma curhat kan ada banyak orang yang bisa ditemani curhat. Lagi pula kan masih bisa saling telepon atau chat. Beda waktu Indonesia - Inggris kan tidak terlalu jauh." "Oh, iya juga ya. Baru sadar." Cengiran Star membuat Harvie menggeleng pelan. "Tapi kalau kamu memang butuh pengalihan ketika merasa lelah dengan anak-anak, Daddy punya ide yang bagus untuk itu." Harvie tersenyum melihat wajah bingung Star yang selalu membuatnya gemas