"Maaf Pak. Saya pikir Pak Harvie sudah setuju dengan isi kontraknya. Jadi saya langsung proses," Brian memilih langsung berkata jujur, apalagi ketika melihat wajah atasannya. Kata-kata asisten pribadinya itu membuat Harvie memejamkan mata dan menunduk dengan kesal. Ini tidak bisa dibiarkan. Lima puluh juta itu tidak besar, tapi Harvie tidak rela memberikannya pada anak ingusan seperti Star. Apalagi dia sama sekali tidak diberi jatah. "Coba cek ke resepsionis. Kalau Star belum pergi suruh dia naik lagi," Harvie memberii perintah pada Brian. Dengan cepat Brian menyambar telepon yang ada di meja Harvie, setelah meminta izin untuk menggunakannya lewat gestur tangan. Lebih cepat menggunakan telepon di ruangan Harvie, ketimbang harus pergi ke tempatnya. "Ehm, Pak." Brian memanggil Harvie ragu-ragu setelah menutup telepon. "Apa lagi? Kali ini anak itu bikin masalah apa lagi? Atau udah pulang dia?" tanya Harvie kesal. "Iya, Pak. Sepertinya Nona Star memang sudah pulang, tapi ...." H
“Wah, Nona. Tidakah anda keterlaluan? Anda pergi bersenang-senang sementara kami di sini kesusahan.” Irish yang paling pertama buka suara. “Ada apa ini?” tanya Star tidak menggubris ejekan Irish.Hari ini harusnya hari yang menyenangkan bagi Star. Tiga dompet elektroniknya diisi penuh oleh Harvie tanpa dia minta dan membuat Star tidak perlu galau soal biaya hidup. Namun, sayangnya begitu sampai di rumah, kebahagiaan itu menguap seketika. Star menatap Karin, Irina, dan Irish berdiri di teras dengan beberapa koper besar. “Pak Zeus meminta kita semua keluar dari rumah ini. Beliau meminta Nona untuk pindah ke rumah yang sudah dia siapkan.” Karin yang menjelaskan. “Aku tidak mau ikut.” Irish menggeret kopernya dengan santai. “irish.” Irina menegur adiknya itu. “What? Kita ini kan secara tidak langung sudah dipecat sama Pak Zeus. Jadi tidak ada yang mengharuskan aku mengikuti Callista kan?” Sebagai seorang ibu, Karin tentu ingin menegur putri bungunya itu. Tapi Star tidak membiarkan
"Irina, boleh kupinjam ponselmu sebentar?" Tanpa banyak bertanya, Irina menyerahkan ponselnya. Dan Star segera memindahkan nomornya ke ponsel Irina. Lalu Star beranjak ke kamar untuk menelepon Harvie. "Sialan sekali," umpat Star, menyesali kelakuannya membanting ponsel semalam. "Bisa-bisanya aku marah-marah seperti itu, dan membuat ponselku rusak total." "Halo," suara serak habis bangun tidur Harvie terdengar dari seberang telepon yang rupanya sudah tersambung. "Oh, maaf. Apa saya mengganggu tidur Anda?" Star bertanya sesopan mungkin. Star menyempatkan diri untuk melihat waktu di ponsel dan ini sudah jam enam lewat, sudah hampir jam tujuh pagi. Bagaimana mungkin seorang pekerja kantoran belum bangun dijam segitu? "Apa maumu?" tanya Harvie malas-malasan. "Uang yang kukirim kemarin kurang?" "Oh, bukan. Uang kemarin itu sudah lebih dari cukup. Nanti akan saya potong dengan biaya bulanan saya." Star menjawab dengan tegas. Perempuan itu adalah orang jujur yang enggan mengambil
Star menghela napas ketika dirinya diminta menunggu oleh satpam rumah orang tua Harvie yang belum mengenalnya. Waktu yang dibutuhkan untuk satpam itu mengkonfirmasi kedatangannya pun cukup lama. "Astaga Star, maaf ya kamu jadi nunggu lama." Helena sampai hendak menjemput Star ke pagar luar, namun ternyata mereka bertemu di tengah jalan yang panjang itu. Ya. Jalan masuk dari pintu gerbang sampai teras lumayan panjang. "Tidak apa-apa, Tante. Justru saya yang harusnya minta maaf, tadi saya singgah ke tempat lain dulu. Makanya agak lama." "Harusnya kamu gak perlu repot-repot." Helena segera memprotes begitu mellihat Star menenteng kantongan dari toko kue ternama. "Kebetulan tadi lewat. Jadi saya sekalian singgah." Star tidak berbohong ketika mengatakan itu. Memang toko kue ini terletak tidak jauh dari toko ponsel yang didatangi Star tadi. "Ah, kamu ngelesnya bisa saja." Hanya senyuman yang bisa diberikan Star pada Helena. Dia enggan berdebat dengan orang yang lebih tua, terutama
"Siapa?" tanya Harvie sekali lagi lewat ponselnya. "Mommy-nya Yvonne ada di rumah, jadi kamu pulang makan siang." Helena ngegas dari ujung sambungan telepon. "Mommy-nya Yvonne?" tanya Harvie sekali lagi. Entah Harvie yang halu atau mamanya yang sedang halu. Mommynya Yvonne alias Ilona kan sudah meninggal, bagaimana bisa ada di rumah orang tuanya? "Ah, mungkin kamu bingung karena biasanya kamu panggil Star dengan sebutan babe kan?" Begitu mendengar nama Star keluar dari mulut ibunya, Harvie mengembuskan napas lega. Dirinya sudah sempat berpikiri ibunya melihat hantu Ilona di rumah. "Kok bisa Star ada di sana?" Harvie bertanya sesantai mungkin. Jangan sampai ibunya menyadari kalau dia tadi sempat ketakutan. "Mama yang minta tolong Star datang. Bantuin Mama jaga Yvonne. Soalnya kan pengasuhnya Yvonne lagi pulang kampung dan kita belum dapat yang baru." "Tapi bukan berarti Mama bisa memanfaatkan Star, Ma. Nanti Star capek, Yvonne kan kerjanya nangis dan ngamuk terus.
Kekesalan Derina makin meningkat ketika, ibunya ikut-ikutan memuji masakan Star yang sebenarnya sangat sederhana itu. Hanya ayam bakar madu dan tumis kangkung. Itupun Star masih harus dibantu karena masak sambil menjaga Yvonne. Tapi tidak masalah, karena Derina tahu Harvie tidak begitu suka makan ayam. Harvie suka makanan yang praktis dan jelas ayam tidak praktis karena repot untuk memakannya tanpa mengotori tangan. Tapi kenyataan tidak seperti itu. "Star bisa tolong ayamnya disuwirkan buat aku? Minta yang paha ya." Harvie bertanya pada Star yang segera mengiyakan. "Astaga Harvie. Kamu kok kayak anak kecil saja sih?" Helena segera memprotes kelakuan anaknya itu. "Gak apa-apa kok, Tante." Star yang menjawab Helena dan dengan tenang mulai melakukan pekerjaannya. "Kok manggil Tante?" Helena kembali protes. "Ehm, maaf. Saya belum terbiasa, Ma." Star meringis pelan. "Harvie, kamu ini mau makan atau mau main sih?" Helena kini menegur anaknya yang sedari tadi tidak berhenti menatap
"Pak. Sudah waktunya untuk bertemu dengan tuan Zeus Arwen." Brian mengingatkan Harvie tentang jadwalnya. Harvie menghela napas panjang dan mengusap wajahnya dengan kasar. Dia tidak menyangka tawaran bertemu itu disetujui oleh pihak Zeus. Sejujurnya Harvie tidak tahu apa yang harus dikatakannya pada pria itu. "Pak, saya mau menikahi anak anda dengan syarat dan ketentuan berlaku. Kami akan nikah kontrak." Apa Harvie harus bicara seperti itu? Ataukah meminta Star pada ayahnya dengan cara baik-baik? Atau meminta pria itu menghentikan perjodohan Star? Sampai di tempat janjian sekalipun Harvie belum mendapatkan solusi. "Maaf, apakah anda menunggu lama?" Senyum profesional Harvie refleks merekah begitu melihat rekan makan siangnya hari ini. Tak lupa Harvie mengulurkan tangan pada Zeus. Ya. Harvie sengaja mengatur pertemuan dengan Zeus diwaktu makan siang. Dia sengaja meminta Brian untuk memesan private room, agar mereka bisa berbicara dengan lebih leluasa. "Saya kebetulan datang sedii
"Di mana?" Harvie langsung bertanya begitu Star mengangkat teleponnya. "Di kampus," jawab Star singkat saja. "Bisa ketemu sekarang?" tanya Harvie dengan nada frustasi dan lelah. "Saya masih perlu mengurus beberapa hal mungkin satu jam lagi." "Aku akan menunggu. Kirimkan saja alamatmu." Harvie segera membalas dan menutup teleponnya. "Ada apa sih dengannya?" Star menggerutu ketika Harvie menutup teleponnya secara sepihak. "Kenapa Star?" Hillary bertanya ketika melihat sahabatnya menggerutu. "Tidak apa-apa kok." Star menjawab dengan senyuman tipis. "Tapi Star, perasaanku saja atau tanda lahirmu makin menipis?" "Masa sih? Mungkin krim yang kupakai akhirnya bekerja juga." Star tentu saja berbohong. Tanda hitam dibawah bibir Star memang tidak terlihat seperti biasanya. Ini dikarenakan Irish tidak ingin lagi melakukan make up untuk Star jika tidak dibayar dengan sesuai. "'Aku kan bukan lagi pelayan keluarga Arwen, jadi kamu harus bayar dong." Star mengingat dengan sangat
Tidak ada satu manusia pun yang tahu apa yang direncanakan oleh Tuhan. Semisal tentang jangka waktu hidup seorang manusia. Setelah kematian Ronald Arwen yang sudah diprediksi. Berita duka yang lain datang dua tahun kemudian. Secara tiba-tiba Peter Carlton meninggal dalam kecelakaan kerja, saat sedang meninjau lokasi pembangunan. Tepat di saat cucu keempatnya lahir. Anak itu kemudian diberi nama Peter Carlton Jr. Ada juga kejadian tak terduga lain ditahun yang sama. Ketika Marvel Leonard Carlton masuk rumah sakit karena ada masalah pada jantungnya. Lubang di jantung yang dulu membuatnya harus masuk NICU, nyatanya tidak berhasil menutup sempurna. Hal itu baru diketahui ketika berumur tujuh tahun. Untungnya, tidak ada yang membuat nyawanya terancam. Marvel hanya perlu operasi untuk menyumbat lubang tersebut, setelahnya Marvel bisa hidup normal. Hal lain yang perlu dirawat dari Marel hanya matanya. Dari usia enam tahun dia sudah harus menggunakan kacamata tebal. Itu terjadi bukan
Marvel menunduk dengan wajah terpesona. Matanya dan bibirnya membuka dengan lucunya, saking terpesonanya dia pada adik bayinya yang baru lahir. Marvel tiap hari bertemu dengan adiknya, tapi tetap saja berekspresi seperti itu. "Eh, Marvel. Pipinya adiknya jangan ditusuk-tusuk gitu dong, Nak." Star mengambil tangan anaknya dengan lembut, agar tidak lagi menjahili si kecil July. Dilarang menggunakan jarinya, kini Marvel kembali mengganggu adiknya dengan cara lain. Kali ini si kecil marvel mengecup pipi July dengan gemas. "Astaga, kecil-kecil sudah ada bibit playboynya." Gumaman asal Helena membuat semua orang tertawa. Helena kembali mengadakan acara syukuran kecil-kecilan untuk cucu ketiganya yang cantik, tepat sebulan setelah kelahirannya. Seperti biasa, bukan hanya Carlton dan Arwen saja yang datang. Keluarga besar Langton juga datang. "Ma, tolong jangan didoaiin yang aneh-aneh dong." Harvie langsung protes mendengar Helena berkata seperti itu. Harvie mengakui kalau dulu dia m
"Mari kita dengar sambutan dari siswa paling berprestasi kita." Seseorang diatas podium mempersilakan Star bergabung. Star berdiri dari tempatnya duduk di barisan paing depan. Dia tersenyum lebar dan berjalan pelan ke atas podium dengan perutnya yang sudah mulai membuncit. "Pertama-tama saya ingin mengucapkan terima kasih pada Tuhan Yang Maha Esa." Star memulai pidatonya dengan ucapan terima kasih pada berbagai pihak. "Terakhir terima kasih untuk keluargaku. Papa, Mama, adik-adik, Mertua, serta suami dan anak-anakku." Star tersenyum penuh haru ke arah keluarganya duduk. Hanya ada Harvie dan kedua orang tua Star di sana, tapi itu saja sudah lebih dari cukup. Lagi pula akan sangat merepotkan kalau anak-anak juga ikut ke acara wisudanya, jadi Helena dan Peter yang mendapat jatah menjaga anak-anak. "Mungkin banyak yang bingung bagaimana saya membagi waktu jadi ibu rumah tangga dan kuliah, tapi ... Saya bisa jadi seperti ini karena keluarga saya. Karena punya suami yang mendukung ser
"Star ada diatas main sama anak-anak." Hera memberitahu ketika melihat Harvie. "Thank you, Ma." Harvie segera berlari ke lantai atas, tempat anak-anak biasa bermain. Ini sudah hari ketiga sejak Star menginap di rumah orang tuanya dan dia sudah amat sangat rindu dengan keluarga kecilnya. "Star?" Harvie membuka pintu ruang bermain dengan pelan dan menemukan kalau semua penghuninya tengah tertidur di atas karpet tebal. Star tertidur dengan laptop yang terbuka, dikelilingi oleh Yvonne, Marvel, Amora dan Benedict. Pemandangan yang sangat manis dan Harvie sungguh berharap bisa punya keluarga besar seperti ini. Tidak ingin mengganggu istirahat mereka, Harvie mengendap-ngendap untuk mematikan laptop Star. Dan dia mulai memindahkan satu persatu manusia itu ke kamar masing-masing. *** "Sudah bangun?" Star mengerjap perlahan mendengar suara Harvie yang sudah dia rindukan. Star pikir dia masih bermimpi dan mengeratkan pelukannnya pada Harvie. "Masih ngantuk ya?" Harvie bertanya de
Star mengetukkan kaki ke teras rumah dengan wajah amat kesal. Irina yang berdiri di sebelahnya dengan memegang setumpuk kertas, tidak berani menatap bosnya itu. "Daddy ke mana sih?" tanya Star dengan ketus. "Biar saya teleponkan." Irina segera bergerak cepat mengambil ponselnya dan menyerahkannya pada Star untuk bicara. "Daddy tahu sudah berapa lama aku nungguin?" tanya Star dengan luar biasa ketusnya. "Maaf, Sayang. Rapatnya selesai lebih lama dar ..." "I don't care. Kan aku sudah bilang berhenti kerja dan suruh Brian yang urus semuanya. Susah banget ya gak kerja selama beberapa bulan?" "Gak bisa gitu, Sayang. Soalnya ini proyek be ...." "Lebih penting proyek atau anakmu? Datang dalam lima menit atau aku pulang ke rumah Mama." Star mematikan sambungan secara sepihak. Setelah penolakan yang dilakukan Star tempo hari, dia akhirnya melakukan test kehamilan karena merasa khawatir. Tentu saja hasilnya positif, dan membuat Star mengamuk. Sekali lagi, Star bukannya tidak mau punya
"Mami. Mami." Marvel berlari-lari untuk menghampiri ibunya yang sedang mengerjakan tugas akhir kuliahnya. Star yang sedang sakit kepala pun refleks tersenyum melihat bocah empat tahun itu. "Kenapa sayang?" Star mengangkat Marvel dan mendudukkan anak yang kini sudah membulat itu di pangkuannya. "Vel mo ade." Usia Marvel sudah empat tahun lebih, tapi belum bisa bicara lancar seperti Yvonne dulu. Dia memang terlambat mulai bicara, jadi kosakatanya masih minim. "Marvel mau adek?" tanya Star dengan ekspresi sedikit horor. "Maksudnya mau punya adek?" Ekspresi Star terlihat makin horor saja ketika anak bungsunya ini mengangguk. Kenapa juga si Marvel bisa tiba-tiba minta adek? "Kenapa Marvel mau minta adek?" tanya Star penasaran. "Lion punya ade," jawab Marvel dengan senyum mengembang. Sepertinya pria kecil Star itu mulai memikirkan indahnya punya adik lagi. “Rion?” Star mengumpat dalam hati. Lain kali Star tidak akan membiarkan Marvel main dengan Rion. “Kakak Von uga.” "Ka
“DONI.” Doni menggeram kesal mendengar suara ayahnya yang menggelegar. Dengan sangat terpaksa, dia meninggalkan permainan game onlinenya dan menghampiri sang ayah. “Kamu ini sebenranya ngapain sih?” tanya sang ayah dengan wajah terlihat sedikit kesal. “Maksud Ayah apaan sih?” tanya Doni bingung. Tapi tiba-tiba saja ayahnya tersenyum. “Kita sekeluarga diundang untuk grand opening mal. Kerjasama Olympus Grup dan Constate Enterprise.” Ayah Doni berteriak riang sambil memeluk anaknya. Bagi para pengusaha, diundang oleh perusahaan kondang saja merupakan suatu kebanggaan. Apalagi yang mengundang ini merupakan perusahaan kelas dunia. “Lalu? Hubungannya denganku apa?” tanya Doni makin bingung. “Katanya pimpinan Constate dan anak tertua dari Olympus Grup mengenalmu secara pribadi, makanya mereka mau mengundang. Ini kesempatan yang sangat baik Doni.” “Apanya?” tanya Doni makin bingung. “Kamu ini gimana sih? Kuliah bisnis, tapi tidak tahu apa-apa soal bisnis. Katanya pemimpin Olympus,
Waktu bergulir dengan cepat. Tidak terasa ujian semester pertama sudah dekat dan Star mah didera banyak masalah yang membuatnya tidak fokus. Marvel terserang flu berat dan menulari Yvonne. Karena Marvel punya masalah pada jantungnya, dia terpaksa harus diinapkan di rumah sakit. Lalu karena Yvonne juga merengek ingin menginap di rumah sakit, dia juga terpaksa dirawat. Kata dokter sih tidak ada masalah karena Star dan Harvie membawa mereka ke rumah sakit tepat waktu, tapi tetap saja Star khawatir dan mempengaruhi fokusnya untuk kuliah. Belum lagi gosip-gosip yang mulai bermunculan. Sama seperti dulu, banyak yang menggosipkannya sebagai wanita panggilan, hamil diluar nikah, peliharaan om-om dan lain sebagainya. Kehadiran Yvonne dan Marvel yang selalu datang menjemput jadi pemicunya. Bukan berarti Star menyalahkan anak-anak. Dia dulu juga sudah digosipkan seperti itu dan kebetulan saja kemunculan anak-anak seolah jadi pembenar gosip itu. Selain itu, Doni yang sudah lama tidak me
"Kok sedari tadi kamu cemberut sih?" Harvie yang baru pulang langsung mengecup puncak kepala Star yang masih menemani anak-anak main. Dua anak kecil itu juga ikut-ikutan minta dikecup oleh ayah mereka. Hanya dikecup, tidak di peluk apalagi digendong karena Harvie belum mandi. "Tante Nadine udah mau balik ke Inggris." Star menjawab dengan jujur. "Terus?" "Terus aku jadi gak punya teman ngobrol seasik dia lagi. Jadinya kalau lagi pusing urusin anak-anak, gak ada teman curhat." Bibir Star maju sedikit, membuat wajahnya makin cemberut saja. "Kalau cuma curhat kan ada banyak orang yang bisa ditemani curhat. Lagi pula kan masih bisa saling telepon atau chat. Beda waktu Indonesia - Inggris kan tidak terlalu jauh." "Oh, iya juga ya. Baru sadar." Cengiran Star membuat Harvie menggeleng pelan. "Tapi kalau kamu memang butuh pengalihan ketika merasa lelah dengan anak-anak, Daddy punya ide yang bagus untuk itu." Harvie tersenyum melihat wajah bingung Star yang selalu membuatnya gemas