Fajar memutuskan untuk bertemu Mira secara langsung. Dia merasa perlu mendengar langsung dari Mira, apakah benar wanita itu ada hubungannya dengan teror yang dialaminya belakangan ini. Dengan hati-hati, Fajar mengatur pertemuan di sebuah kafe yang tenang, jauh dari pusat kota, berharap percakapan mereka akan tetap pribadi. Mira tiba lebih dulu. Dia tampak terkejut ketika melihat Fajar menghampirinya. "Sudah lama sekali," katanya dengan senyum yang samar, meskipun matanya tampak menyiratkan sesuatu yang lebih dalam. "Iya, sudah lama, Mira," Fajar menjawab sambil duduk di depannya. Dia mencoba tetap tenang, tapi ada rasa gelisah yang tak bisa ia sembunyikan. "Aku hanya ingin tahu... apakah kamu terlibat dengan pesan-pesan yang belakangan ini mengganggu hidupku?" Mira terdiam sejenak, lalu tertawa kecil. "Aku? Mengganggu hidupmu? Lucu sekali, Fajar," ucapnya sambil menatapnya dengan tatapan tajam. "Kamu dulu mengabaikan perasaanku dan sekarang kamu malah menuduhku seperti ini?" Fa
Bab Baru: Bulan Madu yang Tak TerlupakanSarah dan Fajar memilih Bali sebagai tujuan wisata mereka. Pesona alam dan budaya Bali menawarkan ketenangan yang mereka butuhkan setelah melewati serangkaian ujian dalam perjalanan mereka menuju pernikahan. Namun, bulan madu yang seharusnya menjadi momen penuh kebahagiaan itu justru diwarnai kejadian-kejadian tak terduga.Mereka menginap di sebuah villa privat yang menghadap laut, memberikan suasana romantis nan damai. Hari-hari pertama mereka dipenuhi dengan aktivitas santai, seperti menikmati sarapan di pinggir pantai, mengunjungi Pura Ulun Danu, dan menjelajahi sawah terasering Tegalalang.Di sela perjalanan, Fajar dan Sarah berbicara tentang harapan mereka akan kehidupan rumah tangga. "Aku ingin kita selalu bisa saling mendukung, apapun tantangannya," kata Sarah sambil menggenggam tangan Fajar."Aku janji, aku akan selalu ada untukmu," balas Fajar lembut.Ketika mereka kembali ke villa suatu malam, Sarah menemukan sebuah amplop di meja mak
Fajar memutuskan untuk tidak menunda lagi. Pagi itu, ia menghubungi salah satu rekan lamanya yang masih memiliki koneksi dengan Mira. Meski Sarah sempat khawatir, ia akhirnya setuju bahwa menghadapi Mira secara langsung mungkin adalah cara terbaik untuk menyelesaikan masalah ini.Setelah beberapa kali mencoba, Fajar akhirnya mendapatkan alamat Mira. Ia tinggal di sebuah vila sederhana di pinggir kota. Dengan perasaan campur aduk, Fajar memutuskan untuk pergi bersama Sarah."Mas Fajar, aku tahu kamu ingin melindungiku, tapi aku harus ikut," kata Sarah tegas saat Fajar mencoba menyuruhnya tinggal di villa.Fajar memandangnya sejenak, lalu mengangguk. "Baik, tapi tetap di belakangku, ya."Ketika mereka tiba di vila Mira, seorang perempuan membuka pintu. Dia adalah Mira, terlihat jauh berbeda dari yang Fajar ingat. Wajahnya menampilkan senyum pahit, seolah dia sudah tahu mengapa Fajar datang."Fajar," katanya pelan, suaranya dingin. "Aku sudah menunggu."Fajar menarik napas dalam-dalam. "
Setelah kejadian malam itu, Fajar dan Sarah memutuskan untuk meningkatkan kewaspadaan. Kejadian ini bukan lagi sekadar gangguan, ini adalah ancaman nyata yang tidak bisa diabaikan.---Pagi itu, Fajar menghubungi seorang teman lamanya, Andi, seorang mantan polisi yang sekarang bekerja sebagai konsultan keamanan."Andi, aku butuh bantuanmu," kata Fajar setelah menjelaskan situasinya."Aku akan segera ke sana," jawab Andi. "Kamu tetap tenang dan jangan bertindak gegabah. Pastikan tidak ada yang tahu kalian merasa terancam."Sarah mendengarkan percakapan itu dari sofa, wajahnya penuh kecemasan. "Apa kita aman di sini, Mas Fajar?”Fajar menatap Sarah, mencoba memberikan ketenangan meski hatinya gelisah. "Kita akan aman. Andi tahu apa yang harus dilakukan."Sore harinya, saat berjalan di tepi pantai, Sarah menemukan sesuatu yang membuatnya merinding, secarik kertas terlipat rapi, separuh terkubur di pasir. Ia membuka kertas itu dengan hati-hati."Kamu tidak bisa menyembunyikan siapa dirimu
**Bab 1: Malam Pengkhianatan**Suasana pesta malam itu gemerlap. Cahaya dari lampu-lampu kristal mewarnai ruangan dengan kilauan emas, sementara suara tawa dan musik bercampur menjadi latar belakang yang riuh. Sarah berdiri di tepi ruangan, memegang gelas sampanye dengan senyum yang dipaksakan. Matanya terus mencari Adam, kekasihnya yang entah berada di mana. Sesuatu dalam hatinya terasa salah, sebuah firasat buruk yang tak bisa ia jelaskan.Saat langkahnya membawanya ke area balkon yang lebih sepi, ia mendengar suara tawa yang familiar. Suara Adam. Hati Sarah berdebar, bukan karena kegembiraan, melainkan kecemasan yang tiba-tiba menyergap. Ia menoleh, dan matanya menangkap sosok Adam. Namun, Adam tidak sendiri.Dia berdiri terlalu dekat dengan seorang wanita berambut panjang yang mengenakan gaun hitam ketat. Mereka berbicara dengan bisikan, terlalu dekat, terlalu intim. Lalu, sebelum Sarah bisa sepenuhnya memahami apa yang sedang dilihatnya, wanita itu tertawa lembut dan Adam membun
Suatu pagi, ketika Sarah sedang duduk di tepi ranjangnya, menatap keluar jendela, seorang dokter muda masuk dengan berkas di tangannya. "Selamat pagi, Nona Sarah," sapanya ceria. "Bagaimana perasaan Anda hari ini?"Sarah menoleh sedikit, memberikan senyum tipis yang tak sampai ke matanya. "Sedikit lebih baik," jawabnya singkat.Dokter itu melangkah lebih dekat, menatap berkas medisnya sebelum berkata, "Luka-luka Anda sembuh dengan baik. Saya rasa hari ini Anda sudah bisa pulang. Tapi...," dia berhenti sejenak, menatap Sarah dengan tatapan empati. "Saya tahu luka di hati mungkin butuh waktu lebih lama untuk sembuh."Sarah tersentak mendengar kata-kata itu. Dia menatap dokter itu dengan penuh tanda tanya.Dokter muda itu tersenyum lembut. "Saya sudah lama bekerja di sini. Banyak pasien yang datang dengan luka fisik akibat kecelakaan, tapi seringkali ada luka lain yang lebih dalam yang tidak terlihat di luar."Sarah terdiam, menunduk menatap tangannya sendiri. "Apa itu juga akan sembuh?
Pagi itu, Sarah duduk di ruang tunggu klinik, matanya menelusuri koridor putih bersih yang diisi dengan poster-poster kesehatan. Ana, asistennya yang setia, duduk di sebelahnya. Ana selalu hadir di setiap sesi terapi dan kontrol Sarah sejak kecelakaan itu. Ia adalah sosok yang Sarah andalkan, tidak hanya dalam pekerjaan tetapi juga dalam kehidupannya sehari-hari. Wajahnya yang tenang memberikan rasa nyaman di tengah kebimbangan dan ketidakpastian yang menyelimuti hidup Sarah."Bagaimana perasaanmu, Sar?" tanya Ana lembut, memecah keheningan yang agak mencekam.Sarah menghela napas panjang sebelum menjawab. "Sejujurnya, masih takut. Setiap kali aku memikirkan dunia modeling lagi, rasanya trauma itu menghantamku lebih keras. Aku tidak tahu apakah aku bisa kembali."Ana mengangguk pelan, menunjukkan bahwa dia memahami kekhawatiran Sarah. "Itu wajar, Sarah. Kamu mengalami sesuatu yang berat, dan tak ada salahnya untuk merasa takut. Tapi aku percaya, perlahan kamu akan menemukan kembali ke
Pagi itu, Sarah duduk di kafe favoritnya, mencoba menenangkan diri sebelum pertemuan penting dengan Nadia, manajernya. Secangkir kopi di depannya nyaris tidak tersentuh, dan pikirannya melayang jauh, memikirkan langkah-langkah yang akan ia ambil dalam kariernya. Dunia modeling adalah hidupnya, tapi setelah kecelakaan dan pengkhianatan Adam, dunia itu terasa asing dan menakutkan.Suara dentingan bel di pintu masuk kafe membuat Sarah tersadar dari lamunannya. Nadia, wanita berpenampilan elegan dengan sikap tegas dan penuh perhatian masuk ke dalam kafe dan langsung menuju ke meja Sarah. Nadia telah bersama Sarah selama bertahun-tahun dan sudah seperti saudara baginya. Meskipun sering keras dalam pekerjaannya, Nadia selalu menjaga kepentingan Sarah."Sarah, sayang, lama tak bertemu. Apa kabarmu?" Nadia tersenyum lebar saat ia menarik kursi dan duduk di seberang Sarah.Sarah memaksakan senyum. "Aku baik-baik saja. Hanya… ya, masih menyesuaikan diri."Nadia menatap Sarah dengan tatapan penu
Setelah kejadian malam itu, Fajar dan Sarah memutuskan untuk meningkatkan kewaspadaan. Kejadian ini bukan lagi sekadar gangguan, ini adalah ancaman nyata yang tidak bisa diabaikan.---Pagi itu, Fajar menghubungi seorang teman lamanya, Andi, seorang mantan polisi yang sekarang bekerja sebagai konsultan keamanan."Andi, aku butuh bantuanmu," kata Fajar setelah menjelaskan situasinya."Aku akan segera ke sana," jawab Andi. "Kamu tetap tenang dan jangan bertindak gegabah. Pastikan tidak ada yang tahu kalian merasa terancam."Sarah mendengarkan percakapan itu dari sofa, wajahnya penuh kecemasan. "Apa kita aman di sini, Mas Fajar?”Fajar menatap Sarah, mencoba memberikan ketenangan meski hatinya gelisah. "Kita akan aman. Andi tahu apa yang harus dilakukan."Sore harinya, saat berjalan di tepi pantai, Sarah menemukan sesuatu yang membuatnya merinding, secarik kertas terlipat rapi, separuh terkubur di pasir. Ia membuka kertas itu dengan hati-hati."Kamu tidak bisa menyembunyikan siapa dirimu
Fajar memutuskan untuk tidak menunda lagi. Pagi itu, ia menghubungi salah satu rekan lamanya yang masih memiliki koneksi dengan Mira. Meski Sarah sempat khawatir, ia akhirnya setuju bahwa menghadapi Mira secara langsung mungkin adalah cara terbaik untuk menyelesaikan masalah ini.Setelah beberapa kali mencoba, Fajar akhirnya mendapatkan alamat Mira. Ia tinggal di sebuah vila sederhana di pinggir kota. Dengan perasaan campur aduk, Fajar memutuskan untuk pergi bersama Sarah."Mas Fajar, aku tahu kamu ingin melindungiku, tapi aku harus ikut," kata Sarah tegas saat Fajar mencoba menyuruhnya tinggal di villa.Fajar memandangnya sejenak, lalu mengangguk. "Baik, tapi tetap di belakangku, ya."Ketika mereka tiba di vila Mira, seorang perempuan membuka pintu. Dia adalah Mira, terlihat jauh berbeda dari yang Fajar ingat. Wajahnya menampilkan senyum pahit, seolah dia sudah tahu mengapa Fajar datang."Fajar," katanya pelan, suaranya dingin. "Aku sudah menunggu."Fajar menarik napas dalam-dalam. "
Bab Baru: Bulan Madu yang Tak TerlupakanSarah dan Fajar memilih Bali sebagai tujuan wisata mereka. Pesona alam dan budaya Bali menawarkan ketenangan yang mereka butuhkan setelah melewati serangkaian ujian dalam perjalanan mereka menuju pernikahan. Namun, bulan madu yang seharusnya menjadi momen penuh kebahagiaan itu justru diwarnai kejadian-kejadian tak terduga.Mereka menginap di sebuah villa privat yang menghadap laut, memberikan suasana romantis nan damai. Hari-hari pertama mereka dipenuhi dengan aktivitas santai, seperti menikmati sarapan di pinggir pantai, mengunjungi Pura Ulun Danu, dan menjelajahi sawah terasering Tegalalang.Di sela perjalanan, Fajar dan Sarah berbicara tentang harapan mereka akan kehidupan rumah tangga. "Aku ingin kita selalu bisa saling mendukung, apapun tantangannya," kata Sarah sambil menggenggam tangan Fajar."Aku janji, aku akan selalu ada untukmu," balas Fajar lembut.Ketika mereka kembali ke villa suatu malam, Sarah menemukan sebuah amplop di meja mak
Fajar memutuskan untuk bertemu Mira secara langsung. Dia merasa perlu mendengar langsung dari Mira, apakah benar wanita itu ada hubungannya dengan teror yang dialaminya belakangan ini. Dengan hati-hati, Fajar mengatur pertemuan di sebuah kafe yang tenang, jauh dari pusat kota, berharap percakapan mereka akan tetap pribadi. Mira tiba lebih dulu. Dia tampak terkejut ketika melihat Fajar menghampirinya. "Sudah lama sekali," katanya dengan senyum yang samar, meskipun matanya tampak menyiratkan sesuatu yang lebih dalam. "Iya, sudah lama, Mira," Fajar menjawab sambil duduk di depannya. Dia mencoba tetap tenang, tapi ada rasa gelisah yang tak bisa ia sembunyikan. "Aku hanya ingin tahu... apakah kamu terlibat dengan pesan-pesan yang belakangan ini mengganggu hidupku?" Mira terdiam sejenak, lalu tertawa kecil. "Aku? Mengganggu hidupmu? Lucu sekali, Fajar," ucapnya sambil menatapnya dengan tatapan tajam. "Kamu dulu mengabaikan perasaanku dan sekarang kamu malah menuduhku seperti ini?" Fa
Hari yang dinanti akhirnya tiba. Pagi itu, udara terasa berbeda, tenang, tapi penuh dengan harapan yang berdebar-debar. Di kamarnya yang penuh dengan dekorasi bunga, Sarah duduk di depan cermin sambil tersenyum lembut. Ana, yang membantu merapikan jilbabnya, sesekali melontarkan canda untuk mencairkan suasana."Sarah, kamu terlihat seperti bidadari. Dokter Fajar bakal terpesona lagi nih, padahal kamu sudah selalu bikin dia terpesona," ujar Ana sambil terkikik.Sarah tertawa kecil, mencoba menenangkan degup jantungnya yang semakin cepat. "Ah, Ana, kamu bisa aja. Doain ya, supaya hari ini berjalan lancar," balas Sarah dengan nada penuh harap.Di ruang tamu, Fajar sedang duduk dengan tenang. Wajahnya memancarkan keteduhan, tapi ada secuil kecemasan yang terselip di matanya. Dia merasa siap, tetapi tidak bisa menepis kekhawatiran yang datang sesekali, terutama mengingat pesan-pesan misterius yang mengganggu beberapa waktu terakhir. Tapi ia menenangkan diri, meyakinkan hati bahwa hari ini
Di suasana pagi yang tenang. Sarah mulai menikmati kehidupan barunya yang lebih damai setelah meninggalkan dunia modeling. Perjalanan hijrahnya kini terasa lebih mantap, terlebih dengan dukungan dari Fajar yang selalu ada di sisinya. Rasa hangat dan tenang perlahan menggantikan kekhawatiran yang dulu selalu menghantui.Pagi itu, saat sedang menikmati teh di teras rumahnya, Sarah menerima pesan dari Fajar. Isinya sederhana tapi penuh makna: "Sarah, aku ingin bicara sesuatu yang penting sore ini. Maukah kamu bertemu di taman tempat kita biasa berbincang?"Sarah tersenyum, membalas pesannya dengan antusias. Rasa penasaran sekaligus harapan mulai tumbuh di hatinya. Meski masih ada pesan-pesan misterius yang sesekali masuk ke ponselnya, Sarah semakin bertekad untuk mengabaikannya. Kali ini, ia tidak ingin membiarkan rasa takut atau bayangan masa lalu menguasainya. Keputusannya sudah bulat; ia ingin memberi dirinya kesempatan untuk bahagia bersama seseorang yang benar-benar peduli padanya.
Sarah berdiri di depan cermin, mengagumi dirinya dalam balutan pakaian tertutup. Dengan senyum tipis, ia merasa bahwa inilah langkah pertama dalam memulai kehidupan yang lebih bermakna. Hari ini, ia akan mengumumkan keputusannya yang besar kepada publik, pengunduran dirinya dari dunia modeling yang telah membesarkan namanya.Ketika ia menekan tombol "kirim" untuk memposting pengumuman itu, ada rasa lega yang meluap dalam dirinya, seakan ia baru saja melepaskan beban berat yang selama ini tertanam di bahunya. Berbagai komentar mulai bermunculan. Beberapa mendukung, beberapa mempertanyakan, tapi Sarah tak lagi goyah.Di sela perasaan lega itu, teleponnya berdering. Nama Fajar muncul di layar, dan Sarah mengangkatnya dengan senyum yang tak bisa ia tahan."Assalamu'alaikum, Sarah," suara Fajar terdengar hangat. "Kamu sudah benar-benar melakukannya, ya?""Wa'alaikumsalam, Mas Fajar," jawab Sarah. "Ya, aku sudah melakukannya. Rasanya seperti… aku bebas untuk pertama kalinya."Fajar tertawa
Sarah duduk di tepi jalan, masih memegang ponselnya yang terasa lebih berat dari biasanya, seolah menjadi saksi dari pilihan-pilihan sulit yang kini dihadapinya. Saat melihat mobil Dokter Fajar mendekat, ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan debar jantungnya. Ia tahu, percakapan ini harus terjadi.Mobil Fajar berhenti tepat di depannya. Dengan senyum hangat, Fajar membukakan pintu, menyambutnya masuk. Begitu ia duduk dan memasang sabuk pengaman, Fajar meliriknya dengan ekspresi sedikit heran."Kok di sini? Kamu sedang apa?" tanyanya sambil menjalankan mobil.Sarah terdiam sejenak, menimbang-nimbang kata-kata yang akan diucapkannya. Namun, ia menyadari bahwa kejujuran adalah satu-satunya jalan agar hubungan mereka tetap kuat. Ia tak ingin ada rahasia yang bisa memicu kesalahpahaman."Aku... baru saja bertemu dengan Adam," ucapnya pelan, tapi cukup jelas. Ia menatap Fajar, berusaha menangkap reaksinya.Fajar mengangguk pelan, masih tenang meski ada sedikit perubahan di raut
Sarah menatap layar ponselnya dengan tatapan penuh keraguan. Nomor tak dikenal yang kini memanggilnya terasa seperti pintu menuju masa lalu yang telah berusaha ia tutup rapat. Jemarinya gemetar, berkutat antara menerima atau mengabaikan panggilan itu. Namun, dorongan hati yang kuat membuatnya akhirnya menggeser layar dan menerima panggilan tersebut."Halo?" suara Sarah terdengar pelan, nyaris tercekat oleh gugup yang menghantui."Sarah," suara di seberang itu terdengar akrab, namun penuh dengan rasa bersalah yang terselubung."Adam?" Sarah hampir tak percaya. Napasnya tercekat mendengar suara mantan tunangannya yang dulu mengkhianatinya dan meninggalkannya terluka."Sarah, aku tahu kamu pasti nggak mau dengar apa pun dariku. Tapi, tolong dengarkan sebentar saja," suara Adam terdengar penuh penyesalan, sedikit serak."Ada apa lagi, Adam?" Sarah menghela napas, mencoba mengendalikan emosinya. "Aku rasa kamu sudah cukup jelas dengan semua yang terjadi. Apa lagi yang mau kamu katakan?""A