Arpad dan Zulu telah mempersiapkan diri sejak pagi buta, untuk berangkat ke rumah keluarga Benca. Erza ikut mempersiapkan perbekalan yang akan dibawa oleh mereka berdua agar memiliki amunisi yang cukup selama perjalanan. Seberapapun Erza berusaha untuk menghibur dirinya sendiri, dia tetap merasa bersalah atas apa yang terjadi terhadap Lorant dan Benca. Kata-kata 'seandainya' berkelebat di kepala, seolah-olah menguatkan, bahwa dirinya ikut andil dalam situasi yang sangat memprihatinkan ini.
"Seandainya saat itu aku ikut Benca ke dapur."
"Seandainya ketika Lorant pergi, aku juga langsung mengajak Benca pergi ke rumahku."
"Seandainya aku memaksa Benca untuk diantarkan oleh pengawal."
"Seandainya..."
"Seandainya..."
Kalimat-kalimat tersebut terus terngiang-ngiang. Membuat Erza stress dan tidak bisa tidur.
"Erza, kamu kenapa?
Arpad tiba di rumah Benca menjelang sore, dari kejauhan dia melihat dua ekor kuda tertambat di dekat rumah Benca. Dengan penuh kewaspadaan, Arpad memerintahkan Zulu untuk berhenti dan berjalan perlahan. Mereka turun dari kuda dengan hati-hati, berusaha tidak menimbulkan suara sekecil apapun. Keduanya segera mengikat kuda mereka di tempat tersembunyi yang agak jauh dari rumah Benca, lalu mulai berjalan diantara semak dan pepohonan, untuk mencari tahu, siapa pemilik kuda tersebut. Arpad memerintahkan Zulu untuk berjaga-jaga di balik dinding rumah di sisi berbeda dengan dirinya. Sementara dia akan berada pada posisi yang siap untuk menyerbu ke dalam. Sebelum itu, mereka menempelkan telinga mereka ke dinding, mencoba mencari tahu kemungkinan yang ada di dalam rumah Benca. "Aym, Kamu yakin hilang di sini?" sebuah suara berat yang sama sekali tidak familiar di telinga Arpad, terdengar. "Ya, sangat yakin," orang yang dipa
"Zulu, ikat mereka berdua." Arpad memberi perintah pada Zulu. Saat Zulu memulai dengan mengikat Edric, pria itu membuka mulutnya untuk menuntaskan rasa penasaran dari dalam dirinya, "Bagaimana kamu bisa sampai di sini begitu cepat?" Sesaat semuanya terdiam, Aymeric mencoba mencerna kata-kata Edric, saat dirinya akan menoleh, gerakannya terhambat oleh pedang yang menempel di lehernya, jadi dia tidak berani bergerak lagi. Sementara Zulu kembali menuntaskan pekerjaannya setelah tadi ikut terdiam sejenak. Sedangkan Arpad, meskipun tadi ikut memikirkan maksud dari kata-kata Edric, namun tidak butuh waktu lama, Arpad langsung mengerti, bahwa Edric mengira dirinya adalah Lorant, karena paras mereka yang memang mirip satu sama lain. Zulu mendudukkan Edric di kuris panjang tempat kemarin dia tertidur, setelah itu melanjutkan dengan mengikat Aymeric. Saat itu Aymeric baru menyadari kata-kata Edric ketika dirinya melihat soso
Ellie sedang mematut diri di depan cermin, hatinya merasa sangat bahagia. Di hadapannya, dia melihat pantulan seorang wanita cantik, muda dan berseri. Semakin dirinya memandang cermin --di mana terdapat pantulan dirinya sedang memandang takjub-- dengan kemudaan rona wajahnya, hatinya semakin yakin, bahwa apa yang selama ini dia lakukan bersama Klara dan pelayan-pelayan setia mereka, adalah sesuatu yang pantas untuk dibayar dengan darah para gadis itu. Rasa bersalah yang sebelumnya masih sering menyelinap di dalam relung hatinya saat melakukan ritual mandi darah perawan, semakin hari semakin sirna tak berbekas. Ellie mulai merasakan, bahwa semua yang dilakukan merupakan sesuatu yang sangat wajar. Dalam doktrin yang Ellie terima melalui Dorka secara intensive, Ellie semakin meyakini, bahwa di dalam hidup ini, memang ada orang-orang yang dilahirkan hanya untuk menjadi tumbal bagi manusia lainnya. Seperti dalam hukum rimba, yang lemah menjad
Ellie pasrah saat Gustav meletakkan tubuhnya perlahan di atas pembaringan. Sambil memejamkan mata, Ellie mengusap pundak Gustav lembut. Nafasnya mulai tidak teratur, dan semburan panas api seperti menjalar melewati nadinya. Ellie menikmati setiap sentuhan lembut saat Gustav menanggalkan pakaiannya lapis demi lapis sambil sesekali menyentuhkan bibirnya di sekujur wajah Ellie. Gustav merasakan panas tubuh Ellie yang meningkat, sama seperti dirinya. Entah mengapa, semua yang ada pada Ellie selalu mampu menghipnotisnya. Ellie yang dikenalnya saat belia maupun saat telah berusia setengah baya, bagi Gustav sama menarik dan selalu saja berhasil membuatnya terseret pada pesona penuh hasrat yang sulit untuk dibendung. Gustav melumuri tubuh kekasihnya dengan sentuhan lembut pada setiap inchi tanpa terlewatkan. Baginya, setiap sudut tubuh Ellie memiliki sensasi kehangatan yang berbeda dan selalu ingin dilumatnya hingga tuntas. Ellie mulai menggelin
"Sial!"Arpad memaki dalam hati sambil tetap meringkuk di kegelapan malam."Aku tidak punya pilihan kecuali menunggu mereka selesai dan menyudahi ritual erotis mereka. Jika aku kembali ke Arva, maka aku akan kehilangan kesempatan untuk menyelidiki rumah pohon ini lebih detil. Selain itu, aku juga harus mengembalikan kunci ini pada tempatnya sebelum pemiliknya menyadari ada yang hilang di dalam rumahnya. Duplikat kunci yang aku buat sudah dicoba dan bisa membuka kotak itu kapan saja aku mau. jadi, aku harus mengembalikan kunci ini segera agar tidak menimbulkan kecurigaan." Meskipun Arpad tidak melihat apa yang dilakukan kedua insan dimabuk asmara tersebut, namun Arpad paham benar bahwa mereka yang sedang bergelut di bawah pekatnya langit dengan kelip bintang, sedang dilanda hasrat erotisme yang luar biasa. Matanya bisa berpaling dari memandang siluet dua insan tersebut, tetapi bagaimana dengan suara-suara serta rintihan dan lenguhan
Udara malam di bulan November menjelang musim dingin mulai menggigit, membuat orang-orang lebih memilih tinggal di dalam rumah dan menghangatkan diri bersama keluarga sambil menikmati kudapan ringan atau semangkuk sup.Tetapi disebuah kamar yang megah dan mewah, Lorant mengerang menahan sakit yang tidak terkira, tubuhnya seperti terbakar, meminta untuk dituntaskan hasrat yang tidak dapat ditahan. Sekuat apapun dia menolak, tubuhnya justru semakin mengejang, membuat sensasi dahaga asmara yang menyakitkan. Dalam kondisi ini, bahkan Lorant merasa yakin, dirinya mampu mencairkan es yang beku sekalipun, saking berkobarnya hawa panas membara dalam dirinya.Matanya nanar menatap tajam seorang gadis dengan tubuh polos yang berjalan anggun mendekatinya perlahan. Wajah gadis itu sangat cantik, mungil, dengan bibir tipis merah mempesona, matanya biru cemerlang seperti samudera yang luas, sangat serasi dengan kulitnya yang putih sehalus pualam, karena p
Dalam kesendirian di tengah malam, Benca terbangun. Meskipun udara di dalam kamarnya cukup sejuk, namun tubuhnya basah bersimbah keringat. Dengan nafas memburu, Benca mencoba untuk mengembalikan kesadarannya. Kemudian perlahan mengambil air mineral yang tersedia di meja nakas, di samping tempat tidurnya. Setelah tenang, Benca kembali duduk dan bersandar pada kepala tempat tidur sambil memeluk lututnya. Dia masih gemetar akibat mimpi buruknya,"Lorant, kamu di mana? aku mendengarmu memanggilku dari kegelapan. Kamu kenapa? apakah semuanya baik-baik saja? ada apa denganmu, sayang? aku hanya mendengar suaramu meraung sedih memanggilku, lalu dari kegelapan tanganmu menggapai-gapai, seolah meminta pertolongan. Tetapi, aku tidak bisa meraihmu. Aku tidak bisa menggenggam tanganmu. Kamu terasa dekat, namun juga jauh. Setiap kali aku seperti sudah dekat dan merasakan jemarimu, seketika kamu seperti tersedot dan menghilang."Benca menangis dalam hati.
Sinar matahari menerobos kerapatan pepohonan dan daun-daun di dalam hutan, hingga menerangi dan menghangatkan wajah Arpad yang teridur pulas dibalik rimbunnya dedaunan. Arpad menggeliat, merasakan disorientasi sesaat. Arpad memicingkan matanya, karena efek sinar matahari yang langsung menerpa wajahnya. Beberapa waktu kemudian, barulah Arpad ingat semuanya, mengapa dirinya sampai tertidur di tempat ini. Refleks dirinya melongok, melihat ke arah rumah pohon yang sudah sepi, seolah-olah tidak pernah terjadi pergumulan hebat semalam. Arpad mempelajari situasinya sebentar, memastikan bahwa semua aman, lalu mulai mengendap-endap menuju rumah pohon. Sejenak dirinya terdiam, mencoba menangkap suara sekecil apapun yang mungkin masih tersisa di rumah pohon. Namun telinganya yang cukup tajam, tidak mendengar apapun kecuali desir angin di bulan November yang cukup intens. Arpad cukup terkejut mendapati dirinya bisa tertidur ny
Suasana pemakaman cukup sepi. Hanya dihadiri oleh kerabat dekat saja. Waktu pemakaman juga dibuat sesingkat mungkin. Benca menatap nanar saat peti mati diturunkan ke dalam liang lahat. "Bibi Ellie, semoga arwahmu tenang di sisi-Nya. Aku sudah memafkanmu, meskipun kamu tidak pernah memintanya." Benca memejamkan matanya, mencoba melupakan kejadian empat tahun lalu saat dirinya disekap bersama Lovisa di ruang bawah tanah. Bagaimanapun, Benca merasakan bahwa Ellie tidak sungguh-sungguh ingin menyakitinya. Ellie hanya sedang terjebak dalam situasi yang serba salah. Setelah prosesi pemakaman dilakukan, satu persatu pergi meninggalkan makam dan kembali ke rumah masing-masing. Orang memastikan bahwa di sanalah jasad Blood Countess de Ecsed atau Mother of Vampire disemayamkan. Sebuah episode kehidupan dari seorang Blood Countess de Ecsed atau Mother of Vampire telah berakhir. *** Epilog : Yang orang-orang dan dunia luar tidak ketahui adalah, jasad Ellie dimakamkan di dalam hutan, dekat sebu
Seluruh keluarga masih berduka saat selesai menghadiri pemakaman Gustav. Tidak berapa lama, seorang pengawal masuk, mengabarkan bahwa Ellie telah meninggal di dalam ruangan tahanannya. Hal tersebut diketahui karena Ellie tidak menyentuh makanannya sama sekali, setelah pintu dibuka untuk memeriksa, Ellie ditemukan terkapar di lantai sudah tidak bernyawa. Arpad berdiri terpaku, membeku seperti patung yang bernyawa."Apakah aku yang telah menyebabkan bibi Ellie meninggal? Selama ini, Ayah Gustav tidak pernah mengetahui bahwa Bibi Ellie masih hidup dan ditahan di dalam kastilnya sendiri. Ayah Gustav selalu berpikir, bahwa Bibi Ellie telah menerima hukuman mati bersama yang lainnya. Sejak itu, kondisi kesehatan Ayah Gustav terus menurun dan akhirnya pergi. Ayah Gustav memang tidak pernah membicarakan atau mengeluhkan apa yang dirasakannya. tetapi aku tahu, apa yang membuatnya berubah seratus delapanpuluh derajat sejak kepergian Bibi Ellie. Dia pasti sangat
Di dalam sebuah ruang sempit dengan ventilasi kecil untuk sekedar bernafas, serta lubang pintu yang hanya cukup untuk meletakkan sepiring makanan setiap harinya. Ellie terduduk di sudut sambil memeluk lutut dan menyembunyikan wajahnya di antara kedua lututnya yang hanya tinggal tulang berbalut kulit saja. Entah sudah berapa lama dia terkurung di ruangan ini. Ingatannya sudah mulai memudar, dan dia juga telah menjadi tua, keriput, jelek, kurus dan lemah. Namun semua itu tidak lagi mengganggu Ellie. Hanya ada sesuatu yang masih lekat dalam memorinya, dia adalah Gustav, kekasih hatinya, orang yang paling dia cintai seumur hidupnya. Saat ini dirinya tidak lagi meratapi serta menyesali perbuatannya yang telah merugikan banyak pihak, dia sudah menerima hukumannya dengan ikhlas. Tetapi, hatinya lebih sering didera kerinduan, serta kesepian yang teramat sangat terhadap Gustav kekasihnya. Terakhir kali dia menatap wajah kekasihnya adalah ketika dirinya digiring seperti
Setelah terungkapnya tragedi pembunuhan berantai di Kastil Cachtice, beredar desas-desus mengenai sisi lain dari sang putri yang diberi julukan Blood Countess De Ecsed. Cerita bergulir bagaikan bola liar yang panas, menghubungkan praktek pembunuhan tersebut dengan ritual satanisme yang di anut oleh sang putri berdarah. Rakyat dicekam rasa takut akan adanya semacam sekte atau aliran satanisme yang membutuhkan tumbal atau persembahan berupa darah gadis perawan yang mungkin masih berjalan di suatu tempat di sekitar mereka. Gosip dan desas-desus terus berseliweran diantara para rakyat untuk waktu yang cukup lama. Kondisi tidak serta merta menjadi normal lagi seperti sediakala setelah keputusan dan hukuman dijatuhkan terhadap putri berdarah dan pengikutnya. "Sebaiknya, selepas senja, tidak boleh ada seorang gadispun yang boleh berkeliaran di luar rumah. Mungkin saja arwah Blood Countess de Ecsed masih bergentayangan mencari korban." Sekelompo
Para tersangka duduk diam menunduk di hadapan Raja Matyas. Sebelumnya, Raja Matyas telah mendengarkan keterangan dari para saksi dalam pertemuan terpisah, juga mempelajari semua laporan yang disusun oleh Gyorgy, Lorant dan Arpad. Tidak ada keramaian dalam persidangan ini, hanya para tersangka, Gyorgy, Arpad, Lorant, beberapa mentri, serta hakim yang akan memberikan pertimbangan hukuman bagi para tersangka yang sesungguhnya telah diputuskan pada pertemuan tertutup sebelumnya. Elizabeth Bathory dan Klara sebagai tersangka utama tidak dihadirkan dalam persidangan dengan berbagai pertimbangan. Bagaimanapun, persidangan secara terbuka bagi keluarga kerajaan akan sangat memalukan, mengingat garis keturunan serta hubungan kekerabatan dengan kerajaan-kerajaan lain, juga mengingat jasa-jasa kepahlawanan suami tersangka utama pada kerajaan menjadi faktor penting dalam menjaga hubungan baik, maka mereka tidak akan pernah melakukan persidangan terbuka untuknya. Memperkara
Sambil menarik nafas sejenak, Pendeta Luthern Istvan Magyari melanjutkan laporannya kepada Raja Matyas, “….karena jumlahnya semakin banyak, aku mencurigai bahwa meninggalnya mereka bukanlah sesuatu yang wajar, Tuanku. Sehingga aku menolak untuk memberikan penghormatan terakhir bagi mereka yang meninggal tersebut. Tetapi kalau pada akhirnya mereka membuang mayat-mayat tersebut di sembarang tempat begitu saja, aku sungguh tidak mengetahuinya.” Pendeta Luthern Istvan Magyari mengakhiri laporannya, di hadapannya Raja Matyas terpaku bisu setelah mendengar penjelasan tersebut. Bayangan mayat-mayat bergelimpangan di semak-semak, di dalam hutan, maupun di tempat-tempat pembuangan, membuatnya merasa sangat terpukul. Dia sering berada di medan tempur untuk berjuang membela negara, melibas musuh-musuhnya tanpa ampun, namun di dalam area pemerintahannya sendiri, telah terjadi praktek pembunuhan yang kejam dan berjalan sudah cukup lama tanpa diketahui. Hal ini seperti sebu
Gustav sedang berada di taman yang dipenuhi bunga-bunga, dia duduk tersenyum menatap istri dan putri ciliknya yang memiliki wajah bercahaya, sedang bermain mengejar kupu-kupu yang menarik perhatian dengan warnanya yang rupawan. Ellie begitu cantik, muda dan mempesona. Putri mereka tidak berhenti tertawa mengejar kupu-kupu, tiba-tiba saja seekor burung gagak menyerang putri mereka hingga tersungkur jatuh. Wajah putri mereka yang bercahaya beradu dengan tanah, membuat dia menangis. Gustav yang kaget segera hendak menolong, namun istrinya yang cantik mendadak berubah menjadi monster yang mengerikan. Wajahnya menjadi sangat pucat dengan taring yang semakin memanjang. Tatapan matanya nanar tertuju pada burung gagak tersebut, lalu secepat kilat menyambar burung gagak dan melumatnya dengan buas, membuat wajahnya berlumuran dengan darah segar. Putri mereka yang sudah bangkit dan melihat ibunya melakukan sesuatu yang sangat mengerikan dengan waja
Lorant memperhatikan kening Benca yang berkedut serta sudut mata yang sedikit mengerut, seperti sedang gelisah. Lorant masih menggenggam jemari Lovisa untuk memberinya kekuatan, sementara kondisi Benca membuatnya hawatir, jadi dia mengulurkan sebelah tangannya untuk mengelus kening Benca agar bisa lebih tenang. Saat itu, Arpad datang sambil membawa roti dan air untuk diberikan kepada Lorant. Dia juga melihat wajah Benca yang gelisah. Sepertinya Benca sedang memimpikan sesuatu di dalam bawah sadarnya. Arpad dan Lorant saling memandang. Lorant meminta Arpad untuk duduk di dekatnya dan menggenggam jemari Benca, sementara dirinya tetap berada di dekat Lovisa. Dengan sebelah tangannya yang tadi mengelus Benca, Lorant mengambil roti dan mulai mengisi perutnya yang kosong sejak lama. Rasanya, makanan terakhir yang masuk ke tubuhnya adalah kemarin saat mereka baru saja selesai dari penyelidikkan di rumah pohon milik Gustav. Setelah itu, mereka langsung marathon melaku
Gustav memasuki rumahnya dengan gontai. Rasanya, seluruh jiwa raganya berada terpisah di dunia masing-masing, tidak saling terhubung satu sama lain. Gustav memasuki ruang kerja, mengambil sebuah lukisan dalam bingkai kecil yang berada dalam laci mejanya, lalu memandang lekat-lekat lukisan versi mini antara dirinya dengan Ellie, satu-satunya wanita yang telah membuat hatinya terjerat dan tidak mampu berpaling. Lintasan-lintasan peristiwa berseliweran di kepalanya bagaikan sebuah film yang diputar secara otomatis. Segalanya tampak baru terjadi kemarin, padahal waktu telah membawa mereka pada usia senja. "Ellie, sayangku. Sampai kapanpun, aku akan tetap mencintaimu. Bila dunia memutuskan bahwa dirimu bersalah, maka aku harus bisa menerima dengan ikhlas segala keputusan yang akan diberikan. Kalau saja boleh, aku ingin menggantikan posisimu saat dipersidangan. Karena aku pasti tidak akan kuat melihatmu diadili."