***
Membaca komentar itu, hatiku benar-benar tak tenang. Batinku yakin kalau itu adalah benar-benar Irma menantuku.Suara ketukan pintu menyadarkanku dari kerisauan. Suamiku pulang dari Masjid, ia mendekatiku saat didapatinya aku yang tak seperti biasanya."Kenapa sih?""Aaah, bukan apa-apa, Pa.""Kalau bukan apa-apa, kenapa kelihatan risau begitu?"Aku hanya diam, kupegang erat HP yang malah membuat suamiku curiga."Kamu sedang cemas karna apa?" tanyanya sambil meraih HP yang kupegang.Diamatinya layar HP yang masih terbuka itu, ia usap beberapa kali."Hmmm, akun gossip? ini yang bikin kamu risau?""Bukan koook...!""Udah tau akun gosip, pasti banyak mengandung mudharat daripada manfaat. Begini deh contohnya, suami pulang, bukannya disambut dengan senyuman, malah wajah risau yang kelihatan.""Is Papa, bukan karna akun gossip ini kok. Nah tuh, azan Isya. Mama mau ambil wudu dulu deh. Lagian Papa tumben pulang sebelum Isya?""Ah, itu... Papa rasa-rasanya malu sekali tadi di Masjid.""Malu? kenapa Pa?""Seorang yang mengaku punya sangkut paut hutang piutang sama anak kita Romi, Ma.""Hutang?!""Ya, dia bilang hutang berbunga pula.""Rentenir, Pa?"Suamiku mengangguk lesu,"Ya, lima belas persen katanya.""Astagfirullaah... berapa banyak hutangnya, Pa?""Tadinya sih sepuluh juta, sekarang udah jadi tiga belas juta. Dan akan terus bertambah, jika bulan ini tidak dibayar juga.""Ya, Allah! bisa-bisanya si Romi. Kenapa dia bisa berhutang sih, Pa? bukannya dia punya gaji yang lumayan besar?""Iya, besar sih besar. Tapi kalau pengeluaran juga besar, sama saja itu.""Pengeluaran apa sih, Pa? anak juga belum punya.""Kredit mobil, karna khawatir mobil ditarik dan bisa mempermalukan citranya di depan tetangga, mau gak mau pinjam uang dari Rentenir.""Lho? kan pasti sebelum ambil kredit, udah ada perhitungannya dong berapa sebulan?""Awalnya begitu, andai saja istrinya gak tergoda ikut arisan sana-sini.""Astagfirullah, Papa tau darimana si Mila ada arisan di mana-mana?""Si Rentenir itu yang cerita. Dua bulan belum bisa bayar, karna ada arisan di sana-sini yang harus dibayar juga.""Ya Allah."***Minggu pagi, di teras rumah. Aku dan Suamiku sedang duduk-duduk sambil minum teh. Tiba-tiba, Romi dan Mila datang dengan motornya yang direm mendadak tepat di depan kami."Assalamu'alaikum, Ma, Pa."Romi dan Mila menyalami kami seperti sedang panik."Wa'alaikum salam. Kalian kenapa? kok kelihatan panik begitu?" tanyaku."Ma, Pa, tolong bantu kami dong.""Bantuin apa?" aku sudah merasa ini pasti perkara hutang."Mas Romi dikejar-kejar Rentir Ma, Pa. Sekarang mereka ada di rumah. Hari ini harus dibayarkan minimal bunganya untuk bulan ini, kami gak punya uang sama sekali, Ma, Pa."Suamiku tak menolehkan wajahnya pada mereka, ia mengalihkan pandangannya ke jalan di luar pagar halaman kami."Pa, gimana ini?" tanyaku."Kalian urus dan bertanggung jawablah atas perbuatan kalian sendiri!" Suamiku berdiri dan langsung melangkah masuk ke rumah."Pa! jangan begitu dong... Kasihan anak-anak." pintaku mencoba menahan langkah Suamiku."Anak-anak? mereka sudah dewasa. Seharusnya bisa berfikir yang matang, kalau memang tak punya uang tuk melunasi hutang itu, jual saja mobil kalian itu! kenapa harus merengek datang ke sini." tegas Suamiku."Pa, menjual Mobil juga butuh waktu, kami butuhnya uangnya sekarang. Hanya tiga belas juta saja. Setelah itu kami akan cicil pada Papa, sejuta sebulan, ya Pa." menantuku Mila mencoba membujuk Suamiku."Hanya tiga belas juta?! kalian pikir uang itu gampang didapatkan begitu saja? tiga belas juta kalian bilang hanya!"Suamiku masuk ke dalam, ia tak menggubrisku yang menahannya untuk pergi."Ma, tolong dong." bujuk Mila padaku."Mama juga gak punya uang sebanyak itu, Nak." kataku gusar.Tiba-tiba Mila meraih tangan kiriku, ia menatap lekat gelang emas di pergelangan tanganku."Ma! gimana kalau gelang ini kami pinjam dulu ya?! tolong dong Ma. Nanti dapat harga jualnya berapa, sisanya sama Mama, trus pembayaran kami cicil perbulan, ya Ma!?"Romi yang melihat itu, langsung terlihat tak nyaman. Ia menepis tangan Mila yang masih memegang tangan kiriku."Hus! kamu lancang sekali." tegur Romi."Ya, terus kita harus gimana lagi coba?! kamu mau kita malu diliatin tetangga isi rumah kita diambilin sama Rentenir itu?""Makanya, aku udah bilangkan dari dulu sama kamu! jangan ikut-ikutan arisan! kamu ngeyel dibilangin!""Loh, kok kamu masih nyalahin aku! bukankah kemaren itu kamu yang bilang sama aku, semua terserah aku?""Kamu, ya? dibilangin masih aja ngeyel! membangkang sama suami, bukannya minta maaf!"Mereka bertengkar tepat di depanku. Ini membuatku malu sekali, terlebih tetangga mulai terlihat mondar-mandir berlalu lalang di depan halaman rumah kami."Sudah! sudah! kenapa kalian jadi bertengkar begini?""Ya udah Ma, kalau Mama gak mau kami ribut seperti ini, tolong dong kami dibantu. Saat ini kami butuh banget gelang Mama itu. Mama kan gak butuh juga, cuma jadi hiasan saja di tangan, sedang kami udah darurat, Ma." ucap Mila menantutku dengan suara yang bisa didengar oleh tetangga sekitar."Tapi ini, hadiah dari Papa kalian." aku mulai tak bisa menahan rasa sedihku."Ma, kami janji akan mengganti yang sama persis dengan itu nanti, tolong dong Ma." Mila tak menyerah membujukku.Kupandangi sekitar, tetangga sudah mulai bisik-bisik. Kulihat gelang emas yang melingkar di pergelangan tanganku, sekilas ada bayangan masa lalu yang terlintas.Ini adalah gelang yang dibelikan suamiku dahulu saat anak-anakku masih remaja semua. Dulu, ia memiliki motor yang sudah tua, motor itu adalah motor yang menemaninya sejak masih muda. Dan seorang kollektor menawarkan harga yang lumayan tinggi untuk motor itu.Karna menurut suamiku, motor itu akan terawat di tangan yang tepat, daripada tersimpan di rumah tak terpakai dan berkarat, motor itu akhirnya dijual, dan hasilnya dibelikanlah gelang emas ini untukku sebagai hadiah.Aku masih ragu, namun kudapati anak dan menantuku itu kembali adu mulut. Ribut, dan Romi anakku hampir saja melayangkan tangannya ke wajah Menantuku."Astaghfirullah, Romi! sejak kapan kamu bisa sekasar ini?" tanyaku marah."Dia udah kurang ajar sekali, Ma!" jawab Romi yang masih emosional."Tampar saja! tampar! di depan tetangga-tetangga ini, mereka akan jadi saksi kamu melakukan KDRT padaku." Mila tak kalah emosionalnya."Sudah-sudah! ini, ambil saja gelang Mama. Kalian juallah, bayarlah hutang-hutang kalian!"Mendengar itu, Mila langsung meraih tangan kiriku. Tanpa canggung sedikitpun ia buka gelang itu dari pergelangan tanganku, Romi yang melihat itu hanya bisa mengusap wajahnya dan berpaling.Mila segera memasukkan gelang itu ke saku celananya, setelah mengucapkan terimakasih, ia melangkah pergi begitu saja, meninggalkan Romi yang masih emosional dan bingung harus bagaimana.Romi pamit padaku, ia segera melangkah menuju motornya dan mengejar istrinya yang berjalan kaki sangat cepat di depan._________________***Saat Romi sudah pergi, aku masuk ke dalam. Kudapati Suamiku sedang berdiri di balik jendela ruang tamu. Rupanya dia mengamati kami sedari tadi dari dalam. "Kenapa malah kamu berikan gelang itu, Ma?" tanya Suamiku. "Mama gak punya pilihan lain, Pa, maafkan Mama ya. Lagian, mereka berjanji akan menyicilnya juga.""Kamu percaya? Papa sih, enggak!""Jangan begitu Pa, sama anak dan menantu sendiri kok gak percayaan.""Saran Papa, lebih baik Mama ikhlasin deh itu gelang. Anggap sudah hilang atau gak pernah ada sama sekali. Daripada nantinya berharap-harap setiap si Romi gajian, eh ujung-ujungnya, Mama yang sakit hati.""Romi pasti menyicilnya, Pa."Suamiku menghela nafas dalam, ia menggeleng-geleng dan menepuk pundakku. "Jangan terlalu difikirkan, Pa. Yang penting sekarang, mereka udah gak dikejar-kejar sama Rentenir itu lagi.""Awal mereka berhutang itu kan, karna telat bayar Angsuran mobilnya, kan? lantas, gimana tuh nantinya?""Ya sudahlah, mereka juga pasti memikirkannya. Sudah a
***Kuperhatikan beberapa postingannya, kebanyakan gambar dan video tentang produk yang ia jual. Ada beberapa foto pribadi, foto Dion anaknya, foto ia dan suaminya, dan foto keluarga besarnya. Sama sekali tak ada fotoku atau suamiku. Bahkan ada foto-foto momen lebaran, ia hanya memposting foto ia, suami dan anaknya, dan beberapa foto keluarga besarnya. Padahal setiap berlebaran di rumah ini, mereka tampak heboh berswa foto dan video.Setidak sudi itukah menantuku memposting fotoku dan suamiku di media sosial mereka? ah, mungkin memang kami tak begitu berkesan di hati mereka. Tiba-tiba kulihat Irma baru saja update story, 'Halah, sok tegas! biasa juga takut sama bini. Adil apanya? pilih kasih sih tepatnya! makan tuh harta, udah bau tanah padahal. Mau dibawa mati kali tuh semuanya.'Aku terkejut membaca story-nya. Apakah Irma yang kukenal memang terbiasa berkata-kata kasar seperti ini? lantas, kepada siapa kata-kata itu ia tujukan?Kucoba melihat akun-akun apa saja yang ia ikuti. Te
***Kulaju motorku menuju rumah Romi. Mangga yang kubawa, ada dua kantung kresek. Sudah cukup lama aku tak pernah lagi menyambangi rumah mereka. Apakah ini salah satu kesalahanku juga sebagai Mertua? Aku sudah sampai di depan Rumah, kutekan bel, dan Mila keluar. Sepertinya ia baru bangun tidur. "Ah, Mama? tumben siang-siang begini? ada apa ya, Ma?""Ah, ini tadi si Mbak habis panen buah mangga yang di halaman, Mama antar ke sini sekalianlah silaturrahmi. Udah lama juga gak main ke sini.""Oooh, ya, ya! masuk Ma." "Romi belum pulang?""Belum Ma, sebentar ya Mila ke dapur dulu bikin minuman."Aku duduk di ruang tamu, rumah ini tampak lengang. Mila sudah berumah tangga sekitar lima tahun dengan Romi, namun belum dikaruniai anak. Meski begitu, tak pernah sekalipun aku berani bertanya pada salah satu dari mereka, kapan kira-kira mereka bisa memberikan kami Cucu. Karna dahulu-pun, aku sempat merasakan hal yang tak enak tentang pertanyaan itu. Selama tiga tahun menunggu, barulah kami dika
Bab 7. Kecelakaan***Kubuka mataku perlahan, samar kupandangi sekitar, meski masih buram namun tampak familiar. Yah, ini sepertinya sebuah ruangan yang pernah kudatangi saat menjenguk tetangga, ini di Rumah Sakit. Kucoba menggerakkan bagian tubuhku, ada yang aneh. Sebelah dari tubuhku tak bisa digerakkan, tidak ada rasa. Tepatnya bagian tubuh sebelah kanan. Aku melenguh, mencoba kembali. Namun tetap saja gerakan yang kuusahakan tak ada rasa gerakan sama sekali. "Mama!" teriak seorang Laki-laki. "Mama sudah siuman?" tanya seorang Laki-laki lagi yang sangat kukenali. "Maaah, ini Papa. Mama sekarang di rawat di Rumah Sakit." untuk suara ini aku sangat tahu, ini suara suamiku. Tiga orang laki-laki mendekatkan wajahnya ke arahku, wajah-wajah yang tampak cemas penuh kekhawatiran. Mereka Anak-anak dan Suamiku. Kulihat pula di belakang mereka, berdiri dua orang Wanita yang melihat ke arahku, wajah yang tak menunjukkan kekhawatiran, hanya semburat cemas yang apa adanya. "Ke,kena...ppa
***Hari ini giliran Irma yang menjagaku, ia datang pagi-pagi sekali. Ia bersama Irwan dan Dion. Saat si Mbak sedang menyuapiku makan di teras, dengan menggunakan kursi roda aku duduk di sana. Irma menyalamiku, menunjukkan senyum antusiasnya. Kukira ia akan berbeda dengan Mila. Namun, mungkin aku terlalu berharap. "Maaas, ayo sarapan dulu!" teriaknya berlari kecil ke dapur mengajak Irwan. Irwan yang masih ada di dekatku menyahuti tak nyaman. Seolah canggung menuruti keinginan istrinya yang datang-datang ke rumah ini, langsung ke dapur mencari makanan. "Irma, kamu bantuin Ibuk kek di luar. Gantiin si Mbak nyuapin Ibu makan gitu." ucap Irwan perlahan, namun tetap terdengar olehku. "Ah, si Mbak kan bisa, Mas! lihat ini, banyak makanan di sini, lumayan untuk kita sarapan. Ayo makan dulu! lagian, Dion aja belum aku suapin dari tadi."Si Mbak yang ikut mendengar itu menatapku, kami saling bertatapan. Aku mengangguk, meminta si Mbak untuk mengantarku ke kamarku. Irwan akhirnya berangka
***Sore hari, kudengar suara deru motor Suamiku. Ia pulang lebih cepat dari biasanya, namun sepertinya sangat terburu-buru. Kudengar suara langkahnya sangat cepat di balik jendela kamar. Ia masuk mengucapkan salam, dan disambut oleh Irma dan Mila yang masih asyik ngobrol di sofa ruang tamu. Tak lama kemudian, Romi dan Irwan tiba pula menyusul. Mereka serempak memarkirkan motornya di halaman dengan memasang wajah bingung. Aku melihatnya dari jendela kamar pula. "Mbak! bawa Ibuk ke sini!" perintah Suamiku pada si Mbak dengan nada tak biasa, seperti menahan marah. Tampak si Mbak berlari kecil menuju kamar, membantuku duduk di kursi roda, kemudian segera mendorongku ke ruang tamu. Kulihat Romi dan Irwan duduk gusar dan bingung, demikian kedua menantuku, masing-masing mendekat ke suaminya dengan wajah yang tak nyaman dan bingung pula. Setelah aku di dorong mendekat dengan Suamiku. Kulihat suamiku membuka tasnya, mengeluarkan Laptopnya dan menyalakannya. Tampak ia membuka sebuah Apli
***Selepas kejadian kemarin sore, tekadku benar-benar kulaksanakan mulai pagi ini. Kupinta Suamiku untuk membimbingku berdiri di halaman. Awalnya, Suamiku menyarankan untuk tak perlu terburu-buru. Namun, aku sudah bertekad untuk segera pulih dari kelumpuhan ini. Kutahan kedua kakiku untuk bisa menopang tubuhku, kufokuskan fikiranku agar sebelah kakiku yang lumpuh ini bisa merespon perintah dari otakku. Namun, tak semudah itu. Kelumpuhan setengah badan sangatlah berat. Beberapa kali aku mencoba berdiri, namun tetap saja setengah dari tubuhku lunglai tak berdaya. Belum lagi para tetangga yang ikut melihat dan sesekali menyapa, membuat mentalku yang tadinya sudah mencoba berani, kini menjadi ciut dihantam rasa minder dan capek. "Udahan nih?" tanya Suamiku saat mendapatiku tak bersemangat lagi untuk mencoba berdiri. "Mama malu, Pa." jawabku menunduk. Suamiku melihat ke sekitar, beberapa tetangga masih setia berdiri di dekat pagar, menungguku kembali berdiri, seolah penasaran dengan
***Gemetar aku meminta si Mbak mengambil Hpku. Si Mbak berlari segera ke dalam, kemudian menekan tombol untuk memanggil Romi dari Hpku. Begitu terhubung, kuminta Romi agar segera datang ke rumah ini. "Buk, tolonglah untuk tidak menggebu-gebu, atau terburu-buru menyimpulkan sesuatu. Majikan saya baru saja pulih dari struk, saya khawatir ini Buk." si Mbak berusaha memohon pada Ibunya Mila. "Terburu-buru bagaimana? jelas-jelas anak saya Mila sudah ditalak dan anak saya pulang hanya membawa sekoper pakaian pulang ke rumah saya! bagaimana bisa saya tidak menggebu-gebu dengan ketidak adilan ini?""Tak apa-apa Mbak, saya bisa menerima ini. Mila, apa benar Romi berselingkuh?" tanyaku perlahan pada Mila yang sedari tadi memasang gestur berlindung di belakang Ibunya. Mila melirik ke arah Ibunya, "Ya! dan dia menyalahkan aku. Katanya aku mandul, dan tidak bisa menghargai Ibunya."Deg! jantungku seperti berhenti berdetak. Ada rasa kecewa menyirami seluruh hatiku, bagaimana bisa anakku Romi m
***Romi memandang Amanda sambil tersenyum. Romi juga memandang ke arah Suamiku yang tampak tenang dan siap mendengarkan penjelasan Romi. Aku yang sedari tadi menyiap-nyiapkan mental untuk mendengar pernyataan mereka, meremas seprai kuat-kuat. "Ada apa sebenarnya, Romi?" tanya Suamiku. "Anak yang ada di dalam kandungan Amanda ini, bukan anak Romi, Ma, Pa." ucap Romi santai. "Apa?!" aku terkejut. "Ya, ini anak dari sahabat Romi, Dodi Hartanto.""Ja, jadi, bagaimana ini sebenarnya, Romi?" tanyaku semakin cemas. "Ma, Pa. Ini adalah satu-satunya cara agar aku bisa bercerai dengan Mila.""Apa?!" aku semakin kaget. "Aku sudah lelah dituduh mandul terus sama dia. Ia dan keluarganya selalu membanggakan diri dan keturunan keluarganya, kalau mereka adalah keturunan yang subur. Dan akulah penyebab Mila tak kunjung hamil sampai sekarang. Ia tak mau dicerai, ia bahkan mengancamku jika aku menceraikannya, dia akan melakukan aksi menyiksa diri sendiri kemudian melapor ke Kantor Polisi agar aku
***Pagi ini hari Minggu, Suamiku menemaniku ke kamar mandi, memandikanku, dan sekarang sedang memakaikanku pakaian. Setelah selesai, tiba-tiba suara ketukan beberapa kali terdengar. Si Mbak yang hendak ke Pasar, membukakan pintu. Si Mbak mengantarkan orang yang datang itu ke kamarku, dia adalah Mila. Mila sendirian saja, tapi kali ini dengan raut tenang dan terlihat santai. Mendapati kehadiran Mila yang tiba-tiba, aku dan Suamiku saling pandang heran, "Ada apa Mila? sepertinya ada yang ingin kamu sampaikan?" tanya Suamiku. "Yah, ini ada kaitannya dengan Selingkuhannya mas Romi." katanya santai. Aku dan suamiku saling memandang, mengapa pula Mila datang ke sini, jika untuk membahas masalah rumah tangga mereka? "Bukankah itu bisa kau sampaikan saja pada Romi?" tanya Suamiku. "Aku tadi baru saja pulang ke rumah. Kudapati perempuan itu di sana. Aku juga sudah menyampaikan ini pada mereka.""Apa? Romi sudah menempatkan perempuan itu di sana?" tanyaku kaget. "Kenapa Ma? bukankah M
***Sepertinya, aku kembali pingsan. Kudapati diriku sudah terbaring di atas ranjang. Keadaan di mana Romi, Irwan dan Suamiku berada di kamar. Mereka mendekatiku saat tau aku sudah siuman. Menanyakan bagaimana yang kurasakan saat ini, dan apa keluhanku. Kutatap Romi lebih lama. Entah sejak kapan ada plester luka di dahinya, kuusap dahinya. "Ini kenapa?" tanyaku padanya. "Ii, ini luka, Ma." jawabnya. "Apa tadi Papamu memukulimu sampai terluka?" tanyaku melihat ke arah Suamiku. "Tidak Ma! ini bahkan sudah ada beberapa hari yang lalu.""Kenapa?" tanyaku curiga. "Dilempar sama Mila, Ma. Saat dia tahu aku menghianatinya."Kuhembuskan nafas beratku perlahan, kejadian tadi masih terasa baru saja terjadi. "Kemana Besan dan menantuku?" tanyaku mengitari pandangan ke semua arah. "Mereka sudah pergi." jawab Suamiku. "Masalah ini pasti berlanjut ke depan, takkan selesai begitu saja." gumamku. "Mereka pergi saat Mama pingsan. Alih-alih khawatir, Ibunya Mila malah mengkhawatirkan Video y
***Gemetar aku meminta si Mbak mengambil Hpku. Si Mbak berlari segera ke dalam, kemudian menekan tombol untuk memanggil Romi dari Hpku. Begitu terhubung, kuminta Romi agar segera datang ke rumah ini. "Buk, tolonglah untuk tidak menggebu-gebu, atau terburu-buru menyimpulkan sesuatu. Majikan saya baru saja pulih dari struk, saya khawatir ini Buk." si Mbak berusaha memohon pada Ibunya Mila. "Terburu-buru bagaimana? jelas-jelas anak saya Mila sudah ditalak dan anak saya pulang hanya membawa sekoper pakaian pulang ke rumah saya! bagaimana bisa saya tidak menggebu-gebu dengan ketidak adilan ini?""Tak apa-apa Mbak, saya bisa menerima ini. Mila, apa benar Romi berselingkuh?" tanyaku perlahan pada Mila yang sedari tadi memasang gestur berlindung di belakang Ibunya. Mila melirik ke arah Ibunya, "Ya! dan dia menyalahkan aku. Katanya aku mandul, dan tidak bisa menghargai Ibunya."Deg! jantungku seperti berhenti berdetak. Ada rasa kecewa menyirami seluruh hatiku, bagaimana bisa anakku Romi m
***Selepas kejadian kemarin sore, tekadku benar-benar kulaksanakan mulai pagi ini. Kupinta Suamiku untuk membimbingku berdiri di halaman. Awalnya, Suamiku menyarankan untuk tak perlu terburu-buru. Namun, aku sudah bertekad untuk segera pulih dari kelumpuhan ini. Kutahan kedua kakiku untuk bisa menopang tubuhku, kufokuskan fikiranku agar sebelah kakiku yang lumpuh ini bisa merespon perintah dari otakku. Namun, tak semudah itu. Kelumpuhan setengah badan sangatlah berat. Beberapa kali aku mencoba berdiri, namun tetap saja setengah dari tubuhku lunglai tak berdaya. Belum lagi para tetangga yang ikut melihat dan sesekali menyapa, membuat mentalku yang tadinya sudah mencoba berani, kini menjadi ciut dihantam rasa minder dan capek. "Udahan nih?" tanya Suamiku saat mendapatiku tak bersemangat lagi untuk mencoba berdiri. "Mama malu, Pa." jawabku menunduk. Suamiku melihat ke sekitar, beberapa tetangga masih setia berdiri di dekat pagar, menungguku kembali berdiri, seolah penasaran dengan
***Sore hari, kudengar suara deru motor Suamiku. Ia pulang lebih cepat dari biasanya, namun sepertinya sangat terburu-buru. Kudengar suara langkahnya sangat cepat di balik jendela kamar. Ia masuk mengucapkan salam, dan disambut oleh Irma dan Mila yang masih asyik ngobrol di sofa ruang tamu. Tak lama kemudian, Romi dan Irwan tiba pula menyusul. Mereka serempak memarkirkan motornya di halaman dengan memasang wajah bingung. Aku melihatnya dari jendela kamar pula. "Mbak! bawa Ibuk ke sini!" perintah Suamiku pada si Mbak dengan nada tak biasa, seperti menahan marah. Tampak si Mbak berlari kecil menuju kamar, membantuku duduk di kursi roda, kemudian segera mendorongku ke ruang tamu. Kulihat Romi dan Irwan duduk gusar dan bingung, demikian kedua menantuku, masing-masing mendekat ke suaminya dengan wajah yang tak nyaman dan bingung pula. Setelah aku di dorong mendekat dengan Suamiku. Kulihat suamiku membuka tasnya, mengeluarkan Laptopnya dan menyalakannya. Tampak ia membuka sebuah Apli
***Hari ini giliran Irma yang menjagaku, ia datang pagi-pagi sekali. Ia bersama Irwan dan Dion. Saat si Mbak sedang menyuapiku makan di teras, dengan menggunakan kursi roda aku duduk di sana. Irma menyalamiku, menunjukkan senyum antusiasnya. Kukira ia akan berbeda dengan Mila. Namun, mungkin aku terlalu berharap. "Maaas, ayo sarapan dulu!" teriaknya berlari kecil ke dapur mengajak Irwan. Irwan yang masih ada di dekatku menyahuti tak nyaman. Seolah canggung menuruti keinginan istrinya yang datang-datang ke rumah ini, langsung ke dapur mencari makanan. "Irma, kamu bantuin Ibuk kek di luar. Gantiin si Mbak nyuapin Ibu makan gitu." ucap Irwan perlahan, namun tetap terdengar olehku. "Ah, si Mbak kan bisa, Mas! lihat ini, banyak makanan di sini, lumayan untuk kita sarapan. Ayo makan dulu! lagian, Dion aja belum aku suapin dari tadi."Si Mbak yang ikut mendengar itu menatapku, kami saling bertatapan. Aku mengangguk, meminta si Mbak untuk mengantarku ke kamarku. Irwan akhirnya berangka
Bab 7. Kecelakaan***Kubuka mataku perlahan, samar kupandangi sekitar, meski masih buram namun tampak familiar. Yah, ini sepertinya sebuah ruangan yang pernah kudatangi saat menjenguk tetangga, ini di Rumah Sakit. Kucoba menggerakkan bagian tubuhku, ada yang aneh. Sebelah dari tubuhku tak bisa digerakkan, tidak ada rasa. Tepatnya bagian tubuh sebelah kanan. Aku melenguh, mencoba kembali. Namun tetap saja gerakan yang kuusahakan tak ada rasa gerakan sama sekali. "Mama!" teriak seorang Laki-laki. "Mama sudah siuman?" tanya seorang Laki-laki lagi yang sangat kukenali. "Maaah, ini Papa. Mama sekarang di rawat di Rumah Sakit." untuk suara ini aku sangat tahu, ini suara suamiku. Tiga orang laki-laki mendekatkan wajahnya ke arahku, wajah-wajah yang tampak cemas penuh kekhawatiran. Mereka Anak-anak dan Suamiku. Kulihat pula di belakang mereka, berdiri dua orang Wanita yang melihat ke arahku, wajah yang tak menunjukkan kekhawatiran, hanya semburat cemas yang apa adanya. "Ke,kena...ppa
***Kulaju motorku menuju rumah Romi. Mangga yang kubawa, ada dua kantung kresek. Sudah cukup lama aku tak pernah lagi menyambangi rumah mereka. Apakah ini salah satu kesalahanku juga sebagai Mertua? Aku sudah sampai di depan Rumah, kutekan bel, dan Mila keluar. Sepertinya ia baru bangun tidur. "Ah, Mama? tumben siang-siang begini? ada apa ya, Ma?""Ah, ini tadi si Mbak habis panen buah mangga yang di halaman, Mama antar ke sini sekalianlah silaturrahmi. Udah lama juga gak main ke sini.""Oooh, ya, ya! masuk Ma." "Romi belum pulang?""Belum Ma, sebentar ya Mila ke dapur dulu bikin minuman."Aku duduk di ruang tamu, rumah ini tampak lengang. Mila sudah berumah tangga sekitar lima tahun dengan Romi, namun belum dikaruniai anak. Meski begitu, tak pernah sekalipun aku berani bertanya pada salah satu dari mereka, kapan kira-kira mereka bisa memberikan kami Cucu. Karna dahulu-pun, aku sempat merasakan hal yang tak enak tentang pertanyaan itu. Selama tiga tahun menunggu, barulah kami dika