***
Kulaju motorku menuju rumah Romi. Mangga yang kubawa, ada dua kantung kresek. Sudah cukup lama aku tak pernah lagi menyambangi rumah mereka. Apakah ini salah satu kesalahanku juga sebagai Mertua?Aku sudah sampai di depan Rumah, kutekan bel, dan Mila keluar. Sepertinya ia baru bangun tidur."Ah, Mama? tumben siang-siang begini? ada apa ya, Ma?""Ah, ini tadi si Mbak habis panen buah mangga yang di halaman, Mama antar ke sini sekalianlah silaturrahmi. Udah lama juga gak main ke sini.""Oooh, ya, ya! masuk Ma.""Romi belum pulang?""Belum Ma, sebentar ya Mila ke dapur dulu bikin minuman."Aku duduk di ruang tamu, rumah ini tampak lengang. Mila sudah berumah tangga sekitar lima tahun dengan Romi, namun belum dikaruniai anak. Meski begitu, tak pernah sekalipun aku berani bertanya pada salah satu dari mereka, kapan kira-kira mereka bisa memberikan kami Cucu. Karna dahulu-pun, aku sempat merasakan hal yang tak enak tentang pertanyaan itu. Selama tiga tahun menunggu, barulah kami dikaruniai seorang Putra, yaitu Romi. Dan dua tahun kemudian, lahirlah Irwan.Sebuah notif WA berbunyi. Dari si Mbak, yang isinya sebuah gambar.Kubuka gambar itu, sakit sekali rasanya. Kudapati sebuah tangkapan layar story WA milik Mila yang baru ia posting.[Ngapain sih orangtua ini? ganggu orang lagi tidur aja!]Sekitar dua menit kemudian, Mila muncul dari dapur, membawa dua gelas minuman dingin. Ia sangat ramah melayaniku, bercerita tentang kesehariannya di rumah, dan bagaimana ia menghabiskan waktunya.Setelah sekitar lima belas menit, aku pamit. Kutitip salam untuk Romi, dan kulaju motorku. Sekarang menuju rumah Irma.Namun sepertinya Irma tak ada di rumah. Kutanya pada tetangga, katanya Irma baru saja keluar dengan anaknya.Kuletakkan bungkusan mangga itu di atas meja tamu di teras rumahnya. Kupandangi sekitar halaman, berserakan sekali daun-daun berguguran. Tampaknya, Irma tak sempat membersihkannya karna harus mengurus Dion yang masih kecil.Kuambil sapu lidi, kusempatkan membersihkan halaman rumahnya. Mumpung Irwan belum pulang, benakku.Namun, sebuah sepeda motor berhenti di halaman."Mama?" Irwan menyapaku."Loh? udah pulang?""Iya, kerjaan aku kebetulan cepat selesai hari ini. Mama ngapain?" tanya Irwan sambil menyalamku."Aah, ini tadi lagi ngantar Mangga, buahnya banyak. Makanya Mama bagi sekalian ke sini.""Irma mana, Ma?""Dia keluar kata Tetangga.""Lantas, Mama ngapain ini?""Ng, Mama lihat banyak daun yang berserakan. Gak apa-apalah Mama nyapu sedikit.""Jangan Ma! biar nanti Irma aja yang nyapu.""Udah, gak apa-apa. Kamu masuk gih, mandi, ganti baju."Irwan tampak canggung meninggalkanku masuk ke rumahnya. Sambil menyapu, dua buah notif WA berbunyi. Dan itu dari si Mbak.Isinya ada dua buah gambar. Kubuka satu per satu, tangkapan layar story WA Irma, dan story WA Mila.[Ya ampun! pintar sekali Mak Lampir itu pencitraan? tau suamiku mau pulang, dia main nyapu halaman rumah orang aja!] caption dari sebuah foto yang memperlihatkan aku sedang berbicara dengan Irwan di halaman rumahnya.Aku menelan ludah berat, berarti Irma ada di sekitar sini, melihatku sambil bersembunyi. Ia hanya tak mau bertemu denganku, makanya dia keluar rumah. Mungkin sebelum ke sini, Mila sudah mengabari Irma dahulu.Kubuka tangkapan layar story WA Mila. Sakit sekali hatiku melihatnya, mangga yang kuantar ke rumahnya, ia masukkan ke dalam tong sampah."Jijique!" demikian captionnya.Sepertinya Irwan sedang mandi, dan Irma takkan pulang, sebelum aku pergi. Kusudahi menyapu halaman itu, kukumpulkan sampahnya, kumasukkan ke tong sampah. Setelah itu, kustarter motorku tanpa pamit pada Irwan.Sepanjang jalan, air mataku menetes. Banyak pertanyaan di benakku. Apa yang salah di diriku? adakah aku melakukan kesalahan hingga mereka sebegitu bencinya padaku?Mataku dipenuhi air mata, hingga mengaburkan penglihatanku. Pertanyaan demi pertanyaan bertaburan di benakku. Adakah dahulu aku durhaka pada Mertuaku? hingga aku harus mendapat balasan menantu yang menyakitiku seperti ini? Atau apakah ada kata-kataku yang kerap menyakiti hati keduanya?Tiba-tiba saja motor yang kukendarai terperosok menabrak tiang listrik. Seluruh pandanganku berkunang-kunang, dan gelap.___________________Bab 7. Kecelakaan***Kubuka mataku perlahan, samar kupandangi sekitar, meski masih buram namun tampak familiar. Yah, ini sepertinya sebuah ruangan yang pernah kudatangi saat menjenguk tetangga, ini di Rumah Sakit. Kucoba menggerakkan bagian tubuhku, ada yang aneh. Sebelah dari tubuhku tak bisa digerakkan, tidak ada rasa. Tepatnya bagian tubuh sebelah kanan. Aku melenguh, mencoba kembali. Namun tetap saja gerakan yang kuusahakan tak ada rasa gerakan sama sekali. "Mama!" teriak seorang Laki-laki. "Mama sudah siuman?" tanya seorang Laki-laki lagi yang sangat kukenali. "Maaah, ini Papa. Mama sekarang di rawat di Rumah Sakit." untuk suara ini aku sangat tahu, ini suara suamiku. Tiga orang laki-laki mendekatkan wajahnya ke arahku, wajah-wajah yang tampak cemas penuh kekhawatiran. Mereka Anak-anak dan Suamiku. Kulihat pula di belakang mereka, berdiri dua orang Wanita yang melihat ke arahku, wajah yang tak menunjukkan kekhawatiran, hanya semburat cemas yang apa adanya. "Ke,kena...ppa
***Hari ini giliran Irma yang menjagaku, ia datang pagi-pagi sekali. Ia bersama Irwan dan Dion. Saat si Mbak sedang menyuapiku makan di teras, dengan menggunakan kursi roda aku duduk di sana. Irma menyalamiku, menunjukkan senyum antusiasnya. Kukira ia akan berbeda dengan Mila. Namun, mungkin aku terlalu berharap. "Maaas, ayo sarapan dulu!" teriaknya berlari kecil ke dapur mengajak Irwan. Irwan yang masih ada di dekatku menyahuti tak nyaman. Seolah canggung menuruti keinginan istrinya yang datang-datang ke rumah ini, langsung ke dapur mencari makanan. "Irma, kamu bantuin Ibuk kek di luar. Gantiin si Mbak nyuapin Ibu makan gitu." ucap Irwan perlahan, namun tetap terdengar olehku. "Ah, si Mbak kan bisa, Mas! lihat ini, banyak makanan di sini, lumayan untuk kita sarapan. Ayo makan dulu! lagian, Dion aja belum aku suapin dari tadi."Si Mbak yang ikut mendengar itu menatapku, kami saling bertatapan. Aku mengangguk, meminta si Mbak untuk mengantarku ke kamarku. Irwan akhirnya berangka
***Sore hari, kudengar suara deru motor Suamiku. Ia pulang lebih cepat dari biasanya, namun sepertinya sangat terburu-buru. Kudengar suara langkahnya sangat cepat di balik jendela kamar. Ia masuk mengucapkan salam, dan disambut oleh Irma dan Mila yang masih asyik ngobrol di sofa ruang tamu. Tak lama kemudian, Romi dan Irwan tiba pula menyusul. Mereka serempak memarkirkan motornya di halaman dengan memasang wajah bingung. Aku melihatnya dari jendela kamar pula. "Mbak! bawa Ibuk ke sini!" perintah Suamiku pada si Mbak dengan nada tak biasa, seperti menahan marah. Tampak si Mbak berlari kecil menuju kamar, membantuku duduk di kursi roda, kemudian segera mendorongku ke ruang tamu. Kulihat Romi dan Irwan duduk gusar dan bingung, demikian kedua menantuku, masing-masing mendekat ke suaminya dengan wajah yang tak nyaman dan bingung pula. Setelah aku di dorong mendekat dengan Suamiku. Kulihat suamiku membuka tasnya, mengeluarkan Laptopnya dan menyalakannya. Tampak ia membuka sebuah Apli
***Selepas kejadian kemarin sore, tekadku benar-benar kulaksanakan mulai pagi ini. Kupinta Suamiku untuk membimbingku berdiri di halaman. Awalnya, Suamiku menyarankan untuk tak perlu terburu-buru. Namun, aku sudah bertekad untuk segera pulih dari kelumpuhan ini. Kutahan kedua kakiku untuk bisa menopang tubuhku, kufokuskan fikiranku agar sebelah kakiku yang lumpuh ini bisa merespon perintah dari otakku. Namun, tak semudah itu. Kelumpuhan setengah badan sangatlah berat. Beberapa kali aku mencoba berdiri, namun tetap saja setengah dari tubuhku lunglai tak berdaya. Belum lagi para tetangga yang ikut melihat dan sesekali menyapa, membuat mentalku yang tadinya sudah mencoba berani, kini menjadi ciut dihantam rasa minder dan capek. "Udahan nih?" tanya Suamiku saat mendapatiku tak bersemangat lagi untuk mencoba berdiri. "Mama malu, Pa." jawabku menunduk. Suamiku melihat ke sekitar, beberapa tetangga masih setia berdiri di dekat pagar, menungguku kembali berdiri, seolah penasaran dengan
***Gemetar aku meminta si Mbak mengambil Hpku. Si Mbak berlari segera ke dalam, kemudian menekan tombol untuk memanggil Romi dari Hpku. Begitu terhubung, kuminta Romi agar segera datang ke rumah ini. "Buk, tolonglah untuk tidak menggebu-gebu, atau terburu-buru menyimpulkan sesuatu. Majikan saya baru saja pulih dari struk, saya khawatir ini Buk." si Mbak berusaha memohon pada Ibunya Mila. "Terburu-buru bagaimana? jelas-jelas anak saya Mila sudah ditalak dan anak saya pulang hanya membawa sekoper pakaian pulang ke rumah saya! bagaimana bisa saya tidak menggebu-gebu dengan ketidak adilan ini?""Tak apa-apa Mbak, saya bisa menerima ini. Mila, apa benar Romi berselingkuh?" tanyaku perlahan pada Mila yang sedari tadi memasang gestur berlindung di belakang Ibunya. Mila melirik ke arah Ibunya, "Ya! dan dia menyalahkan aku. Katanya aku mandul, dan tidak bisa menghargai Ibunya."Deg! jantungku seperti berhenti berdetak. Ada rasa kecewa menyirami seluruh hatiku, bagaimana bisa anakku Romi m
***Sepertinya, aku kembali pingsan. Kudapati diriku sudah terbaring di atas ranjang. Keadaan di mana Romi, Irwan dan Suamiku berada di kamar. Mereka mendekatiku saat tau aku sudah siuman. Menanyakan bagaimana yang kurasakan saat ini, dan apa keluhanku. Kutatap Romi lebih lama. Entah sejak kapan ada plester luka di dahinya, kuusap dahinya. "Ini kenapa?" tanyaku padanya. "Ii, ini luka, Ma." jawabnya. "Apa tadi Papamu memukulimu sampai terluka?" tanyaku melihat ke arah Suamiku. "Tidak Ma! ini bahkan sudah ada beberapa hari yang lalu.""Kenapa?" tanyaku curiga. "Dilempar sama Mila, Ma. Saat dia tahu aku menghianatinya."Kuhembuskan nafas beratku perlahan, kejadian tadi masih terasa baru saja terjadi. "Kemana Besan dan menantuku?" tanyaku mengitari pandangan ke semua arah. "Mereka sudah pergi." jawab Suamiku. "Masalah ini pasti berlanjut ke depan, takkan selesai begitu saja." gumamku. "Mereka pergi saat Mama pingsan. Alih-alih khawatir, Ibunya Mila malah mengkhawatirkan Video y
***Pagi ini hari Minggu, Suamiku menemaniku ke kamar mandi, memandikanku, dan sekarang sedang memakaikanku pakaian. Setelah selesai, tiba-tiba suara ketukan beberapa kali terdengar. Si Mbak yang hendak ke Pasar, membukakan pintu. Si Mbak mengantarkan orang yang datang itu ke kamarku, dia adalah Mila. Mila sendirian saja, tapi kali ini dengan raut tenang dan terlihat santai. Mendapati kehadiran Mila yang tiba-tiba, aku dan Suamiku saling pandang heran, "Ada apa Mila? sepertinya ada yang ingin kamu sampaikan?" tanya Suamiku. "Yah, ini ada kaitannya dengan Selingkuhannya mas Romi." katanya santai. Aku dan suamiku saling memandang, mengapa pula Mila datang ke sini, jika untuk membahas masalah rumah tangga mereka? "Bukankah itu bisa kau sampaikan saja pada Romi?" tanya Suamiku. "Aku tadi baru saja pulang ke rumah. Kudapati perempuan itu di sana. Aku juga sudah menyampaikan ini pada mereka.""Apa? Romi sudah menempatkan perempuan itu di sana?" tanyaku kaget. "Kenapa Ma? bukankah M
***Romi memandang Amanda sambil tersenyum. Romi juga memandang ke arah Suamiku yang tampak tenang dan siap mendengarkan penjelasan Romi. Aku yang sedari tadi menyiap-nyiapkan mental untuk mendengar pernyataan mereka, meremas seprai kuat-kuat. "Ada apa sebenarnya, Romi?" tanya Suamiku. "Anak yang ada di dalam kandungan Amanda ini, bukan anak Romi, Ma, Pa." ucap Romi santai. "Apa?!" aku terkejut. "Ya, ini anak dari sahabat Romi, Dodi Hartanto.""Ja, jadi, bagaimana ini sebenarnya, Romi?" tanyaku semakin cemas. "Ma, Pa. Ini adalah satu-satunya cara agar aku bisa bercerai dengan Mila.""Apa?!" aku semakin kaget. "Aku sudah lelah dituduh mandul terus sama dia. Ia dan keluarganya selalu membanggakan diri dan keturunan keluarganya, kalau mereka adalah keturunan yang subur. Dan akulah penyebab Mila tak kunjung hamil sampai sekarang. Ia tak mau dicerai, ia bahkan mengancamku jika aku menceraikannya, dia akan melakukan aksi menyiksa diri sendiri kemudian melapor ke Kantor Polisi agar aku
***Romi memandang Amanda sambil tersenyum. Romi juga memandang ke arah Suamiku yang tampak tenang dan siap mendengarkan penjelasan Romi. Aku yang sedari tadi menyiap-nyiapkan mental untuk mendengar pernyataan mereka, meremas seprai kuat-kuat. "Ada apa sebenarnya, Romi?" tanya Suamiku. "Anak yang ada di dalam kandungan Amanda ini, bukan anak Romi, Ma, Pa." ucap Romi santai. "Apa?!" aku terkejut. "Ya, ini anak dari sahabat Romi, Dodi Hartanto.""Ja, jadi, bagaimana ini sebenarnya, Romi?" tanyaku semakin cemas. "Ma, Pa. Ini adalah satu-satunya cara agar aku bisa bercerai dengan Mila.""Apa?!" aku semakin kaget. "Aku sudah lelah dituduh mandul terus sama dia. Ia dan keluarganya selalu membanggakan diri dan keturunan keluarganya, kalau mereka adalah keturunan yang subur. Dan akulah penyebab Mila tak kunjung hamil sampai sekarang. Ia tak mau dicerai, ia bahkan mengancamku jika aku menceraikannya, dia akan melakukan aksi menyiksa diri sendiri kemudian melapor ke Kantor Polisi agar aku
***Pagi ini hari Minggu, Suamiku menemaniku ke kamar mandi, memandikanku, dan sekarang sedang memakaikanku pakaian. Setelah selesai, tiba-tiba suara ketukan beberapa kali terdengar. Si Mbak yang hendak ke Pasar, membukakan pintu. Si Mbak mengantarkan orang yang datang itu ke kamarku, dia adalah Mila. Mila sendirian saja, tapi kali ini dengan raut tenang dan terlihat santai. Mendapati kehadiran Mila yang tiba-tiba, aku dan Suamiku saling pandang heran, "Ada apa Mila? sepertinya ada yang ingin kamu sampaikan?" tanya Suamiku. "Yah, ini ada kaitannya dengan Selingkuhannya mas Romi." katanya santai. Aku dan suamiku saling memandang, mengapa pula Mila datang ke sini, jika untuk membahas masalah rumah tangga mereka? "Bukankah itu bisa kau sampaikan saja pada Romi?" tanya Suamiku. "Aku tadi baru saja pulang ke rumah. Kudapati perempuan itu di sana. Aku juga sudah menyampaikan ini pada mereka.""Apa? Romi sudah menempatkan perempuan itu di sana?" tanyaku kaget. "Kenapa Ma? bukankah M
***Sepertinya, aku kembali pingsan. Kudapati diriku sudah terbaring di atas ranjang. Keadaan di mana Romi, Irwan dan Suamiku berada di kamar. Mereka mendekatiku saat tau aku sudah siuman. Menanyakan bagaimana yang kurasakan saat ini, dan apa keluhanku. Kutatap Romi lebih lama. Entah sejak kapan ada plester luka di dahinya, kuusap dahinya. "Ini kenapa?" tanyaku padanya. "Ii, ini luka, Ma." jawabnya. "Apa tadi Papamu memukulimu sampai terluka?" tanyaku melihat ke arah Suamiku. "Tidak Ma! ini bahkan sudah ada beberapa hari yang lalu.""Kenapa?" tanyaku curiga. "Dilempar sama Mila, Ma. Saat dia tahu aku menghianatinya."Kuhembuskan nafas beratku perlahan, kejadian tadi masih terasa baru saja terjadi. "Kemana Besan dan menantuku?" tanyaku mengitari pandangan ke semua arah. "Mereka sudah pergi." jawab Suamiku. "Masalah ini pasti berlanjut ke depan, takkan selesai begitu saja." gumamku. "Mereka pergi saat Mama pingsan. Alih-alih khawatir, Ibunya Mila malah mengkhawatirkan Video y
***Gemetar aku meminta si Mbak mengambil Hpku. Si Mbak berlari segera ke dalam, kemudian menekan tombol untuk memanggil Romi dari Hpku. Begitu terhubung, kuminta Romi agar segera datang ke rumah ini. "Buk, tolonglah untuk tidak menggebu-gebu, atau terburu-buru menyimpulkan sesuatu. Majikan saya baru saja pulih dari struk, saya khawatir ini Buk." si Mbak berusaha memohon pada Ibunya Mila. "Terburu-buru bagaimana? jelas-jelas anak saya Mila sudah ditalak dan anak saya pulang hanya membawa sekoper pakaian pulang ke rumah saya! bagaimana bisa saya tidak menggebu-gebu dengan ketidak adilan ini?""Tak apa-apa Mbak, saya bisa menerima ini. Mila, apa benar Romi berselingkuh?" tanyaku perlahan pada Mila yang sedari tadi memasang gestur berlindung di belakang Ibunya. Mila melirik ke arah Ibunya, "Ya! dan dia menyalahkan aku. Katanya aku mandul, dan tidak bisa menghargai Ibunya."Deg! jantungku seperti berhenti berdetak. Ada rasa kecewa menyirami seluruh hatiku, bagaimana bisa anakku Romi m
***Selepas kejadian kemarin sore, tekadku benar-benar kulaksanakan mulai pagi ini. Kupinta Suamiku untuk membimbingku berdiri di halaman. Awalnya, Suamiku menyarankan untuk tak perlu terburu-buru. Namun, aku sudah bertekad untuk segera pulih dari kelumpuhan ini. Kutahan kedua kakiku untuk bisa menopang tubuhku, kufokuskan fikiranku agar sebelah kakiku yang lumpuh ini bisa merespon perintah dari otakku. Namun, tak semudah itu. Kelumpuhan setengah badan sangatlah berat. Beberapa kali aku mencoba berdiri, namun tetap saja setengah dari tubuhku lunglai tak berdaya. Belum lagi para tetangga yang ikut melihat dan sesekali menyapa, membuat mentalku yang tadinya sudah mencoba berani, kini menjadi ciut dihantam rasa minder dan capek. "Udahan nih?" tanya Suamiku saat mendapatiku tak bersemangat lagi untuk mencoba berdiri. "Mama malu, Pa." jawabku menunduk. Suamiku melihat ke sekitar, beberapa tetangga masih setia berdiri di dekat pagar, menungguku kembali berdiri, seolah penasaran dengan
***Sore hari, kudengar suara deru motor Suamiku. Ia pulang lebih cepat dari biasanya, namun sepertinya sangat terburu-buru. Kudengar suara langkahnya sangat cepat di balik jendela kamar. Ia masuk mengucapkan salam, dan disambut oleh Irma dan Mila yang masih asyik ngobrol di sofa ruang tamu. Tak lama kemudian, Romi dan Irwan tiba pula menyusul. Mereka serempak memarkirkan motornya di halaman dengan memasang wajah bingung. Aku melihatnya dari jendela kamar pula. "Mbak! bawa Ibuk ke sini!" perintah Suamiku pada si Mbak dengan nada tak biasa, seperti menahan marah. Tampak si Mbak berlari kecil menuju kamar, membantuku duduk di kursi roda, kemudian segera mendorongku ke ruang tamu. Kulihat Romi dan Irwan duduk gusar dan bingung, demikian kedua menantuku, masing-masing mendekat ke suaminya dengan wajah yang tak nyaman dan bingung pula. Setelah aku di dorong mendekat dengan Suamiku. Kulihat suamiku membuka tasnya, mengeluarkan Laptopnya dan menyalakannya. Tampak ia membuka sebuah Apli
***Hari ini giliran Irma yang menjagaku, ia datang pagi-pagi sekali. Ia bersama Irwan dan Dion. Saat si Mbak sedang menyuapiku makan di teras, dengan menggunakan kursi roda aku duduk di sana. Irma menyalamiku, menunjukkan senyum antusiasnya. Kukira ia akan berbeda dengan Mila. Namun, mungkin aku terlalu berharap. "Maaas, ayo sarapan dulu!" teriaknya berlari kecil ke dapur mengajak Irwan. Irwan yang masih ada di dekatku menyahuti tak nyaman. Seolah canggung menuruti keinginan istrinya yang datang-datang ke rumah ini, langsung ke dapur mencari makanan. "Irma, kamu bantuin Ibuk kek di luar. Gantiin si Mbak nyuapin Ibu makan gitu." ucap Irwan perlahan, namun tetap terdengar olehku. "Ah, si Mbak kan bisa, Mas! lihat ini, banyak makanan di sini, lumayan untuk kita sarapan. Ayo makan dulu! lagian, Dion aja belum aku suapin dari tadi."Si Mbak yang ikut mendengar itu menatapku, kami saling bertatapan. Aku mengangguk, meminta si Mbak untuk mengantarku ke kamarku. Irwan akhirnya berangka
Bab 7. Kecelakaan***Kubuka mataku perlahan, samar kupandangi sekitar, meski masih buram namun tampak familiar. Yah, ini sepertinya sebuah ruangan yang pernah kudatangi saat menjenguk tetangga, ini di Rumah Sakit. Kucoba menggerakkan bagian tubuhku, ada yang aneh. Sebelah dari tubuhku tak bisa digerakkan, tidak ada rasa. Tepatnya bagian tubuh sebelah kanan. Aku melenguh, mencoba kembali. Namun tetap saja gerakan yang kuusahakan tak ada rasa gerakan sama sekali. "Mama!" teriak seorang Laki-laki. "Mama sudah siuman?" tanya seorang Laki-laki lagi yang sangat kukenali. "Maaah, ini Papa. Mama sekarang di rawat di Rumah Sakit." untuk suara ini aku sangat tahu, ini suara suamiku. Tiga orang laki-laki mendekatkan wajahnya ke arahku, wajah-wajah yang tampak cemas penuh kekhawatiran. Mereka Anak-anak dan Suamiku. Kulihat pula di belakang mereka, berdiri dua orang Wanita yang melihat ke arahku, wajah yang tak menunjukkan kekhawatiran, hanya semburat cemas yang apa adanya. "Ke,kena...ppa
***Kulaju motorku menuju rumah Romi. Mangga yang kubawa, ada dua kantung kresek. Sudah cukup lama aku tak pernah lagi menyambangi rumah mereka. Apakah ini salah satu kesalahanku juga sebagai Mertua? Aku sudah sampai di depan Rumah, kutekan bel, dan Mila keluar. Sepertinya ia baru bangun tidur. "Ah, Mama? tumben siang-siang begini? ada apa ya, Ma?""Ah, ini tadi si Mbak habis panen buah mangga yang di halaman, Mama antar ke sini sekalianlah silaturrahmi. Udah lama juga gak main ke sini.""Oooh, ya, ya! masuk Ma." "Romi belum pulang?""Belum Ma, sebentar ya Mila ke dapur dulu bikin minuman."Aku duduk di ruang tamu, rumah ini tampak lengang. Mila sudah berumah tangga sekitar lima tahun dengan Romi, namun belum dikaruniai anak. Meski begitu, tak pernah sekalipun aku berani bertanya pada salah satu dari mereka, kapan kira-kira mereka bisa memberikan kami Cucu. Karna dahulu-pun, aku sempat merasakan hal yang tak enak tentang pertanyaan itu. Selama tiga tahun menunggu, barulah kami dika