Bab 7. Kecelakaan
***Kubuka mataku perlahan, samar kupandangi sekitar, meski masih buram namun tampak familiar.Yah, ini sepertinya sebuah ruangan yang pernah kudatangi saat menjenguk tetangga, ini di Rumah Sakit.Kucoba menggerakkan bagian tubuhku, ada yang aneh. Sebelah dari tubuhku tak bisa digerakkan, tidak ada rasa. Tepatnya bagian tubuh sebelah kanan.Aku melenguh, mencoba kembali. Namun tetap saja gerakan yang kuusahakan tak ada rasa gerakan sama sekali."Mama!" teriak seorang Laki-laki."Mama sudah siuman?" tanya seorang Laki-laki lagi yang sangat kukenali."Maaah, ini Papa. Mama sekarang di rawat di Rumah Sakit." untuk suara ini aku sangat tahu, ini suara suamiku.Tiga orang laki-laki mendekatkan wajahnya ke arahku, wajah-wajah yang tampak cemas penuh kekhawatiran. Mereka Anak-anak dan Suamiku. Kulihat pula di belakang mereka, berdiri dua orang Wanita yang melihat ke arahku, wajah yang tak menunjukkan kekhawatiran, hanya semburat cemas yang apa adanya."Ke,kena...ppa badan Mmamma sebelah gak bisa berggerak, Pa?" kutanya itu pada Suamiku, namun sungguh sulit untuk mengeluarkan kata per kata, berat sekali mulut ini untuk sekedar berucap."Gak bisa bergerak bagaimana, Ma?" tanyanya cemas."Ggak bbb, bisa digerakkan, Pa!"Romi bergegas keluar pintu, berteriak minta bantuan agar siapapun memanggilkan Dokter.Beberapa menit kemudian, Dokter masuk ke dalam ruangan, memeriksa dan melakukan pengecekan terhadap tubuhku dengan seksama.Setelah itu, Suamiku mengikuti Dokter keluar ruangan untuk memastikan apa yang terjadi padaku.***Setelah dua hari siuman, aku diperbolehkan pulang ke rumah dengan catatan harus rutin melakukan kontrol ke Rumah Sakit.Aku dinyatakan mengalami struk ringan yaitu adanya penyumbatan darah di bagian otak, sehingga membuatku kesulitan mengendalikan sebelah bagian tubuhku dan kesulitan untuk berbicara. Untuk kesulitan berbicara ternyata semakin parah, untuk mengucapkan dua katapun, membutuhkan sepuluh detik untuk menuntaskannya.Aku menangis, mengutuk dosa-dosaku, menyesali entah apapun itu, kupandangi Romi dan Irwan anakku, mereka menggenggam tanganku kuat, seolah merasakan apa yang kurasakan saat ini."Ma, yang sabar ya?! Mama akan sembuh. Kata Dokter, kalau Mama semangat untuk sembuh, Mama pasti bisa melewati ini semua." ujar Romi."Kami akan selalu menemani Mama, sudah kami diskusikan kemarin, kalau Irma dan kak Mila akan bergantian mengurusi Mama di sini, Mama tenang saja ya." ucap Irwan padaku.Kupandangi sekitar, tak kutemui Irma maupun Mila di kamar itu. Entah di mana mereka, namun satu yang kupastikan. Mereka takkan sudi mengurusku."Mmb, mbak di, di, dimana?" tanyaku ."Mbak ada di dapur, Ma. Irma dan kak Mila juga ada di sini, mereka di ruang tamu sedang main sama Dion." jawab Irwan.Aku sebenarnya ingin berontak, menyadari wajah asli Irma dan Mila yang sesungguhnya kemarin itu, aku seakan tak rela kalau mereka yang bergantian mengurusku. Aku lebih membutuhkan si Mbak dan Suamiku di sisiku.***Pagi sekitar pukul delapan, Suamiku sudah berangkat kerja. Sementara si Mbak sibuk di dapur mengurusi pekerjaan rumah. Seorang masuk ke kamar dengan langkah malas.Ia duduk di sofa dekat pintu, membuka gawainya dan sibuk begitu saja selama sejaman. Ia adalah Mila, melihatku sesekali atau bertanya apa yang kubutuhkan pun tidak. Ia seoalah datang dan berada di kamar ini hanya untuk memenuhi kewajibannya saja.Aku melenguh, rasa ingin buang air kecil,"Mmi, Mila." kupanggil dia.Ia melirikku sambil wajahnya tetap fokus menghadap gawainya."Ya!" jawabnya singkat namun masih asyik dengan gawainya."Ma, Mama mma, mau pppii, pis." pintaku padanya."Ck!"Ia berdiri berkacak pinggang. Ia hampiri aku, dan seolah bingung harus bagaimana."Kan udah pakai popok sih ini, trus mau diapakan lagi?!"Aku tak sanggup menjawab, nada suaranya kesal dan sedikit membentak. Popok yang kugunakan sudahlah penuh, kalau kutambahi lagi akan bocor.Ia menghentakkan kakinya, kemudian kembali melangkah ke sofa, duduk dan asyik lagi dengan gawainya.Aku tak tahan lagi, kutuntaskan saja rasa ingin buang air kecilku. Dan, benar saja. Popok bocor merembes sampai ke lantai.Menyadari itu, dia panik dan berteriak membentak."Ya ampun! bener-bener ya ini orang tua?! Mbaaaaaak, sini Mbaaak!" teriaknya memanggil si Mbak.Si Mbak berlari ke kamar,"Ada apa mba Mila?" tanyanya panik."Lihat tuh! nenek-nenek kayak bocah! kencing merembes sampai banjir begitu! jijik banget gak sih?!"Ucapan Mila yang membuat hatiku tersayat, perih sekali."Is mba Mila gak boleh ngomong gitu! kita dulu juga masih bayi orangtua yang membersihkan kencing kita." ucap si Mbak sambil berlari ke dapur.Sekembalinya si Mbak dengan membawa ember dan alat Pel,"Ogah bangeeet yaaa, saya ngurusin kencing begituu... ya, kalau orangtua saya sendiri, inikan bukan!" jawab Mila yang kembali sibuk dengan gawainya."Ya, anggap saja kalau nanti mba Mila punya anak, kan ngurusin kencingnya juga. Hehehe... " jawab si Mbak terkesan bercanda agar Mila tak tersinggung."Kamu mengejek saya?!" bentak Mila."Ya enggak loh mba Milaaa, hehehe. Udah saya bersihin nih, popoknya juga udah diganti."Si Mbak berlalu dari kamar, meninggalkan aku yang diam memperhatikan dan mendengar pembicaraan mereka.Ini sungguh mencengangkan bagiku, bukankah Mila selalu menggunakan topeng lemah lembutnya di depanku? mengapa sekarang dengan percaya dirinya, ia membuka topeng itu dan menampakkan wajah aslinya padaku? apakah ia berfikir aku takkan bisa sembuh?Ah, kau terlalu jumawa Mila. Aku akan sembuh. Bukankah ini hanya struk ringan? kita lihat saja nanti, aku akan sembuh._________________***Hari ini giliran Irma yang menjagaku, ia datang pagi-pagi sekali. Ia bersama Irwan dan Dion. Saat si Mbak sedang menyuapiku makan di teras, dengan menggunakan kursi roda aku duduk di sana. Irma menyalamiku, menunjukkan senyum antusiasnya. Kukira ia akan berbeda dengan Mila. Namun, mungkin aku terlalu berharap. "Maaas, ayo sarapan dulu!" teriaknya berlari kecil ke dapur mengajak Irwan. Irwan yang masih ada di dekatku menyahuti tak nyaman. Seolah canggung menuruti keinginan istrinya yang datang-datang ke rumah ini, langsung ke dapur mencari makanan. "Irma, kamu bantuin Ibuk kek di luar. Gantiin si Mbak nyuapin Ibu makan gitu." ucap Irwan perlahan, namun tetap terdengar olehku. "Ah, si Mbak kan bisa, Mas! lihat ini, banyak makanan di sini, lumayan untuk kita sarapan. Ayo makan dulu! lagian, Dion aja belum aku suapin dari tadi."Si Mbak yang ikut mendengar itu menatapku, kami saling bertatapan. Aku mengangguk, meminta si Mbak untuk mengantarku ke kamarku. Irwan akhirnya berangka
***Sore hari, kudengar suara deru motor Suamiku. Ia pulang lebih cepat dari biasanya, namun sepertinya sangat terburu-buru. Kudengar suara langkahnya sangat cepat di balik jendela kamar. Ia masuk mengucapkan salam, dan disambut oleh Irma dan Mila yang masih asyik ngobrol di sofa ruang tamu. Tak lama kemudian, Romi dan Irwan tiba pula menyusul. Mereka serempak memarkirkan motornya di halaman dengan memasang wajah bingung. Aku melihatnya dari jendela kamar pula. "Mbak! bawa Ibuk ke sini!" perintah Suamiku pada si Mbak dengan nada tak biasa, seperti menahan marah. Tampak si Mbak berlari kecil menuju kamar, membantuku duduk di kursi roda, kemudian segera mendorongku ke ruang tamu. Kulihat Romi dan Irwan duduk gusar dan bingung, demikian kedua menantuku, masing-masing mendekat ke suaminya dengan wajah yang tak nyaman dan bingung pula. Setelah aku di dorong mendekat dengan Suamiku. Kulihat suamiku membuka tasnya, mengeluarkan Laptopnya dan menyalakannya. Tampak ia membuka sebuah Apli
***Selepas kejadian kemarin sore, tekadku benar-benar kulaksanakan mulai pagi ini. Kupinta Suamiku untuk membimbingku berdiri di halaman. Awalnya, Suamiku menyarankan untuk tak perlu terburu-buru. Namun, aku sudah bertekad untuk segera pulih dari kelumpuhan ini. Kutahan kedua kakiku untuk bisa menopang tubuhku, kufokuskan fikiranku agar sebelah kakiku yang lumpuh ini bisa merespon perintah dari otakku. Namun, tak semudah itu. Kelumpuhan setengah badan sangatlah berat. Beberapa kali aku mencoba berdiri, namun tetap saja setengah dari tubuhku lunglai tak berdaya. Belum lagi para tetangga yang ikut melihat dan sesekali menyapa, membuat mentalku yang tadinya sudah mencoba berani, kini menjadi ciut dihantam rasa minder dan capek. "Udahan nih?" tanya Suamiku saat mendapatiku tak bersemangat lagi untuk mencoba berdiri. "Mama malu, Pa." jawabku menunduk. Suamiku melihat ke sekitar, beberapa tetangga masih setia berdiri di dekat pagar, menungguku kembali berdiri, seolah penasaran dengan
***Gemetar aku meminta si Mbak mengambil Hpku. Si Mbak berlari segera ke dalam, kemudian menekan tombol untuk memanggil Romi dari Hpku. Begitu terhubung, kuminta Romi agar segera datang ke rumah ini. "Buk, tolonglah untuk tidak menggebu-gebu, atau terburu-buru menyimpulkan sesuatu. Majikan saya baru saja pulih dari struk, saya khawatir ini Buk." si Mbak berusaha memohon pada Ibunya Mila. "Terburu-buru bagaimana? jelas-jelas anak saya Mila sudah ditalak dan anak saya pulang hanya membawa sekoper pakaian pulang ke rumah saya! bagaimana bisa saya tidak menggebu-gebu dengan ketidak adilan ini?""Tak apa-apa Mbak, saya bisa menerima ini. Mila, apa benar Romi berselingkuh?" tanyaku perlahan pada Mila yang sedari tadi memasang gestur berlindung di belakang Ibunya. Mila melirik ke arah Ibunya, "Ya! dan dia menyalahkan aku. Katanya aku mandul, dan tidak bisa menghargai Ibunya."Deg! jantungku seperti berhenti berdetak. Ada rasa kecewa menyirami seluruh hatiku, bagaimana bisa anakku Romi m
***Sepertinya, aku kembali pingsan. Kudapati diriku sudah terbaring di atas ranjang. Keadaan di mana Romi, Irwan dan Suamiku berada di kamar. Mereka mendekatiku saat tau aku sudah siuman. Menanyakan bagaimana yang kurasakan saat ini, dan apa keluhanku. Kutatap Romi lebih lama. Entah sejak kapan ada plester luka di dahinya, kuusap dahinya. "Ini kenapa?" tanyaku padanya. "Ii, ini luka, Ma." jawabnya. "Apa tadi Papamu memukulimu sampai terluka?" tanyaku melihat ke arah Suamiku. "Tidak Ma! ini bahkan sudah ada beberapa hari yang lalu.""Kenapa?" tanyaku curiga. "Dilempar sama Mila, Ma. Saat dia tahu aku menghianatinya."Kuhembuskan nafas beratku perlahan, kejadian tadi masih terasa baru saja terjadi. "Kemana Besan dan menantuku?" tanyaku mengitari pandangan ke semua arah. "Mereka sudah pergi." jawab Suamiku. "Masalah ini pasti berlanjut ke depan, takkan selesai begitu saja." gumamku. "Mereka pergi saat Mama pingsan. Alih-alih khawatir, Ibunya Mila malah mengkhawatirkan Video y
***Pagi ini hari Minggu, Suamiku menemaniku ke kamar mandi, memandikanku, dan sekarang sedang memakaikanku pakaian. Setelah selesai, tiba-tiba suara ketukan beberapa kali terdengar. Si Mbak yang hendak ke Pasar, membukakan pintu. Si Mbak mengantarkan orang yang datang itu ke kamarku, dia adalah Mila. Mila sendirian saja, tapi kali ini dengan raut tenang dan terlihat santai. Mendapati kehadiran Mila yang tiba-tiba, aku dan Suamiku saling pandang heran, "Ada apa Mila? sepertinya ada yang ingin kamu sampaikan?" tanya Suamiku. "Yah, ini ada kaitannya dengan Selingkuhannya mas Romi." katanya santai. Aku dan suamiku saling memandang, mengapa pula Mila datang ke sini, jika untuk membahas masalah rumah tangga mereka? "Bukankah itu bisa kau sampaikan saja pada Romi?" tanya Suamiku. "Aku tadi baru saja pulang ke rumah. Kudapati perempuan itu di sana. Aku juga sudah menyampaikan ini pada mereka.""Apa? Romi sudah menempatkan perempuan itu di sana?" tanyaku kaget. "Kenapa Ma? bukankah M
***Romi memandang Amanda sambil tersenyum. Romi juga memandang ke arah Suamiku yang tampak tenang dan siap mendengarkan penjelasan Romi. Aku yang sedari tadi menyiap-nyiapkan mental untuk mendengar pernyataan mereka, meremas seprai kuat-kuat. "Ada apa sebenarnya, Romi?" tanya Suamiku. "Anak yang ada di dalam kandungan Amanda ini, bukan anak Romi, Ma, Pa." ucap Romi santai. "Apa?!" aku terkejut. "Ya, ini anak dari sahabat Romi, Dodi Hartanto.""Ja, jadi, bagaimana ini sebenarnya, Romi?" tanyaku semakin cemas. "Ma, Pa. Ini adalah satu-satunya cara agar aku bisa bercerai dengan Mila.""Apa?!" aku semakin kaget. "Aku sudah lelah dituduh mandul terus sama dia. Ia dan keluarganya selalu membanggakan diri dan keturunan keluarganya, kalau mereka adalah keturunan yang subur. Dan akulah penyebab Mila tak kunjung hamil sampai sekarang. Ia tak mau dicerai, ia bahkan mengancamku jika aku menceraikannya, dia akan melakukan aksi menyiksa diri sendiri kemudian melapor ke Kantor Polisi agar aku
***"Curhat dong, Ma!?""Iyaaa, doong!""Begini, Ma. Aku punya menantu, awalnya sih setuju, tapi lama-kelamaan, jadi gak suka sama dia. Aku kepinginnya dia diceraiin aja deh sama anakku, gimana itu Ma?"Demikian, penggalan pertanyaan dari seorang Ibu-ibu Pengajian di sebuah Acara Dakwah di sebuah stasiun televisi yang menuai banyak komentar dari Warganet, yang setelah viral ternyata dinyatakan settingan. Kuusap dadaku membaca satu per satu komentar di sebuah akun gossip yang kufollow di akun Instagramku. Aku, seorang Ibu dari anak-anak laki-laki yang semua sudah menikah, berdoa agar dijauhkan dari sikap seorang Ibu yang menginginkan perceraian terhadap rumah tangga anak menantunya. Komentar-komentar yang kubaca kebanyakan adalah dari para menantu yang memiliki mertua serupa, dan ada pula yang beradu nasib di sana. Aku sebagai 'silent Rider' hanya bisa mengelus dada. Apa iya, di luar sana banyak sekali menantu yang terzolimi? apa iya, para Mertua kebanyakan adalah penzolim karna mera
***Romi memandang Amanda sambil tersenyum. Romi juga memandang ke arah Suamiku yang tampak tenang dan siap mendengarkan penjelasan Romi. Aku yang sedari tadi menyiap-nyiapkan mental untuk mendengar pernyataan mereka, meremas seprai kuat-kuat. "Ada apa sebenarnya, Romi?" tanya Suamiku. "Anak yang ada di dalam kandungan Amanda ini, bukan anak Romi, Ma, Pa." ucap Romi santai. "Apa?!" aku terkejut. "Ya, ini anak dari sahabat Romi, Dodi Hartanto.""Ja, jadi, bagaimana ini sebenarnya, Romi?" tanyaku semakin cemas. "Ma, Pa. Ini adalah satu-satunya cara agar aku bisa bercerai dengan Mila.""Apa?!" aku semakin kaget. "Aku sudah lelah dituduh mandul terus sama dia. Ia dan keluarganya selalu membanggakan diri dan keturunan keluarganya, kalau mereka adalah keturunan yang subur. Dan akulah penyebab Mila tak kunjung hamil sampai sekarang. Ia tak mau dicerai, ia bahkan mengancamku jika aku menceraikannya, dia akan melakukan aksi menyiksa diri sendiri kemudian melapor ke Kantor Polisi agar aku
***Pagi ini hari Minggu, Suamiku menemaniku ke kamar mandi, memandikanku, dan sekarang sedang memakaikanku pakaian. Setelah selesai, tiba-tiba suara ketukan beberapa kali terdengar. Si Mbak yang hendak ke Pasar, membukakan pintu. Si Mbak mengantarkan orang yang datang itu ke kamarku, dia adalah Mila. Mila sendirian saja, tapi kali ini dengan raut tenang dan terlihat santai. Mendapati kehadiran Mila yang tiba-tiba, aku dan Suamiku saling pandang heran, "Ada apa Mila? sepertinya ada yang ingin kamu sampaikan?" tanya Suamiku. "Yah, ini ada kaitannya dengan Selingkuhannya mas Romi." katanya santai. Aku dan suamiku saling memandang, mengapa pula Mila datang ke sini, jika untuk membahas masalah rumah tangga mereka? "Bukankah itu bisa kau sampaikan saja pada Romi?" tanya Suamiku. "Aku tadi baru saja pulang ke rumah. Kudapati perempuan itu di sana. Aku juga sudah menyampaikan ini pada mereka.""Apa? Romi sudah menempatkan perempuan itu di sana?" tanyaku kaget. "Kenapa Ma? bukankah M
***Sepertinya, aku kembali pingsan. Kudapati diriku sudah terbaring di atas ranjang. Keadaan di mana Romi, Irwan dan Suamiku berada di kamar. Mereka mendekatiku saat tau aku sudah siuman. Menanyakan bagaimana yang kurasakan saat ini, dan apa keluhanku. Kutatap Romi lebih lama. Entah sejak kapan ada plester luka di dahinya, kuusap dahinya. "Ini kenapa?" tanyaku padanya. "Ii, ini luka, Ma." jawabnya. "Apa tadi Papamu memukulimu sampai terluka?" tanyaku melihat ke arah Suamiku. "Tidak Ma! ini bahkan sudah ada beberapa hari yang lalu.""Kenapa?" tanyaku curiga. "Dilempar sama Mila, Ma. Saat dia tahu aku menghianatinya."Kuhembuskan nafas beratku perlahan, kejadian tadi masih terasa baru saja terjadi. "Kemana Besan dan menantuku?" tanyaku mengitari pandangan ke semua arah. "Mereka sudah pergi." jawab Suamiku. "Masalah ini pasti berlanjut ke depan, takkan selesai begitu saja." gumamku. "Mereka pergi saat Mama pingsan. Alih-alih khawatir, Ibunya Mila malah mengkhawatirkan Video y
***Gemetar aku meminta si Mbak mengambil Hpku. Si Mbak berlari segera ke dalam, kemudian menekan tombol untuk memanggil Romi dari Hpku. Begitu terhubung, kuminta Romi agar segera datang ke rumah ini. "Buk, tolonglah untuk tidak menggebu-gebu, atau terburu-buru menyimpulkan sesuatu. Majikan saya baru saja pulih dari struk, saya khawatir ini Buk." si Mbak berusaha memohon pada Ibunya Mila. "Terburu-buru bagaimana? jelas-jelas anak saya Mila sudah ditalak dan anak saya pulang hanya membawa sekoper pakaian pulang ke rumah saya! bagaimana bisa saya tidak menggebu-gebu dengan ketidak adilan ini?""Tak apa-apa Mbak, saya bisa menerima ini. Mila, apa benar Romi berselingkuh?" tanyaku perlahan pada Mila yang sedari tadi memasang gestur berlindung di belakang Ibunya. Mila melirik ke arah Ibunya, "Ya! dan dia menyalahkan aku. Katanya aku mandul, dan tidak bisa menghargai Ibunya."Deg! jantungku seperti berhenti berdetak. Ada rasa kecewa menyirami seluruh hatiku, bagaimana bisa anakku Romi m
***Selepas kejadian kemarin sore, tekadku benar-benar kulaksanakan mulai pagi ini. Kupinta Suamiku untuk membimbingku berdiri di halaman. Awalnya, Suamiku menyarankan untuk tak perlu terburu-buru. Namun, aku sudah bertekad untuk segera pulih dari kelumpuhan ini. Kutahan kedua kakiku untuk bisa menopang tubuhku, kufokuskan fikiranku agar sebelah kakiku yang lumpuh ini bisa merespon perintah dari otakku. Namun, tak semudah itu. Kelumpuhan setengah badan sangatlah berat. Beberapa kali aku mencoba berdiri, namun tetap saja setengah dari tubuhku lunglai tak berdaya. Belum lagi para tetangga yang ikut melihat dan sesekali menyapa, membuat mentalku yang tadinya sudah mencoba berani, kini menjadi ciut dihantam rasa minder dan capek. "Udahan nih?" tanya Suamiku saat mendapatiku tak bersemangat lagi untuk mencoba berdiri. "Mama malu, Pa." jawabku menunduk. Suamiku melihat ke sekitar, beberapa tetangga masih setia berdiri di dekat pagar, menungguku kembali berdiri, seolah penasaran dengan
***Sore hari, kudengar suara deru motor Suamiku. Ia pulang lebih cepat dari biasanya, namun sepertinya sangat terburu-buru. Kudengar suara langkahnya sangat cepat di balik jendela kamar. Ia masuk mengucapkan salam, dan disambut oleh Irma dan Mila yang masih asyik ngobrol di sofa ruang tamu. Tak lama kemudian, Romi dan Irwan tiba pula menyusul. Mereka serempak memarkirkan motornya di halaman dengan memasang wajah bingung. Aku melihatnya dari jendela kamar pula. "Mbak! bawa Ibuk ke sini!" perintah Suamiku pada si Mbak dengan nada tak biasa, seperti menahan marah. Tampak si Mbak berlari kecil menuju kamar, membantuku duduk di kursi roda, kemudian segera mendorongku ke ruang tamu. Kulihat Romi dan Irwan duduk gusar dan bingung, demikian kedua menantuku, masing-masing mendekat ke suaminya dengan wajah yang tak nyaman dan bingung pula. Setelah aku di dorong mendekat dengan Suamiku. Kulihat suamiku membuka tasnya, mengeluarkan Laptopnya dan menyalakannya. Tampak ia membuka sebuah Apli
***Hari ini giliran Irma yang menjagaku, ia datang pagi-pagi sekali. Ia bersama Irwan dan Dion. Saat si Mbak sedang menyuapiku makan di teras, dengan menggunakan kursi roda aku duduk di sana. Irma menyalamiku, menunjukkan senyum antusiasnya. Kukira ia akan berbeda dengan Mila. Namun, mungkin aku terlalu berharap. "Maaas, ayo sarapan dulu!" teriaknya berlari kecil ke dapur mengajak Irwan. Irwan yang masih ada di dekatku menyahuti tak nyaman. Seolah canggung menuruti keinginan istrinya yang datang-datang ke rumah ini, langsung ke dapur mencari makanan. "Irma, kamu bantuin Ibuk kek di luar. Gantiin si Mbak nyuapin Ibu makan gitu." ucap Irwan perlahan, namun tetap terdengar olehku. "Ah, si Mbak kan bisa, Mas! lihat ini, banyak makanan di sini, lumayan untuk kita sarapan. Ayo makan dulu! lagian, Dion aja belum aku suapin dari tadi."Si Mbak yang ikut mendengar itu menatapku, kami saling bertatapan. Aku mengangguk, meminta si Mbak untuk mengantarku ke kamarku. Irwan akhirnya berangka
Bab 7. Kecelakaan***Kubuka mataku perlahan, samar kupandangi sekitar, meski masih buram namun tampak familiar. Yah, ini sepertinya sebuah ruangan yang pernah kudatangi saat menjenguk tetangga, ini di Rumah Sakit. Kucoba menggerakkan bagian tubuhku, ada yang aneh. Sebelah dari tubuhku tak bisa digerakkan, tidak ada rasa. Tepatnya bagian tubuh sebelah kanan. Aku melenguh, mencoba kembali. Namun tetap saja gerakan yang kuusahakan tak ada rasa gerakan sama sekali. "Mama!" teriak seorang Laki-laki. "Mama sudah siuman?" tanya seorang Laki-laki lagi yang sangat kukenali. "Maaah, ini Papa. Mama sekarang di rawat di Rumah Sakit." untuk suara ini aku sangat tahu, ini suara suamiku. Tiga orang laki-laki mendekatkan wajahnya ke arahku, wajah-wajah yang tampak cemas penuh kekhawatiran. Mereka Anak-anak dan Suamiku. Kulihat pula di belakang mereka, berdiri dua orang Wanita yang melihat ke arahku, wajah yang tak menunjukkan kekhawatiran, hanya semburat cemas yang apa adanya. "Ke,kena...ppa
***Kulaju motorku menuju rumah Romi. Mangga yang kubawa, ada dua kantung kresek. Sudah cukup lama aku tak pernah lagi menyambangi rumah mereka. Apakah ini salah satu kesalahanku juga sebagai Mertua? Aku sudah sampai di depan Rumah, kutekan bel, dan Mila keluar. Sepertinya ia baru bangun tidur. "Ah, Mama? tumben siang-siang begini? ada apa ya, Ma?""Ah, ini tadi si Mbak habis panen buah mangga yang di halaman, Mama antar ke sini sekalianlah silaturrahmi. Udah lama juga gak main ke sini.""Oooh, ya, ya! masuk Ma." "Romi belum pulang?""Belum Ma, sebentar ya Mila ke dapur dulu bikin minuman."Aku duduk di ruang tamu, rumah ini tampak lengang. Mila sudah berumah tangga sekitar lima tahun dengan Romi, namun belum dikaruniai anak. Meski begitu, tak pernah sekalipun aku berani bertanya pada salah satu dari mereka, kapan kira-kira mereka bisa memberikan kami Cucu. Karna dahulu-pun, aku sempat merasakan hal yang tak enak tentang pertanyaan itu. Selama tiga tahun menunggu, barulah kami dika