Malam saat Nadine tidur, samar-samar terdengar suara. Suara itu mulanya pelan tapi semakin jelas dan mengusik ketentraman. Nadine yang baru saja terlelap segera menjauhkan kelopak mata dan agak kaget saat mengetahui tidak ada putra di sebelahnya. "Ke mana dia?" gumam Nadine lalu beranjak dari kasur. Pelan dia melangkah sembari menajamkan indra pendengaran. Nadine sangat yakin bahwa itu merupakan suara tawa bayi. "Apa ada yang punya bayi di sekitar sini?" gumam Nadine lagi. Langkahnya berhenti di depan pintu kamar tamu. Sesaat setelah pintu terbuka, dia mendapati punggung seseorang yang amat dikenalnya. Orang itu berjongkok sembari menatap seorang bayi. "Putra?" gumamnya. Awalnya Nadine bingung melihat penampakan itu, bagaimana bisa seorang bayi ada dalam rumahnya terlebih lagi sekarang sudah larut malam. Namun, keanehan itu Nadine lupakan, dia terlena dan berakhir tersenyum saat melihat bagaimana pandainya Putra menenangkan bayi itu. Bahkan suara tawa bayi yang ada di atas ranjang
"Kenapa murung?" tanya Dika sesaat selesai mengelap mulut dengan tisu pagi itu. "Tidak apa-apa," balas Tania, yang tak terlihat bersemangat sama sekali. Mereka sedang sarapan dan ada Ara yang berada satu meja dengan mereka "Ada apa sebenarnya?" lanjut Dika bersikukuh ingin tahu. Wajah istrinya itu cemberut beberapa hari ini dan itu mengusik. Pupus sudah harapannya untuk memulai hari dengan baik, wajah cemberut Tania membuatnya mau tak mau berpikir yang bukan-bukan. Dika melirik Ara lalu menatap lagi wajah sang istri yang masam. "Sungguh, aku tidak apa-apa. Aku hanya lelah, tidak bisa tidur dengan tenang beberapa hari ini dan itu karena seseorang." Tania terdengar sedikit memberi penekanan di akhir kalimat, dan itu membuat Dika memutuskan diam. Lelaki yang sudah rapi dengan kemeja berwarna biru itu pun melihat sang anak yang juga telah rapi dengan baju olahraga berwana merah muda. "Baiklah baiklah." Dika mengangkat tangan, pasrah dan paham sindiran keras yang istrinya lontarkan. Dia
"Sayang, maaf ya. Aku lembur malam ini," ucap Putra, wajahnya terlihat sangat lelah kala melakukan panggilan video call, membuat Nadine yang awalnya kesal jadi tidak enak hati. Dia pun mengangguk lesu. Nadine kecewa karena tidak bisa makan malam bersama. Ia mendesah berat, lalu menatap Putra yang ada di depan layar. Suaminya itu tampak mematahkan leher ke kanan ke kiri. Terlihat sangat kelelahan. "Sayang, bicaralah. Jangan marah!" "Ya sudah kalau begitu, tidak apa-apa. Mau bagaimana lagi." Nadin terdengar merajuk. "Jangan begitu mukanya! dengan kamu begini malah membuatku jadi tidak tenang. Apa aku pulang saja?" Tawaran Putra ini malah membuat Nadine gelagapan. Wanita yang memakai kardigan cokelat itu langsung menggeleng panik. "Ya, jangan. Kalau kamu pulang nanti bagaimana dengan atasanmu? Tidak enak juga dengan rekan satu tim kamu, masa mereka bekerja keras sedangkan kamu pulang." "Maka dari itu, tersenyumlah. Jangan cemberut. Aku janji akan menembusnya lain kali. Pasti! Masuk
Tidak tahu malu dan tidak tahu terima kasih mungkin pantas disematkan untuk lelaki brengsek seperti Putra. Bukannya pulang ke rumah dan menyicipi makan malam yang disiapkan Nadine, beberapa menit yang lalu dia justru tergesa menapaki koridor sebuah apartemen dengan senyum menyeringai. Senyum jahat penuh hasrat liar yang meronta untuk dilampiaskan. Langkahnya kian lebar saat unit yang ditempatinya bersama sang wanita idaman lain tepat di depan mata. Wanita itu juga sama saja, tidak tahu malu dan brengsek. _ _ "Bagaimana, Sayang? Apa aku seksi?" tanya Wangi melanjutkan apa yang akan dimulainya dan Putra. Pria itu pun mengangguk sambil mengurung tubuh Wangi yang berada di bawah kendalinya, bibirnya pun mendaratkan ciuman di sana, "Kalau begitu, ayolah, aku sudah siap." Tanpa menunggu dan mengulur waktu, Putra pun melepas satu persatu kancing kemejanya lantas menyerang Wangi dengan buas. Mereka bergumul, membelit dan saling melepas apa yang ada di badan. Suara tawa binal Wangi sepert
[Sayang, aku pergi, ya. Kalau lapar tinggal panaskan saja makanan yang sudah aku siapkan di dalam kulkas] Begitu isi pesan Nadine ke Putra karena suaminya berkata akan lembur lagi malam itu. Nadine sudah berpenampilan cantik nan anggun, dia berjalan melewati unit apartemennya menuju lift. Tak lama ponsel yang ada di tangannya pun bergetar. Bergegas Nadine mengecek dan mendapati pesan dari Putra. Pesan yang membuat wanita itu mengernyitkan alis, karena hanya emoji jempol yang sang suami kirimkan. Pesan tersingkat sepanjang sejarah pernikahan mereka. Namun, karena dikejar waktu Nadine pun tak sempat berpikir yang bukan-bukan. Segera dia masuk lift ketika bilik persegi panjang itu terbuka, dia lantas menekan angka satu menuju lantai dasar. Sembari menunggu lift sampai, Nadine pun memindai dirinya lewat pantulan kaca di dinding lift untuk memastikan penampilannya sudah menunjang. Pasalnya dia diundang ke pesta salah satu temannya yang sama-sama berkecimpung di dunia literasi. Teman Nadi
"Masuk!" seru Aaron tanpa mengalihkan pandangan dari tablet di tangan siang itu. Lelaki tampan nan gagah itu tengah melihat video animasi 3D sebuah cluster - yang rencananya akan dia bangun di salah satu lahan miliknya. Ia tampak antusias dan tak memerhatikan seseorang berjalan mendekat setelah dipersilakan tadi. "Pak, ini kopinya." Suara lembut dan serak seorang wanita sontak membuat Aaron mendongak. Ternyata Stella - sekretarisnya yang masuk ke dalam. Namun, Aaron tak peduli, dia kembali menunduk untuk melihat lagi video di tangan. Alasannya dia sangat tak menyukai penampilan Stella. Gadis itu terlalu berpakaian mini, bahkan dua kancing paling atas seperti sengaja dibuka hingga belahan dadanya terekspos semua. Aaron sudah memperingatkan tapi Stella seperti tak mau mendengarkan. Benar saja, firasat Aaron tak salah. Stella memang sengaja membuka dua kancing atas agar bisa menggaet bos tampannya itu. Aaron memang terkenal sangat dingin pada wanita lain kecuali Istrinya. Stella pun me
Rintihan seorang wanita terdengar diiringi isak tangis di dalam sebuah kamar hotel yang terbilang cukup mewah. Ia baru saja selesai melakukan kegiatan yang seharusnya membuat dirinya terbang sampai ke atas awan. Namun, nahas. Malam itu dia malah menjadi bulan-bulan seorang pria yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya akan berlaku kasar seperti beberapa saat yang lalu. Wanita bayaran itu menutupi tubuhnya dengan selimut dan meringkuk ketakutan. Sedangkan pria yang baru saja menuntaskan birahi kepadanya begitu santai memakai kembali kemeja dan jasnya. “Jika aku tahu dia memiliki kelainan seperti ini, dibayar mahal pun aku tidak akan mau,” gumam wanita bayaran itu di dalam hati. Jangankan berucap, dia saja tidak berani menatap pria yang baru saja menumbuknya beberapa menit yang lalu itu. Bukan kenikmatan yang wanita bayaran itu dapat, melainkan rasa sakit karena pria itu memukuli dan bahkan mencekik lehernya. “Ini tambahan uang untukmu, pergilah berobat! aku yakin uang ini juga cukup
Tiga bulan yang lalu"Hei, sorry telat. Biasa macet," tutur seorang wanita dewasa dua puluh tujuh tahun yang mengenakan pakaian serta aksesoris yang tergolong cukup mahal.Icha namanya, sahabat Nadine yang memiliki suami super tajir. Seorang CEO sebuah perusahaan yang bergerak di bidang properti. Maka dari itu tidak heran jika penampilannya sangat mentereng. Jam tangan berwarna silver menghiasi pergelangannya yang ramping. Kacamata dan tas branded juga tak pernah luput untuk menunjang penampilannya.Nadine yang awalnya sibuk menatap laptop pun mendelik, bibirnya mencebik melihat sesuatu di pergelangan tangan Icha. "Itu jam tangan sepertinya baru? Dari mana lagi sekarang?" tanyanya saat Icha baru saja duduk di kursi tepat di depannya duduk."Oleh-oleh dari perjalanan bisnis Aaron. Kamu tahu? dia begitu mengerti seleraku. Coba kamu lihat!" Icha memperlihatkan jam mewah yang melingkar di pergelangan tangannya itu pada Nadine. "Indah, 'kan? Dia membelinya saat pergi ke Singapura."Nadine p
"Masuk!" seru Aaron tanpa mengalihkan pandangan dari tablet di tangan siang itu. Lelaki tampan nan gagah itu tengah melihat video animasi 3D sebuah cluster - yang rencananya akan dia bangun di salah satu lahan miliknya. Ia tampak antusias dan tak memerhatikan seseorang berjalan mendekat setelah dipersilakan tadi. "Pak, ini kopinya." Suara lembut dan serak seorang wanita sontak membuat Aaron mendongak. Ternyata Stella - sekretarisnya yang masuk ke dalam. Namun, Aaron tak peduli, dia kembali menunduk untuk melihat lagi video di tangan. Alasannya dia sangat tak menyukai penampilan Stella. Gadis itu terlalu berpakaian mini, bahkan dua kancing paling atas seperti sengaja dibuka hingga belahan dadanya terekspos semua. Aaron sudah memperingatkan tapi Stella seperti tak mau mendengarkan. Benar saja, firasat Aaron tak salah. Stella memang sengaja membuka dua kancing atas agar bisa menggaet bos tampannya itu. Aaron memang terkenal sangat dingin pada wanita lain kecuali Istrinya. Stella pun me
[Sayang, aku pergi, ya. Kalau lapar tinggal panaskan saja makanan yang sudah aku siapkan di dalam kulkas] Begitu isi pesan Nadine ke Putra karena suaminya berkata akan lembur lagi malam itu. Nadine sudah berpenampilan cantik nan anggun, dia berjalan melewati unit apartemennya menuju lift. Tak lama ponsel yang ada di tangannya pun bergetar. Bergegas Nadine mengecek dan mendapati pesan dari Putra. Pesan yang membuat wanita itu mengernyitkan alis, karena hanya emoji jempol yang sang suami kirimkan. Pesan tersingkat sepanjang sejarah pernikahan mereka. Namun, karena dikejar waktu Nadine pun tak sempat berpikir yang bukan-bukan. Segera dia masuk lift ketika bilik persegi panjang itu terbuka, dia lantas menekan angka satu menuju lantai dasar. Sembari menunggu lift sampai, Nadine pun memindai dirinya lewat pantulan kaca di dinding lift untuk memastikan penampilannya sudah menunjang. Pasalnya dia diundang ke pesta salah satu temannya yang sama-sama berkecimpung di dunia literasi. Teman Nadi
Tidak tahu malu dan tidak tahu terima kasih mungkin pantas disematkan untuk lelaki brengsek seperti Putra. Bukannya pulang ke rumah dan menyicipi makan malam yang disiapkan Nadine, beberapa menit yang lalu dia justru tergesa menapaki koridor sebuah apartemen dengan senyum menyeringai. Senyum jahat penuh hasrat liar yang meronta untuk dilampiaskan. Langkahnya kian lebar saat unit yang ditempatinya bersama sang wanita idaman lain tepat di depan mata. Wanita itu juga sama saja, tidak tahu malu dan brengsek. _ _ "Bagaimana, Sayang? Apa aku seksi?" tanya Wangi melanjutkan apa yang akan dimulainya dan Putra. Pria itu pun mengangguk sambil mengurung tubuh Wangi yang berada di bawah kendalinya, bibirnya pun mendaratkan ciuman di sana, "Kalau begitu, ayolah, aku sudah siap." Tanpa menunggu dan mengulur waktu, Putra pun melepas satu persatu kancing kemejanya lantas menyerang Wangi dengan buas. Mereka bergumul, membelit dan saling melepas apa yang ada di badan. Suara tawa binal Wangi sepert
"Sayang, maaf ya. Aku lembur malam ini," ucap Putra, wajahnya terlihat sangat lelah kala melakukan panggilan video call, membuat Nadine yang awalnya kesal jadi tidak enak hati. Dia pun mengangguk lesu. Nadine kecewa karena tidak bisa makan malam bersama. Ia mendesah berat, lalu menatap Putra yang ada di depan layar. Suaminya itu tampak mematahkan leher ke kanan ke kiri. Terlihat sangat kelelahan. "Sayang, bicaralah. Jangan marah!" "Ya sudah kalau begitu, tidak apa-apa. Mau bagaimana lagi." Nadin terdengar merajuk. "Jangan begitu mukanya! dengan kamu begini malah membuatku jadi tidak tenang. Apa aku pulang saja?" Tawaran Putra ini malah membuat Nadine gelagapan. Wanita yang memakai kardigan cokelat itu langsung menggeleng panik. "Ya, jangan. Kalau kamu pulang nanti bagaimana dengan atasanmu? Tidak enak juga dengan rekan satu tim kamu, masa mereka bekerja keras sedangkan kamu pulang." "Maka dari itu, tersenyumlah. Jangan cemberut. Aku janji akan menembusnya lain kali. Pasti! Masuk
"Kenapa murung?" tanya Dika sesaat selesai mengelap mulut dengan tisu pagi itu. "Tidak apa-apa," balas Tania, yang tak terlihat bersemangat sama sekali. Mereka sedang sarapan dan ada Ara yang berada satu meja dengan mereka "Ada apa sebenarnya?" lanjut Dika bersikukuh ingin tahu. Wajah istrinya itu cemberut beberapa hari ini dan itu mengusik. Pupus sudah harapannya untuk memulai hari dengan baik, wajah cemberut Tania membuatnya mau tak mau berpikir yang bukan-bukan. Dika melirik Ara lalu menatap lagi wajah sang istri yang masam. "Sungguh, aku tidak apa-apa. Aku hanya lelah, tidak bisa tidur dengan tenang beberapa hari ini dan itu karena seseorang." Tania terdengar sedikit memberi penekanan di akhir kalimat, dan itu membuat Dika memutuskan diam. Lelaki yang sudah rapi dengan kemeja berwarna biru itu pun melihat sang anak yang juga telah rapi dengan baju olahraga berwana merah muda. "Baiklah baiklah." Dika mengangkat tangan, pasrah dan paham sindiran keras yang istrinya lontarkan. Dia
Malam saat Nadine tidur, samar-samar terdengar suara. Suara itu mulanya pelan tapi semakin jelas dan mengusik ketentraman. Nadine yang baru saja terlelap segera menjauhkan kelopak mata dan agak kaget saat mengetahui tidak ada putra di sebelahnya. "Ke mana dia?" gumam Nadine lalu beranjak dari kasur. Pelan dia melangkah sembari menajamkan indra pendengaran. Nadine sangat yakin bahwa itu merupakan suara tawa bayi. "Apa ada yang punya bayi di sekitar sini?" gumam Nadine lagi. Langkahnya berhenti di depan pintu kamar tamu. Sesaat setelah pintu terbuka, dia mendapati punggung seseorang yang amat dikenalnya. Orang itu berjongkok sembari menatap seorang bayi. "Putra?" gumamnya. Awalnya Nadine bingung melihat penampakan itu, bagaimana bisa seorang bayi ada dalam rumahnya terlebih lagi sekarang sudah larut malam. Namun, keanehan itu Nadine lupakan, dia terlena dan berakhir tersenyum saat melihat bagaimana pandainya Putra menenangkan bayi itu. Bahkan suara tawa bayi yang ada di atas ranjang
"Begini ..., sebenarnya aku mau minta tolong ...." Hening, lisan Tania terjeda begitu saja."Tolong?" Icha mengulang karena Tania tak kunjung melanjutkan kata."Bilang saja, Tan. Jangan sungkan. Seperti orang asing saja." Nadine semakin penasaran."Aku ... aku sebenarnya mau pinjam uang. Aku butuh dua puluh juta,” ucap Tania dan setelahnya menunduk malu.Nadine dan Icha awalnya sedikit kaget, tapi pada akhirnya mereka tersenyum. Keduanya lega mendengar permasalahan Tania yang ternyata hanya soal uang seperti biasa. Mereka pikir Tania akan berkata sedang menderita penyakit kronis atau apa."Aku akan bayar kalau sudah gajian. Tapi aku cicil tiga kali, aku janji," ucap Tania lagi. Icha hanya menggeleng lalu mengutak-atik ponselnya. Dan ketika Nadine ingin memegang ponsel juga, wanita itu menyambarnya dengan cepat."Biar aku saja!" kata Icha.Nadine dan Tania terbelalak. Tak lama berselang ponsel Tania bergetar dan satu notifikasi m-banking masuk. Tertulis di sana kalau dirinya telah mend
Sementara itu, diwaktu bersamaan Icha harus dibuat memejamkan mata dan merintih di bawah kendali tubuh kekar suaminya. Ia membungkuk dengan tangan terikat ke kursi kayu yang ada di ruang kerja Aaron. Pria itu yang terus menarik rambut dan menghujamkan kejantanannya dari belakang. “Aar … sakit,” rintih Icha dengan suara tertahan. Ia merasakan napsu yang membucah, tapi di waktu yang bersamaan juga harus menahan rasa sakit. Punggungnya bahkan memar karena dicambuk oleh sang suami. Ia merintih-rintih, rintihan kesakitan bercampur kenikmatan semu yang diberikan sang suami. “Ah … baby, you are so yummy,” puji Aaron tapi kini tangannya mencekik leher sang istri. “Aar … ahh … “ Icha merasa kesusahan bernapas dan Aaron pun melepaskan cekikannya, pria itu mengerang panjang dan menyemburkan benihnya ke dalam milik sang istri. Icha pun akhirnya bisa bernapas lega, Aaron menolehkan wajahnya dengan sebelah tangan lalu meminta wanita itu menjilati senjatanya yang masih tegak berdiri. _ _ Setel
"Dik, Ara belum kamu jemput, ya?" tanya Tania sembari membuka blazer hitamnya dan hanya menyisakan blouse putih tanpa lengan. Saat ini waktu telah menunjukkan pukul tujuh malam dan dia baru pulang kerja. Akhir bulan begitu banyak laporan yang harus dikerjakan dan diselesaikannya sebagai pegawai bank. "Belum. Aku baru pulang. Kamu yang jemput, ya," sahut Dika, dia keluar dari kamar mandi dengan rambut basah, lalu menuju lemari dan mengeluarkan kemeja. Tak ayal gelagat itu membuat Tania penasaran. "Kamu mau ke mana? Bukannya baru pulang?" "Iya, tapi aku harus menemani bos makan malam dengan orang penting." Dika tersenyum, lalu memasukkan satu persatu kancing ke lubang. Melihat wajah tenang Dika membuat Tania sedikit kesal. "Kenapa wajahmu begitu? Aku tidak macam-macam saat di luaran. Kamu tahu sendiri aku memang begini, kerja di bawah orang ya harus siap menjadi pesuruh. Kecuali aku bos-nya. Kalau aku bos aku akan memilih menjemput anakku di rumah neneknya atau menemani istriku di ru