Pagi hari yang harusnya dimulai dengan bahagia sepertinya tidak bisa Tania rasakan hari ini. Wanita itu melihat di meja makan sudah tertata sarapan dan menu favorit dirinya dan Dika. Hanya saja alih-alih tersenyum dan bersyukur, Tania justru menghela napas panjang dan berat.
Aneh memang, harusnya Tania senang ketimbang cemberut. Tapi mau bagaimana lagi, sarapan itu tidak dia dapat dengan mudah dan tentunya tidak murah. Sarapan itu ibu mertuanya yang menyiapkan setelah mendapatkan apa yang dimau, lantas pulang ke rumahnya sendiri pagi-pagi buta. Sarapan biasa yang harus Tania bayar dengan uang puluhan juta. Tidak setimpal dengan apa yang harus dia keluarkan.
Mengingat ibu mertuanya membuat Tania tanpa sadar menggeram, giginya bahkan bergemerutuk.
"Ma?"
Suara pelan itu membuyarkan lamunan Tania. Suara lembut yang berasal dari bocah lima tahun yang tak lain Ara - putrinya. Matanya yang bening mantap Tania heran.
"Ara jadi mandi nggak, Ma?" tanya bocah itu lagi. Tangannya menggenggam tangan kanan Tania.
"Mandi?" ulang Tania, saking kesalnya dia bahkan sempat lupa dengan kebiasaan memandikan Ara di pagi hari.
Agar tidak membuat sang putri bingung, Tania pun memulas senyum, dia menggandeng tangan buah hatinya itu sampai di depan kamar mandi, lalu berjongkok dan membuka satu persatu kancing depan piyama Ara.
"Tentu saja jadi mandi. Memangnya Ara mau pergi sekolah tapi tidak mandi? Nanti bau," oceh Tania mencoba mencairkan suasana dengan menggoda sang anak.
"Oiya hari ini rambutnya mau dibikin bagaimana. Kuncir satu apa kucir dua?"
"Dua!" seru Ara. Bocah itu terlihat lebih antusias. Bibirnya mengulas senyum lebar yang membuat hati Tania menghangat.
Seperti biasa Tania akan dengan telaten mengemas semua keperluan Ara. Hanya saja pagi harinya ini benar-benar suram karena dimulai dengan sesuatu yang tidak menyenangkan. Biasanya akan ada senyum semringah di meja makan, tapi hari ini Tania lebih banyak diam, tidak ada senyuman sama sekali dan penampakan itu membuat Dika merasa tidak nyaman.
"Tania, berhenti marahnya. Jangan cemberut terus!"pinta Dika. Dia yang tengah memegang ponsel sampai melepaskan benda itu dan menatap lekat sang istri. "Cemberut di pagi hari tidak baik," imbuhnya.
Tania yang sedang menyuapi Ara pun langsung menatap kesal. Masih ingat dan segar di ingatannya, semalam pria itu bukannya memihak malah menyudutkan. Tidak hanya itu, Dika tetap membela ibunya dan malah memintanya untuk banyak bersabar. Bahkan mengabulkan apa yang diminta Nami pada akhirnya.
"Sayang, rezeki yang kita berikan ke orang tua itu pasti berkah. Akan dibalas Tuhan berkali-kali lipat. Jadi tolong jangan cemberut terus!" lanjut Dika.
Mendengar itu menggelegak darah Tania. Dia bahkan tanpa sadar meletakkan piring nasi goreng milik Ara dengan kasar, hingga bunyinya menggema. Tidak hanya itu, mata Tania juga melotot galak.
"Berkah kalau yang ngasih ikhlas. Dibalas kalau yang ngasih ikhlas. Sedangkan aku tidak ikhlas."
"Maka dari itu cobalah ikhlas."
"Ikhlas tidak semudah membalik telapak tangan," balas Tania lebih sengit.
"Mama sama Papa kenapa berantem? Jangan berantem. Ara janji tidak akan nakal," lirih Ara. Mata anak kecil itu langsung berkaca-kaca. Dia kira orang tuanya bertengkar karenanya.
"Ara janji tidak akan cengeng lagi. Tidak akan minta boneka Barbie lagi ...."
Ara menitikkan air mata, bibirnya juga bergetar dan itu membuat Tania mengutuk diri sendiri. Dia baru tersadar kalau ada Ara di samping mereka. Bocah yang seharusnya tidak melihat pertengkaran di antara dirinya dan Dika.
Tania pun menghapus air mata Ara. "Maafkan Mama ya, sayang. Mama sama papa tidak berantem. Kita cuma lagi diskusi saja."
"Iya, Sayang." Kini Dika ikut menimpali. "Mama sama papa cuma diskusi. Kamu jangan nangis, ya. Jangan mikir yang bukan bukan!"
Bocah kecil itu menatap wajah kedua orang tuanya sembari menghapus air mata. "Mama Papa tidak berantem?" ulangnya dengan polos dan senyumnya seketika terbentuk saat melihat anggukan serentak dari kedua orangtuanya.
"Apa sudah sarapannya? Kalau sudah kita berangkat sekarang, yuk!"
"Tidak perlu," sela Tania. Karena rasa bersalahnya dia ingin mengantar Ara. "Buat hari ini biar aku saja yang antar Ara," lanjutnya.
Alis Dika hampir menyatu karena heran. "Tapi kamu nanti bisa terlambat. Arah kantor kamu tidak searah dengan sekolah Ara."
"Tidak masalah." Tania segera mengambil ransel dan melampirkannya ke pundak Ara, dia tersenyum kecil saat bersirobok pandang dengan anaknya. "Yuk, kita berangkat."
Dika pun hanya bisa memandang Tania dan Ara yang pergi, bahkan istrinya itu entah lupa atau sengaja tidak menyuruh sang putri berpamitan padanya.
***
Seperti biasa Nadine akan sibuk membersihkan apartemen setelah Putra pergi bekerja. Dia akan menyapu dan mengepel setelahnya memasak untuk makan siang. Semua akan rampung dengan waktu kurang lebih tiga jam.
Sekarang Nadine tengah menatap diri di depan cermin. Cermin besar yang bisa menangkap keseluruhan pantulan tubuhnya dari ujung kaki sampai kepala. Nadine terus berputar-putar, setelah itu titik fokusnya tertuju ke perut yang masih rata. Diusapnya pelan perutnya itu lalu mengembuskan napas panjang dan berat.
"Kapan kamu ada di sini, Sayang? Cepatlah hadir agar bisa melengkapi kebahagiaan Mama dan papa," gumamnya pelan, setelah itu tersenyum getir.
Tiga tahun penantian bukanlah waktu yang singkat untuk Nadine. Tiga tahun itu dia terus berusaha. Batinnya juga bergumul dengan beberapa pertanyaan besar. Apa dia bisa hamil? Dosa apa yang dia lakukan sampai tidak diberi kepercayaan mengandung? Apa selamanya dia tidak akan bisa mengandung? Jika iya, apa yang harus dia lakukan untuk mempertahankan pernikahan?
"Ah sudahlah, meratap juga tidak akan berguna," lanjutnya menyemangati diri. Lantas, mencepol rambut agak tinggi.
Nadine pun membuka lemari hendak mengemas keperluan Putra untuk perjalanan dinas besok. Hanya saja baru juga membuka isi lemari, fokusnya tertuju pada satu kemeja di bagian paling bawah.
"Ini punya siapa?" batin Nadine, diambilnya kemeja berwarna biru laut itu, lalu mengendusnya beberapa kali.
"Perasaan aku belum pernah membelikan Putra baju kemeja ini. Apa aku lupa, ya?" Nadine bergumam sambil menggaruk-garuk kepala. Dia berusaha mengingat dan sekeras apa pun mencoba dia juga tidak menemukan titik terang. Dia belai lagi kemeja yang ada di tangannya.
“Sudahlah, nanti saja aku tanyakan." Nadine kembali bergumam. Setelahnya melipat kemeja itu dan dia letakkan di bagian paling atas. Rencananya akan Nadine tanyakan saat suaminya pulang kerja nanti.
Setelah semuanya selesai wanita itu pun duduk di meja kerjanya. Matanya berbinar melihat laptop yang baru dia nyalakan.
"Ayo, waktunya kita dinas! Semangat Nadine!" teriaknya. Dia benarkan kacamata. Hal pertama yang dilihatnya adalah e-mail. Tak sabar dia melihat jawaban atas naskah yang dia kirim tiga minggu lalu ke salah satu penerbit.
"Naskahku pasti diterima," gumamnya penuh percaya diri.
Akan tetapi kenyataannya Nadine harus kecewa karena e-mail itu menjelaskan hal lain. Naskahnya tidak diterima seperti apa yang dia yakini. Justru sebaliknya. Nadine terus membaca pesan yang lumayan panjang itu, bahkan di bagian akhir pesan tertera pendapat yang membuatnya sampai membulatkan mata.
"Saran kami lebih baik Anda hadirkan pelakor agar ceritanya lebih menarik. Jika Anda bersedia merevisi silahkan segera konfirmasi ke kami, dan kami akan dengan senang hati menerima naskah Anda, terima kasih."
Nadine langsung melepas kacamata setelah membaca kalimat itu, dia bahkan menatap sinis layar laptopnya.
"Hah? Aku dia suruh menulis cerita tentang pelakor?" Nadine geram. Tangannya mengepal. "Mau digaji puluhan juta aku juga tidak akan sudi."
Malam harinya, Nadine yang masih sibuk mengetik dihentikan dengan suara bel dari depan. Bergegas dia berdiri. Senyumnya merekah indah karena memang sudah jam di mana suaminya pulang kerja.Dengan senyum mengembang Nadine membuka pintu dan menghamburkan diri ke pelukan Putra. Setelah itu mengambil alih tas kerja pria itu dan bergelayut manja menggandengnya masuk ke dalam."Bagaimana harimu?" tanya Nadine. Dia ambil jas yang Putra sodorkan lalu menggantungnya."Ya lumayanlah, lumayan lelah. Banyak yang harus aku lakukan dan persiapkan sebelum pergi besok.""Kalau begitu masuklah ke kamar mandi. Aku sudah menyiapkan air hangat untukmu." Putra yang tengah membuka kancing kemeja tersenyum ke arah Nadine lantas mendekati. Dia juga mengecup pucuk kepala istrinya itu dengan sangat mesra. "Kamu baik sekali. Makin sayang 'kan aku jadinya," balas Putra, dia bahkan memberi kedipan genit yang membuat Nadine berdecak kesal, tapi sedetik kemudian wanita itu tersenyum bahagia. dan bahkan mengeratkan
"Dik, Ara belum kamu jemput, ya?" tanya Tania sembari membuka blazer hitamnya dan hanya menyisakan blouse putih tanpa lengan. Saat ini waktu telah menunjukkan pukul tujuh malam dan dia baru pulang kerja. Akhir bulan begitu banyak laporan yang harus dikerjakan dan diselesaikannya sebagai pegawai bank. "Belum. Aku baru pulang. Kamu yang jemput, ya," sahut Dika, dia keluar dari kamar mandi dengan rambut basah, lalu menuju lemari dan mengeluarkan kemeja. Tak ayal gelagat itu membuat Tania penasaran. "Kamu mau ke mana? Bukannya baru pulang?" "Iya, tapi aku harus menemani bos makan malam dengan orang penting." Dika tersenyum, lalu memasukkan satu persatu kancing ke lubang. Melihat wajah tenang Dika membuat Tania sedikit kesal. "Kenapa wajahmu begitu? Aku tidak macam-macam saat di luaran. Kamu tahu sendiri aku memang begini, kerja di bawah orang ya harus siap menjadi pesuruh. Kecuali aku bos-nya. Kalau aku bos aku akan memilih menjemput anakku di rumah neneknya atau menemani istriku di ru
Sementara itu, diwaktu bersamaan Icha harus dibuat memejamkan mata dan merintih di bawah kendali tubuh kekar suaminya. Ia membungkuk dengan tangan terikat ke kursi kayu yang ada di ruang kerja Aaron. Pria itu yang terus menarik rambut dan menghujamkan kejantanannya dari belakang. “Aar … sakit,” rintih Icha dengan suara tertahan. Ia merasakan napsu yang membucah, tapi di waktu yang bersamaan juga harus menahan rasa sakit. Punggungnya bahkan memar karena dicambuk oleh sang suami. Ia merintih-rintih, rintihan kesakitan bercampur kenikmatan semu yang diberikan sang suami. “Ah … baby, you are so yummy,” puji Aaron tapi kini tangannya mencekik leher sang istri. “Aar … ahh … “ Icha merasa kesusahan bernapas dan Aaron pun melepaskan cekikannya, pria itu mengerang panjang dan menyemburkan benihnya ke dalam milik sang istri. Icha pun akhirnya bisa bernapas lega, Aaron menolehkan wajahnya dengan sebelah tangan lalu meminta wanita itu menjilati senjatanya yang masih tegak berdiri. _ _ Setel
"Begini ..., sebenarnya aku mau minta tolong ...." Hening, lisan Tania terjeda begitu saja."Tolong?" Icha mengulang karena Tania tak kunjung melanjutkan kata."Bilang saja, Tan. Jangan sungkan. Seperti orang asing saja." Nadine semakin penasaran."Aku ... aku sebenarnya mau pinjam uang. Aku butuh dua puluh juta,” ucap Tania dan setelahnya menunduk malu.Nadine dan Icha awalnya sedikit kaget, tapi pada akhirnya mereka tersenyum. Keduanya lega mendengar permasalahan Tania yang ternyata hanya soal uang seperti biasa. Mereka pikir Tania akan berkata sedang menderita penyakit kronis atau apa."Aku akan bayar kalau sudah gajian. Tapi aku cicil tiga kali, aku janji," ucap Tania lagi. Icha hanya menggeleng lalu mengutak-atik ponselnya. Dan ketika Nadine ingin memegang ponsel juga, wanita itu menyambarnya dengan cepat."Biar aku saja!" kata Icha.Nadine dan Tania terbelalak. Tak lama berselang ponsel Tania bergetar dan satu notifikasi m-banking masuk. Tertulis di sana kalau dirinya telah mend
Malam saat Nadine tidur, samar-samar terdengar suara. Suara itu mulanya pelan tapi semakin jelas dan mengusik ketentraman. Nadine yang baru saja terlelap segera menjauhkan kelopak mata dan agak kaget saat mengetahui tidak ada putra di sebelahnya. "Ke mana dia?" gumam Nadine lalu beranjak dari kasur. Pelan dia melangkah sembari menajamkan indra pendengaran. Nadine sangat yakin bahwa itu merupakan suara tawa bayi. "Apa ada yang punya bayi di sekitar sini?" gumam Nadine lagi. Langkahnya berhenti di depan pintu kamar tamu. Sesaat setelah pintu terbuka, dia mendapati punggung seseorang yang amat dikenalnya. Orang itu berjongkok sembari menatap seorang bayi. "Putra?" gumamnya. Awalnya Nadine bingung melihat penampakan itu, bagaimana bisa seorang bayi ada dalam rumahnya terlebih lagi sekarang sudah larut malam. Namun, keanehan itu Nadine lupakan, dia terlena dan berakhir tersenyum saat melihat bagaimana pandainya Putra menenangkan bayi itu. Bahkan suara tawa bayi yang ada di atas ranjang
"Kenapa murung?" tanya Dika sesaat selesai mengelap mulut dengan tisu pagi itu. "Tidak apa-apa," balas Tania, yang tak terlihat bersemangat sama sekali. Mereka sedang sarapan dan ada Ara yang berada satu meja dengan mereka "Ada apa sebenarnya?" lanjut Dika bersikukuh ingin tahu. Wajah istrinya itu cemberut beberapa hari ini dan itu mengusik. Pupus sudah harapannya untuk memulai hari dengan baik, wajah cemberut Tania membuatnya mau tak mau berpikir yang bukan-bukan. Dika melirik Ara lalu menatap lagi wajah sang istri yang masam. "Sungguh, aku tidak apa-apa. Aku hanya lelah, tidak bisa tidur dengan tenang beberapa hari ini dan itu karena seseorang." Tania terdengar sedikit memberi penekanan di akhir kalimat, dan itu membuat Dika memutuskan diam. Lelaki yang sudah rapi dengan kemeja berwarna biru itu pun melihat sang anak yang juga telah rapi dengan baju olahraga berwana merah muda. "Baiklah baiklah." Dika mengangkat tangan, pasrah dan paham sindiran keras yang istrinya lontarkan. Dia
"Sayang, maaf ya. Aku lembur malam ini," ucap Putra, wajahnya terlihat sangat lelah kala melakukan panggilan video call, membuat Nadine yang awalnya kesal jadi tidak enak hati. Dia pun mengangguk lesu. Nadine kecewa karena tidak bisa makan malam bersama. Ia mendesah berat, lalu menatap Putra yang ada di depan layar. Suaminya itu tampak mematahkan leher ke kanan ke kiri. Terlihat sangat kelelahan. "Sayang, bicaralah. Jangan marah!" "Ya sudah kalau begitu, tidak apa-apa. Mau bagaimana lagi." Nadin terdengar merajuk. "Jangan begitu mukanya! dengan kamu begini malah membuatku jadi tidak tenang. Apa aku pulang saja?" Tawaran Putra ini malah membuat Nadine gelagapan. Wanita yang memakai kardigan cokelat itu langsung menggeleng panik. "Ya, jangan. Kalau kamu pulang nanti bagaimana dengan atasanmu? Tidak enak juga dengan rekan satu tim kamu, masa mereka bekerja keras sedangkan kamu pulang." "Maka dari itu, tersenyumlah. Jangan cemberut. Aku janji akan menembusnya lain kali. Pasti! Masuk
Tidak tahu malu dan tidak tahu terima kasih mungkin pantas disematkan untuk lelaki brengsek seperti Putra. Bukannya pulang ke rumah dan menyicipi makan malam yang disiapkan Nadine, beberapa menit yang lalu dia justru tergesa menapaki koridor sebuah apartemen dengan senyum menyeringai. Senyum jahat penuh hasrat liar yang meronta untuk dilampiaskan. Langkahnya kian lebar saat unit yang ditempatinya bersama sang wanita idaman lain tepat di depan mata. Wanita itu juga sama saja, tidak tahu malu dan brengsek. _ _ "Bagaimana, Sayang? Apa aku seksi?" tanya Wangi melanjutkan apa yang akan dimulainya dan Putra. Pria itu pun mengangguk sambil mengurung tubuh Wangi yang berada di bawah kendalinya, bibirnya pun mendaratkan ciuman di sana, "Kalau begitu, ayolah, aku sudah siap." Tanpa menunggu dan mengulur waktu, Putra pun melepas satu persatu kancing kemejanya lantas menyerang Wangi dengan buas. Mereka bergumul, membelit dan saling melepas apa yang ada di badan. Suara tawa binal Wangi sepert
"Masuk!" seru Aaron tanpa mengalihkan pandangan dari tablet di tangan siang itu. Lelaki tampan nan gagah itu tengah melihat video animasi 3D sebuah cluster - yang rencananya akan dia bangun di salah satu lahan miliknya. Ia tampak antusias dan tak memerhatikan seseorang berjalan mendekat setelah dipersilakan tadi. "Pak, ini kopinya." Suara lembut dan serak seorang wanita sontak membuat Aaron mendongak. Ternyata Stella - sekretarisnya yang masuk ke dalam. Namun, Aaron tak peduli, dia kembali menunduk untuk melihat lagi video di tangan. Alasannya dia sangat tak menyukai penampilan Stella. Gadis itu terlalu berpakaian mini, bahkan dua kancing paling atas seperti sengaja dibuka hingga belahan dadanya terekspos semua. Aaron sudah memperingatkan tapi Stella seperti tak mau mendengarkan. Benar saja, firasat Aaron tak salah. Stella memang sengaja membuka dua kancing atas agar bisa menggaet bos tampannya itu. Aaron memang terkenal sangat dingin pada wanita lain kecuali Istrinya. Stella pun me
[Sayang, aku pergi, ya. Kalau lapar tinggal panaskan saja makanan yang sudah aku siapkan di dalam kulkas] Begitu isi pesan Nadine ke Putra karena suaminya berkata akan lembur lagi malam itu. Nadine sudah berpenampilan cantik nan anggun, dia berjalan melewati unit apartemennya menuju lift. Tak lama ponsel yang ada di tangannya pun bergetar. Bergegas Nadine mengecek dan mendapati pesan dari Putra. Pesan yang membuat wanita itu mengernyitkan alis, karena hanya emoji jempol yang sang suami kirimkan. Pesan tersingkat sepanjang sejarah pernikahan mereka. Namun, karena dikejar waktu Nadine pun tak sempat berpikir yang bukan-bukan. Segera dia masuk lift ketika bilik persegi panjang itu terbuka, dia lantas menekan angka satu menuju lantai dasar. Sembari menunggu lift sampai, Nadine pun memindai dirinya lewat pantulan kaca di dinding lift untuk memastikan penampilannya sudah menunjang. Pasalnya dia diundang ke pesta salah satu temannya yang sama-sama berkecimpung di dunia literasi. Teman Nadi
Tidak tahu malu dan tidak tahu terima kasih mungkin pantas disematkan untuk lelaki brengsek seperti Putra. Bukannya pulang ke rumah dan menyicipi makan malam yang disiapkan Nadine, beberapa menit yang lalu dia justru tergesa menapaki koridor sebuah apartemen dengan senyum menyeringai. Senyum jahat penuh hasrat liar yang meronta untuk dilampiaskan. Langkahnya kian lebar saat unit yang ditempatinya bersama sang wanita idaman lain tepat di depan mata. Wanita itu juga sama saja, tidak tahu malu dan brengsek. _ _ "Bagaimana, Sayang? Apa aku seksi?" tanya Wangi melanjutkan apa yang akan dimulainya dan Putra. Pria itu pun mengangguk sambil mengurung tubuh Wangi yang berada di bawah kendalinya, bibirnya pun mendaratkan ciuman di sana, "Kalau begitu, ayolah, aku sudah siap." Tanpa menunggu dan mengulur waktu, Putra pun melepas satu persatu kancing kemejanya lantas menyerang Wangi dengan buas. Mereka bergumul, membelit dan saling melepas apa yang ada di badan. Suara tawa binal Wangi sepert
"Sayang, maaf ya. Aku lembur malam ini," ucap Putra, wajahnya terlihat sangat lelah kala melakukan panggilan video call, membuat Nadine yang awalnya kesal jadi tidak enak hati. Dia pun mengangguk lesu. Nadine kecewa karena tidak bisa makan malam bersama. Ia mendesah berat, lalu menatap Putra yang ada di depan layar. Suaminya itu tampak mematahkan leher ke kanan ke kiri. Terlihat sangat kelelahan. "Sayang, bicaralah. Jangan marah!" "Ya sudah kalau begitu, tidak apa-apa. Mau bagaimana lagi." Nadin terdengar merajuk. "Jangan begitu mukanya! dengan kamu begini malah membuatku jadi tidak tenang. Apa aku pulang saja?" Tawaran Putra ini malah membuat Nadine gelagapan. Wanita yang memakai kardigan cokelat itu langsung menggeleng panik. "Ya, jangan. Kalau kamu pulang nanti bagaimana dengan atasanmu? Tidak enak juga dengan rekan satu tim kamu, masa mereka bekerja keras sedangkan kamu pulang." "Maka dari itu, tersenyumlah. Jangan cemberut. Aku janji akan menembusnya lain kali. Pasti! Masuk
"Kenapa murung?" tanya Dika sesaat selesai mengelap mulut dengan tisu pagi itu. "Tidak apa-apa," balas Tania, yang tak terlihat bersemangat sama sekali. Mereka sedang sarapan dan ada Ara yang berada satu meja dengan mereka "Ada apa sebenarnya?" lanjut Dika bersikukuh ingin tahu. Wajah istrinya itu cemberut beberapa hari ini dan itu mengusik. Pupus sudah harapannya untuk memulai hari dengan baik, wajah cemberut Tania membuatnya mau tak mau berpikir yang bukan-bukan. Dika melirik Ara lalu menatap lagi wajah sang istri yang masam. "Sungguh, aku tidak apa-apa. Aku hanya lelah, tidak bisa tidur dengan tenang beberapa hari ini dan itu karena seseorang." Tania terdengar sedikit memberi penekanan di akhir kalimat, dan itu membuat Dika memutuskan diam. Lelaki yang sudah rapi dengan kemeja berwarna biru itu pun melihat sang anak yang juga telah rapi dengan baju olahraga berwana merah muda. "Baiklah baiklah." Dika mengangkat tangan, pasrah dan paham sindiran keras yang istrinya lontarkan. Dia
Malam saat Nadine tidur, samar-samar terdengar suara. Suara itu mulanya pelan tapi semakin jelas dan mengusik ketentraman. Nadine yang baru saja terlelap segera menjauhkan kelopak mata dan agak kaget saat mengetahui tidak ada putra di sebelahnya. "Ke mana dia?" gumam Nadine lalu beranjak dari kasur. Pelan dia melangkah sembari menajamkan indra pendengaran. Nadine sangat yakin bahwa itu merupakan suara tawa bayi. "Apa ada yang punya bayi di sekitar sini?" gumam Nadine lagi. Langkahnya berhenti di depan pintu kamar tamu. Sesaat setelah pintu terbuka, dia mendapati punggung seseorang yang amat dikenalnya. Orang itu berjongkok sembari menatap seorang bayi. "Putra?" gumamnya. Awalnya Nadine bingung melihat penampakan itu, bagaimana bisa seorang bayi ada dalam rumahnya terlebih lagi sekarang sudah larut malam. Namun, keanehan itu Nadine lupakan, dia terlena dan berakhir tersenyum saat melihat bagaimana pandainya Putra menenangkan bayi itu. Bahkan suara tawa bayi yang ada di atas ranjang
"Begini ..., sebenarnya aku mau minta tolong ...." Hening, lisan Tania terjeda begitu saja."Tolong?" Icha mengulang karena Tania tak kunjung melanjutkan kata."Bilang saja, Tan. Jangan sungkan. Seperti orang asing saja." Nadine semakin penasaran."Aku ... aku sebenarnya mau pinjam uang. Aku butuh dua puluh juta,” ucap Tania dan setelahnya menunduk malu.Nadine dan Icha awalnya sedikit kaget, tapi pada akhirnya mereka tersenyum. Keduanya lega mendengar permasalahan Tania yang ternyata hanya soal uang seperti biasa. Mereka pikir Tania akan berkata sedang menderita penyakit kronis atau apa."Aku akan bayar kalau sudah gajian. Tapi aku cicil tiga kali, aku janji," ucap Tania lagi. Icha hanya menggeleng lalu mengutak-atik ponselnya. Dan ketika Nadine ingin memegang ponsel juga, wanita itu menyambarnya dengan cepat."Biar aku saja!" kata Icha.Nadine dan Tania terbelalak. Tak lama berselang ponsel Tania bergetar dan satu notifikasi m-banking masuk. Tertulis di sana kalau dirinya telah mend
Sementara itu, diwaktu bersamaan Icha harus dibuat memejamkan mata dan merintih di bawah kendali tubuh kekar suaminya. Ia membungkuk dengan tangan terikat ke kursi kayu yang ada di ruang kerja Aaron. Pria itu yang terus menarik rambut dan menghujamkan kejantanannya dari belakang. “Aar … sakit,” rintih Icha dengan suara tertahan. Ia merasakan napsu yang membucah, tapi di waktu yang bersamaan juga harus menahan rasa sakit. Punggungnya bahkan memar karena dicambuk oleh sang suami. Ia merintih-rintih, rintihan kesakitan bercampur kenikmatan semu yang diberikan sang suami. “Ah … baby, you are so yummy,” puji Aaron tapi kini tangannya mencekik leher sang istri. “Aar … ahh … “ Icha merasa kesusahan bernapas dan Aaron pun melepaskan cekikannya, pria itu mengerang panjang dan menyemburkan benihnya ke dalam milik sang istri. Icha pun akhirnya bisa bernapas lega, Aaron menolehkan wajahnya dengan sebelah tangan lalu meminta wanita itu menjilati senjatanya yang masih tegak berdiri. _ _ Setel
"Dik, Ara belum kamu jemput, ya?" tanya Tania sembari membuka blazer hitamnya dan hanya menyisakan blouse putih tanpa lengan. Saat ini waktu telah menunjukkan pukul tujuh malam dan dia baru pulang kerja. Akhir bulan begitu banyak laporan yang harus dikerjakan dan diselesaikannya sebagai pegawai bank. "Belum. Aku baru pulang. Kamu yang jemput, ya," sahut Dika, dia keluar dari kamar mandi dengan rambut basah, lalu menuju lemari dan mengeluarkan kemeja. Tak ayal gelagat itu membuat Tania penasaran. "Kamu mau ke mana? Bukannya baru pulang?" "Iya, tapi aku harus menemani bos makan malam dengan orang penting." Dika tersenyum, lalu memasukkan satu persatu kancing ke lubang. Melihat wajah tenang Dika membuat Tania sedikit kesal. "Kenapa wajahmu begitu? Aku tidak macam-macam saat di luaran. Kamu tahu sendiri aku memang begini, kerja di bawah orang ya harus siap menjadi pesuruh. Kecuali aku bos-nya. Kalau aku bos aku akan memilih menjemput anakku di rumah neneknya atau menemani istriku di ru