“A-apa maksudmu berkata seperti itu? Kau yang bermaksud menggodaku, padahal kau mengetahui aku adalah ibu tirimu!” sahut Natasya dengan nada suara kesal.Sandoro semakin merendahkan badan hingga bibirnya sangat dekat telinga Natasya. “Jangan berpura-pura tidak tahu apa yang kumaksud!” bisik Sandoro.Tenggorokan Natasya terasa kering, bulu kuduknya bahkan meremang. Ia bergerak menjauh dari Sandoro, tetapi lengannya ditahan dengan lembut oleh Sandoro hingga tidak bisa bergerak.“Lepaskan aku!” lirih Natasya.“Kenapa kau ….” ucapan Sandoro terpotong ketika ia mendengar suara langkah kaki mendekat. Dengan malas-malasan ia berjalan menjauh dari Natasya kembali ke tempatnya duduk. Sementara Natasya wajahnya memerah. Karena merasa malu kepergok dalam keadaan yang bisa saja disalah artikan oleh pelayan itu.Beruntung cahaya yang temaram membuat ia aman dari tatapan menyelidik Sandoro dari tempatnya duduk. Lutut dan jemari Natasya terasa bergetar, ia merasakan ada getaran hangat saat Sandoro
Wajah Sandoro berubah menjadi dingin dengan kedua tangan yang terkepal di sanping badan, Membuat Natasya dapat merasakan aura ketegangan yang menguar dari pria itu. Ia berjalan menjauh menuju papinya daripada mendengar amarah Sandoro. Pria itu seperti siap meledak mendengar apa yang dikatakan “Kau baik-baik saja, bukan?” tanya papi Natasya begitu ia sudah berada di sampingnya.“Entahlah, Pi! Aku tidak mungkin berbohong kalau diriku sepenuhnya baik-baik saja. Kematian Pratama sangat mengejutkan dan aku jujur tidak siap.” Natasya meletakan pundak di bahu papinya.Dengan air mata yang mengalir deras membasahi wajah Natasya berkata, “Apa yang akan terjadi denganku selanjutnya aku tidak tahu. Pratama sudah begitu baik dan ia tidak pernah menuntut lebih kepadaku.”Papi Natasya mengusap punggung rambut putrinya itu dengan lembut. Ia berkata, “Kamu pasti bisa menjalani hidup tanpa Pratama. Bukankah selama ini kamu sudah tidak bergantung kepadanya lagi? Sebenarnya ada hal yang papi dan Prata
“Sialan, kamu! Kau sudah menipu dan membohongiku! Kau bukan istri ayahku karena pernikahan kalian tidak sah,” bentak Sandoro.Tubuh Natasya menjadi kaku, ia tidak menduga kalau Sandoro mendengar apa yang tadi dikatakan oleh papinya. Namun, kenapa pria itu justru marah. Bukankah seharusnya ia merasa senang?Natasya bergerak mundur, ia ingin memberikan jarak antara dirinya dengan Sandoro. Ia merasa terganggu dengan kedekatan mereka.“Lantas kalau kau mengetahuinya apa yang menjadi masalah? Aku tidak menginginkan apa pun dari ayahmu!” teriak Natasya.Ia berlari masuk kembali ke rumah duka tersebut dan Sandoro tidak mencegahnya. Begitu berada di depan pintu ia berhenti berlari dan diam sebentar untuk meredakan debaran jantungnya. Setelah dapat menguasai dirinya Natasya masuk berjalan menuju tempat papinya duduk. “Maaf, tadi ada yang harus kubicarakan dengan Sandoro.”“Papi mengerti kamu memang harus berdiskusi dengannya.” Papi Natasya menatap ke arah peti mati.Natasya menoleh ke arah pi
Raffael terbangun dari tidurnya, dengan kepala yang berdenyut nyeri, karena pusing. Disibaknya selimut yang membungkus badannya. Sontak saja mata Raffael membelalak. “Mengapa saya tidur tanpa pakaian?”Ia merasakan kasur di sebelahnya bergerak, Raffael pun menoleh dan ia menjadi terkejut melihat, kalau di sampingnya ada seorang wanita dilihat dari rambutnya yang panjang menutupi punggungnya.Wanita itu membalikkan badan, karena ia merasa diamati. “Raffa! Mengapa kita berada di tempat tidur yang sama?”Tidak mempedulikan ketelanjangannya Ray mencari celana pendek miliknya yang tergeletak di lantai, kemudian dengan cepat ia memakainya.Selesai memakai celana pendeknya Raffael membalikkan badan. Ditatapnya Marsya, sahabat tunangannya yang berada di tempat tidur yang sama dengannya.“Sekarang saya ingat, kalau kau yang memberikan minuman kepadaku. Pasti kau sudah menaruh sesuatu kepadaku, sehingga saya menjadi mabuk dan berakhir dengan tidur di sini bersamamu!” tuduh Raffael emosi.Marsya
Marsya bangun dari atas tempat tidur, dipungutinya pakaian yang berserakan di lantai, kemudian ia pakai. ‘Saya harus bisa meyakinkan Raffa, kalau bayi yang sedang kukandung adalah anaknya. Hidupku akan menjadi nyaman, dengan menikahi Raffa,’ gumam Marsya.Marsya wanita muda yang baru berusia 22 tahun berasal dari keluarga sederhana. Ia beruntung mendapatkan sahabat sebaik Natsya yang tidak memandang harta dalam berteman. Namun, jauh di dalam hati Marsya merasa iri, karena kekayaan dan kekasih yang dimiliki oleh sahabatnya, Natasya.Selesai berpakaian Marsya mengeluarkan tempat bedak dari dalam tas. Dibubuhkannya bedak tipis di wajah cantiknya, kemudian ia menggunakan lipstick berwarna merah di bibirnya.Dengan langkah anggun gaya berjalan yang ditiru Marsya dari Natasya. Ia pun keluar dari kamar hotel tersebut menuju bagian depan hotel.Sesampainya di depan sudah ada taksi online menunggunya. Marsya langsung masuk dan duduk dengan nyaman. ‘Satu minggu lagi, diriku akan melakukan tes d
“Ibu! Mengapa Ibu tidak mengetuk pintu dahulu, sebelum masuk?” Tanya Raffael dengan nada gusar.Wanita yang dipanggil Ibu oleh Raffael berjalan menuju meja kerja putranya. Ia terlihat terkejut, ketika melihat siapa wanita yang mengaku hamil kepada Raffael. “Bukankah kamu sahabat dari tunangan putraku?” Tanyanya kepada Marsya, dengan kening dikerutkan.Marsya menelan ludah dengan sukar, karena mendadak tenggorokannya terasa kering. Ia tidak mengharapkan akan bertemu dengan Ibu dari Raffael.“Iya, saya memang sahabat dari Natasya,” sahut Marsya.Ibu Raffael mengambil catatan kehamilan yang ada di atas meja. Ia, kemudian melihat ke arah Raffael dan Marsya secara bergantian. Dengan suara yang tegas ia meminta kepada Raffael untuk menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.Raffael memejamkan mata, ia tidak suka, kalau Ibunya ikut campur dalam urusan pribadinya. “Saya tidak sengaja tidur dengan Marsya dan sekarang ia hamil.” Raffael bangun dari duduknya, lalu berjalan menuju jendela kaca di r
Raffael terdiam, ia sama sekali melupakan tentang orang tua Natasya. Dan pertanyaan dari Ayahnya membuat ia tertegun. “Saya belum memikirkannya.”Ayah Raffael menarik napas mendengar jawaban dari putranya itu. “Kau harus memberitahukannya, mereka berhak untuk mengetahui hal itu.”Setelah mengatakan hal itu Ayah Raffael keluar dari ruang kerja putranya. Ia membiarkan Raffael merenungkan apa yang dikatakan olehnya tadi.Begitu pintu sudah di tutup dan Raffael kembali sendiri di ruangannya. Ia duduk dengan punggung bersandar pada sandaran kursi, sambil memejamkan mata.Niatnya untuk makan siang sudah terlupakan, karena perutnya tidak lagi merasa lapar, setelah kunjungan dari Ayahnya.Dirinya tidak mungkin mengatakan rencana pernikahannya, melalui telepon kepada orang tua Natasya, tetapi ia juga tidak tega mengatakan hal itu kepada orang tua Natasya.‘Biarkan mereka mengetahuinya, melalui orang lain dan membenci diriku, karena saya tidak dapat melakukannya langsung,’ gumam Raffael.Raffae
Raffael melirik Ibunya sekilas. “Ibu sudah memaksakan pernikahan ini kepadaku. Ibu dan siapapun juga tidak ada yang bisa mengatur perasaanku! Selamanya saya hanya akan mencintai Natasya!”Terdengar suara dengusan dari kursi bagian depan, di mana Ayahnya sedang duduk di samping sopir. “Mencintai, tetapi selingkuh! Sungguh konsep yang membingungkan,” timpal Ayah Raffael.Raffael mengepalkan kedua tangan, bibirnya mengetat menahan marah, tetapi ia tidak melampiaskan amarahnya saat ini, karena ia menghargai Ibunya.Setelah beberapa menit dalam perjalanan mobil yang ditumpangi Raffael pun berhenti di depan rumah Marsya. Terlihat sudah ada beberapa mobil dan kendaraan yang terparkir di depan rumah tersebut.Raffael dan kedua orang tuanya turun dari mobil. Dirinya yang tidak memperhatikan hal lain, tidak mengetahui, kalau di belakang mobil mereka juga ada mobil dari beberapa orang saudara dekat orang tuanya, dengan membawa beberapa bingkisan.“Ibu memang hebat! Bisa menyiapkan semua ini dala
“Sialan, kamu! Kau sudah menipu dan membohongiku! Kau bukan istri ayahku karena pernikahan kalian tidak sah,” bentak Sandoro.Tubuh Natasya menjadi kaku, ia tidak menduga kalau Sandoro mendengar apa yang tadi dikatakan oleh papinya. Namun, kenapa pria itu justru marah. Bukankah seharusnya ia merasa senang?Natasya bergerak mundur, ia ingin memberikan jarak antara dirinya dengan Sandoro. Ia merasa terganggu dengan kedekatan mereka.“Lantas kalau kau mengetahuinya apa yang menjadi masalah? Aku tidak menginginkan apa pun dari ayahmu!” teriak Natasya.Ia berlari masuk kembali ke rumah duka tersebut dan Sandoro tidak mencegahnya. Begitu berada di depan pintu ia berhenti berlari dan diam sebentar untuk meredakan debaran jantungnya. Setelah dapat menguasai dirinya Natasya masuk berjalan menuju tempat papinya duduk. “Maaf, tadi ada yang harus kubicarakan dengan Sandoro.”“Papi mengerti kamu memang harus berdiskusi dengannya.” Papi Natasya menatap ke arah peti mati.Natasya menoleh ke arah pi
Wajah Sandoro berubah menjadi dingin dengan kedua tangan yang terkepal di sanping badan, Membuat Natasya dapat merasakan aura ketegangan yang menguar dari pria itu. Ia berjalan menjauh menuju papinya daripada mendengar amarah Sandoro. Pria itu seperti siap meledak mendengar apa yang dikatakan “Kau baik-baik saja, bukan?” tanya papi Natasya begitu ia sudah berada di sampingnya.“Entahlah, Pi! Aku tidak mungkin berbohong kalau diriku sepenuhnya baik-baik saja. Kematian Pratama sangat mengejutkan dan aku jujur tidak siap.” Natasya meletakan pundak di bahu papinya.Dengan air mata yang mengalir deras membasahi wajah Natasya berkata, “Apa yang akan terjadi denganku selanjutnya aku tidak tahu. Pratama sudah begitu baik dan ia tidak pernah menuntut lebih kepadaku.”Papi Natasya mengusap punggung rambut putrinya itu dengan lembut. Ia berkata, “Kamu pasti bisa menjalani hidup tanpa Pratama. Bukankah selama ini kamu sudah tidak bergantung kepadanya lagi? Sebenarnya ada hal yang papi dan Prata
“A-apa maksudmu berkata seperti itu? Kau yang bermaksud menggodaku, padahal kau mengetahui aku adalah ibu tirimu!” sahut Natasya dengan nada suara kesal.Sandoro semakin merendahkan badan hingga bibirnya sangat dekat telinga Natasya. “Jangan berpura-pura tidak tahu apa yang kumaksud!” bisik Sandoro.Tenggorokan Natasya terasa kering, bulu kuduknya bahkan meremang. Ia bergerak menjauh dari Sandoro, tetapi lengannya ditahan dengan lembut oleh Sandoro hingga tidak bisa bergerak.“Lepaskan aku!” lirih Natasya.“Kenapa kau ….” ucapan Sandoro terpotong ketika ia mendengar suara langkah kaki mendekat. Dengan malas-malasan ia berjalan menjauh dari Natasya kembali ke tempatnya duduk. Sementara Natasya wajahnya memerah. Karena merasa malu kepergok dalam keadaan yang bisa saja disalah artikan oleh pelayan itu.Beruntung cahaya yang temaram membuat ia aman dari tatapan menyelidik Sandoro dari tempatnya duduk. Lutut dan jemari Natasya terasa bergetar, ia merasakan ada getaran hangat saat Sandoro
Natasya bangkit dari duduk ia benci mendengar nada suara Sandoro yang kembali menuduhnya. Ia yang bodoh dengan percaya kalau pria itu bisa sebentar saja berhenti membenci.“Duduklah kembali, Natasya! Aku minta maaf kalau ucapanku salah,” ucap Sandoro dengan nada suara tegas.Langkah Natasya terhenti, ia membalikan badan melihat ke arah Sandoro dengan kening berkerut. “Apakah aku tidak salah mendengar kalau kau meminta maaf?”“Aku tidak akan mengatakannya dua kali!” sahut Sandoro dingin.Natasya kembali duduk di tempatnya semula dalam diam. Ia tahu kembali ke kamar pun dirinya tidak akan bisa tidur. Setidaknya duduk di sini sekalipun nantinya hanya akan berdebat dengan Sandoro. Hal itu bisa mengalihkan ia dari rasa sedih kehilangan suami.Suara lonceng yang dibunyikan Sandoro membuat Natasya melirik pria itu. Ia menunggu siapa yang dipanggil oleh pria itu.Tak berapa lama muncullah seorang wanita dengan pakaian pelayan. Ia berjalan menghampiri tempat Sandoro duduk.“Selamat malam, Tua
Natasya mengangkat kepala ditatapnya Sandoro dengan nanar. Ia bangkit perlahan dari duduk berjalan mendekat ke arah Sandoro. Dan berhenti hanya berjarak beberapa senti saja dari pria itu. Plak! Sebuah tamparan keras Natasya layangkan ke pipi Sandoro. Ia menatap pria itu di balik kabut air mata sambil mengangkat wajah menantang.“Kau selalu saja menuntut jawaban dariku atas semua tuduhanmu! Terserah apa yang kau pikirkan tentangku, aku sama sekali tidak peduli! seru Natasya.Natasya berjalan melewati Sandoro keluar kamar mandi tersebut. Ia tidak ingin berada lebih lama lagi dengan pria tak punya hati itu.Lengan Natasya dicekal dengan kasar oleh Sandoro hingga langkahnya terhenti. Pria itu kemudian menyentak dengan kasar hingga badan Natasya membentur dada bidang pria itu.“Kau mau pergi begitu saja setelah menamparku?” tegas Sandoro.Natasya mengangkat wajah menantang Sandoro untuk balas menampar dirinya, sambil memejamkan mata. Selang beberapa saat menunggu ia tidak juga merasakan
Natasya melirik Sandoro sekilas sebelum ia kembali melihat tubuh suaminya yang sudah terbujur kaku. “Tidakkah kau bersedia menghormati kematian ayahmu dengan menyimpan kebencianmu kepadaku.”Terdengar helaan napas yang keras dari bibir Sandoro. “Hmm! Aku akan menahan diriku demi menghormati almarhum ayahku.”Usai mengucapkan hal itu Sandoro berjalan keluar dari ruangan tersebut. Membuat Natasya bisa bernapas lega. Dengan adanya jarak yang diberikan oleh Sandoro baginya, hingga ia dapat mengucapkan perpisahan kepada Pratama.“Saya akan keluar!” ucap pengacara Pratama.Natasya yang lupa akan kehadiran pengacara itu langsung menoleh dan hanya anggukan kepala yang ia berikan.Begitu dirinya sudah sendirian saja Natasya mendekatkan diri pada ranjang tempat Pratama berbaring. Ia membuka penutup kain yang menutupi wajah Pratama.Tangan Natasya terulur untuk mengusap lembut wajah Pratama. “Selamat tinggal dan terima kasih untuk semua yang sudah kau lakukan.” Dibungkukkan badan untuk memberik
Pengacara itu terlihat gugup, tetapi ia dengan cepat dapat menguasai dirinya kembali. “Ayolah, Sandoro! Kau harus bisa menerima kalau Natasya adalah ibu tirimu. Dan ia berhak mengetahui ayahmu yang sedang dirawat.”Sandoro melayangkan tatapan galak kepada pengacara itu. Dengan kasar ia berkata, “Berapa kau mendapatkan komisi dari wanita itu?”Pengacara itu terdiam, ia menatap Sandoro dengan kecewa. Digelengkannya kepala sambil mengulas senyum tipis. “Kau tidak akan pernah mau mengerti! Kuharap demi menghargai ayahmu yang sedang terbaring sakit, kau harus bisa menahan diri saat Natasya datang ke sini.”Suara dengusan nyaring terlontar dari bibir Sandoro, tetapi ia tidak menyahut lagi. Ia berjalan menjauh menuju kursi besi yang terletak tidak jauh dari pintu ruang gawat darurat lalu duduk di sana.Pandangannya tidak lepas dari pintu ruang gawat darurat itu. Ia menjadi semakin khawatir akan kesehatan ayahnya. Ia mendengar suara tapak sepatu mendekat. Ia menolehkan kepala untuk melihat s
Raffael berhenti berjalan ia melihat kepada kedua orang tuanya secara bergantian. “Kalian tidak perlu khawatir diriku tidak sakit. Aku hanya mengambil ini ….” Dikeluarkannya kertas berisi hasil tes DNA lalu ia menyodorkan kepada ayahnya. “Aku akan pergi dan tentang pengurusan bayi itu sekretarisku yang akan mencarikan pengasuh untuknya.”“K-kau pergi! Kenapa dan kemana?” tanya ibu Raffael.Raffael mengangkat pundak kemudian berjalan menuju pintu keluar. Ia tidak merasa perlu untuk menjawab pertanyaan dari ibunya. Karena dirinya sedang menahan emosi yang terpendam. Satu sisi dirinya merasa jahat meninggalkan bayi yang baru saja ditinggal pergi ibunya.Hanya saja fakta kalau bayi itu bukan darah dagingnya membuat ia mengeraskan hati. Ia bahkan tidak merasa perlu mengucapkan kata perpisahan kepada bayi itu.***Natasya dengan terpaksa tinggal di rumah besar milik Pratama. Walaupun ia harus siap menerima sikap kasar dan membingungkan Sandoro. Yang terkadang juga bersikap lembut, serta te
Raffael menundukan kepala memandangi wajah putri kecilnya yang sedang tidur. Ia mengamati dalam diam wajah putih cantik dengan rambut berwarna pirang. “Ibu, di keluarga kita memang ada yang memiliki rambut pirang. Kurasa tidak perlu melakukan tes DNA karena ibu dari anakku juga sudah tiada.”“Kau bisa mengabaikan fakta yang ada di depan matamu, tetapi Ibu tidak akan memaksamu karena kaulah ayah dari anak itu,” ucap ibu Raffael dengan nada suara kecewa.Raffael mengangguk, ia mengangkat bayi mungil yang sudah membuka mata. Mungkin ia terbangun karena mendengar suara perdebatan dengan ibunya.“Halo, Sayang! Apakah kamu terbangun karena mendengar suara ayah?” tanya Raffael.Ia mencium wajah putrinya hinngga membuat bayi itu tertawa geli. Senyum terbit di wajah Raffael setelah lelah bekerja melihatwajah putrinya membuat rasa itu hilang.Digendongnya bayi itu menuju teras rumah kemudian duduk di kursi yang ada di sana. Dipandanginya dengan lekat bayi yang balik menatap dengan senyum dan ce