“Dhir, kamu dicariin tuh.” Niken duduk di samping Dhira yang sedang menikmati gudeg dengan santainya.
“Siapa?” Dhira sedikit mendongak.
“Siapa lagi kalau bukan sang pangeran bervespa putih. Tuh orangnya.” Niken menunjuk ke arah seseorang yang sedang mendekat ke arah mereka dengan dagunya.
Dhira mengikuti arah yang ditunjuk Niken. Dilihatnya Dimas melambaikan tangan. Dhira membalasnya sambil menyuruh Dimas ke situ.
“Katanya bukan pacar, tapi kok ya mesra gitu.” Niken mencibir.
Dhira hanya tersenyum tak menanggapi ucapan Niken. Hampir seluruh teman satu angkatannya bahkan mungkin satu jurusan hukum tahu kedekatan Dhira dengan Dimas. Masalah ini juga yang menjadi alasan beberapa teman Dhira mundur teratur tidak jadi mendekati gadis manis itu.
Memang, hampir tiap hari Dimas datang ke jurusan hukum mencari Dhira. Padahal Dimas mengambil jurusan ekonomi yang lokasi gedungnya lumayan jauh dari tempat kuliah Dhira. Tapi apa mau dikata. Cinta bisa mengalahkan segalanya.
Benarkah mereka saling cinta? Dhira dan Dimas bahkan tidak pernah membahasnya sama sekali. Mereka hanya merasa nyaman berada di dekat satu sama lain. Kadang jika Dimas sedang tidak bisa datang ke tempat Dhira, dapat dipastikan Dhira yang muncul di lokasi Dimas berada.
“Hai, udah beres makannya?” Tanya Dimas ketika sudah berdiri persis di sebelah Dhira. Niken dan Alma yang sedang makan bersama Dhira tahu diri. Mereka memilih menjauh daripada jadi obat nyamuk di antara dua orang yang nggak jelas itu.
“Hampir. Kamu sendiri udah makan belum?” Jawab Dhira tanpa menghentikan kegiatan makannya.
“Belum. Aku sengaja mau makan soto di sini.”
“Dih, giliran sama Dhira aja ngomongnya aku kamu. Lah sama kita? Keluar deh gue elunya.” Alma berkata dengan suara agak keras. Jelas sekali dia sedang menyindir Dimas.
“Lo kan beda, Al.” Dimas melirik ke arah Alma.
“Beda apaan? Emang lo siapa Dhira? Pacar? Nggak usah ngaku-ngaku deh.” Ledek Alma sambil menahan tawa melihat muka Dhira yang sudah memerah.
“Dibilang pacar bukan, dibilang temen tapi mesra gitu. Ya ngga Al?” Timpal Niken.
“Udah nggak usah dengerin mereka. Makan aja tuh pesenan kamu udah datang.” Dhira mencoba mengalihkan perhatian Dimas.
“Wah ada pembelanya nih. Pawang jadi-jadian.” Suara Alma kembali terdengar.
Alma dan Niken adalah teman terdekat Dhira. Mereka bertiga sudah memproklamirkan persahabatannya dihari pertama kuliah. Kedua sahabat Dhira ini memang duet maut yang paling sering memprovokasi hubungan Dimas dan Dhira. Bagaimana tidak, kedekatan Dimas dan Dhira sudah dimulai bahkan sebelum Dhira menginjakan kakinya di kampus ini.
Tapi sampai sekarang, Dimas dan Dhira tetap mengatakan kalau mereka hanya bersahabat. Padahal Niken sudah ratusan kali bilang kalau tidak pernah ada kata sahabat dalam sebuah hubungan pertemanan antara laki-laki dan perempuan. Salah satunya pasti punya perasaan lebih dari sekedar sahabat. Atau bisa jadi keduanya punya perasaan lain yang hanya mereka pendam sendiri.
Alma membenarkan ucapan Niken dan menganggap Dimas dan Dhira ini ada dalam posisi sama-sama punya perasaan tapi tidak mau mengungkapkannya. Terutama Dimas. Kalau Dhira, karena dia seorang perempuan pastinya hanya bisa menunggu Dimas.
“Kamu ada acara nggak sore ini?” Dimas kembali bertanya. Tapi kali ini dia mengecilkan volume suaranya karena tidak ingin terdengar oleh Alma dan Niken.
“Kayaknya nggak ada. Kenapa?”
“Aku mau ngajak kamu jalan.”
“Kemana?”
“Nanti juga kamu tahu. Pokoknya aku jamin, kamu akan merasa senang.”
“Yakin?”
“Yakin dong. Kalau nggak yakin, ngapain aku ngajakin kamu.”
“Oke. Jemput aku sekitar jam 5 aja.”
“Siipppp.” Dimas tak bisa menyembunyikan kegembiraannya.
“Eh, apanya yang sip tuh. Jangan-jangan dua makhluk itu udah jadian.” Niken kaget melihat Dimas yang tengah sumringah.
“Beneran kalian udah jadian?” Tanya Alma yang kini sudah berdiri di belakang Dimas dan Dhira.
“Alma, apaan sih? Kamu kalau nanya suka aneh-aneh.” Dhira tidak bisa menyembunyikan wajahnya yang semakin memerah karena ulah kedua temannya.
“Yaahhh mereka masih malu-malu anjing, Ken.” Keluh Alma sambil kembali ke tempat duduknya di samping Niken.
“Kayaknya mending kita bawain penghulu aja langsung, gimana?” Niken bertanya ke Alma sambil menaikturunkan alisnya.
“Ide cemerlang.” Alma mengacungkan kedua jempolnya. Lalu mereka cekikikan berdua.
Dhira geleng-geleng kepada menyaksikan dan mendengar apa yang diobrolkan Alma dan Niken. Dhira menoleh ke arah Dimas lalu menangkupkan kedua tangannya di dada seolah meminta maaf.
“Aku sedang berpikir, ide mereka boleh juga.” Gumam Dimas.
Tentu saja omongan Dimas itu sukses membuat Dhira menganga tak percaya. Tapi Dimas malah kembali fokus kepada soto yang sedang dimakannya dan tidak mempedulikan Dhira yang masih memandangnya dengan sorot mata seolah ingin membunuh lelaki itu.
***
Sesuai janjinya, jam lima sore Dimas sudah ada di depan kost Dhira. Vespa putih yang Dimas namakan Sabrina siap mengajak kedua orang itu menembus jalanan Yogya. Dhira tampak cantik meski hanya memakai celana jeans dan kaos putih tanpa kerah. Seperti biasa, rambutnya akan dikuncir ekor kuda tanpa hiasan apapun. Inilah yang selalu Dimas suka.
“Kita mau kemana sebenarnya?” Tanya Dhira ketika sudah duduk memboceng di belakang Dimas.
“Menikmati jalanan Yogya di sore hari. Kebetulan sore ini ada bidadari baik hati yang sedang mau aku ajak pergi.” Dimas setengah menggombal sambil melajukan motornya pelan.
“Apaan sih kamu, Dim.”
“Aku tuh seneng banget kamu udah nggak mau panggil aku Mas lagi. Aku udah merasa kayak tua banget dipanggil Mas sama kamu.”
“Yeee padahal kan emang bener kamu lebih tua dari aku. Harusnya gak masalah dong kalau aku panggil aku Mas Dimas.”
“Ya ampun Dhiraaaa, umur kita itu Cuma selisih setahun doang.” Dimas masih nggak terima.
“Tetep aja, kamu lebih dari aku.”
Dimas tidak menjawab lagi ucapan Dhira. Dia memilih fokus pada jalanan yang kini sedang mereka lalui. Yogya selalu punya cerita. Dimas ingin memulai cerita itu sejak hari ini. Meski tidak pernah dia ucapkan, Dimas berharap perempuan di belakangnya ini bisa merasakan bagaimana Dimas mencintainya.
Benar, Dimas telah jatuh cinta kepada Dhira sejak pertama kali melihat foto gadis itu. Kini, setelah hampir setahun mereka dekat, kuncup cinta di hati Dimas sudah mulai berkembang menjadi bunga.
Sayangnya Dimas masih ragu untuk mengungkapkan apa yang dia rasakan kepada Dhira. Penolakan Nirmala masih begitu membekas di hatinya. Dimas takut kalau Dhira juga nantinya akan menolak seperti Alma. Apalagi selama ini Dhira tidak pernah sekalipun menunjukan sikap yang berlebihan kepada Dimas. Bisa dikatakan sikap Dhira kepada semua teman lelakinya yang lain tak beda jauh dengan sikap Dhira kepada Dimas.
“Ternyata Yogya di sore hari bisa romantis juga ya Dim?” Dhira memejamkan mata menikmati angin yang menerpa rambutnya.
“Kamu baru tahu?” Dimas melirik dari kaca spion motornya.
“Iya, pantas saja kakakku betah kuliah di Yogya. Ternyata memang seasyik ini.”
“Yogya itu selalu istimewa Ra. Kalau kamu tanya orang-orang yang pernah tinggal di Yogya atau minimal pernah ke sini, mereka pasti bilang kalau mereka ingin balik lagi ke sini. Entah untuk liburan atau sekedar menikmati suasananya.”
“Kamu sendiri kenapa milih Yogya?”
“Tuhan yang suruh aku ke sini. Kata Tuhan, jodohku ada di sini.” Dimas tersenyum sendiri mengingat kalimat yang baru saja dia ucapkan.
“Wah, yang bener Dim? Pacar kamu di sini juga? Kok aku nggak pernah lihat sih?”
“Belum waktunya.”
“Jahat kamu. Kita temenan udah setahun tapi kamu nggak pernah ngenalin aku sama pacar kamu.”
“Masih proses, Ra.”
“Proses apaan?”
“Aku masih proses menaklukan dia. Soalnya dia belum tahu kalau aku suka sama dia. terus aku juga masih takut buat ngomongnya. Takut dia nolak aku.”
“Yaahhh kok gitu Dim? Kamu kan laki-laki, harusnya punya inisiatif dong.”
“Kamu sendiri gimana, Ra? Udah ada cowok Yogya yang kamu incar belum?”
“Duh Dimas... siapa sih cowok yang mau sama aku. Lagian sekarang ini kayaknya aku milih fokus sama kuliah dulu deh. Targetku bisa lulus sebelum empat tahun. Enaknya sekarang kamu kenalin aku sama pacar kamu itu.”
“Kalau gitu, nanti-nanti aja deh Ra kenalan sama pacar akunya. Aku masih berjuang untuk menaklukan dia, Ra.”
“Jadi kalian belum pacaran? Tadi kamu bilang jodoh kamu ada di sini.”
“Jodoh aku memang ada di sini Ra. Tapi dia belum tahu kalau sebenarnya dia itu jodoh aku.”
***
“Betul kan yang ini gerbongnya?” Tanya Dhira sambil bolak balik melihat antara tiket di tangannya dengan gerbong kereta di depan matanya.“Betul kok. Udah cepetan masuk. Sebentar lagi kereta berangkat.” Dimas setengah mendorong punggung Dhira agar segera masuk.Keduanya kini sudah duduk di kursi sesuai nomor yang tertera pada tiket. Jam di pergelangan tangan Dhira menunjukan sudah hampir tengah malam. Entah mengapa kantuk masih belum juga datang menghampirinya. Dhira melirik ke samping kirinya, terlihat Dhimas sedang menikmati lagu yang didengarnya melalui earphone.Perjalanan ini di luar dugaan Dhira. Awalnya dia hanya cerita kepada Alma dan Niken tentang rencana kepulangannya ini. Ayahnya sedang tidak enak badan, kebetulan juga hari Kamis dan Jumat ini kuliahnya libur. Jadi Dhira memilih untuk pulang ke Bandung malam Kamis. Siapa nyana kabar itu begitu cepat sampai ke telinga Dimas. Tak sampai enam jam, Dimas sudah ada di kost-an Dhira dengan membawa dua buah tiket ke Bandung.“Kamu
Pagi yang riuh menjadi pemandangan biasa di Stasiun Bandung. Penumpang berhamburan turun dari kereta, pedagang asongan sibuk menawarkan dagangan yang dibawanya, pegawai gerai-gerai di dalam dan di luar stasiun bebenah merapikan lapak mereka, para penjemput memicingkan mata mendekati sanak saudara maupun pacar yang akan mereka jemput, tak lupa suara merdu pengamen sudah mulai terdengar seolah mengucapkan selamat datang.“Kita sarapan dulu.” Dimas mencekal pergelangan tangan Dhira. Menuntunnya turun dari gerbong bisnis yang mereka tumpangi.Kali ini Dhira hanya diam menurut kemana kaki Dimas melangkah. Semalaman Dimas berhasil membuat Dhira tidak bisa tidur karena memikirkan ucapan lelaki itu. Wajar jika pagi ini Dhira merasakan kepalanya pusing.Cafe yang ada di sebarang stasiun menjadi pilihan Dimas. Dia butuh secangkir kopi pahit lebih dari apapun. Bukan hanya gadis di sampingnya saja yang tidak bisa tidur, tanpa Dhira tahu, pikiran Dimas juga semalam berkelana menanti pagi. Dimas ya
Dhira membuka pintu gerbang rumahnya dengan hati-hati. Sudah jam sepuluh lebih. Pasti kedua orangtua, kakak, dan adiknya tidak ada di rumah. Dengan langkah yang mengendap-endap Dhira berputar ke arah dapur. Tujuannya ya jelas, ingin mengagetkan Bi Asih. Selama Dhira tidak ada Bi Asih pasti hidupnya lebih tenang karena hanya ada Kaivan yang selalu mengganggunya. Jika Dhira dan Kaivan sudah bersama, bisa dipastikan Bi Asih jadi bulan-bulanan mereka.“Biiiiiiiiii...”“Gustiiiiii aya kunti, aya maling, aya garong, aya nu gelo, aya jurig, aya... aduh neng Dhiraaaa...” Bi Asih terduduk di lantai sambil mengelus dadanya.Bi Asih sedang merapikan isi kulkas ketika Dhira masuk dan memanggilnya dengan suara yang setengah menjerit. Posisi Bi Asih yang sudah setengah duduk membuat tubuhnya langsung terjengkang dan duduk dengan sukses.“Ish si bibi masih aja kagetan gitu. Hahahaha.” Dhira memeluk pundak Bi Asih.Perempuan yang sudah memasuki usia enam puluh tahun itu sudah dianggap menjadi bagian
“Neng... Neng Dhira... Bangun Neng, ini dzuhurnya udah mau habis. Neng... Neng... Neng Dhira...” Bi Asih terus saja mengetuk pintu kamar Dhira. Sudah lewat dari jam dua siang dan Dhira belum terlihat bangun. Sudah menjadi kebiasaan Bi Asih sejak anak-anak masih kecil selalu mengingatkan kalau sudah waktunya sholat.“Iya, Bi iyaaaaa Dhira bangun.” Dhira menjawab sambil bangun dari tidurnya. Dengan nyawa yang masih belum sepenuhnya terkumpul Dhira membuka pintu kamar dan berlalu begitu saja melewati Bi Asih. Dhira menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu sedangkan Bi Asih melanjutkan pekerjaannya kembali di dapur. Sejenak Bi Asih sempat memperhatikan Dhira dengan mata berkaca-kaca. Bi Asih tidak pernah menyangka bayi mungil yang dulu selalu digendongnya kini sudah menjelma menjadi gadis manis yang sungguh luar biasa.Selesai sholat di musholla kecil yang terletak di salah satu sudut rumah itu, Dhira beranjak ke dapur. Perutnya kini benar-benar sudah sangat lapar. Andai tadi Bi Asih
Jika Dhira sedang asyik berbincang dengan Janu, hal serupa tidak terjadi kepada Dimas. Di saat yang bersamaan pintu kamar hotel tempat Dimas menginap diketuk seseorang. Dimas masih setengah sadar karena baru saja tertidur. Otaknya tidak bisa mencerna siapa yang datang mengetuk pintu kamar dan ingin menemuinya. Bahkan Dimas masih merasa bahwa saat ini dia ada di kamar kostnya di Yogya.Dimas menyeret tubuhnya untuk membuka pintu dengan kesadaran yang masih belum ada setengahnya. “Si...a...pa...” Ucapan Dimas terhenti saat dia melihat kalau yang ada dibalik pintu itu adalah Roni. Anak buah sekaligus orang kepercayaan papanya yang memang ditempatkan di Bandung. Seketika mata Dimas membelalak karena tak percaya jika saat ini dia berhadapan dengan Roni.“Selamat siang, Mas Dimas. Maaf saya mengganggu. Ini perintah dari Tuan Cipta.” Roni sedikit membungkukan tubuhnya tanda menghormati Dimas. Untunglah Roni tidak menyebut Dimas sebagai Tuan Muda seperti anak buahnya yang lain.“Masuk.” Dim
“Bapak sama Ibu nggak pulang?” Tanya Dhira kepada Kaiva. Dhira melirik jam dinding yang sudah tergantung di ruang tengah itu sejak dia masih SD.“Salah sendiri mau pulang nggak bilang-bilang.” Kaiva meleletkan lidah mengejek kakak perempuannya.Kaiva masih merasa dongkol karena Dhira pulang tanpa memberitahu dirinya. Padahal Kaiva sangat ingin sekali Dhira bisa membawakan bakpia asli Yogya yang sudah menjadi makanan kesukaan Kaiva sejak gigitan pertama. Saat itu Banyu yang sengaja membawakan bakpia itu untuk Kaiva. Sedangkan Dhira sama sekali tidak punya keinginan untuk membawakan oleh-oleh.Pertemuan mereka tadi sore sudah pasti membuat riuh rumah yang biasanya selalu sepi. Bi Asih memilih diam menjadi penonton yang baik. Sejak dulu Kaiva dan Dhira memang yang paling sering ribut dibandingkan yang lainnya. Bisa jadi hal ini dikarenakan jarak usia keduanya yang tidak terlalu jauh. Sedangkan dengan Langit dan Banyu, jarak mereka cukup lumayan jauh.“Kan emang Teteh tadinya nggak niat m
“Gimana rasanya jadi orang Bandung?” Tanya Dhira sambil menatap ke arah Janu.“Luar biasa. Bandung sangat menyenangkan. Semuanya jelas berbeda dengan tempat tinggal saya di Bengkulu.” Janu menjawab tanpa melihat ke mata Dhira. Bagaimana tidak, saat ini hatinya sedang jauh dari kata baik-baik saja. Biasanya Janu mencuri-curi kesempatan agar bisa melihat foto Dhira di ruang tamu Fauzi, kini sosok yang selalu memenuhi kerinduannya itu ada di depan mata Janu. Mata indah yang yang membuat Janu jatuh cinta pada pandangan pertama, malah sedang menatapnya lekat.Setelah hampir satu jam mengelilingi Kota Bandung, kini mereka memilih duduk di salah satu kursi yang ada di sudut Jalan Braga. Di langit, bintang begitu terang bersinar. Sementara di Jalan Braga lampu-lampu terlihat benderang berpijar. Dhira dan Janu duduk bersisian sambil memandang lalu lalang kendaraan yang tidak pernah berhenti sejak tadi.“Kamu asli dari Bengkulu ya?” Suara Dhira memecah kebisuan.“Nggak juga. Mama aslinya dari B
“Kamu mau ke mana Dim?” Tanya Yashinta saat melihat anak sulungnya itu sudah berpakaian rapi.“Pulang ke Yogya, Ma.” Dimas menjawab singkat.“Kok buru-buru? Kamu nggak kangen Mama? Sudah hampir dua tahun loh Dim kamu nggak pulang. Sekarang baru semalem di sini kamu udah mau ke Yogya lagi. Mama masih kangen sama kamu.” Gerutu Yashinta.“Bukan gitu, Ma. Dimas lupa kalau banyak tugas yang harus dikumpul hari Senin besok.” Dimas mencoba merayu Yashinta dengan memeluknya.“Alaahhh itu sih alasan kamu aja. Buktinya, kamu kemaren malah ke Bandung. Kalau Papa kamu nggak nyuruh anak buahnya bawa kamu ke sini, pasti kamu juga nggak inget pulang ke rumah kan?”“Nggak gitu Mamaku sayang. Beneran Dimas nggak sengaja ke Bandung. Kebetulan ada temen yang mau pulang ke Bandung, kebetulan juga Dimas kan udah lama banget nggak ke Bandung, sekali-sekali pengen juga lah maen ke sana sendiri.”“Temen apa temen? Katanya cewek. Mana ada kamu temenan sama cewek.” Rajuk Yashinta.“Beneran temen, Ma. Kemajuan
Dhira benar-benar menjalankan rencananya untuk berpisah dari Dimas. Tanpa minta persetujuan dari Dimas lagi, Dhira mendaftarkan gugatan cerainya di Pengadilan Agama. Alasan yang dituliskan oleh Dhira adalah kekerasan dalam rumah tangga. Hanya itu satu-satunya alasan yang masuk akal dan bisa diterima dengan cepat. Kekerasan bukan sekedar fisik, tapi bisa juga psikis. Dhira menekankan bahwa kondisinya yang belum juga hamil menjadi pemicu utama kekerasan psikis yang dia terima dari pihak keluarga Dimas.Dimas juga sudah memeriksakan kondisi kesuburannya. Sesuai prediksi dokter, ternyata memang sperma Dimas yang kurang baik. Meski harapan untuk memiliki anak itu ada, tapi akan sangat sulit.Untuk meredam pemberitaan media yang selama ini selalu saja mengincar keluarga Mahendra, Dhira meminta bantuan temannya yang jadi pengacara supaya bisa membungkam mulut para pegawai di Pengadilan Agama. Sejak dulu, Dhira sangat tidak suka dengan publikasi dan berbagai pemberitaan. Meski dia tahu, sebag
Espresso yang tadi dipesannya sudah tandas. Dhira melirik ponselnya. Panggilan dari Dhimas sudah bertambah. Beberapa pesan juga terlihat memenuhi aplikasi yang sering Dhira gunakan. Tangan Dhira bergetar ketika memberanikan diri untuk menghubungi Dimas. Sudah terlalu lama dia menghabiskan waktu untuk melamun di sini. Sekarang atau nanti, dia dan Dimas harus tetap menghadapi kenyataan itu.“Halo, Dim...”Kamu di mana? “Di kafe seberang rumah sakit.”Oke. Tunggu di sana. Jangan kemana-mana.Benar saja, tak sampai setengah jam Dimas sudah datang. Langkah panjangnya segera menuju ke tempat istrinya itu duduk. Segera dipeluknya Dhira dengan hangat. Seolah mereka sudah tidak bertemu berhari-hari.“Ini apa-apaan sih. Malu diliatin orang.” Omel Dhira.“Emang kenapa? Kamu istriku. Kita nikah udah lima tahun, masa kamu masih aja malu kalau aku peluk di tempat umum.” Goda Dimas.“Ya tetep aja aku malu. Kamu lagi nggak sibuk? Kok bisa langsung ke sini?”“Urusan istriku jauh lebih penting dari ap
Menjelang dinihari saat kereta memasuki Stasiun Tugu. Sejak berangkat, ponsel Dhira nyaris tidak berhenti mendapatkan pesan dari Dimas. Entahlah, sejak obrolannya tempo hari Dhira merasa Dimas sedikit lebih protektif. Meski tidak Dhira pungkiri kalau sebelumnya juga perhatian Dimas selalu berlebihan untuk ukuran seorang sahabat. Apalagi saat ini, ketika lelaki itu sudah berterus terang tentang perasannya.Dimas sudah mewanti-wanti kalau dia yang akan menjemput Dhira. Tentu saja ucapan itu bukan izin melainkan hanya pemberitahuan. Jika setahun lalu Dimas yang bukan siapa-siapa saja sudah begitu antusias menjemput Dhira, bisa dibayangkan kondisinya sekarang ketika Dimas sudah setengah mengakui bahwa Dhira itu calon istrinya.Ups. Seketika Dhira merasa wajahnya sedikit menghangat. Ingatannya melayang ketika Dimas mengatakan calon istri. Benarkah Dimas sudah begitu yakin dengan perasaannya?“Hai.” Sapa Dimas sedikit kikuk ketika menghampiri Dhira yang sudah ada di pintu kedatangan.“Hei,
“Tumben banget udah mau ke Yogya lagi.” Komentar Kaiva melirik Dhira. Saat ini Dhira dan keluarganya plus Janu sedang menikmati sarapan yang sudah disiapkan Bi Asih. Sejak dulu, Anita sudah menetapkan kalau Sabtu Minggu itu wajib sarapan di rumah.Saat anak-anak masih sekolah, Anita bisa mengatur mereka untuk sarapan setiap hari. Namun ketika si sulung dan anak keduanya sudah kuliah, sarapan setiap hari menjadi sesuatu yang sulit direalisasikan. Langit dan Banyu kuliah di luar kota. Kaiva yang sejak kecil susah sekali bangun pagi, lebih sering melewatkan sarapan karena sudah terlambat untuk sekolah. Bagaimana tidak terlambat, setelah shalat Subuh, Kaiva lebih memilih untuk tidur lagi daripada bersiap sekolah.Ketika Langit kembali ke Bandung, Anita dengan tegas menyuruh sulungnya itu datang sarapan di Sabtu Minggu. Alhasil setiap Jumat sore Langit memilih pulang ke rumah orangtuanya daripada harus repot di hari Sabtu berangkat pagi-pagi.“Males aja kalo mepet-mepet. Emangnya kamu. Ap
Setelah menutup paksa obrolannya dengan Dimas, Dhira merebahkan tubuhnya di kasur lalu menatap langit-langit kamar. Perlahan dia menelusuri hatinya. Perasaan apa yang kini ada untuk Dimas.“Dhir... kamu di dalam kan? Bunda masuk ya?”Anita bertanya sambil mendorong pelan pintu kamar Dhira. Tidak dikunci.“Kebiasaan deh ini anak, pintu kamar nggak pernah dikunci. Jangan-jangan kamu di Yogya juga suka lupa mengunci pintu kamar kamu ya? Bahaya loh Dhir. Gimana kalau ada orang iseng yang masuk kamar kamu. Duh ngebayanginnya aja Bunda mah udah ngeri. Kamu jangan bikin khawatir Bunda kamu ini dong.” Ucap Anita panjang lebar sambil melangkahkan kaki mendekati Dhira yang masih terbaring di atas kasurnya.“Heh, kamu denger omongan Bunda nggak?” Lanjut Anita.“Iya, Bundaku sayang. Dhira denger. Lagian di sini ngapain Dhira kunci kamar segala. Kalau Bunda mau masuk kan repot, Dhir kudu bangun bukain kunci.” Dhira memeluk erat Anita. Sebagai anak perempuan satu-satunya, Dhira memang mendapat keun
“Kamu mau ke mana Dim?” Tanya Yashinta saat melihat anak sulungnya itu sudah berpakaian rapi.“Pulang ke Yogya, Ma.” Dimas menjawab singkat.“Kok buru-buru? Kamu nggak kangen Mama? Sudah hampir dua tahun loh Dim kamu nggak pulang. Sekarang baru semalem di sini kamu udah mau ke Yogya lagi. Mama masih kangen sama kamu.” Gerutu Yashinta.“Bukan gitu, Ma. Dimas lupa kalau banyak tugas yang harus dikumpul hari Senin besok.” Dimas mencoba merayu Yashinta dengan memeluknya.“Alaahhh itu sih alasan kamu aja. Buktinya, kamu kemaren malah ke Bandung. Kalau Papa kamu nggak nyuruh anak buahnya bawa kamu ke sini, pasti kamu juga nggak inget pulang ke rumah kan?”“Nggak gitu Mamaku sayang. Beneran Dimas nggak sengaja ke Bandung. Kebetulan ada temen yang mau pulang ke Bandung, kebetulan juga Dimas kan udah lama banget nggak ke Bandung, sekali-sekali pengen juga lah maen ke sana sendiri.”“Temen apa temen? Katanya cewek. Mana ada kamu temenan sama cewek.” Rajuk Yashinta.“Beneran temen, Ma. Kemajuan
“Gimana rasanya jadi orang Bandung?” Tanya Dhira sambil menatap ke arah Janu.“Luar biasa. Bandung sangat menyenangkan. Semuanya jelas berbeda dengan tempat tinggal saya di Bengkulu.” Janu menjawab tanpa melihat ke mata Dhira. Bagaimana tidak, saat ini hatinya sedang jauh dari kata baik-baik saja. Biasanya Janu mencuri-curi kesempatan agar bisa melihat foto Dhira di ruang tamu Fauzi, kini sosok yang selalu memenuhi kerinduannya itu ada di depan mata Janu. Mata indah yang yang membuat Janu jatuh cinta pada pandangan pertama, malah sedang menatapnya lekat.Setelah hampir satu jam mengelilingi Kota Bandung, kini mereka memilih duduk di salah satu kursi yang ada di sudut Jalan Braga. Di langit, bintang begitu terang bersinar. Sementara di Jalan Braga lampu-lampu terlihat benderang berpijar. Dhira dan Janu duduk bersisian sambil memandang lalu lalang kendaraan yang tidak pernah berhenti sejak tadi.“Kamu asli dari Bengkulu ya?” Suara Dhira memecah kebisuan.“Nggak juga. Mama aslinya dari B
“Bapak sama Ibu nggak pulang?” Tanya Dhira kepada Kaiva. Dhira melirik jam dinding yang sudah tergantung di ruang tengah itu sejak dia masih SD.“Salah sendiri mau pulang nggak bilang-bilang.” Kaiva meleletkan lidah mengejek kakak perempuannya.Kaiva masih merasa dongkol karena Dhira pulang tanpa memberitahu dirinya. Padahal Kaiva sangat ingin sekali Dhira bisa membawakan bakpia asli Yogya yang sudah menjadi makanan kesukaan Kaiva sejak gigitan pertama. Saat itu Banyu yang sengaja membawakan bakpia itu untuk Kaiva. Sedangkan Dhira sama sekali tidak punya keinginan untuk membawakan oleh-oleh.Pertemuan mereka tadi sore sudah pasti membuat riuh rumah yang biasanya selalu sepi. Bi Asih memilih diam menjadi penonton yang baik. Sejak dulu Kaiva dan Dhira memang yang paling sering ribut dibandingkan yang lainnya. Bisa jadi hal ini dikarenakan jarak usia keduanya yang tidak terlalu jauh. Sedangkan dengan Langit dan Banyu, jarak mereka cukup lumayan jauh.“Kan emang Teteh tadinya nggak niat m
Jika Dhira sedang asyik berbincang dengan Janu, hal serupa tidak terjadi kepada Dimas. Di saat yang bersamaan pintu kamar hotel tempat Dimas menginap diketuk seseorang. Dimas masih setengah sadar karena baru saja tertidur. Otaknya tidak bisa mencerna siapa yang datang mengetuk pintu kamar dan ingin menemuinya. Bahkan Dimas masih merasa bahwa saat ini dia ada di kamar kostnya di Yogya.Dimas menyeret tubuhnya untuk membuka pintu dengan kesadaran yang masih belum ada setengahnya. “Si...a...pa...” Ucapan Dimas terhenti saat dia melihat kalau yang ada dibalik pintu itu adalah Roni. Anak buah sekaligus orang kepercayaan papanya yang memang ditempatkan di Bandung. Seketika mata Dimas membelalak karena tak percaya jika saat ini dia berhadapan dengan Roni.“Selamat siang, Mas Dimas. Maaf saya mengganggu. Ini perintah dari Tuan Cipta.” Roni sedikit membungkukan tubuhnya tanda menghormati Dimas. Untunglah Roni tidak menyebut Dimas sebagai Tuan Muda seperti anak buahnya yang lain.“Masuk.” Dim